Hadroh Betawi
Hadro Betawi merupakan tradisi lisan masyarakat Jakarta Selatan yang menggunakan rebana. Umumnya seniman Hadro Betawi hanya dapat menyebutkan dua generasi sebelumnya diperkirakan pada akhir abad 19. Hadro Betawi diperkirakan berawal dari Jakarta Selatan lalu menyebar ke wilayah Jakarta Pusat[1]. Perkiraan ini berdasarkan kepada jumlah dan mutu grup Hadro Betawi di Jakarta Selatan yang setingkat lebih menonjol dari pada wilayah lain. Irama pukulannya lebih dekat dengan musik rakyat Betawi di wilayah penggiringan seperti Rebana Biang. Tanjidor dan Topeng Betawi memperkuat kesan berasal dari Jakarta Selatan. Banyak kampung di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan yang terdapat Rebana Ketimpring dan juga Hadro Betawi seperti di Grogol Selatan, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, dsb. Fungsi ritual Hadro Betawi tidak sekuat Rebana Ketimpring, karena unsur hiburannya yang lebih menonjol. Tidak ada lagu atau bagian dalam pergelaran Hadro Betawi dianggap sakral dan dibawakan secara hikmat, misalnya Asyraqal dalam pergelaran Rebana Ketimpring. Seluruh lagunya banyak menampilkan keterampilan musik dan keindahan vokal. Apabila dalm pembacaan syair Syaraful Anam banyak dibacakan vokal solo berupa Rawi dan Doa, dalam pergelaran Hadro Betawi kedua hal tersebut tidak ada. Sebagai penggantinya dibacakan atau dimainkan lagu-lagu Rebana Dor atau Yalil. Rebana ini berfungsi sebagai hiburan. Rebana ini terdiri atas tiga instrumen yang posisi maupun fungsinya agak mirip, yakni: berfungsi sebagai komando, Ganjil/ Seling (penggiring), dan Gedug (pengiring). Bawa yang berfungsi sebagai komando irama pukulannya lebih rapat., Ganjil/Seling yang isi mengisi dengan bawa dan Gedug yang fungsinya mirip dengan Bass. Ciri khas dari tradisi Hadro Betawi adalah Adu Zikir yaitu lomba menghafal syair-syair Diwan Hadro maupun kitab maulid lainnya.