Osing
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Osing atau Using, berdasarkan ejaan Bahasa Using, berarti "tidak". Kata "tidak" awalnya untuk menyebut sekolpok orang asli Banyuwangi yang TIDAK mau diajak kerja sama dengan Belanda. Sebagai bentuk kekuatan integritas orang Banyuwangi terhadap prisip kedaerahnya, orang Banyuweangi selalu mengatakan "tidak" apabila diajak orang lain atau orang saing untuk melakukan sesuatu.
Menurut sejarahwan dari Belanda Pegeot (Dalam Bukunya Runtuhnya Kerajaan Islam Mataram). Orang Blambangan, cikal bakal Banyuwangi, sangat kuat istrigatsnya kepada wilayah dan pimpinannya. Sehingga, meski Mataram berhasil menguasai Blambangan dan Kerajaan Mengwi mundur, namun tidak serta merta orang Blambangan ini tunduk terhadap Mataram sebagai penguasa baru di Tlatah Blambangan. Sebaliknya, mereka justru lari atau mengungsi dalam kelompk-kelompok kecil ke daerah pedalaman. Ini terbukti, dialeh Bahasa Using sangat banyak. Lain kampung, maka lain diaelknya, meski hanya dibatasi sungai atau jalan. Maka orang Banyuwangi asli (Using) akan mudah dikenali mereka berasal dari daerah mana, dengan mengenali cara mereka berbicara dan menggunakan Bahasa using, baik intoinasi maupun kosakatanya. Mislanya antara orang Mangir dengn Melik atau gambor, atau juga dengan orang Penataban.
Sementara ketika Mengwi kembali menguasai Blambangan, maka orang asli Banyuwangi ini lebih condong ke Bali yang mengaku masih dalam satu keturunan. Maka pada keseimpulannya, Pigeud akhirnya mengatakan, "Suarua ketika pengaruh Mataram kuat, baik secara budaya maupun dalam kehidupan sehari. Namun suatu saat juga melemah, ketika Mengwi berhasil mengusai lagi sebagian wilayah Balmbangan". Tidak heran, dalam kesenian Banyuwangi banyak singkritisme Bali dan Jawa.
Konon kesenian "Janger" yang berkembang di Banyuwangi hingga saat ini, itu hasl rekayasa Mataram untuk menarik orang-orang Using. Mereka meski dsudah dikuasi, namun masih sulit menerima perintah dan pengaruh budaya Mataram. Sehingga penguasa Mataram perlu pengadaptasi kesenian "Langendria" yang sudah ada di Mataram. Dalam perkembangannya, kesenian ini seperti Ketroprak. Namun Janger di Banyuwangi pada waktu itu hanya menampilkan lakon Damarwulan dengan Setting daerah Majapahi dan Blambangan. Tujuan idologisnya, agar orang osing tidak menghargai pemimpinannya atau rajanya, yaitu Menakjinggo yang digambarkan buruk muka dan tidak punya tatakrama.
Namun untuk menarik minat orang using mendatangi pertunjukan "Janger Langendrian" ini, sengaja musik pengiring bukan gemelan jawa dan kostum pelakunya seperti layaknya raja-raja Jawa. Melainkan menggunakan gemaelan Bali dan Kostumnya juga. Sehingga kesenian yang selalu dibuka dengan rati Legong ini. seakan membius orang Using, bahwa mereka sedang menikmati keseian dari saudara tuanya, yaitu Bali. Namun setelah memasuki cerita, baru penguasa Mataram memasuki unsur-unsur Jawa-Mataram dan bahasa dialog dan "ontowacononya". cara ini sangat efekti, karena orang Using akhirnya tidak mempudilikan siapa pempimpinnya, bahkan kerajingan menggunakan bahasa Jawa untuk dialog sehari-hari. Ada semacam gengsi tgersendiri di kalangan orang Using, apabila bila berbicara menggunakan bahasa Jawa.
Setelah massa penjajahan Belanda, sikap orang Using terhadap penjajah tidak jauh berbeda ketika ditujukan kepada Mataram. Bahkan mereka tidak mau mengikuti perintah keras belanda untuk kerja paksa. Akibat sulitnya Belnada menundukan orang-orang Using ini, akhirnya muncul julukan orang Banyuwangi asli sebagai orang "Using", karena "sing" atau "tidak" mau diajak kompromi dalam berbagai hal untuk mendukung penjajah. Bahkan dalam perang habis-habisan, atau "PUPUTAN BATU" ribuan orang Using dibantai Belanda hingga kepalanya di Pajang di sepanjang Lincing Rogojampi, untuk menimbulkan efek jera bagi yang lain agar mau bekerja sama dengan belanda.
Namun secara sosioliguitik, bahasa Using bukan dari Bahasa Jawa, melainkan dari Bahasa Jawa Kuno. Terbukti dalam bahasa Jawa Kuno dan using itu tidak ada strata bahasa, atau unggah-ungah seperti haklnya Bahasa Jawa. Jadi antara Bahasa Using dan Bahasa Jawa sama satu induk, buka sebagai subordinat. Namun akibat letak geografi Banyuwangi (Sebelum ada jalan penghubung dengan Jember dan Situbondo) bahasa Using cederung statis dibanding bahasa Jawa yang diawali dari bahasa Kraton yang ada ungah-ungguhnya. Bahkan budayan Banyuwangi Hasan Ali berani menyatakan, bahasa kosa-kata Bahasa Using banyak digunakan dalam kosa kata Bahasa Bali. Karena sebelum menyusun Kamus Bali-Belanda, Lackercker puluhan tahun tinggal di Banyuwangi. Disenyalir, saaut itu sudah menyusun kata-kata yang ditemukan diBanyuwangi dan digunakan dalam Bahasa Bali. Sehingga kata "sing" Bali dan Banyuwangi sama artinya, yaitu "tidak.