Taman Makam Pahlawan Jayana Sureng Yudha

Taman Makam Pahlawan Jayana Sureng Yudha (atau TMP Penggarit) adalah sebutan untuk kompleks pemakaman Wijaya Brata yang berlokasi di Desa Penggarit, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.[1]

Beberapa makam di TMP Taman Makam Pahlawan Jayana Sureng Yudha
Prajurit Korps Marinir melaksanakan ziarah ke Taman Makam Pahlawan Jayana Sureng Yudha

Di desa yang terkenal sebagai desa perjuangan ini, berdiri dengan megah Taman Makam Pahlawan (TMP) Jayana Sureng Yudha, inilah saksi bisu perjuangan para pendahulu Korps Marinir saat menghadapi Belanda pada masa perjuangan kemerdekaan. Penggarit sebagai basis perjuangan prajurit Korps Marinir jaman dulu diawali dari peristiwa 19 Desember 1948 saat Belanda melacarkan kembali Agresinya di Indonesia dengan menyerbu secara membabi buta kota Jogyakarta. Saat itu, pasukan Corps Mariniers (CM) Corps Armada (CA) IV yang diperbantukan ke Divisi III Diponegoro yang dikenal dengan sebutan "Resimen Samudera" baru saja selesai konsolidasi dengan menyusun kembali dari sistem Batalyon ke sistem Group. Sebagai Komandan Resimen Samudera Pasukan CA IV adalah Mayor R. Soehadi dengan wakil sekaligus merangkap Perwira Operasi Kapten Ali Sadikin. Dalam perintah koordinasinya dari MBKD (Markas Besar Komando Djawa) melalui Divisi III Diponegoro bahwa pasukan Corps Mariniers yang tergabung dalam Resimen Samudra tersebut agar segera meninggalkan daerah Temanggung, Parakan dan merebut serta menguasai daerah yang disebut dengan “Sub Wehrkraise Slamet-V (SWKS V)” meliputi Pemalang - Pekalongan hingga Batang

Pada Desember 1948, pasukan SWKS V segera melakukan “wingate action” yakni gerakan perembesan menuju daerah yang menjadi tanggungjawabnya dipimpin langsung Mayor R. Suhadi. Pergerakan pasukan ini melewati berbagai daerah pedalaman dan juga pegunungan mulai Gunung Sundoro, Prau, Rogojembangan hingga Gunung Slamet. Pada Januari 1949 seluruh pasukan SWKS V telah sampai di daerah Watukumpul, Pemalang Selatan di kaki Gunung Slamet. Disinilah terjadi pertempuran sengit antara para pejuang dengan tentara Belanda yang selanjutnya terkenal dengan sebutan Pertempuran Watukumpul. Setelah pertempuran Watukumpul, pasukan Corps Mariniers CA IV/ Pasukan SWK.S V Grup A, mening­galkan daerah pertahan­annya menuju daer­ah Simpang Tiga, kemudian memasuki daerah Wonoroto. Di sini jembatan besar sungai Wonoroto telah diledakkan untuk menghambat ger­akan maju tentara pen­dudukan Belanda.

Di Karangpucung, Kebubungan daerah Wo­noroto, Kapten Ali Sadikin Perwira Operasi CA IV/ Pasukan SWK.S V yang sekaligus menjabat se­bagai Komandan Sektor, bertugas untuk menga­wasi aktivitas Grup A da­lam gerakannya mengha­dapi tentara pendudukan Belanda. Pimpinan Grup A masih dipegang oleh Let­nan Moch. Joenoes dengan mendapatkan beberapa tenaga inti seperti Santo­so (Pwa. Satu), Soemardi. P (Ketua Divisi), J. Soejoe (Ketua Divisi), Soetjipto Hadi (Dan Bak), Sg. Soe­marso (Dan Ru), Djapar (DanRu), D. Soedjono dan lain-lain.[2]

Beberapa kegiatan penting Grup A untuk melancarkan perang gerilya di daerah Pemalang antara lain membersihkan pasukan Belanda di desa Beji dan melakukan penyergapan patroli Belanda di desa Jatibarang pada bulan Februari 1949, melakukan penjerbuan pertama ke kota Pemalang dan penghadangan konvoi Belanda di Padeksan pada bulan Maret 1949, dan melakukan pertempuran dalam rangka Gerakan Pembersihan Tentara Pendudukan Belanda I, II, dan III yang dilakukan hampir secara berurutan antara daerah Randudongkal dan Pangiringan pada bulan Maret 1949. Pada akhir Maret 1949, Pasukan CM Grup A menempatkan kekuatan induknya di Desa Penggarit, Pemalang untuk konsolidasi dan menyusun kekuatan baru guna menghadapi serangan besar-besaran tentara Belanda yang mengejar para gerilyawan hingga ke daerah pegunungan. Kosentrasi pasukan CM di Penggarit ini pada akhirnya tercium Belanda sehingga pada bulan April 1949, tentara Belanda dengan kekuatan pasukan yang cukup besar menyerbu Penggarit dengan menggelar operasi pembersihan kampung Penggarit. Pertempuran pun meletus dengan sengitnya dari pagi hingga petang hari. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Namun menjelang sore hari Belanda menarik mundur pasukannya karena melihat korban di pihaknya lebih banyak. Belanda mundur dengan membawa kekalahan berupa korban jiwa dan perlengkapan militer yang banyak dihancurkan pasukan CM CA IV. Selain Penggarit, dua daerah lain yang diserbu Belanda yakni Wiradesa dan Petarukan juga dapat dipertahankan berkat bantuan pasukan Grup A CM CA IV. Tujuan Belanda pada saat itu memang berusaha menggu­nakan kesempatan untuk mendapatkan “daerah” yang lebih luas sebelum diberlakukannya perintah gencatan senjata. Akan tetapi pada akhirnya tujuan mereka kandas di tengah jalan berkat kegigihan Pasukan Grup A CM CA IV dalam mempertahankan daerah perjuangannya.

Referensi