Genetika perilaku

Genetika perilaku merupakan bidang studi ilmiah yang secara khusus menyelidiki pengaruh genetika terhadap karakter individu khususnya perilaku dalam suatu lingkungan. Korelasi genetika perilaku telah dipelajari sejak tahun 1920-an oleh seorang ilmuwan Inggris bernama Francis Galton. Melalui sebuah studi awal dengan model penelitian kepada sepasang anak kembar, ilmuwan tersebut kemudian menciptakan sebuah ungkapan baru yaitu nature and nurture. Studi tersebut kemudian menjadi pionir pertama dari sebuah kemajuan besar penelitian genetika molekuler yang membukakan penemuan ilmiah baru di tahun-tahun berikutnya. Penemuan ini pun menjadi dasar dari studi pemodelan perilaku yang memakai penyilangan tertentu pada manusia dan makhluk hidup lain.[1]

Hingga tahun 1980-an, genetika perilaku menjadi salah satu penemuan terpenting yang mempengaruhi pemahaman modern tentang peran pengaruh genetik dan lingkungan terhadap perilaku individu. Dari penelitian lain yang mempelajari anak kembar dengan anggota keluarga lainnya, studi perilaku menunjukkan bahwa genetika memegang peranan yang signifikan dalam pembentukan karakter individu. Bukti ilmiah tersebut dihitung dari hasil penelitian yang setengahnya menunjukan terjadi perbedaan pada perilaku saat dilakukan tes kepribadian. Bahkan yang lebih menarik lagi, adalah dari hasil penelitian tes IQ menunjukan lebih banyak perubahan yang terjadi akibat genetika.[2] Sementara itu, studi anggota keluarga memperlihatkan bahwa pengaruh lingkungan yang besar justru akan membentuk karakter setiap individu menjadi semakin berbeda-beda. Penelitian tersebut pada akhirnya telah berhasil memaparkan sebuah bukti ilmiah bahwa lingkungan dan genetika memberikan pengaruh signifikan pada karakter kepribadian, psikopatologi maupun kemampuan kognitif seseorang secara signifikan.[3]

Penelitian-penelitian lanjutan kemudian memberikan pemahaman bahwa selain faktor lingkungan, genetika juga memiliki relasi dengan pembentukan sikap hidup seseorang. Korelasi genetik dan pengalaman hidup tersebut lalu membentuk identitas diri dan mempengaruhi perangai seseorang dalam suatu lingkungan. Kedua hal ini dicerminkan melalui perilaku individu spesifik seperti cara bicara, respon terhadap kegagalan serta cara menjalin sebuah hubungan interpersonal.[4] Korelasi kemudian semakin dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Salah satu pengembangan lain tersebut adalah memfokuskan penelitian genetika perilaku pada identifikasi gen spesifik yang dinilai dapat mempengaruhi dimensi perilaku individu.  Beberapa contoh dimensi perilaku individu yaitu kepribadian dan kecerdasan individu yang disertai beberapa jenis disorder lain seperti autisme, hiperaktif, depresi dan skizofrenia.[1]

Sejarah[5]

Penggunaan metode selective breeding dan domestikasi pada hewan dan tumbuhan merupakan bukti paling awal bahwa manusia menganggap gagasan bahwa perbedaan individu dalam perilaku dapat disebabkan oleh sebab alami.

Perihal ini menjadi semakin nyata untuk dibuktikan selama abad ke-19, baik secara fisik maupun karakteristik perilaku dapat diubahkan dari generasi ke generasi melalui seleksi sehingga terpisahkan karakteristik yang relevan, atau setidaknya hingga taraf tertentu, yaitu dapat diwariskan. Tidak mengherankan bahwa faktor iklim di mana pembiakan hewan yang telah tampak dibahas efektif pun kemudian menjadi diperdebatkan ulang. Materi bahasan sudah termasuk kemungkinan perlakuan selective breeding terhadap manusia, yang kemudian menjadi tertuju pada perbaikan kumpulan gen tertentu.

Selama tahun 1920 hingga 1960an, pertanyaan dan pemikiran mengenai nature and nurture telah sangat mendominasi perkembangan penerapan teori yang ada di masa ini. Setelah dipionirkan oleh Francis Galton, perkembangan dari studi ini kemudian berkembang menjadi gerakan eugenic sebagai bagian dari pandangan politik di masa itu. Dari sudut pandang positive, penerapan teori eugenic telah dipakai untuk meningkatkan tingkat kesuburan populasi untuk kalangan masyarakat yang lahir dengan kondisi baik, atau yang lebih kentara disebut sebagai well born. Oleh karena itu, tingkat kecerdasan genetis masyarakat secara umum telah dapat ditingkatkan melalui seleksi eugenic. Pengembangan diawali dari studi sejarah keluarga menggunakan pedigree chart dimana observasi menekankan pada faktor keturunan dan pengembangan IQ yang kemudian diadaptasi dan dikembangkan untuk melacak mutasi gen tunggal pada keturunan keluarga, atau lebih sering disebut penyakit Mendelian. Selain metode tersebut, teknik seperti metode kuantitatif tetap dianggap perlu untuk kepentingan observasi sifat polygenic individu, yaitu karakter perilaku.

Namun jika dilihat dari sudut pandang negative, penerapan eugenic tersebut dipakai untuk mengurangi dan mencegah kelahiran generasi yang dinilai tidak fit sehingga terjadi pembatasan untuk mengontrol tingkat kesuburan pada angka kelahiran di kategori tertentu. Hal ini diikuti dengan dilakukannya pemisahan dan pengurangan hak untuk berkeluarga. Perkembangan yang telah terjadi melalui metode ini kemudian telah menyebabkan penderitaan yang hebat dan rasa frustasi atas nilai kemanusiaan yang semakin berkembang pesat. Hal ini terjadi setelah adanya berbagai pelajaran kemanusiaan yang diikuti pemahaman dari berbagai pihak. Adapun penerapan eugenic tersebut dinilai tidak meningkatkan kehidupan generasi yang sudah ada, tidak menerima pluralism dan pemahaman idealism kesempurnaan manusia. Hal ini disertai peraturan terburuk yang muncul pada masa itu akibat usaha untuk meningkatkan kualitas populasi manusia melalui ideologi rasial Nazi atau pun rekayasa social Stalinist.

Sepanjang tahun bergulir, pandangan dan pemikiran eugenic di dunia kemudian berakhir setelah masa perang dunia I dan II karena adanya dorongan yang kuat akan keadilan atas kekejaman dan keyakinan yang bermasalah atas dasar kemanusiaan itu sendiri. Setelah masa perang berakhir, pandangan ini pun kemudian hanya didukung oleh kaum politik minoritas yang masih didukung oleh kalangan ilmuwan.

Dari apa yang telah terjadi selama setengah abad sebelumnya, pemikiran eugenic telah secara mendalam mempengaruhi perkembangan psikologi untuk menjadi pengembangan studi genetika perilaku selama beberapa dekade selanjutnya. Adapun tradisi awal dalam pemahaman psikologi individu yang didasarkan pada teknik kuantitatif genetik, dikembangkan ulang di Amerika Serikat di tahun 1960an. Studi spesifik dipublikasikan oleh Arthur Jensen dalam penulisan studi, terutama dalam hal seberapa jauh manusia dapat meningkatkan potensi IQ terkait prestasi pendidikan. Dari perkembangan ini kemudian tidak ada hasil studi yang dapat diterima secara menyeluruh dan diikuti munculnya berbagai pendekatan lain ke perkembangan psikologi individu.

Sebagai bagian dari reaksi keras di era 1950 hingga 1960an, pendekatan selanjutkan lebih dikembangkan dari sisi biologi secara signifikan. Dimana salah satu yang terpopuler adalah prikologi evolusioner. Studi diinspirasikan dari teori seleksi alam Darwinian dan bertujuan umum untuk melihat bagaimana pola perilaku saat ini dapat dipahami masa perkembangannya. Studi menunjukkan bahwa pola perilaku tertentu telah tersebar luas dan terlihat di berbagai tempat budaya yang berbeda, dimana seringkali diasumsikan bahwa selalu ada tekanan seleksi yang kuat untuk mendukung pembangunan perilaku dan pemilihan varian genetik tertentu ('genes') selalu bertanggung jawab atas perkembangan ini.

Oleh karena itu studi telah menyimpulkan secara umum tentang proses perkembangan individu (ontogeni) dari proses evolusi yang dianggap (filogeni) telah menyebabkan penyebaran pola perilaku secara luas. Selama dua dekade hingga tahun 1980an, prinsip-prinsip psikologi evolusioner ini telah diterapkan secara luas dalam studi tentang perilaku manusia terlepas dari berbagai kritik yang ada.

Secara garis besar, studi genetika perilaku telah dikukuhkan semenjak era kebijakan dan praktik eugenic terjadi. Ketetapan tersebut telah membentuk fondasi utama dari dasar ilmiah dan diklaim sebagai dasar pengembangan dari ilmu psikologi perilaku yang telah dipicu dari keprihatinan terhadap praktek eugenic di masa lampau. Namun, fakta perkembangan ini tidak serta-merta menyiratkan penelitian kontemporer lainnya untuk dapat langsung dikaitkan sebagai pertimbangan pandangan eugenic.

Pada akhirnya, yang menjadi dasar penolakan utama terhadap peraturan eugenic adalah riset sains yang telah menunjukkan bahwa peraturan pemisahan dan sterilisasi pada kategori tertentu adalah sangat tidak layak, dan dianggap tidak akan pernah mencapai tujuan yang dinyatakan sebagai misi di awal era tersebut. Oleh karena itu, pertentangan dari banyak negara telah terjadi semenjak tahun 1930an dan resmi berakhir di tahun 1960an.

Penelitian moden saat ini menjadi lebih berfokus terhadap pemahaman tingkat heritabilitas pada IQ dan karakteristik perilaku lainnya untuk meningkatkan pengetahuan proses pewarisan sifat-sifat lain dengan menyentuh banyak disiplin ilmu.

Referensi

  1. ^ a b "behavior genetics | Definition, History, & Methods". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-09. 
  2. ^ "What Behaviors Do We Inherit Via Genes?". Psychology Today (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-09. 
  3. ^ Plomin, Robert; Daniels, Denise (2011-6). "Why are children in the same family so different from one another?". International Journal of Epidemiology. 40 (3): 563–582. doi:10.1093/ije/dyq148. ISSN 0300-5771. PMC 3147063 . PMID 21807642. 
  4. ^ "Genes, environment, and behavior". Khan Academy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-11-09. 
  5. ^ Nuffield Council on Bioethics (2002). "Genetics and Human Behaviour" (PDF).