Rumah Ulu

rumah tradisional di Indonesia

Rumah ulu adalah salah satu dari tiga tipologi arsitektur rumah tradisional di wilayah Sumatera Selatan, dua di antaranya adalah Rumah Limas dan Rumah Gudang. Rumah Ulu berasal dari dataran tinggi Besemah di barat dan tersebar ke timur dataran rendah pemukiman yang terletak di sepanjang sungai Ogan. Rumah Ulu berbentuk rumah panggung yang ditandai dengan dinding seperti kotak dan atap curam.

Bentuk

Rumah Ulu pada umumnya mempunyai bentuk dasar denah berupa segi empat yang terdiri dari beruge atau garang di bagian depan sedangkan bagian tengah terdiri dari sengkar bawah dan sengkar atas. Selain itu pada Rumah Ulu terdapat hal yang menarik berupa semacam plafond tetapi hanya untuk sebagian ruangan yang diberi nama pagu hantu. Pagu hantu berfungsi untuk tempat menyimpan barang maupun bahan makanan.[1]

Percungkupan atau atap

Bangunan inti berupa badan rumah berbentuk kotak bujur sangkar yang diletakkan di atas konstruksi pilar dan balok. Bentuk atap pelananya adalah curam 45 derajat dan persegi panjang.[2] Atap pelana curam merupakan fitur penting dari Rumah Ulu didukung oleh balok rangka dinding bangunan inti yang kokoh. Bahan penutup atap adalah genteng dan kontruksinya menggunakan kayu. Bentuk atap juga diperkaya dengan berbagai ornamen atau ragam hias. Namun yang khas adalah ornamen dikedua sisi bagian atap terdapat bidang tebeng layar dengan pengakhiran tepi oleh listplank pertemuan silang di bagian atasnya.

Bangunan inti

Bentuk atap elemen badan bangunan ada dinding, pintu dan jendela umunya sama dengan arsitektur rumah ulu di Sumatera Selatan. Bahan dinding adalah papan kayu, dengan jendela-jendela yang ukurannya relatif kecil, begitu pula dengan pintu-pintunya. Elemen pintu dan jendela diperkaya dengan berbagai ragam hias.[2] Bagian dalam bagian inti terdiri dari satu ruang utama yang terbagi dua oleh adanya perbedaan permukaan lantai yang lebih tinggi (luan) menempati sekitar sepertiga dari total luas ruang dalam rumah inti berfungsi sebagai tempat tidur atau sebagai tempat para senior duduk pada saat ada upacara. Permukaan lantai yang lebih rendah (tumpuan) di bagian bawah dipakai sebagai dapur dan tempat makan. Ruang luas yang terbentuk di bawah atap memungkinkan sirkulasi udara dan memberikan iklim yang nyaman di ruang dalam bangunan, dan difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang.Ruang yang terbentuk di bawah rumahintidigunakan untuk penyimpanan barang dan ikut menjaga kestabilan bangunan.[1]

Kaki dasar bangunan

Arsitektur tradisional di Sumatera Selatan adalah bangunan yang ditopang oleh tiang yaitu bangunan panggung. Tiang tiang tersebut umumnya adalah kayu gelondong yang utuh. Begitu pula dengan arsitektur rumah ulu Minanga adalah rumah panggung dengan tiang-tiang dari pohon kayu yang utuh yang diolah menjadi bentuk geometri persegi 16, berbeda dengan Semendo dan Pasemah yang berbentuk utuh bulat Namun pada saat ini ting-tiang yang aslinya bentuk geometri persegi 16 sesekarang sudah banyak diganti dengan balok kayu pada umumnya. Jumlah tiang dan jarak antar tiang tidak didapat diketahui secara pasti apakah asalnya dengan jumlah dan jarak yang sama, seperti tiang arsitektur tradisional rumah ulu Semendo yang jumlahnya 9. Tiang-tiang tersebut juga diperkaya dengan berbagai ragam hias dari hubungan tiang dengan balok-balok lantainya.

Teras/Garang dan tangga

Elemen garang dan tangga adalah elemen yang cukup penting dalam menandai arsitektur tradisional di Sumatera Selatan, demikian pula dengan arsitektur tradisional rumah ulu Minanga. Pada arsitektur tradisional rumah ulu terdapat dua jenis garang yaitu garang depan dan garang belakang. Garang-garang tersebut merupakan area transisi dari tanah untuk masuk ke dalam rumah melalui tangga, terutama garang depan. Namun demikian garang-garang tersebut juga berfungsi sebagai area mengeringkan barang-barang rumah tangga. Kedua garang, depan dan belakang bersifat terbuka tanpa atap. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai area pengering. Sebaliknya ruang tangga dilindungi oleh atap. Anak-anak tangga dimanfaatkan sebagai tempat duduk, berangin sambil berinteraksi dengan tetangga ataupun anggota keluarga, termasuk pula kegiatan petanan (mencari kutu). Letak garang dan tangga di sisi daratan, tetapi berorientasi ke arah sungai.

Perbedaan golongan

Rumah ulu antara golongan bangsawan dan rakyat biasa mempunyai perbedaan mendasar pada bentuk dan susunan lantainya.[3] Rumah untuk rakyat kebanyakan memiliki lantai pada satu ketinggian atau tidak berundak.[3] Sebaliknya, lantai rumah untuk keturunan pangeran atau bangsawan memiliki ketinggian berbeda atau dibuat berundak yang terdiri dari tiga tingkatan/pangkat.[3] Pangkat I, paling atas dipergunakan oleh keluarga atau keturunan pangeran saat acara perkawinan atau selamatan.[3] Pangkat II ditempati oleh masyarakat yang mempunyai marga, sedangkan pangkat II untuk rakyat biasa.[3] Keadaan ini memiliki kemiripan dengan rumah limas yang mempunyai lantai berundak atau kekijing.[3] Walaupun demikian, terdapat juga rumah limas yang hanya mempunyai satu ketinggian lantai dan dikenal sebagai rumah Limas Gudang.[3] Rumah ulu pada dasarnya dihiasi juga dengan ornamen dan ukiran yang terletak pada tiang, balok, pintu dan listplank.[3] Ornamen tersebut menunjukkan dengan jelas pengaruh agama Islam di masyarakat.[3] Ragam hias non geometris pada rumah ulu pada umumnya berupa motif tumbuh-tumbuhan atau flora.[3] Motif hewan jarang dijumpai.[3] Motif yang paling banyak ditemui adalah motif sukuran yang menyiratkan tentang kehidupan yang berkesinambungan.[3] Motif dari bunga tertentu dan matahari pada rumah ulu, juga memberikan arti yang dalam serta terkait dengan kehidupan manusia.[3]

Referensi

  1. ^ a b http://eprints.unsri.ac.id/7996/1/IPLBI2016-I-145-150-Tipologi-Arsitektur-Rumah-Ulu-di-Sumatera-Selatan.pdf
  2. ^ a b http://eprints.unsri.ac.id/5917/1/LANGGAM_ARSITEKTUR_RUMAH_TRADISIONAL_MINANGA.pdf
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m Sukanti, dkk., 1994. Rumah Ulu Sumatera Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Propinsi Sumatera Selatan ,“Balaputra Dewa”, Palembang.