Perang Pacirebonan

artikel daftar Wikimedia
Revisi sejak 9 Januari 2020 23.36 oleh Reynan (bicara | kontrib)

Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama Perang Pagrage adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan kesultanan Cirebon ke wilayah Kesultanan Banten. Dalam peristiwa ini, terdapat insiden kesalahan komunikasi antara prajurit kesultanan Cirebon dengan prajurit kesultanan Banten di muara sungai di Banten.

Latar belakang

Pada tahun 1588 ketika kesultanan Mataram muncul setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, Danang Sutawijaya kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah Kadipaten dari kerajaan Pajang kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian, kesultanan Banten pada masa itu belum mengakui eksistensi kesultanan Mataram, Sultan Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertahta saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (beliau naik tahta pada 1585[1] pada usia 9 tahun)[2]

Masa Sultan Maulana Muhammad dan penyerangan Mataram pertama

Kesultanan Banten pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukan dengan klaim tahta oleh Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf, ayah dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadiri seorang Adipati Jepara) ). Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada kesultanan Banten agar dirinya dijadikan penguasa kesultanan Banten sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang pemerintahan, namun usul tersebut ditolak oleh para pejabat kesultanan Banten yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar Banten, para pejabat dengan dukungan Qadi kesultanan Banten pada masa itu mengangkat Maulana Muhammad sebagai Sultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Banten cukup untuk memegang pemerintahan, maka Qadi dibantu dengan empat pejabat lainnya menjadi wakil Sultan Banten dalam memerintah kesultanan Banten[3] mereka adalah Patih (bahasa Indonesia: Perdana Menteri) Jayanegara[2], Senapati (bahasa Indonesia: Panglima) Pontang, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala.

Penolakan Qadi dan para pejabat kesultanan Banten membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang kesultanan Banten. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan Demang Laksamana (bahasa Indonesia: Laksamana) Jepara pergi menuju kesultanan Banten melalui jalur laut, dalam peperangan tersebut Demang Laksamana Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.[3]

Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta Raja di Cirebon, Husein Djajadiningrat dalam penelitiannya berkaitan dengan Banten menemukan bahwa ditahun yang sama yakni 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000 pasukannya untuk menyerang kesultanan Banten dari laut namun gagal[4]. Sultan Maulana Muhammad pada masa itu disibukan dengan kegiatan dakwah Islam dan baru pada tahun 1596 (tahun yang sama dengan penyerangan Mataram ke kesultanan Banten) atas masukan dari Pangeran Mas (putera Arya Penggiri, cucu Sunan Prawoto dari kesultanan Demak) yang berambisi menjadi penguasa Palembang maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun wafat dan meninggalkan putra mahkota kesultanan Banten yang baru berusia 5 bulan[2] yang kemudian dikenal dengan nama Abu al mufakhir mahmud abdul kadir.

Masa Sultan Abu al Mufakir

Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan Patih Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. Patih Jayanegara dikenal sebagai pejabat kesultanan Banten yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali kesultanan Banten, kesultanan berada dalam kondisi yang tentram[2]

Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck ditemani oleh wakil laksamana Wybrand van Warwyck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu yaitu Jacob van Heemskerk, van Heemskerk pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi perang Delapan puluh tahun antara Belanda dengan Spanyol, Belanda yang selama ini mengambil rempah dari Lisbon (Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, namun usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena statusnya pada masa itu berada dibawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika Itineratio sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal, Jacob van Heemskerk yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut. Dari laporan Jacob van Heemskerk Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan (Afrika), misi itu dipimpin oleh Cornelis de Houtman, namun Jacob van Heemskerk tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah beliau ikut serta kedalamnya, mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari seorang ahli astronomi dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flander (sekarang bagian dari Belgia) yang bernama Pieter Platevoet. Jacob van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang navigasi guna mendalaminya.[5]. Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh kesultanan Banten, tidak seperti pendahulunya yakni Cornelis de Houtman yang tercatat sempat berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal -kapal pembawa rempah dari Sumatra dan Kalimantan yang datang ke Banten[5], walaupun sebenarnya sikap Cornelis de Houtman dilatar belakangi kejadian buruk yang menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan Cornelis de Houtman bahkan rombongan inipun tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya rombongan Cornelis de Houtman pergi ke Sumatra untuk mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan dibayar[5], kejadian itu membuat Cornelis de Houtman kesal hingga melakukan penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.

Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan Abu al Mufakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.

Pada tahun 1602, Patih Jayanegara meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, namun dia dipecat pada 17 Nobermber 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawan keraton yang bernama Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan Abu al Mufakhir[4], setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan, dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini ditambah banyak keributan di wilayah kesultanan Banten yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.

Keberadaan Patih sudah tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah kesultanan Banten sehingga dikatakan bahwa kekuasaan Patih yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah Jung (bahasa Indonesia: Kapal) dari Johor oleh Pangeran Mandalika (anak dari Pangeran Maulana Yusuf), seruan Patih untuk melepaskan Jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan Patih, mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota, masalah ini kemudian dapat diseleseikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Mandalika oleh Pangeran Jayakarta yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara khitanan Sultan Abu al Mufakir Abdul Kadir pada saat itu Patih meminta bantuannya, akhirnya perjanjian damai dilakukan antara kesultanan Banten dengan kubu Pangeran Mandalika, dikatakan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah kesultanan Banten selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga[4]

Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama Pailir (bahasa Indonesia: bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ponggawa (pejabat), sebenarnya peristiwa Pailir disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah Pangeran Ranamanggala dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh Patih yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan kesultanan Banten setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa kesultanan Banten tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di kesultanan Banten terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608[6]. Kacaunya kondisi kesultanan Banten kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan Patih dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan Banten hingga lainnya dimana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh Patih sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh Patih diserahkan kepada Depati Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi kesultanan Banten.

Pada tanggal 23 Oktober 1608, Depati Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga Patih keluar tanpa membawa Sultan Abu al Mufakir, dikatakan bahwa, walaupun Patih yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada kesultanan Banten dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun beliau sebagai ayah sambung dari Sultan Abu al Mufakir menjalankan tugasnya dengan sangat baik, beliau mendidik Sultan Abu al Mufakir dengan penuh tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan Abu al Mufakir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan menyukainya. Setelah Patih dan Juru tulisnya keluar dari keraton, Depati Yudanegara kemudian membunuhya.

Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (Patih) sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 dimana kebakaran berhasil menghanguskan kediaman Patih namun pada peristiwa ini Patih berhasil selamat[6]

Pasca terbunuhnya Pangeran Camara Patih kesultanan Banten, keadaan Sultan Abu al Mufakir menjadi rentan, beliau yang masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena ditinggal ayah sambungnya, dilatar belakangi hal tersebut Pangeran Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten, namun Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa pembahasan kematian Pangeran Camara selaku Patih kesultanan Banten inilah yang kemudian membuat Depati Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir ini membuat Depati Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal dari terjadinya peristiwa Pailir.

Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada Ki Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.[6]

Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama Ki Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu merubah keadaan. Perang yang oleh Sultan Abu al Mufakir (masa itu Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617[7], para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun mereka tidak diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir, Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan Abu al Mufakir yang masa itu berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala Tanpa Guna Tataning Prang (1530 saka / 1608 m) jika dihitung dari penyebab atau latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8 Maret 1608 hingga 26 Maret 1609[4] sementara inti peperangan dalam peristiwa Pailir berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.

Selepas peristiwa Pailir Pangeran Ranamanggala menjabat sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah sambung sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala melakukan penertiban dan peninjauan ulang terhadap peraturan yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya berkenaan dengan para pedagang eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama yang berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan hal tersebut dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang eropa di wilayah kesultanan Banten tidak hanya berniat berdagang saja namun juga berniat mencampuri urusan internal kesultanan Banten[2]

Kosongnya kekuasaan Jayakarta dan masuknya Belanda

Setelah peristiwa Pailir yang menyebabkan migrasi besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta di tahun 1609, setahun kemudian di tahun 1610, untuk pertama kalinya Vereenigde Oostindische Compagnie mengangkat Gubernur Jenderal untuk pulau Jawa yaitu Pieter Both, Gubernur Jenderal Pieter Both bertugas untuk mencari sebuah tempat guna mendirikan kantor dagang Vereenigde Oostindische Compagnie sekaligus dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia[8]. Gubernur Jenderal Pieter Both kemudian memilih wilayah kesultanan Banten sebagai calon tempat pendirian kantor dagangnya dikarenakan selama ini (sejak misi dagang Jacob Corneliszoon van Neck) Belanda sering membeli dan menumpuk barang dagangannya di Banten, namun karena khawatir bahwa suatu saat akan ada gangguan dari penguasa setempat dan juga dikarenakan aturan-aturan baru yang diberlakukan oleh wali sultan yang baru yaitu Pangeran Ranamanggala maka Gubernur Jenderal Pieter Both di tahun yang sama memalingkan orientasinya dari wilayah inti kesultanan Banten ke wilayah Jayakarta[2]. Gubernur Jenderal Pieter Both melakukan perundingan dengan Pangeran Wijayakrama (penguasa wilayah otonom Jayakarta atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta) untuk membahas seputar perumusan naskah perjanjian pembayaran bea, proses-proses hukum serta pembelian sebidang tanah di sisi timur sungai Ciliwung guna mendirikan rumah dari batu dan kayu yang berfungsi sebagai tempat tinggal, kantor dan gudang, perjanjian yang dibagi menjadi dua bagian tersebut (satu bagian berkenaan dengan bea dan masalah hukum, satu lagi berkenaan dengan penjualan tanah) kemudian di tandatangani pada tahun 1611, uang sebesar 1200 real kemudian diberikan kepada Pangeran Jayakarta sebagai pembayaran atas pembelian tanah di sisi timur sungai Ciliwung seluas 50x50 vadem (depa).[8], akan tetapi rumusan kedua naskah awal surat perjanjian tersebut sengaja dibuat berbeda oleh Vereenigde Oostindische Compagnie dibawah Gubernur Jenderal Pieter Both, hal tersebut dilakukan sebagai alasan menyerang pihak kesultanan Banten karena tidak menepati perjanjian di kemudian hari. Adanya perbedaan antara rumusan naskah awal dengan surat perjanjian tersebut menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran Jayakarta dengan Gubernur Jenderal Pieter Both, dalam ketentuan perihal penjualan tanah misalnya, dalam ketentuan hukum kesultanan Banten tentang pertanahan (yang juga berlaku di wilayah Jayakarta) dinyatakan bahwa tanah adalah milik sultan Banten yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu, namun dengan perbedaan yang dibuat oleh Vereenigde Oostindische Compagnie maka pembelian tanah tersebut diartikan sebagai perpindahan kepemilikan dari sultan Banten kepada Vereenigde Oostindische Compagnie[8], walaupun terjadi ketegangan akibat rumusan naskah yang berbeda dengan naskah pada perundingan awal, namun tanah untuk Vereenigde Oostindische Compagnie akhirnya ditentukan.

Tanah untuk Vereenigde Oostindische Compagnie disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan Pecinan (kampung Cina) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nahkoda) disekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan Patih Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta), di tahun yang sama (1611), Gubernur Jenderal Pieter Both segera menunjuk Abraham Theunemans untuk mendirikan gudang yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m terbuat dari gedek (tembok kayu) dan batu. Gudang tersebut kemudian dapat diseleseikan pembangunannya oleh Abraham Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di sebelah timur terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang berada di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh Ki Aria, patih Pangeran Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama Nassau. Pada 7 November 1614 Gerard Reijnst seorang pedagang dan salah satu pemilik dari Nieuwe Compagnie (Brabantsche) serta anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan Pieter Both yang habis masa jabatannya pada 6 November 1614. Pada tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal sebelumnya yaitu Pieter Both yang tengah kembali ke Belanda bersama empat kapalnya setelah menyeleseikan jabatannya mendapatkan kecelakaan di laut sekitar Mauritius tepatnya di sekitar kota pantai Flic-en-Flax, dua dari empat kapal dalam rombongan Pieter Both tenggelam dan Pieter Both berada di dalamnya. Berkenaan dengan kepemimpinan Gerard Reinjst dikatakan bahwa Gubernur Jenderal Gerard Reijnst bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah cenderung lebih buruk[8]. Gubernur Jenderal Gerard Reijnst tidak bisa berbuat banyak pada masa jabatannya karena dia terserang disentri dan akhirnya meninggal 7 Desember 1615, setelah meninggalnya Gerard Reijnst Belanda menunjuk Laurens Reael sebagai penggantinya, dia menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda pada 16 Juni 1616, pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael tepatnya di tahun 1617 dibangunlah Mauritius sebuah rumah yang berada di sisi kali Ciliwung[8]. Gubernur Jenderal Laurens Reael sebenarnya adalah orang yang adil, dia menentang cara yang diambil oleh para petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie dalam memperlakukan orang-orang pribumi dan para pesaing dagangnya (dalam kasus kehadiran para pedagang Inggris di Maluku), bagi Gubernur Jenderal Laurens Reael dan juga Laksamana Laut Steven van der Haghen tujuan dan kesuksesan dari Vereenigde Oostindische Compagnie hanya bisa dicapai melalui jalur perdagangan dan diplomatik saja, tanpa melakukan serbuan dan penaklukan kepada pribumi, baginya penyerangan-penyerangan kepada negara lain hanya bisa dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, dikarenakan perbedaan prinsip ini Gubernur Jenderal Laurens Reael memutuskan mengundurkan diri pada 31 Oktober 1617, namun dia baru bisa meninggalkan posisinya setelah kedatangan Jan Pieterszoon Coen. Laurens Reael kemudian mengulangi kembali pemikirannya melalui laporan yang ia tulis untuk Dewan Perwakilan Rakyat Belanda dan para pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie agar dapat diterima dengan jelas pesan dan posisinya.

Pada tahun 1618, Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal selanjutnya karena dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan pandahulunya Laurens Reael, bangunan tidak permanen yang terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya lantas diperkuat dengan pembangunan catte yang berfungsi sebagai tempat meriam yang pada masa itu posisinya sengaja diarahkan ke wilayah Pangeran Jayakarta, selain memperkuat bangunan sebelumnya Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen juga membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas pergudangan dan perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar Jayakarta.

Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada rumah Mauritius sebenarnya sudah menyalahi kesepakatan awal antara Pieter Both dan Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta), dikarenakan walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli tanahnya namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak permanen tidak mengalami perubahan, khawatir bahwa permasalahan di Jayakarta ini terdengar hingga ke Banten maka Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta berusaha menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerjasama dengan Inggris yang kantor dagangnya berada tepat diseberang bangunan Belanda, mendengar adanya persekutuan antara pihak Inggris dengan Pangeran Jayakarta maka Belanda segera menyerang markas Inggris yang berada di seberangnya yang langsung di serang balik oleh Inggris, hasilnya Belanda menderita kekalahan dengan korban tewas berjumlah 15 orang dan korban luka-luka sebannyak 10 orang, melihat kondisi tersebut Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera melarikan diri ke Maluku sementara kekuasaan terhadap aset Belanda di Jayakarta diserahkan kepada Pieter van den Broecke. Pangeran Jayakarta kemudian berhasil menahan Pieter van den Broecke, ketika berita penahanan Pieter van den Broecke sampai ke Banten, wali sultan pada masa itu Pangeran Ranamanggala tidak menyetujui tindakan yang diambil oleh Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta[8]. Pangeran Ranamanggala selaku wali Sultan Banten segera menarik Pangeran Wijayakrama kembali ke Banten dan kekuasaan terhadap wilayah Kepangeranan Jayakarta diambil alih olehnya sementara waktu.[8][9]

Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke Banten oleh wali Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara Banten tepatnya di kampung Tanara, keputusan Pangeran Ranamanggala sebagai wali sultan Banten pada masa itu dianggap bias, di satu sisi setelah peristiwa Pailir beliau menerapkan peraturan ketat dan menaikan pajak terhadap para pedagang eropa, namun di sisi lain tindakan penegakan hukum yang dilakukan Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta dalam kasus rumah Mauritius dianggap salah oleh Pangeran Ranamanggala bahkan berimbas pada penarikannya ke Banten, kuat dugaan bahwa Pangeran Ranamanggala dan beberapa pihak di kesultanan Banten tidak begitu menyukai Pangeran Wijayakrama sejak beliau menjadi mediator konflik-konflik di Banten, sebagian pihak kesultanan Banten berpendapat bahwa Pangeran Wijayakrama terlalu berpihak kepada para golongan yang menyusahkan Banten, sebut saja dalam kasus terbunuhnya Sultan Maulana Muhammad di Palembang, tindakan Pangeran Mas yang dianggap membuat Sultan Maulana Muhammad terbunuh dalam penyerangan ke Palembang membuat banyak orang di Banten tidak menyukainya, beliau lantas pergi ke Jayakarta untuk meminta bantuan agar diperbolehkan menetap disana, walau kemudian dia dibunuh oleh anaknya sendiri[10], serta kasus-kasus lainnya dimana kehadiran Pangeran Wijayakrama sebagai mediator dianggap oleh sebagian pihak di kesultanan Banten tidak memihak kepada kesultanan sehingga menyebabkan perang dingin diantara Pangeran Wijayakrama dengan sebagian pihak kesultanan Banten berlangsung cukup lama[9]. Rentetan kejadian inilah yang oleh sebagian peneliti Banten dianggap sebagai hal yang melatarbelakangi alasan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke Banten secara komplek ketimbang hanya berfikir bahwa Pangeran Wijayakrama ditarik karena kasus rumah Mauritius.

Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya tentang pembantaian masal 1740, beliau menjelaskan bahwa sebelum jatuhnya kekuasaan Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta yang ditandai dengan penarikan dirinya ke Banten, pihak Vereenigde Oostindische Compagnie telah sekali lagi mengubah isi perjanjian yang disepakati antara Pangeran Wijayakrama dengan Pieter Both, perubahan dalam rumusan perjanjian oleh Vereenigde Oostindische Compagnie adalah bahwa pihak Vereenigde Oostindische Compagnie diberikan izin untuk membongkar rumah-rumah orang cina di Pecinan yang dianggap terlalu dekat dengan gudang Vereenigde Oostindische Compagnie, alasan penambahan klausul tersebut dikarenakan menurut Vereenigde Oostindische Compagnie tidak adanya kepastian mengenai bea cukai, menurut pihak Vereenigde Oostindische Compagnie, Wat Ting yang merupakan pemimpin Pecinan pada masa itu bertugas sebagai saksi sekaligus penterjemah antara pihak Vereenigde Oostindische Compagnie dan Pangeran Wijayakrama. Pada saat Pangeran Wijayakrama ditarik ke Banten dan kekuasaan kepangeranan Jayakarta dikendalikan langsung dari Banten, Pangeran Ranamanggala pada saat itu membunuh Wat Ting.[8]

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen kembali dari Maluku ke Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa bantuan armada dari markas Vereenigde Oostindische Compagnie di Maluku, longgarnya pemerintahan di Jayakarta dengan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke Banten segera dimanfaatkan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen juga bertekad untuk merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen akhirnya berhasil. Pangeran Wijayakrama yang kemudian dapat kembali ke Jayakarta menemukan bahwa kondisi Jayakarta sudah berubah, beliau lantas berjuang untuk mendapatkan kembali Jayakarta hingga akhirnya meninggal di wilayah yang sekarang disebut Jatinegara[9]

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera membangun tembok benteng kota yang disebutnya sebagai Niuew Hoorn (sebagai pengganti nama Jayakarta) setelah kemenangannya terhadap kubu Pangeran Wijayakrama, nama Niuew Hoorn dipilih karena Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berasal dari daerah Hoorn, namun dikemudian hari para petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie lebih memilih nama Batavia[8] yang berarti tanahnya orang-orang Batav (mengacu pada zaman Romawi), profesor Hembing Wijayakusuma berpendapat bahwa nama Batavia berarti tempat tinggal Bata / Bato (pahlawan Suku). Pemilihan nama Batavia sebagai nama sebuah wilayah tidak hanya disematkan kepada Jayakarta saja, namun juga disematkan kepada wilayah wilayah yang di bangun Belanda di Amerika dan Suriname.

Belanda dan monopoli perdagangan di Banten

Pasca menguasai Jayakarta, Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie berusaha menguasai perdagangan di Banten terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di Banten turun. Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen menyerang kapal-kapal dagang Cina[11]

Sultan Abu al Mufakir dan Penyerangan gabungan Mataram-Palembang ke kesultanan Banten

Pada awal 1624, wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala menyerahkan jabatannya kepada Sultan Abu al Mufakir Mahmud Abdul Kadir dikarenakan beliau menderita sakit, kedudukan Pangeran Ranamanggala kemudian bergeser menjadi penasihat sultan Banten, peranan besar Pangeran Ranumanggala sebagai penasihat sultan Banten adalah dikeluarkannya surat keputusan kesultanan Banten mengenai hubungannya dengan Belanda, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan persahabatan antara negara, maka kesultanan Banten tidak diperbolehkan bersahabat dengan Belanda. Pada 16 Nombember 1624, penyerahan mutlak kekuasaan kesultanan Banten dari Pangeran Ranamanggala kepada Sultan Abu al Mufakir Mahmud Abdul Kadir dilakukan dan pada tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Ranamanggala wafat, jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah barat area masjid Agung Banten, beliau kemudian dikenal dengan nama Pangeran Gede[4]

Pada 1626, dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma melakukan penyerangan kembali kepada kesultanan Banten yang kali ini dibantu oleh Palembang, namun penyerangan ini juga tidak berhasil[4]

Mataram, Cirebon dan Pra Perang Pacirebonan

Mataram pada masa itu dipimpin oleh Amangkurat I, beliau meminta bantuan kepada kesultanan Cirebon yang masa itu dipimpin oleh Sultan Abdul Karim guna mendekati kesultanan Banten agar Banten mau mengakui eksistensi Mataram[12]. Pada masa kekuasaan Sultan Zainul Arifin sebenarnya sudah pernah sultan memberikan wasiat kepada keluarga kesultanan Cirebon terutama kepada cucunya yakni Abdul Karim (yang kemudian menjadi sultan menggantikannya), isi wasiatnya adalah ;

besyuk-esyuk sapungkur mami, yen Susunan Mataram angarsaken besyuk takluking Banten punika, pan Pacuwan para milu micarani, teka para menenga

Kelak sepeninggalku, jika Susuhunan Mataram kelak menghendaki takluknya Banten, Pakungwati jangan ikut-ikutan, kalian diam sajalah

[13]

Wasiat tersebut diucapkan oleh Sultan Zainul Arifin kepada Abdul Karim sebelum sultan pergi ke Mataram untuk menemui murid kesayangannya yang sudah menjadi penguasa yaitu Mas Rangsang (Sultan Agung Hanyakrakusuma) dikarenakan Mas Rangsang sudah sangat rindu dengan Pakungwati. Di Mataram, Sultan Zainul Arifin dijamu oleh murid kesayangannya tersebut, hingga suatu saat ada wabah penyakit di Mataram, sultan Zainul Arifin kemudian sakit, beliau lantas diminta kembali ke kesultanan Cirebon, tidak berapa lama setelah kepulangannya beliau meninggal[13] pada tahun 1649.

Cirebon membantu Mataram membujuk kesultanan Banten

Sepeninggal Sultan Zainul Arifin, cucunya yaitu Abdul Karim naik menggantikannya sebagai Sultan Cirebon, pada masa itu ternyata Mas Rangsang (Sultan Agung Hanyakrakusuma) sudah meninggal terlebih dahulu sebelum Sultan Zainul Arifin, yakni pada tahun 1645. Kekuasaan Mataram kini dipegang oleh Mas Sayidin yang bergelar Amangkurat I, Amangkurat I pada awal pemerintahannya dikenal sebagai orang yang dengan mudah menyingkirkan orang yang berseberangan dengannya, misalnya saja peristiwa terbunuhnya Tumenggung Wiraguna dan Danupaya pada tahun 1647 yang merupakan pejabat senior di Mataram, kemudian terbunuhnya Pangeran Danupoyo (Mas Alit) adik Amangkurat I di tahun yang sama karena menentang penumpasan tokoh tokoh senior. Pangeran Danupoyo terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpinnya, selesai dengan Pangeran Danupoyo, Amangkurat I lantas membantai ribuan ulama beserta keluarganya yang dianggap mendukung pergerakan Pangeran Danupoyo, dalam peristiwa pembantaian ini, Amangkurat I berpesan agar tidak ada satu ulamapun yang diloloskan[14]

Amangkurat I dikenal sebagai seorang penguasa yang dekat dengan Belanda, ketika Sultan Abdul Karim naik tahta di kesultanan Cirebon, Amangkurat I dihadapkan dengan fakta bahwa belum seluruh pulau Jawa mengakui eksistensi Mataram sebagai sebuah kerajaan, kesultanan Banten salah satunya, ketika Sultan Abdul Karim tengah berkunjung ke Mataram, Amangkurat I meminta bantuannya membujuk kesultanan Banten agar mau bersahabat dengan Mataram dan menghentikan serangannya kepada Belanda[12]

Banten bersiap perang

Pada laporannya, setelah utusan kesultanan Banten yaitu Astranaya yang dikirim ke Mataram pulang, Astranaya melaporkan bahwa situasi di Mataram mencekam, Astranaya yang oleh kesultanan Banten biasa diutus ke Keling (India), Palembang, Jambi, Bali, Aceh, Johor dan Makassar menuturkan jika selama di Mataram dia diawasi sehingga membuatnya harus selalu waspada siang dan malam, bagi Astranaya, dia belum pernah melihat tingkah laku orang sebagaimana orang Mataram yang selama dalam perjalanannya semua serba tersamarkan. Astranaya berpendapat bahwa Mataram akan menyerang kesultanan Banten, dari keterangan Astranaya, Sultan Banten pada waktu itu yaitu Sultan Abu al Mufakir Abdul Kadir memerintahkan untuk membuat kapal besar, Pangeran Abu al Maali (ayah Pangeran Surya yang kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) membantu pengerjaan tersebut dengan membuat kapal besar yang sangat indah dengan ahli pembuatnya yang bernama Kyai Putu Jamil (nama yang biasa disebutkan Werektinata (seorang pejabat kesultanan)) sementara Pangeran Surya membantu dalam pembuatan kapal besar bergaya China atau yang biasa disebut Wangkang dengan ahli pembuatnya yang bernama Wangkoh, kedua kapal besar tersebut selesai dibuat dan diujicoba pada 1571 saka sesuai dengan sangkala iku nunggang tah jurit[13] atau sekitar tahun 1649 m.[15]

Meninggalnya Abu al Ma'ali Ahmad dan naiknya pangeran Surya

Dua tahun setelah pembuatan gorab dan wangkang selesai pangeran Abu al Ma'ali Ahmad menderita sakit hingga beliau akhirnya meninggal dunia pada 1651 m[16] (namun menurut Tujimah, pangeran Abu al Ma'ali telah meninggal pada 1650 m[17]), putranya yang bernama pangeran Surya kemudian menggantikan posisinya sebagai putera mahkota kesultanan Banten dengan gelar Pangeran Dipati, tidak lama pangeran Surya naik tahta sebagai sultan muda (putera mahkota) kemudian datanglah utusan lagi dari kesultanan Cirebon kali ini yang datang untuk membujuk kesultanan Banten untuk mengakui eksistensi Mataram adalah dua pemuda kembar bernama Jiwaprana dan Nalawangsa, menurut sultan Abu al Mufakir Jiwaprana kata-katanya manis dalam membujuk sultan untuk mengakui eksistensi Mataram namun sultan Abu al Mafakir tetap tidak bersedia[13].

Cirebon mengirim pangeran Martasari dan pangeran Suradimarta

Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk sultan Abu al Mafakir untuk mengakui eksistensi Mataram membuat penguasa Cirebon yaitu sultan Abdul Karim mengirimkan langsung keluarganya yaitu pangeran Martasari, pangeran Suradimarta beserta para pengiring dan pejabat kesultanan Cirebon yang bernama Wiratantaha, setibanya di kesultanan Banten rombongan keluarga kesultanan Cirebon diterima di keraton Surosowan, pangeran Surya duduk disebelah pangeran Suradimarta[13]

Pembicaraan yang terkesan lebih hangat karena dilakukan langsung antar keluarga besar kemudian digelar di Surosowan, Pangeran Martasari menyampaikan pesan dari Mataram agar Sultan Banten mau bertemu dengan Raja Mataram Amangkurat I, mengakui eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda[12]. Sultan Abu al Mafakir dengan segera menolak untuk pergi ke Mataram menemui raja Amangkurat I, Sultan Abu al Mafakir berkata kepada pangeran Martasari dan rombongan kesultanan Cirebon

isun ora kena den ririhi maring Mataram iki, ana ratu nisun

saya tidak bisa dibujuk untuk pergi ke Mataram, saya punya raja sendiri[13] (sultan Mekah)

Pada pertemuan itu, Pangeran Surya (yang pada kemudian hari menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) mengajak kepada rombongan Cirebon agar kesultanan Cirebon lebih baik bersekutu dengan kesultanan Banten daripada dengan Mataram, Pangeran Surya mengingatkan bahwa Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan kesultanan Cirebon[12]

Sikap Sultan Banten Abu al Mufakir kemudian disampaikan Pangeran Martasari kepada Sultan Cirebon, Sultan Cirebon yaitu Sultan Abdul Karim sangat marah dengan kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta untuk meyakinkan Kesultanan Banten agar mau mengakui Mataram[13]

Sultan Abdul Karim ditahan oleh Mataram

Pada tahun 1650, setelah kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta, Amangkurat I mengundang Sultan Abdul Karim ke Mataram untuk acara syukuran kenaikan tahta Sultan Abdul Karim sebagai Sultan Cirebon. Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya[18], pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, pada tahun 1650 Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua anaknya yaitu Pangeran Kartawijaya dan saudaranya untuk berkunjung ke keraton Mataram di kota Gede sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke Cirebon[19] dan tinggal di lingkungan Mataram hingga kematiannya[18].

Perang Pacirebonan

Kegagalan misi Pangeran Martasari dan Suradimarta dalam membujuk agar kesultanan Banten mau mengakui eksistensi Mataram membuat pihak Mataram marah, Mataram lantas menyuruh Pangeran Martasari agar menyerang Kesultanan Banten[15], dengan dihadapkan kepada sebuah keadaan dimana keluarganya sekaligus Sultan Cirebon yaitu Sultan Abdul Karim sedang berada dalam penawanan Mataram maka Pangeran Martasari menyanggupi untuk menyerang kesultanan Banten bersama dengan pasukannya.

Pengumuman di Alun Alun Surosowan

Pada pagi hari seluruh warga, ponggawa, menteri dan aparat desa serta pedagang diperintahkan oleh Sultan Abu al Mafakir untuk berkumpul di alun alun, semua yang hadir mendekat ke siti hinggil Surosowan, disana Sultan Abu al Mufakir berkata,

kabeh syami wikana, karsaning Cirebon iku arsa mangke naklukana

kalian semua ketahuilah, keinginan Cirebon itu (sesungguhnya) ingin menaklukan (Banten)

kaprebe yen ing besyuk kita katekan Mataram, kita iki negara alit, pastine nore kawawa musuh nagara gedhe, imbane kita punika, kadi ing wong satunggal den kembulane wong satus, yadyan kulita tambaga, kadi karubuwan wukir, nanging to lah isun sangga, sakawawa-wawaningwang, ora yen isun arepa taluk maring Mataram, amung to lah ratuisyun kanjeng sultan Jahed Mekah, iku ingkang amberkati, nanging syih iku menawa ing besyuk wong anom anom kang arep taluk marana, maring Ratu Mataram iku, silih karepisun, kaprebe ing wong kathah?

bagaimana jika kelak kita diserbu Mataram, kita negara kecil pasti tidak seimbang jika melawan negara besar, ibaratnya kita ini seperti orang satu dikeroyok orang seratus walaupun kulitnya (dari) tembaga,(ibaratnya) seperti kerubuhan gunung, tetapi bagaimanapun akan aku sangga sekuat-kuatku, bagaimanapun aku tidak akan mau takluk kepada Mataram, rajaku hanyalah Kanjeng Sultan Jahed (di) Mekah, itu yang memberkati Banten, tetapi itu sih kalaupun kelak yang muda-muda mau takluk ke sana kepada Raja Mataram itu berbeda dengan keinginanku, bagaimana menurut kalian semua?[13]

Perkataan Sultan Abu al Mafakir dijawab oleh semua yang hadir di alun-alun Surosowan bahwa lebih baik kesultanan Banten hancur daripada harus takluk kepada Mataram. Sultan Banten lantas memerintahkan agar semua bersiap berperang, seluruh senjata dikeluarkan dari seluruh pasowan (balai pertemuan) yang ada, senjata telah tersedia di dua pasowanan, dua orang pengawal yang berada disana yaitu Tubagus Atmaja dan Tubagus Wiranantaya meyakinkan Sultan Banten bahwa senjata telah siap digunakan kapanpun. Sultanpun memerintahkan agar seluruh bala tentara berbaris rapi di Warutanjak, Sultan membagi-bagikan tugas kepada yang hadir disana[13].

Pasca Sultan membagikan tugas di Warutanjak suasana digambarkan riuh dengan para menteri, prajurit dan pembantunya yang akan keluar dari lawang Padudan (pintu Padudan) sementara Sultan kembali ke dalam keraton, banyaknya orang yang saling mendahului untuk keluar membuat lawang padudan kemudian patah akibat pukulan, dorongan dan desakan orang yang ingin keluar secepatnya. Pada naskah Banten dijelaskan yang keluar dari lawang Padudan secara berurutan adalah para pembantu dan anak-anak yang menyaksikan di Warutanjak, para menteri, prajurit, pengawal, para aparatur desa (para bekel dan lurah) dan para prajurit dari Lampung serta paling terakhir adalah para nyilian (para prajurit pinjaman), sementara para petinggi lainnya yang berada disebelah timur, mereka keluar melalui lawang Dipangga (pintu Dipangga)[13].

Referensi

  1. ^ Darmawan, Joko. 2017. Sejarah Nasional “Ketika Nusantara Berbicara”: Yogyakarta: Deepublish
  2. ^ a b c d e f Mukarrom, Ahwan. 2014. Sejarah Islam Indonesia I: Dari Awal Islamisasi sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. Surabaya: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
  3. ^ a b de Graaf, Hermanus Johannes. Theodore Gauthier Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafitipers
  4. ^ a b c d e f Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan
  5. ^ a b c Masselman, George. 1963. The Cradle of Colonialism. New Haven: Yale University Press
  6. ^ a b c Guillot, Claude. 2008. Banten - Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII. Jakarta: Gramedia
  7. ^ Ijzerman, Jan Willem. 1923. Cornelis Buijsero te Bantam, 1616-1618: zijn brieven en journaal / met inleiding en bijlagen uitg. door J. W. Ijzerman. Den Haag: Martinus Nijhoof
  8. ^ a b c d e f g h i Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal, 1740: tragedi berdarah Angke. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  9. ^ a b c Suhaemi, Muhammad Hamdan. 2014. Catatan Singkat Tentang Wijayakrama, Arya Ranamanggala Dan VOC Tahun 1618. Serang: Respek Banten
  10. ^ Michrob, Halwany, A. Mudjahid Chudari. 1989. Catatan masalalu Banten. Serang: Pengurus Daerah Tingkat II Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kapubaten Serang
  11. ^ Vlekke, Bernard Hubertus Maria. 2008. Nusantara: sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia
  12. ^ a b c d Erwantoro, Heru. 2012. Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. Bandung: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
  13. ^ a b c d e f g h i j Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
  14. ^ de Graaf, Hermanus Johannes, 1962. De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677, Leiden: Brill
  15. ^ a b Juariyah, Yuyun. 2016. Jurnal al-Tsaqafa : Menelusuri Jejak Islamisasi Tatar Sunda Melalui Naskah Kuno. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
  16. ^ Hatmadji, Drs. H. Tri. 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang
  17. ^ Tujimah. 1987. Syekh Jusuf Makasar : riwayat hidup, karya, dan ajarannya. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
  18. ^ a b | Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
  19. ^ Ekajati, Edi Suhardi. 2003. Sejarah Kuningan: dari masa prasejarah hingga terbentuknya kabupaten. Bandung : Kiblat Buku Utama