Paludikultur
Paludikultur berasal dari bahasa latin, yaitu palus (rawa) dan cultuur (budidaya).[1] Paludikultur diartikan sebagai pemanfaatan lahan rawa gambut dan gambut yang dibasahi kembali secara produktif, yang dilakukan dengan cara menyimpan karbon stok (gambut) dalam jangka waktu yang panjang, dengan mempertahankan tinggi muka air tanah sepanjang tahun (Wicthmann et al. 2016).[1]
Sejarah paludikultur di Indonesia
Menurut Najiyati et al.,2005 dan Osaki et al., 2016, budidaya di lahan rawa dan gambut tipis secara tradisional dalam skala kecil di Indonesia telah berlangsung sejak jaman dahulu, khususnya pada masyarakat tradisional di Kalimantan (pada umumnya suku Dayak). Akan tetapi, tidak ada laporan yang menyebutkan sejak tahun berapa pengelolaan lahan rawa dan gambut di Kalimantan mulai dilakukan oleh masyarakat setempat. Beberapa laporan menyebutan bahwa budidaya di lahan rawa dan rawa gambut tipis dilakukan dengan membangun saluran air, yang disebut dengan sistem handil di Kalimantan (Sandrawati, 2004; Noor, 2011), atau parit kongsi (di Sumatera dan Sulawesi). Handil merupakan parit atau anak sungai untuk sistem pengairan di wilayah daerah pasang surut pada ekosistem rawa.[2]
Pengembangan paludikultur
Tanaman semusim dengan kemampuan tumbuh dengan baik pada lahan gambut dapat dimanfaatkan dalam pengembangan paludikultur (Kementeria Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).[3] Contoh tanaman tersebut adalah nanas dan lidah buaya.Kegiatan ini dapat dilakukan dengan secara monoculture dan atau polikultur (multiple cropping). Pada sistem monokultur, lahan gambut hanya ditanami tanaman nenas. Sedangkan dengan sistem polikultur nenas ditanam campur dengan tanaman lain, penanamannya terusun dan terencana dengan menerapkan aspek lingkungan yang lebih baik. Tumpang sari (intercopping) nenas dengan tanaman karet merupakan sistem polikultur yang banyak di terapkan petani. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, disamping dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma.
Jenis tanaman
Pemilihan jenis-jenis paludikultur dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dari hasil yang dapat diperoleh, yaitu (1) penghasil pangan (termasuk karbohidrat, buah, bumbu, sayur, minyak nabati), (2) penghasil serat (sebagai alternatif substitusi bahan baku pulp dan kertas), (3) sumber bio-energi, (4) sumber obat-obatan, (5) penghasil getah, (6) hasil hutan ikutan lainnya (rotan, bahan penyamak kulit, bahan baku obat nyamuk, dll), dan (7) jenis bernilai konservasi. Manfaat jenis-jenis flora yang tercantum dalam Tabel 1 merupakan kompilasi dari berbagai sumber pustaka dan pengamatan di lapangan.
Manfaat
Paludikultur mempunyai beberapa manfaat antara lain, untuk memertahakan tinggi muka air tanah, mencegah kebakaran,
- ^ a b c Tata, Hesti L. (18 April 2018). "PALUDIKULTUR: PRAKTIK PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN" (PDF). Pojok Iklim. Diakses tanggal 30 Oktober 2019. line feed character di
|title=
pada posisi 14 (bantuan) - ^ Tata, Hesti L; Susmianto, Adi (2016). Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut di Indonesia. Bogor: Forda Press. hlm. 5. ISBN 978-602-6961-05-1.
- ^ Munandar; P., Muh. Bambang (Februari 2018). "PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT UNTUK AGROFORESTRI DAN PALUDIKULTUR" (PDF). CoE PLACE UNSRI Center of Excellence – Peatland Conservation and Prod. Diakses tanggal 30 Oktober 2019. line feed character di
|website=
pada posisi 16 (bantuan); line feed character di|title=
pada posisi 25 (bantuan)