Himayatuddin Muhammad Saidi
La Karambau[1] yang bergelar Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau Oputa Yi Koo[2] adalah seorang Sultan Buton ke-20 pada 1752–1755 dan ke-23 pada 1760–1763.[3] Ia giat bergerilya melawan menentang pemerintahan Hindia Belanda dalam Perang Buton. Sejak 1755, tidak lama setelah perang Buton, Sultan Himayatuddin menetap di Siontapina hingga meninggal pada 1776. Sultan Himayatuddin dimakamkan di puncak Gunung Siontapina.[2] Pada 11 November 2019, ia menjadi salah satu dari 6 orang yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.[3]
Himayatuddin Muhammad Saidi | |||||
---|---|---|---|---|---|
Sultan Buton ke-20 dan ke-23 | |||||
Berkuasa | 1752–1755 | ||||
Pendahulu | Sultan Langkarieri | ||||
Penerus | Sultan Hamim | ||||
Berkuasa | 1760–1763 | ||||
Pendahulu | Sultan La Seha | ||||
Penerus | Sultan La Jampi | ||||
Kelahiran | La Karambau Pulau Buton, Kesultanan Buton | ||||
Kematian | 1766 Siontapina, Kesultanan Buton | ||||
Pemakaman | Puncak Gunung Siontapina | ||||
| |||||
Ayah | Sultan La Umati (Sultan Buton ke-13) | ||||
Agama | Islam |
Sebenarnya Kesultanan Buton adalah sekutu Belanda. Dan Sultan Himayatuddin sendiri juga pada awalnya menjalankan kebijakan yang sama, yaitu bersekutu. Tetapi pada dalam perjalannya banyak permintan Belanda yang tidak mau ia patuhi. Akan tetapi karena Dewan Sara (parlemen) Buton yang adalah wakil rakyat Buton justeru berpihak pada Belanda dan menekan Sultan sehingga beliau meninggalkan tahtanya dan masuk hutan baik di Buton maupun di Pulau Muna, bersama pengikutnya. Di Muna ia lebih aman karena Kerjaaan Wuna (Muna) sangat menentang Belanda, baik Dewan Sara-nya maupun Rajanya. Karena peristiwa itu, Sultan Himayatuddin diberi gelar Oputa Yi Koo yang berarti Raja kita yang di hutan (Bahasa Wolio: Opu (raja)- ta (kita)- Yi (di)- Koo (hutan).
Persekutuan Buton-Belanda ini berlangsung lama karena baik Belanda maupun Buton saling memandang bahwa persekutuan itu menguntungkan. Belanda menganggap Buton besama Bone adalah kekuatan yang bisa menangkal Ternate dan Gowa, Buton menghadapi Ternate dan Bone melawan Gowa, Sebaliknya Buton dan Bone beranggapan bahwa persekutuan itu akan menakuti musuh yang sama, yaitu Ternate dan Gowa. Belanda sangat berkepentingan menguasai Ternate sebagai sumber rempah-rempah dan Pelabuhan Makassar yang sangat strategis, yang berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Gowa.
Dalam persekutuan segitiga Buton - Bone - Belanda ini dikenal ungkapan: "Buton di Timur, Bone di Barat." Kuatnya persekutuan in tergambar jelas di isi Perjanjian Bungaya, setelah Sultan Hasanuddin, Sultan Gowa, takluk menghadapi Belanda, tentu saja dengan bantuan Bone dan Buton. Dalam perang Belanda (plus Bone dan Buton) melawan Gowa, orang-orang Makassar (Gowa) yang jadi tawanan perang dikumpulkan di sebuah pulau kecil tepat di depan ibukota Kesultanan Buton (Kota Bau-Bau sekarang). Pulau itu hingga kini disebut Pulau Makassar.
Referensi
- ^ https://sultrakini.com/berita/oputa-yi-koo-sultan-buton-yang-memukul-mundur-penjajah-belanda
- ^ a b https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/11/08/kepahlawanan-enam-tokoh-peroleh-gelar-pahlawan-nasional/
- ^ a b https://news.detik.com/berita/d-4777436/siapa-himayatuddin-muhammad-saidi-penerima-gelar-pahlawan-nasional