Danau Mawang

danau di Indonesia
Revisi sejak 12 Januari 2020 03.11 oleh Oemar Sabri (bicara | kontrib) (tambah pranala)

Danau Mawang merupakan sebuah danau alami yang berada di Gowa, Secara administratif Danau Mawang terletak di wilayah Kelurahan Borongloe Kecamatan Somba Opu dengan luas danau +2,99 km² ditambah daratan sepanjang tepian danau yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat sehingga total luas kawasan adalah +12,4 km². [1]. Danau Mawang memiliki arti yaitu “Danau Terapung”,

Di sisi selatan Danau Mawang terdapat tanggul yang biasanya menjadi tempat strategis bagi Anda untuk menikmati sunset dan sunrise. Di kawasan Danau Mawang pada sore hari dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk memancing. Sekitar danau ini pun cukup sejuk karena dipinggirnya terdapat pohon-pohon yang rindang. Untuk menemukan Danau mawang anda bisa melewati jalan poros Hertasning, sebelum kampus UIN Alauddin belok kanan ke jalan Maccanda kemudian susuri hingga mendapatkan pertigaan dan belok kiri, Danau Mawang pun bisa diakses dari Sungguminasa kemudian menelusuri jalan poros Malino, setelah melewati lapangan Pabrik Kertas Gowa (PKG) belok kanan, setelah menemukan pertigaan jalan belok kanan. Tidak lama anda akan menemukan keindahan Danau Mawang.[2] Selain sebagai objek wisata, juga tempat pemeliharaan ikan mas dan nila. Danau tersebut dulunya merupakan objek wisata yang amat menarik, karena selain pemandangannya yang indah, juga sering diadakan lomba perahu dayung maupun pertunjukan lainnya.[3] Danau Mawang juga merupakan tempat budidaya ikan air tawar terbesar di Kecamatan Somba Opu sehingga jangan heran ketika melihat banyak nelayan dengan perahu bambu rakitan berlayar di tengah-tengah danau menangkap ikan. Dan sebagai fasilitas penunjangnya Danau Mawang juga memiliki sebuah taman rekreasi yang hijau yaitu Taman Mawang yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk di sebelah selatan Danau Mawang.[2]

Keadaan Geografis

Secara geografis kawasan Danau Mawang terletak +7 km dari ibukota Kabupaten Gowa dan +18 km dari Kota Makassar dengan batas-batas kawasan yaitu sebagai berikut :

  1. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Romang Polong
  2. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Romang Polong dan Kelurahan Tamarunang
  3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bontoramba
  4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bontomarannu [1]

Peranan pemerintah

Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan terobsesi ingin menyulap danau tersebut seperti tempat wisata Floating Market yang ada di Lembang Bandung. Adnan pun sudah mengutarakan kesiapannya itu kepada pihak Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWSPJ). Hal ini diutarakan pada peringatan hari air sedunia di Danau Mawang, [4] BBWSPJ akan ajukan kerjasama dengan Pemkab Gowa dan tentunya dalam bentuk MoU untuk pengelolaan Danau Mawang. Namun sebelumnya itu, kita akan kerjasama dulu dengan Pemprov Sulselndan juga Pemkab Gowa dalam hal pengadministrasian. Kerjasama pengadministrasian yang saya maksud adalah untuk mengukur luasan kawasan danau ini dulu sebagai aset. [5]

Legenda

Menurut kepercayaan orang Gowa, danau ini mempunyai legenda. Bermula pada abad Ke-16 di Kampung Tanrara, hidup seorang lelaki Panrita (Sakti) yang bisa dipanggil dengan nama “Panre Tanrara”. Waktu itu, Panre Tanrara memegang kekuasaan pemerintahan yang disebut Dampang. Beliau sangat dicintai rakyatnya karena memerintah secara adil dan bijaksana. Kehidupan Panre sewaktu memegang jabatan pemerintahan, hidupnya serba ada, demikian pula rakyatnya hidup makmur. Kalau orang lain diberi rezeki kekayaan senang akan tetapi, bagi Panre justru sebaliknya Ia tidak mau lagi hidup dalam kemewahan karena khawatir kalau harta terlalu banyak, ia akan lupa diri dan memerintah secara sewenang-wenang terhadap rakyatnya.

Pada suatu saat, Panre berubah pikiran. Ia tak ingin kaya dan ingin hidupnya menjadi orang yang termiskin agar dapat merasakan penderitaan rakyatnya dan ternyata keinginannya itu terkabul, jadilah ia orang termiskin.

Pada suatu hari, Panre yang sudah jatuh miskin itu, sedang duduk seorang diri digubuknya pada tengah malam sambil bertafakkur dan memohon Kepada dewata agar rakyat yang dipimpinnya memperoleh kemakmuran dan negeri yang dipimpinnya tetap aman dan tentram. Dalam kondisi tafakkur itu, Panre lalu menengok ke dindingnya, tiba-tiba dilihatnya seberkas cahaya lalu didekatinya. Ternyata cahaya tersebut tak lain adalah sebuah kalung emas. Setelah kalung emas itu didapatkan, Panre lalu berfikir, “Mau diapakan kalung ini. Kalau untuk menebus kemiskinan saya tak mau lagi karena usia sudah tua” Setelah lama merenung, akhirnya ia memutuskan untuk menukar kalung emas itu dengan seekor kerbau. Keesokan harinya, Panre lalu berangkat ke Jeneponto dan mengunjungi temannya bernama Karaeng Tolok yang memiliki banyak kerbau.

Setelah sampai di Jeneponto, Panre lalu mengutarakan maksudnya untuk membeli seekor kerbau dengan cara membarter kalung emas dengan seekor kerbau. Melihat kilauan kalung emas tersebut, terang saja Karaeng Toloksangat tertarik. Tanpa basa basi, Karaeng Tolok langsung mengambil kalung itu dan mempersilakan Panre untuk mengambil beberapa ekor kerbau. Tetapi bagi Panre, tak ingin kerbaunya banyak, cukup satu saja.

Ketika ia memasuki kandang kerbau, Panre lalu memilih. Ia melihat seekor kerbau yang sedang menengok padanya, kerbau itu lalu diambilnya, dan dibawa pulang Ke Tanrara. Rupanya kerbau yang diambil Panre itu adalah kerbau kesayangan Karaeng Tolok. Pengawal disuruh menyusul Panre. Jauh sebelum pengawal menyusul, rupanya lewat kepanritaanya Panre sudah tahu bahwa dirinya disusul, sedang kerbau yang dibawanya itu lewat kepanritaanya pula disuruh mati. Dalam sekejap kerbau itu membusuk dan dikerumuni lalat besar (Laulung). Begitu pengawal istana datang, dilihatnya kerbau itu dalam keadaan mati, akhirnya pengawal itu kembali ke istana. Begitu kembali, Panre kemudian menghidupkan kerbau itu dan berubah menjadi kerbau yang besar yang diberi nama I Tambak Laulung. (Tambak berasal dari kata Tabbala artinya banyak sedang laulung berarti lalat besar).

Sesampai di Tanrara. I Tambak Laulung tinggal bersama Panre. Kerbau itu dipelihara dengan baik dan Panre juga merasa senang tinggal bersama kerbaunya itu. Suatu saat, I Tambak Laulung ingin berkunjung ke rekan-rekannya di Pulau Sumbawa (NTB). I Tambak Laulung lalu pamit pada Panre, agar diizinkan mengunjungi pulau tersebut dengan cara berenang, menyebrangi lautan yang luas dan penuh tantangan itu. Karena tekad I Tambak Laulung sudah kuat, Panre lalu mengizinkannya.

Setelah diizinkan, I Tambak Laulung menuju Bulukumba. Dalam perjalanan setiap kerbau yang dilihat, pasti ingin ikut bersama Tambak Laulung, biarpun dalam kandang, sehingga dalam perjalanan menuju Bulukumba, ribuan kerbau menemaninya. Sampai di Pantai Bira Bulukumba, I Tambak Laulung lalu berenang menuju Pulau Sumbawa. I Tambak Lau lung dan rekannya kemudian mampir di Pulau Selayar untuk istirahat. Kemudian melanjutkan perjalanan lagi sampai di Sumbawa. Namun dalam perjalanan, sebagian besar kerbau tak mampu berenang yang membuat mati ditengah laut.

Setelah beberapa hari menyebrangi lautan, akhirnya sampai di Sumbawa. Disana I Tambak Laulung sudah ditunggu ribuan ekor kerbau, yang tak lain adalah turunannya.

Setelah beberapa tahun di Sumbawa, Tambak Laulung lalu kembali ke kampung halamannya. Ia berenang menuju Bulukumba. Ribuan kerbau mengiringi kepulangan Tambak Laulung menuju Bulukumba. Namun dalam perjalanan, banyak kerbau yang mati karena sangat lelah dan tak bisa berenang. Perjalanan yang sangat melelahkan itu, akhirnya I Tambak Laulung dan pengikutnya sampai di Bulukumba, dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Tanrara tempat Panre tinggal.

Setelah beberapa lama di Tanrara, I Tambak Laulung ingin melanjutkan perjalanan lagi ke Maros untuk menemui rekannya. Karena Panre tak meragukan lagi petualangan I Tambak Laulung, iapun mengisinkannya ke Maros. I Tambak Laulung ingin berkunjung ke kediaman Karaeng Simbang yang memiliki banyak kerbau.

Setelah sampai di Maros, Karaeng Simbang melihat dan langsung mengambil I Tambak Laulung. I Tambak yang tinggal terlalu lama di Maros, rupanya sangat dirindukan oleh Panre Tanrara. Panre lalu menyusul I Tambak Laulung ke Maros. Sampai di Maros, Panre lalu mendekati I Tambak dan hendak mengambilnya membawa pulang ke Tanrara.

Saat mau diambil, Karaeng Simbang tiba-tiba melihatnya. Terjadilah pertengkaran, karena baik Panre maupun Karaeng Simbang sama-sama mengakui bahwa I Tambak Laulung itu adalah miliknya. Karena tak ada yang mau mengalah, keduanya lalu bersumpah. Panre bersumpah “Mulai saat ini, aku dan segenap warga Tanrara sampai pada anak cucu kami nanti tidak akan mau memakai atap nipah sebagai penutup rumah kami, dan kalau itu dilanggar maka terbakarlah rumah kami”.

Begitu pula Karaeng Simbang bersumpah “Aku dan anak cucuku kami turun temurun, tidak akan memakai bambu sebagai perkakas rumah kami. Kalau sumpah ini kami langgar, rumah kami akan terbakar. Atas sumpah itulah, hingga kini warga Tanrara pantang memakai atap nipah dan warga Maros tak memakai bambu sebagai perkakas rumahnya, karena takut terbakar.

Karena sudah mengucapkan sumpah, Panre mengaku kalah. Namun sebelum meninggalkan Maros, Panre minta pada Karaeng Simbang, agar diizinkan bertemu dengan I Tambak Laulung. Permintaan itupun lalu dipenuhi Karaeng Simbang. Saat Panre mendekati I Tambak Laulung, lalu membisikkan ke telinganya “Pulanglah ke Tanrara”. Mendengar permintaan itu, I Tambak Laulung lalu berkata, kembalilah ke Tanrara tuan, dan saya minta tuan bersama warga Tanrara untuk bergotong royong membuatkan kandang besar, karena kami dan rekan-rekan akan berangkat ke Tanrara dalam jumlah besar.

Setelah mendengar bisikan itu, Panre lalu menuju Tanrara tanpa disertai Tambak Laulung. Sampai di Tanrara, Panre lalu mengajak warganya untuk bergotong royong membuatkan kandang besar menyambut kedatangan I Tambak Laulung dan kawan-kawannya.

Keesokan harinya, I Tambak Laulung lalu pamit ke Karaeng Simbang, agar diizinkan ke Tanrara bersama rekan-rekannya. Atas permintaan itu, dengan berat hati, Karaeng Simbang mengizinkannya, I Tambak Laulungpun pergi. Setiap kerbau yang melihatnya, pasti mengikuti I Tambak Laulung.

Dalam perjalanan menuju Tanrara, I Tambak Laulung lalu menelusuri persawahan, hutan belantara, serta beberapa sungai yang dilewati. Perjalanan yang melelahkan itu sampailah disuatu tempat, namanya Mawang. Disana, I Tambak Laulung dan kawan- kawannya menemukan sebuah telaga. I Tambak Laulung dan kawan-kawannya itu kemudian berkubang di telaga itu. Karena banyak, akhirnya telaga itu berubah menjadi sebuah danau.

Saat kerbau itu berkubang, banyak kerbau yang tak ingin melanjutkan perjalanan menuju Tanrara. Kerbau-kerbau itu istirahat sambil berkubangan di telaga itu dan membuat sebagian kerbau itu membangkang dan tak mau melanjutkan perjalanan ke Tanrara. I Tambak Laulung marah atas pembangkangan itu, kemudian menunduk kerbau yang membangkan itu. Banyak kerbau yang mati di telaga itu dan bangkainya terapung di atas telaga yang luas itu. Itulah sebabnya danau tersebut dinamakan “Danau Mawang” (Mawang artinya terapung). Setelah itu I Tambak Laulung dan pengikutnya yang setia menuju Tanrara. Sampai di Tanrara, I Tambak Laulung disambut hangat oleh Panre dan masyarakat Tanrara dan karena banyaknya kerbau, Panre lalu membagi-bagikan kerbau itu pada warganya.

Tak lama kemudian, datanglah seekor kerbau sakti dari Bone menemui I Tambak Laulung. Kemudian kerbau sakti itu masing-masing ingin menguji kesaktiannya itu. Begitu bertemu, pertengkaran tak terelakkan, akhirnya kedua kerbau sakti itu adu tanduk selama 7 hari 7 malam. Karena lelah, akhirnya kerbau dari Bone itu tertusuk tanduk Tambak Laulung yang membuat ia mati. Begitu pula I Tambak Laulung menderita luka parah, dan tak lama kemudian mati saat perjalanan pulang di telaga tempat dia menanduk para pengikutnya yang membangkang. Setelah beberapa saat Tambak Laulung tewas, muncullah banyak kembang indah yang mengapungdan orang setempat menyebutnya tonjong (bunga teratai).[3]

Referensi

  1. ^ a b Hasan, Saiful (2017). "Penataan Kawasan Danau Mawang Kelurahan Mawang Kecamatan Somba Opu Dengan Konsep Ekominawisata" (PDF). http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6938/1/Saiful%20Hasan.pdf. Diakses tanggal 12 Januari 2020.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)
  2. ^ a b Hamson, ZulkarnaIn (2005). "Danau Mawang Sajian Eksotisme Danau di Sulawesi Selatan". Danau Mawang Sajian Eksotisme Danau di Sulawesi Selatan. Diakses tanggal 12 Januari 2020. 
  3. ^ a b Nasruddin (2016). Sejarah dan Budaya Lokal. Jakarta Pusat: Gunadarma Ilmu. ISBN 978-602-1347-45-4. 
  4. ^ Nurmin, Waode (22 Maret 2018). "Bupati Gowa Bakal 'Sulap' Danau Mawang Jadi Lokasi Wisata, Begini Konsepnya". Bupati Gowa Bakal 'Sulap' Danau Mawang Jadi Lokasi Wisata, Begini Konsepnya. Diakses tanggal 12 Januari 2020. 
  5. ^ "Peringatan Hari Air Sedunia dan Impian Adnan, Untuk Danau Mawang". 2018. Diakses tanggal 12 Januari 2020.