K.H Abdullah Ridlwan
Terlahir dengan nama Hizbullah di Bojong Garut tahun 8 Februari 1925 Wafat di Narogong Bekasi 13 Juli 2008 anak kedua dari 13 bersaudara / satu meninggal belum diberi nama (karuron sebuah istilah dalam bahasa sunda)
K.H Musthofa Kamil dan Hj. Siti Rohmah dikaruniai 12 orang anak yaitu Syaifullah, Hizbullah, Rahwatullah, Ghawtsullah, Muhammad Ali Tahkim, Muhammad Ridhlo, Ghamishah, Salamah, Bagus Tjukup, Bagus Sarana, Anasrullah, Kamil.
Hizbullah kecil mengenyam pendidikan di BPPI hanya sampai kelas 3 Sekolah Rakyat, meski demikian beliau berkembang menjadi pribadi yang tegas, disiplin dan memegang teguh keyakinannya. dikarenakan situasi negeri yang masih dalam penjajahan Belanda. Di usia yang masih sangat muda beliau sudah harus ikut berjuang mengusir penjajah dari Tanah Air. Pada 1939 s/d 1942 beliau berkali-kali di buru dan bahkan menurut sebuah narasumber beliau dihargai 1000 Gulden untuk hidup atau mati oleh pemerintah Belanda, karena kelihaian, kecerdikan dan keilmuan beliau membuat Belanda mengalami kesulitan dalam melakukan penangkapan.
Seiring berjalannya waktu di masa penjajahan beliau melanjutkan Kursus Bahasa Jepang di Cicalengka pada 1943 dan berhasil dengan kelulusan bersertifikat 5 terbaik, selang beberapa lamanya akhirnya beliau ditempatkan oleh Bupati Garut pada saat itu M.S Kartalegawa sebagai Tolk atau penterjemah bahasa Jepang yang ketika itu Pasukan Jepang sudah mulai menguasai beberapa wilayah di negeri ini.
Pada 1944 beliau mengikuti pelatihan militer Jepang dalam pasukan Kamikaze kemudian pada 1945 beliau keluar dari pasukan Kamikaze dikarenakan Jepang mendapat serangan bom atom oleh Amerika Serikat tepatnya di kota Hiroshima dan Nagasaki.
Tidak lama berselang sesuai dengan bekal kemampuan Militer nya dari pelatihan yang sempat dilakukan oleh Pasukan Jepang beliau membentuk pasukan Hizbullah di Garut atas dasar saran dari ayahanda K.H Musthofa Kamil Disamping sang ayah K.H Musthofa Kamil dan beberapa anggota timnya yang sedang menyusun Qanun Asasy pada saat itu, seringnya beliau melakukan komunikasi dan diskusi yang intens dengan Imam S.M Kartosoewirjo semakin membentuk jiwa, karakter, intelejensi dan ideologi beliau yang nantinya dijadikan salah satu orang khusus dijajaran Petinggi Negara Islam Indonesia.
Adapun orang-orang penting di Jajaran Petinggi NII yaitu M. Nuh, Kamran, Djadja, Sanusi dan beliau sendiri khusus mewakili Golongan Muda.
Setelah Proklamasi RI 1945 beliau turut mendampingi ayahanda K.H Musthofa Kamil untuk berangkat memenuhi undangan Bung Tomo dalam rangka menghadapi Agresi Militer Sekutu ke II di Surabaya dengan perjalanan menaiki Kereta Api dari Banjar Patroman.
Sepanjang perjalanan menuju Surabaya, rakyat tidak henti-hentinya memberikan dukungan penuh agar semangat perjuangan mengusir para penjajah terus menyala hingga tiba waktu dimana satu pertempuran pada saat itu menyebabkan terpisahnya beliau dengan K.H Musthofa Kamil yang membuat sang ayahanda gugur sebagai syuhada di medan pertempuran, beliau berhari-hari mencari petunjuk akan keberadaan jasad K.H Musthofa Kamil namun tak kunjung didapat, akhirnya beliau memutuskan kembali ke Garut seorang diri untuk menyampaikan berita duka kepada keluarga.
Beliau bersama-sama dengan Imam S.M Kartosoewirjo dan jajaran petinggi NII saling bahu-membahu dalam mewujudkan cita-cita ideologi yang sudah terpupuk diwaktu itu, kemudian pada 1948 setelah Perundingan KMB, dengan dasar ilmu Kemiliteran yang mumpuni pada Masa Penjajahan Jepang beliau diposisikan sebagai pelatih Kemiliteran di Suffah untuk Pasukan Khusus NII / DI-TII yakni di Wilayah Malangbong.
Pada 1954 keluar dari dinas ketentaraan di Batalyon Kodam Brawijaya Malang ketika itu berpangkat Letnan Kolonel sering berkomunikasi dengan Kolonel Sarbini dan Penasihat Militer R.I pada saat itu T.B Simatupang, kemudian beliau ditempatkan oleh Arudji Kartawinata Wakil Presiden Lajnah Tanfidzhiyah PSII pada saat itu sebagai staf administrasi kepartaian di Partai Syarikat Islam Indonesia di Jl. Tanah Tinggi No.56 Jakarta Pusat yang kemudian jadi tempat tinggalnya karena pada 1955 setelah Pemilu Kantor PSII dipindah ke Jl. Matraman.