Parlindungan Lubis

Revisi sejak 31 Desember 2017 12.58 oleh Argo Carpathians (bicara | kontrib) (Bagas Chrisara memindahkan halaman Parlindoengan Loebis ke Parlindungan Lubis: Baku.)

Parlindoengan Loebis (1910 - 1994) adalah seorang tokoh nasionalis Indonesia. Ia adalah salah satu orang Indonesia yang pernah ditahan dan dijebloskan ke kamp konsentrasi Nazi Jerman pada Perang Dunia II dan bisa selamat. Parlindoengan lahir di Batang Toru, Tapanuli Selatan, 30 Juni 1910 dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1994.

… Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang. Besar ruangan itu tiga kali tiga meter dan mempunyai dua tempat tidur besi tanpa kasur…. Dalam ruangan itu ada sebuah lubang di mana kami dapat buang air kecil dan besar. Lubang itu ditutup dengan sebilah kayu saja. Siapa yang tidur dekat lubang itu akan mencium bau yang amat busuk….

Penggalan kalimat di atas diungkapkan oleh Parlindoengan Lubis saat hari pertamanya di dalam kamp konsentrasi Nazi. Inilah awal dari babak mengerikan dalam hidupnya ketika ia diciduk dua polisi rahasia Belanda di rumah sekaligus tempat praktiknya sebagai dokter di Amsterdam, pada suatu siang, akhir Juni 1941 setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jerman.

Karier Politik

Pada masa remajanya, Parlindoengan merantau ke Batavia dan sempat bergabung di organisasi pemuda Jong Islamieten Bond dan Jong Batak, yang kemudian bersama perhimpunan mahasiswa lain (selain Jong Java) bersatu membentuk PPPI (Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia) dan Indonesia Moeda.

Parlindungan berangkat ke Belanda setelah lulus Kandidat I di Betawi (begitu dia menuliskannya). Di Belanda, ia belajar ilmu kedokteran di Universitas Leiden pada tahun 1930-an. Selama di Leiden, ia aktif sebagai ketua Perhimpoenan Indonesia (PI) selama periode 19361940 dan dianggap sebagai pelopor PI karena merupakan angkatan II setelah Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Sartono, Iwa Koesoemasumantri, Ali Sastroamidjojo, dan Sukiman. Bersama PI, ia berjuang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia.

Sepeninggal Hatta, PI mengalami pergeseran orientasi politik dan dianggap berhaluan kiri. Di bawah kepemimpinan Parlindoengan, organisasi ini mengalami sedikit pergeseran dari komunis menjadi sosialis, terlihat dari caranya menghentikan kerja sama dengan Partai Komunis Belanda dan memulai hubungan dengan Partai Buruh Sosialis Demokrat (Social Democratische Arbeiter Partij; SDAP). Sekalipun berhaluan sosialis, Parlindoengan tetap dianggap sebagai antifasis. Inilah mungkin yang menyebabkan ia ditangkap oleh polisi rahasia Belanda binaan Gestapo, di Amsterdam pada Juni 1941. Bagi Nazi Jerman, orang-orang seperti Parlindoengan dianggap sebagai pemberontak dan harus diamankan.

Masuk Kamp Konsentrasi

Parlindoengan ditahan oleh Nazi Jerman selama empat tahun, ditempatkan di beberapa kamp konsentrasi. Menurut pengakuannya, ia telah dipindahkan sebanyak empat kali: Kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman.

Di Kamp Schoorl, ia belum disuruh bekerja dan hanya melakukan apel pagi dan olahraga. Ketika seluruh isi kamp digabung dengan Kamp Amersfoort, ia diperintahkan untuk mengerjakan konstruksi, termasuk memasang kawat berduri. Ia pun mulai disiksa secara kejam oleh petugas di sana. Pernyataannya untuk dapat bertahan di sini sungguh menarik. Ia menulis,

“.. Untuk dapat survive dalam kamp, aku pertama-tama harus mempunyai hati yang keras dan tanpa rasa, seperti batu. Segala perasaan yang sentimental dan cengeng harus dibuang jauh-jauh…. Masa lampau sekali-kali jangan dikenang. Masa yang akan datang jangan diharapkan. Hiduplah untuk hari ini saja.”

Parlindungan lalu dipindahkan ke Kamp Amersfoort, Belanda lalu ke Kamp Buchenwald, Jerman bersama 100 tawanan lain menggunakan kereta api kelas tiga. Di sini ia bersama 1400 tawanan lainnya mendapat tugas untuk membuka hutan di suatu pegunungan berkabut, memecah batu, membuat barak, saluran air, listrik, bengkel, dan lain-lain, selama 7 hari seminggu, 14 jam sehari. Tawanan sering dipukuli, bahkan hingga mati. Tawanan yang ketahuan mengobrol akan ditembak tanpa ampun.

“Setelah dipindahkan ke Buchenwald, aku memperkirakan bahwa tidak mempunyai harapan lagi untuk dibebaskan, kecuali Jerman dikalahkan Sekutu dalam perang. Namun, menurut perkiraanku itu tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat…. Aku harus siap untuk ditawan beberapa tahun. Itu pun kalau aku tidak terbunuh….”

Perasaan ini ia lukiskan pada awal April 1942 kala tiba di Kamp Buchenwald. Kegelisahan Parlindoengan yang dituangkan dalam otobiografinya itu memang tak mengada-ada. Setidaknya, hampir setiap pekan puluhan tawanan mati akibat sakit dan kelaparan di kamp konsentrasi Buchenwald. Sejak menampung tawanan pada 1937 hingga 1945, lebih dari 56 ribu korban menemui ajal di kamp konsentrasi yang terletak di pinggiran kota Weimar itu.

Dengan pekerjaan yang telah disebutkan di atas, para tawanan hanya mendapat jatah makanan sangat minim. “Pagi-pagi dapat roti kurang-lebih 400 gram, bubur dan kopi pakai gula kurang-lebih 400 cc. Kopi yang diberikan itu sebenarnya bukan kopi, melainkan dibuat dari sejenis padi,” tulis Parlindoengan. Ia kembali menambahkan, “”Makanan itu kalau dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan dan cuaca yang dingin sangatlah tidak mencukupi.” Yang lebih mengenaskan, bila para tawanan dipaksa untuk bekerja jauh di luar kamp. Para tawanan dilarang melewati garis yang telah ditentukan. Bila melanggar, akan ditembak pasukan SS yang mengawasi mereka. Parlindoengan menyimak, “banyak juga tawanan yang memanfaatkan itu untuk bunuh diri. Mereka dengan sengaja melewati garis itu supaya ditembak mati dari belakang.”

Pada 1944, sebagian kamp Buchenwald hancur ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara. Kini sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu telah rata tanah. Yang masih tersisa beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan. Di bangunan krematorium, yang terletak sejajar dengan barak tawanan, terdapat enam tungku pembakaran mayat. Di salah satu sudut ruangan terdapat kamar penyimpan abu jenazah, dan sebuah ruang bawah tanah, dulu berfungsi untuk menumpuk mayat.

Akan tetapi, Parlindoengan tidak ada di sini saat peristiwa tersebut terjadi karena ia telah dipindahkan lagi, pada Oktober 1942, ke Sachsenhausen, ke instalasi pabrik pesawat perang Heinkel. Di sini situasi lebih baik. Kamp lebih difokuskan pada pekerjaan teknis, biarpun kekejaman masih berlangsung dan menyita nyawa manusia segala bangsa di sana. Kali ini, Parlindoengan ditugaskan sebagai dokter kamp, sehingga tugasnya lebih ringan.

Saat akhirnya pasukan Sekutu berhasil masuk ke Jerman, terjadi kekacauan dalam kamp. Para tawanan dan penjaga membentuk barisan tak teratur yang terus bergerak ke barat. Tawanan yang keluar barisan langsung ditembak di belakang kepala. Tapi banyak juga penjaga yang juga lari memisahkan diri. Mereka akhirnya berhenti di Grabouw. Sempat barisan dari kamp lain bergabung. Akhirnya, tentara Rusia masuk juga ke sana. Parlindoengan resmi lepas dari tawanan, tetapi perlu waktu untuk memulihkan diri dan mencari cara untuk lepas dari kawasan Rusia, menyeberangi sungai Elbe, masuk ke kawasan Sekutu bagian Barat, dan akhirnya kembali ke Belanda dengan kereta ke Maastricht, lalu naik mobil ke keluarganya di Amsterdam.

Kembali ke Tanah Air

Usai Perang Dunia II, Parlindoengan kembali ke tanah airnya, Indonesia, yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Di Indonesia, Parlindoengan hidup berpindah-pindah tempat. Sepanjang 1947-1950, ia menetap di Yogyakarta dan berkerja sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik Persenjataan Departemen Pertahanan. Setelah itu, ia bekerja sebagai dokter perusahaan Borneo Sumatra Handel Maatschappij di Jakarta - sembari sorenya membuka praktik dokter di rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru. Pada 1959, Parlindoengan hijrah ke Tanjungpandan, P. Belitung. Ia bekerja sebagai dokter di PN Tambang Timah.

Ia meninggal di Jakarta pada 31 Desember 1994 (tepatnya tanggal 31 Desember), nyaris tanpa perhatian dari bangsa kita.

Rujukan