Tijarah
Tijarah berasal dari bahasa Arab, yaitu tajara, tajran wa tijaratan yang bermakna berdagang atau berniaga. Sedangkan at-tijaratun walmutjar berarti perdagangan atau perniagaan, attijariyyu wal mutjariyyu yang berarti mengenai perdagangan atau perniagaan.[1] Tijarah juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mempertukarkan suatu barang berharga dengan mata uang melalui cara-cara yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini harus bermanfaat dan diperbolehkan oleh syari'at Islam. Sedangkan Imam an-Nawawi, ahli fikih Mazhab Syafi'i mengartikan tijarah sebagai "pemindahan hak terhadap benda dengan melakukan tukar-menukar murni, yakni tukar-menukar barang".
Hukum
Hukum tijarah pada prinsipnya mubah (dibolehkan), hal ini berdasarkan surah al-Baqarah (2) ayat 275, an-Nisa (4) ayat 29, dan al-Baqarah (2) ayat 282. Ayat pertama membicarakan tentang praktek jual beli dan pengharaman riba, karena tijarah termasuk jual beli, maka hukumnya sama dengan jual beli. Ayat kedua menjelaskan tentang keharaman memakan harta manusia secara batil, kecuali melalui perdagangan yang dilaksanakan suka sama suka. Sedangkan ayat ketiga berbicara mengenai perlunya saksi dalam jual beli. Rasulullah SAW suatu ketika pernah ditanya oleh seseorang tentang usaha yang terbaik. Beliau menjawab, yaitu "seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan berdagang secara baik".(H.R. al-Bazzar dan disahihkan oleh al-Hakim dari Rifa'ah bin Rafi). Ayat Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa hukum tijarah diperbolehkan.
Rukun
Rukun tijarah adalah a) sigah, 'b) aqid, dan c) ma'qud. Sigah merupakan transaksi atau dikenal dengan ijab dan kabul. 'Aqid adalah pelaku atau orang yang melakukan tijarah. Sedangkan Ma'qud merupakan barang yang diperdagangkan.[2]
Referensi
- ^ Kamus al-Munawwir,. Yogyakarta:: Pustaka Progresif. 1984. hlm. 139.
- ^ Aziz Dahlan, Abdul (2003). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. hlm. 1825. ISBN 979-8276-96-5.