Malamang adalah tradisi nenek moyang masyarakat Sumatera Barat yang dilakukan oleh kaum ibu-ibu. Tradisi ini perlu diturunkan kepada generasi muda. Malamang dipastikan tidak ada hubungan dengan adat Minangkabau.[1] Ini murni berkaitan dengan ajaran Syech Burhanuddin.[2]

Etimologi

Malamang, sebutan yang biasa masyarakat gunakan, berarti memasak lemang yang terbuat dari penggabungan antara beras ketan putih dan santan yang dimasukkan ke dalam bambu yang dijadikan sebagai simbol saat diselenggarakannya peringatan Maulid Nabi.Cara memasaknya adalah dengan mendirikan batang bambu lemang di atas tungku khusus pembakaran.

Tradisi

Tradisi malamang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam,dan berlangsung secara turun temurun sampai sekarang.Menurut Tambo (kisah yang meriwayatkan tentang asal usul dan kejadian masa lalu yang terjadi di Minangkabau) tradisi ini berlangsung dari peran Syekh Burhanuddin (Pembawa ajaran Islam Minang Kabau). Saat itu Syekh Burhanuddin melakukan perjalanan ke daerah pesisir Minangkabau untuk menyampaikan agama Islam serta bersilaturrahmi ke rumah penduduk.Dari kunjungannya,masyarakat sering memberikan makanan yang masih diragukan kehalalannya.Dia pun menyarankan kepada masyarakat yang dikunjungi agar mencari bambu,kemudian mengalasnya dengan daun pisang muda.Setelah itu dimasukan Beras ketan putih dan santan,kemudian dipanggang di atas tungku kayu bakar.Syekh Burhanuddin pun menyarankan kepada setiap masyarakat agar menyajikan makanan lamang ini menjadi simbol makanan yang dihidangkan dalam silaturahim.

Kegunaan

Tradisi ini bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok atau kerabat. Tujuannya untuk sarana berkumpul dan mempererat tali silaturahmi menunggu datangnya Bulan Ramadhan.Biasanya lemang dibuat dalam jumlah yang banyak dan disajikan untuk kudapan dalam acara Maulid Nabi di surau-surau.

Referensi

Pranala luar