Pembicaraan:Calon Arang

Calon Arang

Diterjemahkan dari Teks berbahasa kawi / Jawa Kuno

Lihat: http://www.geocities.com/andreasagussantoso/calonarang.doc

CALON ARANG

I. Calon Arang membuat tulah di negeri Daha

Erlangga adalah pemimpin di Daha. Tentram olehnya memerintah; damai negeri pada pemerintahannya. Maharaja Erlangga gelarnya, sangat baik budi. calon arang Adalah seorang janda, tinggal di Girah, Calon Arang namanya. Beranak perempuan satu bernama Ratna Manggali, sangat cantik rupanya. Lama tidak ada orang yang melamarnya. Semua orang di Girah, apalagi di Daha, tidak ada orang di daerah pinggiran, tidak ada yang berani melamar anak si janda itu yang bernama Ratna Manggali di Girah. Oleh karena terdengar oleh negeri, bahwa beliau (janda) di Girah itu melakukan yang cemar. Menjauhlah orang-orang melamar Manggali.

Maka berkata si janda itu: “Aduh, ambillah anakku karena tidak ada orang yang melamar dia, cantiklah rupanya, bagaimana (sampai) tidak ada yang menanyai dia. Marah juga hatiku oleh (hal) itu. Aku akan membaca bukuku; jika aku sudah memegang buku itu, aku akan menghadap Paduka Sri Bhagawati; aku akan meminta anugerah untuk binasanya orang-orang senegeri.

Setelah dia memegang sastra itu, datanglah dia ke tempat pembakaran mayat, memintalah dia anugerah kepada Bathari Bhagawati, diiringi oleh semua muridnya. Demikianlah nama-nama siswa itu: Weksirsa, Mahasawadana, Lende, Guyang, Larung, Gandi. Mereka itulah yang mengiringi Janda Girah, bersama-sama menarilah di tempat pembakaran mayat. Datanglah Paduka Bhatari Durga bersama semua tentaranya, ikut bersama-sama menari. Memujalah yang bernama Calon Arang kepada Paduka Bhatari Bhagawati, berkatalah Bhatari: “Aduh, engkau Calon Arang, apa maksudmu datang kepadaku, sehingga engkau disertai oleh para muridmu semua untuk menyembahku?”

2. Berkatalah janda itu menyembah: “Tuan, anakmu ingin meminta binasanya orang seluruh negeri, demikianlah maksudku.”

Menjawablah Bhatari: “Aku memberi, tetapi jangan sampai ke tengah , (supaya) raja besar tidak marah kepadaku.”

Patuhlah janda itu, berpamitan menyembahlah dia kepada Bhatari Bhagawati. Calon Arang diiringi oleh semua muridnya menari di Wawala selama tengah malam. Berbunyilah Kamanak-Kangsi , mereka bersama-sama menari. Setelah selesai menari, pulanglah ke Girah sambil bersorak-sorailah sesampainya di rumah mereka.

Tidak lama kemudian, tulah menimpa orang-orang seluruh desa (daerah), sehingga banyak yang mati. Berangsur-angsur dimusnahkan. Calon Arang tidak berkata inilah saya.

Maka tersebutlah Sang Pemimpin Daha, diperhadapkanlah dia di tempat duduk yang tinggi, Sri Maharaja Erlanggha.

Memberitahukanlah patih, jika rakyatnya banyak yang mati, tulahnya panas-dingin (panas-tis). Menulahi satu hari dua hari kematian. Terlihat menyembah, Janda Girah itu, yang bernama Calon Arang, menari di Wawalu bersama semua muridnya. Banyak orang melihatnya. Demikianlah kata patih itu, semua datang dihadapannya, bersama-sama meninggikan dan mematuhi apa yang dikatakan patih.

Berkatalah Sang Prabhu: “Hai, pegawaiku, cederai dan bunuhlah Calon Arang olehmu, jangan engkau sendiri, sengkau ditemani pegawai (lain).”

3. Berpamitanlah pegawai itu menyembah kaki Sang Prabhu: “Mohon ijin hamba untuk membinasakan Janda Girah.” Pergilah pegawai itu. Tanpa berkendaraan, segera pergi ke Girah, pegawai itu menuju ke rumah Calon Arang ketika orang sedang tidur; tidak ada orang yang dalam keadaan bangun. Segera pegawai itu mengambil rambut janda itu, menghunus kerisnya ingin memotong si janda; beratlah tangan pegawai itu, terkejut dan bangunlah Calon Arang, keluarlah api dari mata, hidung, mulut dan telinganya, menyala-nyala menghanguskan pegawai itu. Salah satu dari pegawai itu mati. Yang lainnya menjauh cepat meninggalkan pegawai itu. Tanpa berkata-kata jalannya di jalan, segera pergilah ke kerajaan, memberitahukanlah pegawai itu tentang sisa kematian itu: “Tuan, tak berguna pegawai Paduka Sri Parameswara yang satu mati oleh mata Janda Girah itu. Keluar api dari perut, menyala menghanguskan pegawai Paduka Bhatara.”

Berkatalah Sang Prabhu: “Sedih aku jika demikian pemberitahuannya.” Seketika itu juga pulanglah Sang Prabhu dari ruang penghadapan (Balairung). Sang Raja tidak berbicara. Berkatalah Janda di Girah. Bertambah besarlah kemarahannya oleh kedatangan pegawai itu, oleh utusan hamba Sang Prabhu. Berkatalah Calon Arang berseru kepada murid-muridnya mengajak datang ke tempat pembakaran mayat; dipegangnyalah lagi sastra (buku) itu. Setelah memegang mantra tersebut, diiringilah oleh para muridnya semua, datanglah di tepi kuburan tempat yang rindang oleh kepuh dililit kegelapan, daunnya rindang mengurai sampai tanah di bawahnya merata. Janda Girah itu duduk diterima oleh para muridnya semua. Memberitahukanlah Lende berkata: “Hai, Sang Janda, apa sebabnya tuan seperti akan memarahi Sang Pembawa Bumi? Jika demikian lebih baik mempunyai maksud kelakuan baik, menyembah kepada Sang Maharesi sebagai penunjuk jalan ke surga.”

Maka berkatalah Larung: “Apa kesedihanmu kepada duka Sang Prabhu? Sebaliknya dipercepatlah perbuatan ke tengah.”

Bersama-sama meninggikanlah mereka semua akan perkataan Larung, mengikutlah mereka kepada Calon Arang, kemudian berkatalah dia: “Sangat benar olehmu, Larung. Bunyikanlah Kamanak dan Kangsi kalian, sekarang menarilah masing-masing, ijinkan aku melihat perbuatan itu satu persatu. Sekarang mungkin sampai di perbuatan itu, kalian menarilah.”

4. Seketika itu juga menarilah Guyang, tariannya mendekap-dekap, berteriak-teriak, terengah-engah dan berbusana; matanya melirik, menoleh kiri kanan.

Menarilah Larung; gerakannya seperti macan yang ingin menerkam, matanya kelihatan memerah, benar-benar telanjang. Rambutnya berjalan cepat ke depan.

Menarilah Gandi; melompat-lompatlah olehnya menari; rambutnya berjalan cepat ke pinggir. Memerah matanya kelihatan seperti buah janitri.

Menarilah Lende; tariannya berjingkat-jingkat dengan kakinya. Tingkah lakunya menyala-nyala seperti api hampir menyala. Berjalan cepat rambutnya.

Menarilah Weksirsa; menunduk-nunduk olehnya menari, menoleh-noleh; matanya terbuka tanpa berkedip. Rambutnya berjalan cepat ke samping, benar-benar telanjang.

Mahisawadana menari berkaki satu; ia menyungsang menjulur-julur lidahnya; tangannya ingin memeras.

Senanglah Calon Arang setelah mereka bersama-sama menari. Membagi tugaslah dia sesampai di istana . Mereka membagi tugas pergi ke lima daerah. Lende ke selatan, Larung ke utara, Guyang ke timur, Gandi ke barat. Calon Arang ke tengah bersama dengan Weksirsa dan Mahisawadana.

Setelah mereka berbagi pergi ke lima daerah, Calon Arang datang ke tengah-tengah tempat pembakaran mayat itu, menemui mayat yang mati mendadak di hari ke-5 (kliwon). Dia memberdirikan, mengikat di kepuh, menghidupkan mayat itu, meniup-niupnya; Weksirsa dan Mahisawadana memelekkan mata (mayat itu). Menjadi hiduplah orang itu, sehingga berkatalah mayat itu: “Siapa tuan yang menghidupkan aku? Betapa besarnya hutangku; tak tahu aku membalasnya. Aku menghamba kepada tuan. Tuan, lepaskanlah aku dari pohon kepuh ini, aku ingin berbakti dan menghormat.”

Berkatalah Weksirsa: “Engkau sangka (bahwa) engkau hidup? Biarlah aku memarang lehermu dengan parang.” Seketika itu juga diparanglah lehernya dengan parang, melesat leher mayat yang dihidupkannya itu. Terbanglah kepalanya; sampai dikeramaskan dengan darah oleh Calon Arang; menggumpallah rambutnya oleh darah. Ususnya menjadi kalung dan dikalungkannya. Badannya diolah dipanggang semua, menjadi korban para Bhuta (raksasa) yang berada di tempat pembakaran mayat, setelah itu Paduka Bhatari Bhagawati menyetujui (menerima) yang dikorbankan itu.

5. Keluarlah Bhatari dari kahyangannya, kemudian berkatalah dia kepada Calon Arang: “Aduh, anakku Calon Arang, apa maksudmu memberikan korban kepadaku, (memberikan) bakti hormat? Aku menerima penghormatanmu.”

Berkatalah Janda Girah itu: “Tuan, Sang Pemimpin Negeri membuat duka anakmu, aku memohon belas-kasih Bhatari, supaya Paduka Bhatari senang untuk membinasakan orang-orang senegeri, sampai ke tengah sekalian.”

Berkatalah Bhatari: “Baik, aku mengabulkan, Calon Arang, namun engkau jangan lengah.”

Berpamitanlah janda Girah itu menghormat Bhatari. Segera pergi menarilah dia di perempatan.

Terjadilah tulah yang sangat hebat di seluruh negeri itu; terjadi tulah satu malam dua malam, sakitnya panas-dingin, orang-orang mati. Mayat-mayat yang ada di tanah lapang bertumpuk-tumpuk, yang lainnya ada di jalan, ada juga yang tidak terpelihara di rumahnya. Srigala-srigala meraung (membaung) memakan mayat. Burung-burung gagak berteriak-teriak tak putus-putusnya memakan mayat, bersama-sama mencucuk (memakan) mayat. Lalat-lalat beterbangan kian-kemari di rumah meraung-raung, rumah-rumah tak berpenghuni. Yang lainnya orang-orangnya pergi ke tempat jauh, pergi mengungsi ke daerah yang tidak terkena penyakit. Orang-orang yang sakit dipikul, yang lainnya ada yang mengasuh (momong) anaknya dan membawa barang-barang.

Para Bhuta yang melihat berseru: “Jangan kalian pergi, desa (daerah) kalian sudah aman, tulah dan penyakit telah selesai, pulanglah kalian ke sini, hiduplah kalian di sini.” Setelah itu banyak kematian orang-orang di jalan yang diambilinya. Para Bhuta itu berada di rumah tak berpenghuni bersenang-senang, tertawa-tawa, bersenda-gurau, memenuhi jalan dan jalan besar.

Mahisawadana memasuki rumah berjalan ke dinding, membuat tulah bagi orang serumah. Weksirsa memasuki tempat petiduran orang, berjalan bolak-balik, membuka rintangan/pintu, meminta korban darah mentah dan daging mentah: “Itu kesukaan saya, jangan lama-lama”, katanya. Tidak ada orang yang mati itu melawan tulah dan tingkah laku para Bhuta itu.

II. Calon Arang terbinasakan oleh Tuan/Empu Bharadah

1. Berjalanlah seorang pendeta ke tengah-tengah tempat pembakaran mayat, bertemulah dia dengan Weksirsa dan Mahisawadana, murid-murid Calon Arang. Setelah melihat Sang Pendeta itu, datang menciumlah murid-murid itu, dan menyembahnya, yaitu Weksirsa dan Mahisawadana.

Berkatalah Sri Bharadah: “Hai orang-orang yang menyembahku, siapakah nama kalian; aku tidak tahu, beritahu aku.”

Berkatalah Weksirsa dan Mahisawadana: “Tuan, kami Weksirsa dan Mahisawadana menyembah telapak kaki tuan. Murid-murid Sang Janda Girah. Kami meminta anugerah kepada Sang pendeta, lepaskanlah kami dari siksaan.”

Berkatalah sang guru pendeta itu: “Tidak bisa kalian lepas dari siksaan dahulu jika Calon Arang belum dilepaskan dari siksaan dahulu. Berangkatlah kalian ke Calon Arang, berkatalah kalian, bahwa aku ingin berbicara.”

Berpamitan menyembahlah Weksirsa dan berlutut, juga Mahisawadana. Nampak dari kejauhan Calon Arang sedang di kahyangan di tempat pembakaran mayat, baru saja pulang Paduka Bhatari Bhagawati dari percakapannya bersama dengan Janda Girah. Baru saja selesai Bhatari berkata: “Hai, Calon Arang, jangan lengah, akan surup/redup/terbenam (kalah) engkau.” Demikianlah kata Bhatari.

Setelah itu datang Weksirsa dan Mahisawadana berbicara dahulu kepada Calon Arang; katanya jika Sang Pendeta Bharadah datang. Kata Calon Arang: “Hai, katanya Yang Mulia Bharadah datang; aku akan menemui/menjemput dia.” Pergilah Calon Arang, datanglah menerima Sang Mahasakti, menjemput Sang Pendeta, kata Calon Arang: “Tuanku, bahagialah Sang Pendeta yang kumuliakan, Sang Pendeta Bharadah, aku meminta anugerah kata-kata yang baik (rahayu).”

Kata Sang Pendeta: “Lihatlah, aku memberi pengarahan pada tuntunan yang baik; janganlah engkau membuat sakit, yang mulia. Aku diceritai cerita sedih tentang engkau melakukan hal yang jelek membuat manusia banyak yang mati, membuat bumi langka/sepi, membuat dukanya bumi dan membunuh semua rakyat. Betapa banyak engkau membawa mala-petaka (membuat dosa) bagi bumi. Banyaklah orang-orang yang terkena tulah. Keterlaluan engkau membawa mala-petaka, membunuh orang-orang senegara. Tidak dapat engkau terlepas dari siksaan jika engkau sangat bermusuhan. Oleh karena itu, jika belum tahu jalan keluar untuk membebaskan diri, masakan engkau dapat lepas dari siksaan.”

Berkatalah Calon Arang: “Permusuhan sangat besar dosaku pada rakyat; oleh karena itu lepaskanlah aku dari siksaan, hai Sang Pendeta, kasihanilah aku.” Berkatalah Sang Pendeta: “Tidak dapat aku melepaskan engkau.”

2. Berkatalah Calon Arang, marah, menjadi besar dukanya Janda Girah itu: “Lihatlah, aku akan membuat gangguan besar kepadamu, jika engkau tidak tahu melepaskan aku. Engkau enggan melepaskan aku dari siksaan, lihatlah, aku sama sekali menghilangkan dosa. Aku akan meneluh engkau, hai Resi Bharadah.” Kemudian menarilah Calon Arang berbalik mengurai rambutnya, matanya melirik, tangannya menunjuk Sang Pendeta: “Matilah engkau nanti olehku, Pendeta Bharadah. Jika engkau tetap tidak tahu, hai Yang Mulia, pohon beringin besar ini, aku teluh, lihatlah, Empu Bharadah.” Seketika itu juga hancurlah sangat pohon beringin karena mata Calon Arang. Berkatalah Sang Pendeta: “Lihatlah, hai Wanita Yang Mulia, datangkanlah teluhmu lagi yang besar, masakan aku akan heran.” Kemudian semakin besarlah olehnya meneluh, keluarlah api dari mata, hidung, telinga, mulut, menyala-nyala membakar Sang Pendeta. Sang Pendeta tidak terbakar, damailah olehnya memperhatikan hidupnya rakyat. Berkatalah Sang Maha Sakti: “Tidak mati oleh teluhmu, hai Wanita Yang Mulia; aku tidak pergi dari hidup (mati). Semoga engkau mati oleh karena sikapmu itu.” Datanglah kematian Calon Arang. Menjawablah Sang Pendeta Bharadah: “Aduh, aku belum memberi pengarahan tentang kelepasan kepada Wanita Yang Mulia. Lihatlah sungguh hai Wanita Yang Mulia, engkau hidup lagi.” Datanglah kehidupan Calon Arang: marah memaki-maki Calon Arang, katanya: “Aku sudah mati, mengapa tuan menghidupkan aku lagi?” Menjawablah Sang Pendeta “Hai, Yang Mulia, aku membuat hidup lagi kamu, (karena) aku belum memberi pengarahan kepada engkau tentang kelepasanmu dan menunjukkan surgamu, serta menghilangkan rintanganmu.” Berkatalah Calon Arang: “Aduh, berbahagia jika demikian kata Sang Pendeta, lepaskanlah aku dari siksaan; aku menyembah pada telapak-kakimu, Sang Pendeta, jika engkau melepaskan aku dari siksaan.” Meminta dirilah Calon Arang kepada Sang Pendeta, diperkenankan dia mati yang sempurna (kelepasan) dan ditunjukkan surganya. Setelah Sang Pendeta Bharadah memberi pengarahan, Calon Arang menyembah kepada Sang Pendeta. Kata Sang Pendeta: “Lihatlah, lepaslah engkau, hai Wanita Yang Mulia.” Kematian Calon Arang menjadi lepas dari penderitaan, dibakar, roh Janda Girah oleh Sang Kekasih. Maka Weksirsa dan Mahisawadana bersama-sama turut selamat, berjalan menjadi Wiku oleh Sang Pendeta, oleh karena tidak dapat ikut kelepasan bersama dengan Janda Girah. Bersama-sama dijadikan Wiku oleh Sang Pendeta. Demikianlah cerita tentang Calon Arang.


Teks Kawi:

  • Baris isi

CALWAN-ARANG

I. Calwan-arang adamêl pagêring ing nagara Daha

1. Katakêna pwa sang nâtheng Daha. Inak denira amraboni mahâñakrawati; landuh ikang rat ring pamawanira. Mahârâja Erlanggyâbhisekanira, atyanta buddhi hayu dahat.

   Hana pwa ya rangda lingên, umunggwing kanang Girah, Calwan-arang pwa ngarannya.  Manak taya strî sasiki mangaran ratna Manggalî, listuhayu rupanira.  Masowe pwa tan hana wwang lumamare riya.  Mwah wwang ing Girah, makanguni ing Daha, tan katakêna deseng paminggir, pada tan hana wani lumamara irikanânak sang rangda, mangaran ratna Manggalî ing Girah.  Apan karêngö dening rat, yan hadyan ing Girah lakwagêlêh.  Madoh wwang lumamareng sang Manggalî.
   Samangkana umojar ta sang rangda: “Uduh, mapeki ta ya anak inghulun dumeh yan tan hana wwang lumamare riya, hayu pwa rupanya, paran denya tan hana tumakwani riya.  Sêngit juga hati mami denya.  Nghulun mangke manggangsala pustaka-pinangkanghulun; yan mami huwus gumangsal ikang pustaka, nghulun umarêka ing padanira paduka çri Bhagawatî; nghulun amintânugraha ri tumpuraning wwang sanagara.”
   Ri huwusira gumangsal ikang çâstra, umara ta sireng çmasana, anêda ta sirânugrahawidhi ring paduka bhatarî Bhagawatî, iniring dening çisyanira kabeh.  Kunang araning çisya: si Wökçirsa, si Mahisawadana, si Lêndê, si Guyang, si Larung, si Gandi.  Ika ta kang umiring sang rangdeng Girah, samyangigêl pwa yeng çmasana.  Mijil ta paduka bhatarî Durggâ kalawan wadwanira kabeh, sami milu umigêl.

2. Mangastuti ta mangaran Calwanarang ri paduka bhatarî Bhagawatî, umojar pwa bhatarî: “Uduh, kita Calwanarang, apa sadhyanta marêkenghulun, matangyan kita dinuluring para çisyanta kabeh parêng manêmbah inghulun?”

   Umatur pwa sang rangda mangañjali: “Pukulun, atmajanira mahyun anêda tumpuraning wwang sanagara, mangkana gatininghulun.”
   Mangling pwa bhatari: “Lah maweh ingong, anghing haywa pati têkeng têngah, haywa patyagêng wuyungtânaku.”
   Mintuhu pwa sang rangda, mamit mangañjali ta sireng bhatarî Bhagawatî.  Sang Calwanarang iniring dening çisyanira kabeh umigêl ta ngkaneng wawala sêdêng têngah wêngi.  Muni tang kamanak kangsi, parêng pwa ya sama umigêl.  Ri huwusnya mangigêl, mulih ta yeng Girah pada wijah-wijah pwa ta têkeng weçmanya.
   Tan suwe agêring tika wwang sadesa-desa, makweh pêjahnya.  Animpal-tinimpal.  Tan lingên iking Calwanarang.
   Wacananên çri nâtheng Daha, tinangkil sireng wanguntur, çrî mahârâja Erlanggha.
   Umatur ta ken apatih, yen wadwanira makweh pêjah, gêringnya panas-tis.  Magêring sadina rong dina, paratra.  Ikang katinghalan mangañjali, rangdeng Girah, mangaran Calwanarang, umigêl ngkaneng wawala têkaning çisyanira kabeh.  Akweh wwang tumon iriya.  Samangkana aturira ken apatih, samyak wwang ring panangkilan; samyaninggihakên yan tuhu mangkana kadyature ken apatih.
  Mojar ta sang prabhu: “E, kawulanigong brêtya, cidra pateni Calwanarang denta; haywa kita dawak, pakanti kita para brêtya.”

3. Kapwâmwit ta kawula-brêtya mangastuti jêng sang prabhu: “Atêda patik haji cumidraheng rangdeng Girah.” Lumampah ta kawula-brêtya. Tan katakêneng hawan; çîghra prapteng Girah, cumunduk tang brêtya ing weçmanikeng Calwanarang sêdêng sirêping wwang nidra; tan hana swabhawaning wwang matanghi. Tandwa sang brêtya humulêng keça sang rangda, lumiga kadganya umahyun tumuwêkeng sang rangda; abwat pwa tangan sang brêtya, kagyat matanghi Calwanarang, mijil bahni sakeng mata, irung, tutuk mwang kupingnika, murub muntab gumêsêngi sang brêtya. Paratra ikang brêtya kalih siki. Wanehe tikang madoh magêlis palaywanikang brêtya. Tan lingên lakunyeng hawan, çîghra prapta pwa yeng kadatwan, umatur pwa sang brêtya çesanikang paratra: „Pukulun, tanpaguna. Paratra kalih siki brêtya paduka çrî parameçwara dening drêstinira rangdeng Girah. Mijil bahni sakeng garbha, muntab gumêsêngi brêtya paduka bhatara.“

  Mojar pwa sang prabhu: „Kepwan si ngong yan mangkanâturta.“  Lês umantuk sang prabhu sakeng panangkilan.  Tan kawacanaha sang naranâtha. Lingên sang rangdeng Girah.  Magêng awuwuh pwa wuyungnira dera kapareng brêtya, tur ta wadwa sang prabhu.  Mojar ta sang Calwanarang masyangeng çisyanya majak mareng çmasana; lagi pwa ya ginangsal ikang çâstra.  Ri huwusnya gumangsal ikang lêpihan, iniring pwa ya dening çisyanira kabeh, têka pwa ye tambinging sêma unggwan ri hêbning kêpuh winilêting karamyan, rwanya marênrêp rumêmbe têkeng kaçyapî i sornika maradin.  I rika ta rangdeng Girah malinggih pinarêk dening çisyanira kabeh.  Umajar pwa sira si Lêndê umatur: „E, sang rangda, punapa pukulun rehe kadi mangke ri dukani sang amawa-rat?  Yan pwa inakaning lampah lêhêng umungsiya ulah rahayu, sumambaheng sang maharsi tumuduhakêna swargga.“
  Dadi umojar pwa si Larung: „Apa kasangsayaninghulun ri duka sang prabhu?  Balik ta binangêt ikang ulah den têkêng têngah.“
  Samyaninggihakên ta sira kabeh sojarira Larung, tumurut ni Calwanarang, nêhêr mojar ta sira: „Ya dahat denteku, Larung.  Lah unyakên kamanak kangsinta, lah ngwang pada umigêla sasiki sowang, ndak tinghalanya ulahta siki-siki.  Mêne lamun têkeng karyya, lah parêng kita umigêla.“

4. Saksana umigêl pwa si Guyang, pangigêlnya dumêpa-dêpa, angêpyak, angêdêpêk ahosyan karwa siňjang; matanya lumirik, panolihnya ngiwanêngên.

  Umigêl ta si Larung; tandangnya kadi sang mong umahyun dumêmaka, caksunyâsêmu mirah, mawuda-wuda ya.  Mure rambutnya mangarêp.
  Umigêl ta si Gandi; lumumpat-lumpat pwa denyângigêl; umure keçanya mangiringan.  Abang nayananyâsêmu mangganitri.
  Mangigêl si Lêndê; pangigêlnya ngijig-ijig karwa kengya.  Aksinya dumilah kadi bahni meh murub.  Umure romanya.
  Mangigêl si Wökçirsa; mangunduk-unduk pwa ya denya umigêl, lêwih tolih; netranya dumêling tan akêdep.  Mure umiringan keçanya, mawuda-wuda ya.
  Si Mahisawadana umigêl masuku-tunggal; ya ta manungsang meled-meled lidahnya; tanganya kadyahyun manggrêmusa.
  Suka ta mangahira sang Calwanarang ri huwusnya sami umigêl.  Adum sira bobohan yatanya têkeng nagara.  Amaňcadesa denirâdum: si Lêndê kidul, si Larung lor, si Guyang wetan, si Gandi kulwan.  Calwanarang i têngah kalawan si Wökçirsa mwang si Mahisawadana.
  Huwusnikâdum amaňcadesa, umareng têngahing çmasana sang Calwanarang, amanggih pwa ya çawaning kadadak ing tumpak kaliwon.  Ya tikâdêgakêna, ingikêt pwa yeng kêpuh, ya tika huripakêna, binaywanbaywanya; si Wökçirsa mangêlekakên drêsti mwang si Mahisawadana.  Maluy ahurip tikang wangke, dadi mojar tikang çawa: „Syapa pwangkulun humuripakêninghulun?  Antyanta gunge hutanginghulun; tan wruh panahuraninghulun.  Mami angawulaheng sira.  Cinuculan pukulun sakeng witning kêpuh, nghulun mangabhyaktya mangarcana.“
  Mojar ta si Wökçirsa: „Demu sangguh ko maweta mahurip? Mangko ko ndak prang ing badama gulumu.“  Saksana pinrang gulunikeng badama, mêsat tênggêknikang byasu hinuripakênya.  Mumbul ta rahnya; ya teka karamasakêna kang rudira de sang Calwanarang; magimbal pwa keçanira dening rudira.  Ususnira makasawit mwang kinalungakênya.  Lawayanya ingolah kinabasang kabeh, makacaruweng bhuta kabeh sahananing çmasana, makanguni paduka bhatarî Bhagawatî adinikanang cinarwan.

5. Umijil ta sira bhatarî sangkeng kahyanganira, nêhêr mojar ta sireng Calwanarang: „Uduh, anakmami Calwanarang, apa kalinganta mangaturi caru inghulun, bhakti mangarcana? Atarima nghulun ri pangastutinta.“

  Umatur ta rangdeng Girah: „Pwangkulun, sang amawa rat dukeng tanayanta; mami anêda sih bhatarî, suka paduka bhatarî ri tumpuranikang wwang sanagara, depun têkeng têngah pisan.“
  Angling pwa bhatarî: „Lah, suka ingong, Calwanarang, anghing pwa kita haywa pepeka.“
  Mamwit pwa rangdeng Girah mangastuti bhatarî.  Çîghra lêpas lampahira mangigêl ta sireng catuspatha.
  Magêring bangêt ikang sanagara; magêring sawêngi kalih wengi, panas-tîs laranya, paratra ikang wwang.  Çawa haneng setra tumpuk, lyan haneng têgal, lyan haneng lêbuh, waneh lungkrah haneng weçmanya.  Çrêgala ambahung mamangan kunapa.  Gagak humung asêluran mamangan kunapa, pada pwa ya manucuk çawa.  Lalêr mêngêng ing grêha mangrêng; pomahan suwung.  Waneh wwangnya lungha mareng doh, mamet desa kang tan kamaranan umungsi.  Ikang wahwagêring tinanggungnya, waneh hanângêmban anaknya mwang tinuntunika mapundut-pundut pwa ya.
  Mulat tang bhutânguwuh: „Haywa kita lungha, desanta huwus makrêta, maryyagêring kamaranan, wangsul ta kita marangke, mahurip ta kita.“  Ri huwusnya mangkana makweh paratreng hawan ikang wwang miyang apundut-pundut.  Ikang bhuta haneng pomahan suwung pada wijah-wijah mapiñcul-piñcul masiwo-siwo ya, lyan i lêbuh mwang i marggâgung.
  Si Mahisawadana umañjinging weçma mahawan ing kikis, magêring tang wwang sagrêha.  Si Wökçirsa mañjing ing paturwaning wwang, mahawan ing wire-wire, angungkab-ungkabi pangêrêt, maminta caru gêtih mantah daging mantah: „Iku kaptininghulun; haywa ta masowe“, lingnya.  Tan katakêna ikang pêjah lyan magêring mwang tingkahing bhuta.

II. Calwan-arang karuwat dening mpu Bharadah

1. Lumampah ta sang jatiwara ring madyaning çmasana, kapanggih pwa ya si Wökçirsa kalawan Mahisawadana, çisyanikang Calwanarang. Satinghalnya sang jatiwara datang umarêk ta yeng sang mahâçanta, kalih mangastuti jêngnira, si Wökçirsa mwang Mahisawadana.

  Mojar ta sang çrî Bharadah: „E, wong-wong paran kita sumambahenghulun, kalawan sapeki namanta; katanwruhan nghulun, jateni mami.“
  Umatur pwa ya si Wökçirsa kalawan si Mahisawadana: „Pukulun, ature si Wökçirsa mwah si Mahisawadana sumambaheng talampakanira.  Kaçisya pinakanghulun de sang rangdeng Girah.  Nghulun anêda sihira sang mahâmuni, lukataninghulun.“
  Mangling pwa sang yogîçwara: „Tan kawaça pwa kita lukata dihin yan tan Calwanarang lukata dihin.  Pamangkat kiteng Calwanarang, majara kita, nghulun mahyun mawacana.“
  Amwit angañjali si Wökçirsa tur anikêl, mwang Mahisawadana.  Sang Calwanarang sêdêng mangayapeng kahyangan ing çmasana, wahu mantuk paduka bhatarî Bhagawatî sakeng sapocapan kalawan rangdeng Girah.  Mawêkas bhatarînguni: „Eh, Calwanarang, haywa pepeka, meh surupanta.“  Mangkana ling bhatarî.
  Saksana datang si Wökçirsa mwang Mahisawadana umatur dumuhun i sang Calwanarang; aturnyeka yan sang yogîçwara Bharadah datang.  Mangling pwa Calwanarang: „E, kalinganya warang Bharadah pwa ya datang; nghulun mangke sumapahe riya.“  Lumampah ta sang Calwanarang, rawuh pwa yeng ayunira sang mahâ wawal, sumapeng sang jiwâtma, sang rangdeng Girah, lingnira: „Pwangkulun, bahadya sang jatiwara waranginghulun, sang yogîçwara Bharadah, manêda nghulun pituturaneng rahayu.“
  Mangling ta sang munîndra: „Lah, nghulun mawaraheng nitiyogya; haywa ta kita pinahagêng wuyungta, warang.  Nghulun katakêna dihin denta mati-mati janma lakwahêlêk, maweh kalêngkaning bhumi, magawe dukaning rat mwang amamati sarat.  Pira-pira denta anadahi mala patakaning rat.  Makweh ika wwang magêring.  Kadalwan dentâmawa mala pâtaka, amatyani wwang sanagara.  Tan kawaça kita lukata yan tan mahawan pati kalinganya.  Iwa mangkana, yan durung wruh pasukwêtuning lumukat, masa kita lukata.“
  Mojar ta Calwanarang: „Kalinganyâgêng dahat pâtakamami ing sarat; yan mangkana lukatên nghulun, sang jatiwara; sihanta mawarangenghulun.“
  Mawacana ta sang munîndra: „Tan bisa nghulun lumukateng kita kadi mangke.“

2. Mojar teki Calwanarang, krodha, magêng dukanira rangdeng Girah: „Ndya doninghulun mawarangeng kita, yan kita tan wruh manglukatenghulun. Lêmêh pwa kita nglukatenghulun, lah pisan-pisan nghulun angêmasana papapâtaka. Ndah têluh kita rêsi Bharadah.“ Nêhêr umigêl Calwanarang sumungsang umure keça, matanya lumirik, karanya tumuding i sang munîndra: „Pêjah si kita mangke deninghulun, yogîçwara Bharadah. Sugyan tan wruha kita, warang, iki groda magêng, nghulun têluhe, dêlêngên denta, mpu Bharadah.“ Saksana rêmêk tikang wrêksa groda deni sangêt drêstinikeng Calwanarang.

  Mangling pwa sang mahâmuni: „Lah, ni warang, têkakên manih panêluhta den asangêt, masa nghulun gawoka.“
  Nêhêr binangêt denira tumêluh, mijil tang bahni sakeng aksi, ghrana, karnna, tutuk, murub muntab ryanggâ sang jatiwara.  Tan wighani pwa sang mahâ wawal: „Tan pêjah nghulun denta têluh, ni warang; kakukud huripta dening hulun.  Mogha kita mati yeng pangadêganmwika.“  Yateka paratra sang Calwanarang.  Dadi rumasa sang mahâmuni Bharadah: „Uduh, durung mami mawaraheng kalêpasan mareng ni warang.  Lah wastu ni warang kita huripa manih.“  Ya teka mahurip Calwanarang: runtik manguman-uman iking Calwanarang, lingnira: „Nghulun huwus paratra, apa pwa pukulun denta huripakên manih?“
  Masama pwa sang munîndra „Eh, warang, doninghulun humuripakêneng kita muwah, durung hulun mawarang kiteng kalêpasanta mwang tumuduheng swargganta, kalawan makahilanganing wighnanta.“
  Mojar Calwanarang: „Uduh, kamahyangan si yan mangkana wuwus sang yogîçwara, lumukatenghulun; nghulun sumambaheng lêbutalampakanira sang jatiwara, yan kita lumukatenghulun.“  Umuhun ta Calwanarang i jêng sang munîndra, inuhutakên kalêpasanira mwang tinuduhakên swargganya.  Ri wusira winarahan de sang çrî yogîçwara Bharadah, amwit sira Calwanarang mangastuti jêng sang prawara.  Ling sang mahâmuni: „Lah, mêntas kita lukat, ni warang.“  Paratra Calwanarang siddha lukat, tununên, çawa sang rangdeng Girah de sang jiwâtma.
  Kunang si Wökçirsa mwang Mahisawadana samyasurud hayu, amalaku winikonana de sang mahâmuni, i rehanika tan kawaça tumûta lukat sarêng kalawan rangdeng Girah.  Sami winikwan ta kalih de sang munîçwara.  Tan warnnanên sang Calwanarang.

Komentar

Teks ini kurang lengkap. Jadi tidak usah dipindahkan ke Wikisource. Meursault2004 10:26, 14 Maret 2006 (UTC)

Seyogyanya bagian ini dipersingkat dan dirapikan. Meursault2004 11:15, 14 Maret 2006 (UTC)
Waduh, itu yang nulis cerita diatas siapa, ya? Panjang amat! Kalo mau nerusin ceritanya, jangan di halaman pembicaraan dong bro. Sekalian aja di artikelnya. --Maung Bandung (bicara) 06:06, 8 Juli 2010 (UTC)
Kembali ke halaman "Calon Arang".