Kepausan Avignon dalam sejarah Gereja Katolik Roma adalah periode dari 1305 hingga 1378 ketika Uskup Roma, yaitu Paus, tinggal di Avignon (kini bagian dari Prancis) dan bukan di Roma. Tujuh paus, semuanya orang Prancis, tinggal di Avignon pada masa ini:

Pada tahun 1376, Paus Gregorius XI memindahkan takhta kepausan kembali ke Roma dan meninggal di sana pada tahun 1378. Karena adanya pertikaian mengenai pemilihan penggantinya, sekelompok kardinal mendirikan apa yang disebut [[anti-paus] di Avignon:

  • Klemens VII: 1378-1394
  • Benediktus XIII: 1394-1423 (yang diusir dari Avignon pada tahun 1403)

Ini adalah suatu masa sulit dari tahun 1378 hingga 1417 yang disebut oleh para cendekiawan Katolik sebagai "Skisma Barat" atau kontroversi besar mengenai para anti-paus (yang juga disebut sebagai Skisma Besar Kedua oleh sejumlah ahli sejarah sekular dan Protestan), dimana golongan-golongan di lingkungan Gereja Katolik terbagi-bagi kesetiaannya terhadap sejumlah orang yang mennyebut diri mereka berhak atas takhta paus. Konsili Konstanz pada 1417 akhirnya menyelesaikan kontroversi ini dengan mencabut sisa-sisa terakhir dari kepausan Avignon.

Negara Kepausan (yang kini terbatas hanya pada kota Vatikan) meliputi daerah di sekitar Avignon (Comtat Venaissin) dan sebuah kantong di sebelah timur. Daerah-daerah itu tetap menjadi bagian Negara Kepausan hingga saat Revolusi Perancis, dan menjadi bagian dari Perancis pada tahun 1791.

Latar belakang

Pada akhir Abad Pertengahan tahta kepausan memainkan sebuah peran lain yang besar selain peranannya di bidang rohani. Konflik antara Sri Paus dan Kaisar Romawi Suci pada dasarnya berakar pada suatu pertikaian tentang siapa di antara mereka berdua yang menjadi pemimpin Dunia Kristen dalam masalah-masalah sekular. Pada awal abad ke-14, tahta kepausan tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar dalam aturan-aturan sekular; suatu kekuasaan yang dimilikinya pada abad ke-12 dan -13. Kesuksesan Perang-perang Salib awal menambahkan kewibawaan Sri Paus sebagai pemimpin sekular Dunia Kristen, dengan monarki-monarki seperti Raja Inggris, Perancis dan bahkan Kaisar sekalipun hanya bertindak sebagai panglima Sri Paus, dan memimpin tentara-tentara "mereka". Perkecualian dari hal ini adalah Frederick II, yang dua kali dikucilkan oleh Sri Paus dalam satu perang salib. Frederick II mengabaikan pengucilan ini dan bahkan berperang cukup sukses di Tanah Suci.

Mulai dengan Paus Klemens V, yang diangkat pada tahun 1305, semua paus pada masa tahta kepausan berada di Avignon adalah orang Perancis. Fakta ini cenderung melebih-lebihkan pengaruh Perancis daripada apa yang terjadi sesungguhnya. Perancis bagian selatan pada waktu itu memiliki budaya yang cukup berbeda dengan Perancis bagian utara, daerah asal kebanyakan penasihat Raja Perancis waktu itu. Arles saat itu masih merdeka, sebuah kota yang resminya merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masa "troubadour" di daerah Languedoc bersifat unik dan sangat berbeda dengan budaya kalangan bangsawan di utara. Bahkan dalam segi agama, daerah selatan menghasilkan alirannya sendiri, yaitu gerakan Kathar, yang pada akhirnya dinyatakan sesat, karena bertabrakan dengan doktrin-doktrin Gereja. Gerakan ini sedikit banyak berasal dari kehendak daerah selatan yang ingin merdeka, walaupun kekuatan mereka telah sangat diperlemah akibat serangan kaum Albigensia seratus tahun sebelumnya. Pada saat tahta kepausan di Avignon, kekuasaan Raja Perancis di wilayah tersebut tidak terbantahkan, walau secara hukum masih belum mengikat.

Sumber yang lebih kuat mengenai mengapa semua paus di Avignon adalah orang Perancis adalah pindahnya Kuria Romawi dari Roma ke Avignon pada tahun 1305. Akibat Konklaf sebelumnya yang menemui jalan buntu dan untuk menghindari perseteruan antara keluarga-keluarga Italia yang berpengaruh yang melahirkan paus-paus sebelumnya, seperti Keluarga Colonna dan Keluarga Orsini, pihak Gereja mencari sebuah tempat yang lebih aman dan menemukannya di Avignon, sebuah area pekebunan milik Sri Paus di daerah Comtat Venaissin. Secara resmi tempat ini adalah bagian dari Arles, tapi kenyataannya tempat tersebut berada di bawah pengaruh yang kuat dari Raja Perancis.

Selama berada di Avignon, tahta kepausan mengadopsi banyak gaya resmi kerajaan: gaya hidup para kardinalnya yang lebih mirip dengan gaya hidup para pangeran daripada gaya hidup para rohaniwan; semakin hari semakin banyak kardinal orang Perancis (kerap kali adalah sanak keluarga dari Sri Paus yang sedang berkuasa) yang mengambil jabatan-jabatan penting; dan kedekatan mereka dengan para prajurit Perancis. Semua hal ini adalah suatu peringatan tetap akan dimana letak kekuasaan sekuler berada, selain adanya kenangan dengan apa yang terjadi pada Paus Bonifasius VIII masih segar teringat.

Salah satu hal yang paling merusak perkembangan Gereja tumbuh langsung dari reorganisasi dan sentralisasi yang berhasil dari administrasi Paus Klemens V dan Paus Yohanes XXII. Tahta kepausan saat itu secara langsung mengendalikan pemberian tanah untuk seumur hidup (benefice), mencampakkan tradisi proses-proses pemilihan yang ada, untuk mendapatkan pemasukan uang yang sangat besar daripadanya. Banyak bentuk-bentuk pemasukan uang lainnya memberikan kekayaan kepada Tahta Suci dan para kardinalnya, diantaranya: donasi persepuluhan untuk Gereja, pajak sepuluh persen untuk harta milik Gereja, pemberian seluruh keuntungan tahun pertama dari benefice (annatae), pendapatan tahun pertama setelah menduduki jabatan tertentu seperti uskup, pajak-pajak khusus bagi misi-misi perang atas nama Gereja yang batal terjadi, dan semua bentuk dispensasi, mulai dari masuknya permohonan benefice tanpa memenuhi kualifikasi dasar (seperti dapat membaca) hingga dispensasi bagi permintaan orang Yahudi yang telah menjadi Kristen untuk mengunjungi orang-tuanya yang masih belum menjadi Kristen.

Para paus seperti Paus Yohanes XXII, Paus Benediktus XII dan Paus Klemens VI diceritakan menggunakan kekayaan ini untuk membeli pakaian-pakaian mahal dan mengadakan pesta-pesta makan bersama dengan menggunakan piring perak dan emas. Secara umum kehidupan mereka yang seharusnya memimpin para umat Gereja tampak lebih seperti kehidupan para pangeran daripada seperti kehidupan para rohaniwan. Gaya hidup yang penuh kemewahan dan korupsi dari pemimpin Gereja ini menular ke para bawahannya: ketika seorang uskup harus membayarkan pendapatannya selama satu tahun untuk memperoleh benefice, ia mencari jalan yang mirip untuk memperoleh uang dari jabatannya. Usaha ini sampai-sampai berujung pada penjualan absolusi, atau pengampunan dosa dalam Sakramen Tobat, untuk semua jenis dosa kepada kaum papa.

Para pemberi Sakramen Tobat ini akhirnya dibenci namun tetap dibutuhkan untuk menebus jiwa seseorang. Para biarawan yang gagal untuk mentaati jalan Kristus, yaitu gagal untuk hidup sesuai dengan kaul kesucian dan kemiskinannya, dipandang rendah oleh masyarakat. Sentimen masyarakat ini memperkuat gerakan untuk menegakkan kembali kewajiban menjadi miskin total, pelepasan kepemilikan terhadap semua barang pribadi maupun barang gereja, dan penyebaran Injil seperti yang dilakukan oleh Yesus dan para rasul-Nya. Bagi gereja, sebuah institusi yang telah terikat dengan struktur sekuler waktu itu dan memiliki perhatian besar pada harta kekayaan, hal ini merupakan suatu perkembangan yang berbahaya, sehingga di awal abad ke-14 semua gerakan ini dinyatakan sesat. Gerakan-gerakan yang dimaksud antara lain gerakan Fraticelli di Italia, gerakan Waldensia di Jerman dan gerakan Hussite di Bohemia (yang terinspirasi oleh gerakan Wycliff di Inggris). Terlebih lagi, penampilan harta kekayaan oleh para pemimpin gereja, yang sungguh sangat berlawanan dengan harapan umum bahwa mereka harusnya miskiin harta dan sangat terikat pada prinsip-prinsip rohaniawan, digunakan oleh musuh-musuh Tahta Kepausan dalam membangun kekuatan melawan Sri Paus: Raja Perancis Philippe menggunakan strategi ini, demikian juga Ludwig IV dari Bavaria. Dalam perseteruannya dengan Ludwig, Paus Yohanes XXII mengucilkan (ekskomunikasi) dua orang tokoh filsuf, Marsilius dari Padua dan William Ockham, yang merupakan kritikus tahta kepausan yang sangat lantang dan yang dilindungi oleh Ludwig dari Bavaria di Munich. Sebagai balasannya, William Ockham menuduh Sri Paus dengan tujuh puluh kesalahan dan tujuh ajaran sesat.

Tindakan-tindakan melawan Ksatria Templar dalam Konsili Wina merupakan contoh dari bagian masa ini, menunjukkan kekuatan-kekuatan ini dan hubungan antara mereka. Pada tahun 1314 Asosiasi para Kardinal di Wina diperintahkan untuk memutuskan kasus Ksatria Templar. Dewan ini, yang semuanya tidak yakin akan kesalahan organisasi (ordo/tarekat Templar) tersebut sebagai kesalahan satu organisasi penuh itu, sepertinya tidak akan mengutuk seluruh organisasi tersebut berdasarkan bukti-bukti yang tidak cukup. Menggunakan tekanan yang besar, agar memperoleh sebagian dari kekayaan ordo Templar, sang raja berhasil mendapatkan keputusan yang ia inginkan. Paus Klemens V memerintahkan dengan resmi penindasan terhadap organisasi tersebut. Di dalam Katedral St. Maurice di Wina, Raja Perancis dan putranya Raja Navarre, duduk di damping Sri Paus saat ia mengeluarkan surat keputusan itu. Di bawah ancaman ekskomunikasi, tidak ada orang yang boleh membuka suara dalam peristiwa itu, kecuali apabila ditanya oleh Sri Paus. Para Ksatria Templar yang datang di Wina untuk memberikan pembelaan terhadap organisasi mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan pembelaan tersebut. Awalnya Asosiasi Kardinal memutuskan bahwa para Ksatria Templar diperbolehkan untuk memberikan pembelaan. Namun setelah kedatangan Raja Perancis di Wina dan adanya tekanan kepada Asosiasi Kardinal tersebut, keputusan itu dibatalkan.

Tahta Kepausan di Abad ke-14

Konflik antara Para Paus dan Raja Perancis

Pada awal abad ke-14, masa dimana terjadi bencana-bencana besar seperti wabah penyakit yang disebut Kematian Hitam (Black Death) dan Perang Seratus Tahun antara dua kekuatan utama di Eropa, tahta kepausan terlihat berada di puncak kekuasaannya. Paus Bonifasius VIII (1294-1303, terlahir Benedict Caetani), seorang politisi yang berpengalaman yang terkadang digambarkan sebagai seseorang yang kasar dan sombong, adalah seorang pendukung kuat konsep kekuasaan menyeluruh tahta kepausan atas semua Dunia Kristen, seperti yang tercantum di dalam Dictatus Papae yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius VII.

Masalah konkrit yang menimbulkan konflik dengan Raja Perancis adalah masalah apakah pemerintahan sekuler diperkenankan untuk menarik pajak dari para rohaniwan. Dalam surat resminya Clericis Laicos tahun 1296, Paus Bonifasius VIII melarang pajak apapun terhadap harta milik gereja kecuali oleh tahta kepausan atau pembayaran pajak tersebut ke gereja. Namun hanya satu tahun kemudian ia memberikan hak kepada Raja Perancis untuk menarik pajak dari para rohaniwan apabila dalam situasi genting.

Sukses besar Tahun Yubileum 1399 (dilaporkan ada sekitar dua juta peziarah mengunjungi Roma tahun itu) memperkuat kewibawaan tahta kepausan, membawa pendapatan uang bagi Roma dan menyebabkan Sri Paus untuk merasa kekuatannya jauh lebih besar dari yang sesungguhnya ada. Setelah penangkapan Uskup Pamiers oleh Raja Perancis Philippe IV, Sri Paus mengeluarkan surat resmi Salvator Mundi yang menarik kembali semua hak istimewa yang diberikan kepada Raja Perancis oleh paus-paus sebelumnya, dan mengeluarkan surat resmi Ausculta Fili beberapa minggu kemudian dengan tuduhan-tuduhan kepada sang raja, memerintahkannya untuk menghadiri sebuah pengadilan di Roma.

Dalam sebuah pernyataan tegas mengenai kekuasaan Sri Paus, Bonifasius menyatakan bahwa "Tuhan telah meletakkan kita di atas para raja dan kerajaan". Sebagai balasan, Philippe menulis "Kebodohan yang mulia mungkin mengerti bahwa kami bukanlah budak siapapun dalam urusan duniawi", dan mengadakan sebuah pertemuan dengan États Généraux, yaitu kumpulan para penguasa di Perancis, yang mendukung posisinya. Raja Perancis mengeluarkan tuduhan-tuduhan sodomi, korupsi, ilmu hitam dan ajaran sesat terhadap Sri Paus dan memerintahkannya untuk datang di hadapan mereka. Jawaban Sri Paus adalah penegasan paling kuat mengenai kekuasaan Sri Paus hingga hari ini. Dalam Unam Sanctam, terbit tanggal 18 November 1302, Sri Paus menetapkan bahwa "sangat penting bagi penyelamatan jiwa bahwa setiap umat manusia tunduk kepada Uskup Roma".

Saat Sri Paus sedang mempersiapkan surat resmi yang akan mengucilkan Raja Perancis dan Perancis, dan akan memecat semua rohaniwan di Perancis, William Nogaret, kritikus paling tajam terhadap tahta kepausan di lingkaran penguasa Perancis, memimpin sebuah delegasi ke Roma dengan perintah Raja Perancis yang sengaja dibuat tidak mengikat untuk membawa Sri Paus, bila perlu dengan paksa, ke sebuah pengadilan untuk memutuskan semua tuduhan terhadapnya. Nogaret bekerja sama dengan para kardinal dari Keluarga Colonna, yang sejak lama merupakan musuh-musuh Paus Bonifasius VIII, yang pernah diancam akan diserbu oleh Sri Paus pada awal-awal masa kepemimpinannya. Pada tahun 1303 tentara-tentara Perancis dan Italia menyerang Sri Paus di Anagni, kota asalnya, dan berhasil menangkapnya. Ia dibebaskan oleh para penduduk Anagni tiga hari kemudian. Namun, akibat usianya yang sudah lanjut (86 tahun) dan kondisinya yang tercabik-cabik akibat serangan fisik terhadap dirinya, Paus Bonifasius VIII meninggal dunia beberapa minggu setelah kejadian ini.

Masa Kerja Sama dengan Raja Perancis

Wafatnya Paus Bonifasius VIII menyebabkan tahta kepausan kehilangan politisi yang paling handalnya yang mampu bertahan melawan kekuatan sekuler Raja Perancis. Setelah masa damai di bawah kepemimpinan Paus Benediktus XI (1303-1304), Paus Klemens V (1305-1314) terpilih menjadi Sri Paus. Ia dilahirkan di Perancis bagian selatan (Gascony), tapi tidak memiliki hubungan langsung dengan para bangsawan Perancis. Ia berhutang budi pada para rohaniwan Perancis atas terpilihnya dia menjadi Sri Paus. Ia tidak menyetujui pindah kembali ke Roma dan mendirikan istananya di Avignon.

Dalam situasi ketergantungan terhadap tetangga-tetangga yang berkuasa di Perancis, tiga prinsip utama menjadi strategi politis Paus Klemens V: penindasan terhadap gerakan-gerakan sesat (seperti aliran Kathar di Perancis bagian selatan); reorganisasi administrasi internal gereja; dan usaha-usaha pelestarian citra gereja sebagai alat tunggal Tuhan di bumi. Prinsip ketiganya itu langsung ditentang oleh Raja Philippe IV ketika ia mendorong sebuah pengadilan malawan mantan musuhnya, Paus Bonifasius VIII, atas tuduhan ajaran sesat. Memberikan pengaruh yang kuat pada Asosiasi para Kardinal, hal ini bisa menjadi sebuah pukulan yang telak pada kekuasaan gereja. Dan sebagian besar politik dari Paus Klemens V memang dirancang untuk menghindari pukulan politis seperti itu, yang pada akhirnya ia memang berhasil mengelakkannya. Namun, harga yang dibayar untuk hal ini sangat banyak. Salah satunya, meski secara pribadi sangat ragu, pada akhirnya Sri Paus mendorong diambilnya tindakan-tindakan terhadap Ksatria Templar, dan ia secara pribadi memutuskan untuk menindas organisasi tersebut.

Salah satu masalah penting di masa kepemimpinan Paus Yohanes XXII (terlahir Jacques Dueze di Cahors, dan sebelumnya adalah Kardinal Avignon), adalah konfliknya dengan Kaisar Louis IV dari Kekaisaran Romawi Suci. Sang kaisar menolak hak Sri Paus untuk mengangkat seorang kaisar dengan meletakkan mahkota di atas kepalanya. Ia menggunakan taktik yang mirip dengan apa yang dipakai oleh Raja Perancis Philippe sebelumnya dan memerintahkan para bangsawan Jerman untuk mendukung keputusannya. Marsilius dari Padua memberikan pembenaran terhadap supremasi sekuler di atas wilayah Kekaisaran Romawi Suci. Konflik dengan sang kaisar ini, yang seirngkali menyebabkan perang-perang yang mahal, membawa tahta kepausan semakin ke dalam tangan kekuasaan Raja Perancis.

Paus Benediktus XII (1334-1342), terlahir Jacques Fournier di Pamiers, sebelumnya aktif dalam gerakan inkuisisi melawan gerakan Kathar. Tidak seperti gambaran kejam dalam gerakan inkuisisi pada umumnya, ia diceritakan sangat hati-hati dalam berhubungan dengan orang-orang yang diperiksa, mengambil banyak waktu dalam proses pemeriksaan mereka. Keinginannya untuk membuat Perancis bagian selatan yang damai juga menjadi motivasinya untuk menengahi konflik antara Raja Perancis dan Raja Inggris sebelum pecahnya Perang Seratus Tahun.

Masa Tunduk pada Raja Perancis

Pranala luar

Rujukan

  1. Propylaen Weltgeschichte, Band 5 "Islam, Die Entstehung Europas",
  2. Chapter "Das Hochmittelalter", Francois Louis Ganshof, hlm. 395ff dalam [1].
  3. Chapter "Religioese und Geistige Bewegungen im Hochmittelalter" Arno Brost, hlm. 489 dyb. dalam [1].
  4. Chapter "Europa im 14. Jahrhundert", A.R. Myers, 563ff, dalam [1].
  5. George Holmes (ed) "The Oxford History of Medieval Europe", Oxford University Press, 1988.
  6. Chapter "The Civilization of Courts and Cities in the North, 1200-1500", Malcom Vale, dalam [5].
  7. Piers Paul Read, "The Templars", Phoenix Press..
  8. Chapter 17, "The Temple Destroyed", dalam [7].
  9. Jonathan Sumption, "Trial by Fire", Faber and Faber, 1999.
  10. Barbara Tuchman "A Distant Mirror", Papermac, 1978.
  11. Chapter 16 "The Papal Schism" dalam [10].
  12. "Weltgeschichte", Sechster Band, Mitteleuropa und Nordeuropa, Bibliographisches Institut, Leipzig und Wien, 1906
  13. Hans F. Helmolt VI. "Die westliche Entfaltung des Christentums" dalam [12].
  14. Ladurie, E. le Roi. "Montaillou, Catholics and Cathars in a French Village, 1294-1324", terj. B. Bray, 1978. Juga diterbitkan dengan judul "Montaillou: The Promised Land of Error".
  15. Yves Renouard "Avignon Papacy"

Lihat pula

Anggur Châteauneuf-du-Pape, yang berarti "istana baru paus", dinamai seturut tempat kediaman resmi Paus di Avignon.