Suku Donggo
Suku Donggo atau disebut juga dengan Dou Donggo adalah suku bangsa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Suku ini merupakan kelompok penduduk asli, masyarakat Donggo yang bermukim di pegunungan dan dataran tinggi di sebelah barat dan tenggara teluk Bima yang dikenal dengan Dou (Orang) Donggo Ipa dan Donggo Ele. Orang (Dou) Donggo Ipa bermukim di sebelah barat teluk Bima yaitu di gugusan pegunungan Soromandi. Sedangkan Dou Donggo Ele bermukim di sekitar pegunungan La Mbitu. Dengan demikian, Dou Donggo Ele diartikan sebagai orang dataran tinggi sebelah timur. Sedangkan Dou Donggo Ipa berarti juga orang dataran tinggi sebelah barat teluk Bima.[1]
Bahasa
Terdapat sedikit perbedaan bahasa yang digunakan pada masyarakat Donggo Ipa dan Donggo Ele. Bahasa dan budaya yang berkembang dalam masyarakat Donggo Barat (Donggo Ipa) hampir sama dengan bahasa dan budaya yang berkembang pada masyarakat Bima pada umumnya. Sedangkan, masyarakat Donggo Timur atau Donggo Ele (Dou Donggo Ele) adalah kelompok masyarakat Bima (Mbojo) yang berdomisili di daerah sekitar puncak Gunung La Mbitu. Berbeda dengan masyarakat Donggo Ipa, masyarakat Donggo Ele memiliki bahasa dan budaya tersendiri. Oleh masyarakat Bima pada umumnya, bahasa orang Donggo Ele lebih sering dirujuk sebagai Nggahi Sambori (Bahasa Sambori) walaupun sebenarnya bahasa tersebut digunakan juga di Kuta, Kawuwu, Kalodu, Tarlawi, Nggelu, dan Baku. Salah satu faktor pendorong pelabelan ini adalah jumlah orang asal Sambori yang menempuh pendidikan di Kota Bima dan daerah sekitarnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan daerah Donggo Ele lainnya. Kesamaan bahasa Sambori dengan bahasa Bima dalam hal kosa kata kurang dari 10 % dan layak disebut sebagai bahasa tersendiri.[2]
Karakteristik
Masyarakat Donggo Barat atau Donggo Ipa merupakan masyarakat Bima (Mbojo) yang mendiami wilayah pegunungan Soromandi. Masyarakat ini sering diidentikkan dengan kekerasan, kesaktian dan keteguhan pada pendirian sebagai akibat dari sejarah hidup mereka yang tegas melawan penjajah Belanda (misalnya, dalam Perang Mbawa tahun 1910 dan Perang Kala tahun 1909).[2]
Pakaian adat
Laki-laki tua dan dewasa pada masyarakat dewasa Donggo Ipa mengenakan sambolo (ikat kepala) yang terbuat dari kain kapas bercorak kotak-kotak tanpa disngket dengan baju berkerah warna hitam atau biru tua, tetapi terdapat juga orang yang memakai baju putih berlengan pendek. Salongo (ikat pinggang) terbuat dari kain kapas yang ditenun sendiri. Umumnya Salongo terbuat dari benang kapas yang dipintal sendiri kemudian dicelupkan pada ramuan tumbuhan perdu dari kain pohon tarum. Pisau kecil atau pisau mone digunakan sebagai perlengkapan yang berfungsi untuk meraut daun lontar.
Perempuan tua dan dewasa menggunakan kababu (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dengan warna hitam yang dibuat menyerupai baju poro (baju pendek) dengan bentuk yang sederhana. Lalu bawahan menggunakan deko (celana panjang) dibwah lutut atau lebih yang berwarna hitam. Sarung menggunakan tambe me'e kala (kain hitam atau biru tua yang cukup panjang tanpa dijahit). Sarung dipakai dengan dililitkan secara lepas di luar deko dan ujungnya diselempangkan atau diikat satu kali. Perhiasan yang biasanya dipakai adalah kalung dari manik-manik giwang, seperti karabu, jima (gelang) gilo, jima bula, dan jima edi.
Laki-laki remaja mengenakan baju mbolo wo'o (baju leher bundar) yang umumnya seperti kaos. Baju tersebut erbuat dari benag kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Salongo yang digunakan berwarna merah atau kuning yang mempunyai fungsi sebagai tempat untuk merapatkan pisau mone (pisau laki-laki). Kemudian aksesoris yang digunakan adalah pisau mone berhulu panjang berbentuk agak menjorok.
Perempuan remaja memakai pakaian yang disebut dengan kani dou sampela. Mereka memakai kababu (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dan dibentuk menjadi baju berlengan pendek. Lalu, celana yang dikenakan adalah dekodengan bentuk segitiga yang panjangnya sampai dengan lutut. Sarungnya adalah tembbe Donggo berwarna hitam dengan kotak-kotak putih dipakai dengan mengikatkan dibagian perut. Perhiasan yang dipakai adalah kalung dari manik-maik merah yang dililitkan dan dibiarkan berkali-kali terjuntai dari leher ke dada.
Untuk pakaian bepergian, laki-laki menggunakan sambolo (ikat kepala) sari katun berwarna hitam atau biru tua. Tembe me'e Donggo berwarna hitam dengan garis-garis kecil dan salampe dari kain yang digunakan sebagai ikat pinggang. Alas kaki yang dipakai adalah sapoda, yang merupakan hasil buatan sendiri dari kulit binatang. Perempuan dewasa menggunakan perhiasan kalung manik-manik berwarna merah untuk bepergian dan memakai alas kaki. Untuk pakaian sehari-hari, laki-laki Donggo menggunakan sambolo seperti masyarakat Bima pada umumunya, kababu berwarnahitam atau biru tua, tembe me'e Donggo yang berwarna senada dengan kababu, lalu menggunakan salongo, dan tanpa alas kaki.[3]
Tradisi
Londo Duo
Londo Duo merupakan simbolik keturunandari beberapa klan keluarga di Donggo yang mengungkapkan asal garis keturunan mereka. Londo Duo berguna untuk mengumpulkan anggota keluarga yang masih satu keturunan pada klan keluarga yang bersangkutan. Setiap klan Londo Dou mempunyai seorang pemimpin yang disebut dengan Parafu. Untuk memilih pemimpin (Parafu), orang aka diperintahkan untuk duduk pada daun pisang (soro kalo). Apabila daun pusang tersebut menempel pada seseorang ketika ia berdiri hingga berjalan, maka dia akan dipilij menjadi Parafu di keluarganya.
Menurut Johanes Elbert, seorang antropolog dari Jerman, terdapat lima Londo Dou, yaitu : Londo Dou Deke, Londo Dou Duna, Londo Dou Gande, Londo Dou Oi, dan Londo Dou Winte. Lima Londo Dou tersebut masing-masing mempunyai kelas sosial dan fungsi dalam tatanan masyarakat. Mereka biasanya mewariskan keahlian turun temurun pada keluarganya.
Londo Dou Deke adalah keluarga orang Nggeko (tempat asal usul Dou Donggo bermukim) yang paling tua dan paling dihormati dari keluarga Parafu. Londo Dou Dona yang berasal dari Waro merupakan kelompok Londo Dou yang dahulunya hidup terpisah-pisah, namun sekarang sudah membaur dan melakukan perkawinan dengan klan lain. Londo Dou Gande, keluarga besarnya terpusat di Desa Kananta. Londo Dou Oi, bermukim di wilayah Tuntu. Londo Dou Winte, mayoritas mendiami Desa Sai.
Anak atau keturunan dari hasil perkawinan antara Londo Dou yang berbeda akan mengikuti garis keturunan ayahnya, misal lelaki merupakan Londo Dou Winte dan perempuan adalah Londo Dou Deke, maka anakya akan menjadi Londo Dou Winte. Setiap klan Londo Dou mempunyai pantangan yang tidak boleh dilakukan, seperti Londo Dou Deke yang tidak boleh memakan daging. Akan tetapi, pantangan tersebut tidak lagi berlaku saat ini. Dahulu, setiap Ncuhi (kepala suku) harus dipilih dari Londo Dou Duna dan pejabat pemerintah harus dari Londo Dou Deke.
Nama klan Londo Dou diambil dar peristiwa penting yang dialami oleh orang terdahulu. Londo Dou Duna memiliki asal nama dari seorang anak yang digigit Duna (belut) ketika sedang bermain. Kemudian orang-orang menyebut keturunan anak yang digidit Duna tersebut dengan Londo Dou Duna.[4]
Arugelu
Arugele adalah suatu tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat saat menanam atau memanen hasil pertanian.Tarian Arugele diperagakan oleh kaum perempuan dewasa maupun para remaja. Jumlah penarinya beragam, ada enam orang kadang juga delapan, bahkan bisa lebih. Mereka berbaris membentuk syaf. Sambil menyanyikan syair Arugele, para gadis ini memegang tongkat kayu yang telah diruncingkan ujungnya dan menancapkannya ke tanah, sehingga membentuk lubang untuk dimasukkan biji padi, jagung kedelai, dll. Sementara kalangan lelaki mengikuti alunan langkah para gadis, dan menutup lubangnya.[5]
Kalero
Kalero merupakan jenis upacara untuk menghormati para arwah leluhur mereka yang telah meninggal, dan para keturunannya dijauhkan dari marabencana. [5] Tarian ini dipercaya tercipta sejak abad ke-7 saat tanag bima masih dikepalai para Ncuhi dan masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Arti dari setiap gerakan Kalero adalah kesedihan, harapan, dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Pakaian yang digunakan serba hitam dengan alunan musik tradisional Bima yang ritmenya mnggambarkan kesedihan kerabat yang sangat mendalam.[6]
Belaleha.
Belaleha merupakan lantunan syair yang biasanya digunakan pada saat acara sunatan atau pesta pernikahan. Belaleha hanya boleh diiringi dengan irama mulut tanpa alunan musik apapun serta hanya boleh dilantunkan oleh kaum wanita. Para pelantun Belaleha tidak dibatasi jumlahnya, semakin banyak semakin baik. Syair Belaleha variatif, baik dari syair lama maupun baru yang mencerminkan kegembiraan atau kesedihan, dan berisi petuah kehidupan dari leluhur.[7]
Referensi
- ^ Inayati, Nurul (2016). "ISLAMISASI DI DONGGO" (PDF). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
- ^ a b Yusra, Kamaludin; Lestari, Yuni B.; Ahmadi, Nur (2016). "KEDUDUKAN DIALEKTOLOGIS BAHASA SAMBORI DALAM MASYARAKAT BIMA KONTEMPORER" (PDF). Jurnal Linguistik Indonesia. 34 (2): 147–161.
- ^ "Hitam Yang Menawan - BIMASUMBAWA.COM | Budaya dan Pariwisata". www.bimasumbawa.com. Diakses tanggal 2019-04-10.
- ^ mbojoklopedia. "Genealogi Dou Donggo". Mbojoklopedia. Diakses tanggal 2019-04-10.
- ^ a b "Etnis.id - Keindahan Bima: Sambori dan Negeri di Atas Awan". Etnis (dalam bahasa Inggris). 2018-12-31. Diakses tanggal 2019-04-10.
- ^ mbojoklopedia. "Tarian Spiritual Kalero Donggo". Mbojoklopedia. Diakses tanggal 2019-04-10.
- ^ mbojoklopedia. "Lantunan Syair Bingkai Kehidupan Di Lembah Sambori". Mbojoklopedia. Diakses tanggal 2019-04-10.