Bahasa Kampar

bagian dari rumpun bahasa Austronesia
Revisi sejak 21 Agustus 2018 16.37 oleh Ardzun (bicara | kontrib) (top)

Bahasa Ocu atau Bahasa Kampar adalah bahasa yang dituturkan oleh Etnik Ocu yang merupakan penduduk asli di Kabupaten Kampar, Riau.[1][2] Bahasa ini juga dipertuturkan juga di Kota Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hilir, Rokan Hulu, Pelalawan, Kuantan Singingi (Kuansing), dan Indragiri Hulu.[2] Karena letak persebaran geografis bahasa ini dekat dengan Provinsi Sumatera Barat, bahasa ini memiliki kemiripan dengan dialek lain dalam bahasa Minangkabau yaitu dialek Limapuluh Kota.[3] Sedangkan di wilayah Riau, bahasa ini memiliki kemiripan dengan dialek Kuantan.

Dalam perkembangannya, masih terdapat pertentangan mengenai hubungan bahasa ini dengan kedua bahasa di sekitarnya, bahasa Minang dan bahasa Melayu. Sebagian pakar menganggapnya sebagai dialek dari bahasa Minang[4][2] dan sebagian lain mengganggapnya sebagai dialek bahasa Melayu Riau.[5] Namun, orang Ocu (Kampar) lebih suka menganggapnya sebagai bagian dari bahasa Melayu Riau atau bahkan bahasa mandiri.[6]

Selain di Riau, bahasa ini juga dituturkan oleh para perantau Ocu di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, oleh perantau Ocu yang sudah turun-temurun tinggal di Semenanjung Malaya, Malaysia.

Sejarah

Perkembangan bahasa Kampar tidak terlepas dari sejarah Kampar sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Dalam sejarah disebutkan bahwa saat itu wilayah Kampar sempat menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan bagi Kerajaan Sriwijaya yang semula bernama Kerajaan Muara Takus. Kemudian didirikanlah Candi Muara Takus di tepi Sungai Kampar Kanan sebelum akhirnya berpindah ke Palembang. Kerajaan Sriwijaya saat itu menggunakan bahasa Melayu Kuna, sebagaimana yang tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit. Hal ini didukung oleh catatan Tiongkok, bahwa Kerajaan Sriwijaya pada awalnya bernama Kerajaan Melayu dengan bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Kemudian bahasa Melayu berkembang pesat seiring dengan ekspansi Kerajaan Sriwijaya.

Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, mulailah pengaruh dari Kesultanan Malaka dan Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau. Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Kesultanan Melayu Melaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, Sultan Mahmud Shah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.[7]

Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.[8]Saat itu Kampar merupakan kawasan yang strategis untuk perniagaan, sehingga menjadi wilayah rantau bagi Luhak Limapuluh Kota di pedalaman dan dikenal sebagai Rantau Limo Koto. Komunikasi masyarakat antara wilayah Luhak dengan Rantau tersebut terus terjalin, sehingga masyarakat kedua daerah tersebut memiliki kemiripan dialek.

Setelah itu, kekuasaan atas wilayah Kampar berpindah ke Kesultanan Siak Sri Inderapura. Kesultanan Siak menggunakan bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa pengantarnya sehingga terdapat hubungan saling mempengaruhi antara bahasa Melayu yang digunakan oleh kerajaan dengan dialek masyarakat Kampar.

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Kampar dimasukkan dalam Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Sumatera Tengah dibubarkan, Kampar dimasukkan dalam wilayah Provinsi Riau tahun 1958.[9] Akibat perjalanan sejarah inilah, bahasa Kampar memiliki hubungan yang erat dengan bahasa Minangkabau di sebelah barat serta bahasa Melayu Riau di sebelah timur.

Perbandingan dengan dialek dan bahasa lain yang serumpun

Orang Kampar umumnya berpendapat bahwa bahasanya memiliki banyak persamaan dengan bahasa Minangkabau, bahasa Melayu, ataupun bahasa Indonesia. Persamaan dengan bahasa Minangkabau khususnya dengan dialek Limapuluh Kota membuat sebagian pakar mengkategorikan bahasa Kampar sebagai salah satu dialek dalam bahasa Minang.[4][2]

Kosakata dasar

Kata ganti

Saya Den/Deyen

Ambo (formal)

Awak

Kami/Kita Kami/Kito

Awak

Kamu Ang/Waang (laki-laki)

Kau (perempuan)

Kalian Kolien
Dia Inyo

Kata tanya

Bahasa Indonesia Bahasa Kampar
Apa Apo
Bagaimana Bagaimano/Ba apong
Berapa Baghapo/Bapo
Di mana Dimano
Kemana Kamano
Dari mana Daghi mano
Mana Mano
Siapa Siapo
Mengapa Mangapo/Dek apo
Kapan Bilo

Bilangan

Bahasa Indonesia Bahasa Kampar
Satu Ciek/Sociek
Dua Duo
Tiga Tigo
Empat Ompek
Lima Limo
Enam Onam
Tujuh Tujuo
Delapan Salapan
Sembilan Sambilan
Sepuluh Sapuluo
Sebelas Sabole
Seratus Saghatui
Seribu Saghibu/Sibu

Silsiah keluarga

Bahasa Indonesia Bahasa Kampar
Kakek Datuok
Nenek Niniok/Iniok/Uci
Ayah Ayah/Apak/Abak
Ibu Omak/Mondek/Bundo
Paman Mamak/Pak Tuo/Pak Ongah/Pak Odang/Pak Etek
Bibi Ante/Etek/Mak Ongah/ Makdang
Kakak laki-laki Ocu/Uwo/Ongah/Udo
Kakak perempuan Akak

Karya sastra

Karya sastra tradisional berbahasa Kampar memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra tradisional rumpun bahasa Melayu liannya, khususnya dengan sastra tradisional Minangkabau, yaitu berbentuk prosa, cerita rakyat, dan hikayat. Penyampaiannya biasa dilakukan dalam bentuk cerita (kabau) atau dinyanyikan (dendang). Adapula karya sastra yang digunakan untuk prosesi adat Kampar, seperti pepatah-petitih dan persembahan (basiacuong atau basisombau). Pepatah-petitih dan persembahan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Agar tidak kehilangan makna, karya sastra jenis ini tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Oleh karenanya sangat sedikit sekali orang yang menguasai karya sastra ini, yang hanya terbatas pada ninik mamak dan pemuka adat.[10]

Basiacuong atau basisombau

Basiacuong adalah tradisi lisan masyarakat Kampar yang berisi pikiran, ide, dan nasihat berupa pepatah-petitih dalam dialog antara dua ninik mamak. Basiacuong berasal dari kata Siacuong yang berarti sanjung menyanjung dari satu pihak ke pihak lainnya yang biasanya diwakili oleh ninik mamak suatu suku yang berdialog atau mereka yang karena kedudukannya diberi kesempatan bicara. Kata basiacuong juga berarti menyengaja suatu perbuatan. Adapun nama lain dari basiacuong adalah sisombau atau basisombau artinya sembah menyembah.[11]

Basiacuong dilakukan dalam berbagai acara adat Kampar, seperti pertunangan, pernikahan, kenduri, khitanan, serta penobatan ninik mamak.

Berikut salah satu contoh dialog dalam basiacuong saat pihak laki-laki datang ke rumah perempuan yang akan dilamar:[11]

Pertama kali diawali dari pihak laki-laki: 
Iko bosuo bonou bak andai-andai ughang  tuok. Copek tikam talampau logo, olun dudok lah maunju,
olun togak koluh lah tibo pulo. Codo kan baguluik-guluik nan bak kuciong naiok, dek apo tu kato datuok? Kojo nan bughuok, elok lah dipalambek-lambek, nan jan disolo dek nan buok.
Kojo nan elok, elok lah dipacopek-copek, nak lai disolo dek nan elok. Itulah mako dek copek ajo datang ka datuok sabagai andai-andai ughang: Alah toghang condonyo aghi Toghang puntuong dengan asok Olah datang uponyo kami Datang nak baetong dengan datouk Itulah  condo na ditutuik nyato, dimintak abih bokek datuok,
koknyo dapek izin jo bonau, koknyo tumbuo di kojo nak di kakok haknyo,
tibo di etongan nak dimulai, iyo sadetu kato disombahkan ka datuok.
Pihak perempuan sebagai pihak yang menanti menyahuti keinginan dari pihak laki-laki yang datang, yaitu: 
Sampai  tuok?
Pulang kasisamo indak kan bajawab panjang, malahan imbau biaso basahuti,
tumbuoh dikato biaso ula bajawab, iyo dijawab juo kato datuok agak sepatah duo sebagai mauling kato datuok. Copek  tikam  talampau  logo,  logonyo  datuok olun lai duduok la maunju, olun togak koluo lah tibo pulo.
Condo kan baguluik-guluik datuok datuok nan bak kuciong naiok.
Dek nak mamotong kojo nan bughuok, eloklah dipalambek-lambek, untuong-untuong tibo bayioknyo.
Condo itu pulo nan dituntuik nyato dimintak abih ka sisamo,
koknyo dapek izin dengan bonau kok nyo tumbuoh dijalan jawo kan ditawuik nak dighansu,
kok nyo tibo dikojo nan kan di kakok tontu nak mamulai,
min dek kato datuok manuju kasisamo soghang tontunyo lomak lawok nak dikunyah-kunyah, elok kato nak dibaiyo patidokan, iyo mananti datuok sesaat sakatiko, lai nak dipaiyo-patidokan bagi nan patuik.
Iyo sadetu kato disombahkan ka datuok.
dan selanjutnya saling bergantian sisombau. 

Rujukan

  1. ^ Witrianto dan Arfinal, 2011. Bahasa Ocu: Akulturasi antara Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu Riau di Kabupaten Kampar. Seminar Internasional Forum Ilmiah VII FPBS UPI “Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajarannya” Bandung. 30 November 2011: 1-18. [1]
  2. ^ a b c d Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017[2]
  3. ^ Purna, I. M., Sumarsono, Astuti, R., Sunjata, I. W. P., (1997), Sistem pemerintahan tradisional di Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  4. ^ a b Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  5. ^ Hamidy, U. U. 2003, Bahasa Melayu dan Kreativitas Sastra di Riau / U.U. Hamidy Unri Press kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation Pekanbaru, ISBN 979-3297-33-6
  6. ^ "Kampar, antara Melayu dan Minangkabau - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2018-07-03. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  7. ^ Winstedt, R., (1962), A History of Malaya, Marican.
  8. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
  9. ^ http://www.dpr.go.id Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958
  10. ^ Edwar Jamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Yayasan Obor Indonesia, 2001
  11. ^ a b YUNUS, Mohd. Tradisi Basiacuong dalam Masyarakat Adat Limo Koto Kampar. MENARA, 2013, 12.2: 92-114.