Pertempuran Perlintasan Ciater

pertempuran tahun 1942 dalam Perang Dunia II

Pertempuran Perlintasan Tjiater (atau Ciater) adalah sebuah pertempuran yang terjadi antara 5 dan 7 Maret 1942 pada kampanye Hindia Belanda antara pasukan invasi Jepang dan pasukan kolonial Belanda, yang didukung oleh pesawat-pesawat tempur dari Angkatan Utara Britania Raya. Pertempuran tersebut untuk memperebutkan Perlintasan Tjiater, sebagai bagian dari upaya pertahanan kota Bandung.

Pertempuran Perlintasan Tjiater
Bagian dari Pertempuran Jawa dalam kampanye Hindia Belanda

Sebuah pillbox Belanda di perlintasan Tjiater
Tanggal5–7 Maret 1942
LokasiPerlintasan Tjiater, Jawa Barat
Hasil

Kemenangan Jepang

  • Hindia Belanda menyerah
Pihak terlibat
 Belanda
 Britania Raya
 Jepang
Tokoh dan pemimpin
Belanda Jacob Pesman Menyerah
Belanda W.J. de Veer 
Kekaisaran Jepang Toshinari Shōji
Kekuatan
9.000
27 pesawat
3.000
39 pesawat

Setelah pasukan Jepang mendarat di pulau Jawa dan merebut Lapangan Udara Kalijati, tentara Belanda mundur dari kota Batavia (kini Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor), dan mempersiapkan garis pertahanan di perlintasan gunung menuju Bandung untuk menunda pasukan Jepang hingga satuan-satuan tentara Belanda yang mundur beserta sekutu Australia dapat bergabung. Tentara Jepang yang dipimpin Kolonel Toshinari Shōji memutuskan untuk menyerbu garis tersebut untuk mencegah serangan balik, saat tentara Belanda masih terpencar.

Dikarenakan dukungan angkatan udara dan kualitas prajurit yang lebih baik, Jepang berhasil menyerbu dan merebut titik-titik pertahanan Belanda yang kekurangan personil setelah tiga hari pertempuran, dan jalan mereka ke Bandung terbuka lebar seusai jatuhnya Lembang. Sebelum pertempuran sempat berkecamuk di Bandung, Pemerintah Hindia Belanda menyerah terlebih dahulu sehingga mengakhiri kekuasaan Belanda di Indonesia.

Latar belakang

Belanda menyatakan perang melawan Jepang pada tanggal 8 Desember 1941, satu hari setelah Pengeboman Pearl Harbor. Sepanjang tahun 1942, Jepang meluncurkan kampanye militer dan merebut Malaya dan Filipina, dengan tujuan akhir untuk merebut Hindia Belanda (Indonesia) beserta sumber daya alam yang melimpah - seperti minyak bumi, karet dan timah. Bulan Januari 1942, tentara Jepang mulai berperang di Hindia Belanda, dan pada tanggal 14 Februari 1942 Jepang sudah mendarat di Palembang dan Bangka. Seusai jatuhnya Palembang, beserta pulau-pulau Bali dan Timor, pulau Jawa terputus dari bala bantuan Sekutu. Melihat situasi medan perang pada saat itu, Komandan Pasukan Gabungan ABDACOM (Amerika Serikat, Britania, Belanda, dan Australia) Archibald Wavell memutuskan bahwa pulau Jawa tidak dapat dipertahankan lagi dan ia memindahkan markas besarnya ke India, dan wewenang untuk mempertahankan Jawa jatuh ke tentara Belanda dibawah Hein ter Poorten.[1]

Angkatan Darat ke-16 Jepang ditugaskan untuk merebut Jawa, dan terdiri dari divisi ke-2, 38, dan 48.[2] Pasukan Jepang mendarat pada tiga titik di pulau Jawa seusai kemenangan atas angkatan laut di Pertempuran Laut Jawa. Salah satunya, dikenal sebagai Detasemen Shoji (bagian dari Divisi ke-38)[3] yang dipimpin Kolonel Toshinari Shōji, mendarat di Eretan Wetan, Indramayu, pada subuh tanggal 1 Maret 1942.[4] Detasemen itu dengan cepat merebut Lapangan Udara Kalijati dan wilayah sekitarnya di Subang,[4] sehingga Divisi 3 AU Jepang dibawah Mayjen Endō Saburō dapat memberikan dukungan udara dari dekat.[5] Dari daerah Subang, ada dua jalan menuju Bandung: melalui Purwakarta atau melalui jalan-jalan Perlintasan Tjiater yang kurang bagus di kaki Gunung Tangkuban Parahu.[6] Tentara Belanda meluncurkan dua kali serangan balik untuk mencoba merebut kembali Kalijati, tetapi keduanya gagal. Jepang telah memenangkan Pertempuran Kalijati.[7][8]

Kekuatan tempur Sekutu di Jawa terkuras oleh kedua serangan tersebut, dan satuan "West Group" (satu resimen infanteri KNIL dan brigade "Blackforce" Australia) diperintahkan untuk mundur dari Batavia dan Bogor/Buitenzorg menuju Bandung,[9] sementara Batavia sendiri pun dinyatakan sebagai "kota terbuka".[10] Satuan KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda) lainnya, "Bandung Group", ditugaskan untuk mempertahankan dataran tinggi Bandung sampai West Group tiba, dengan harapan bahwa kedua satuan dapat disatukan untuk menahan serangan Jepang.[11] Bandung Group dipimpin oleh Mayjen Jacob Pesman.[12] Rencana Belanda untuk bertahan di Jawa Barat menjadikan daerah Bandung dan sekitarnya yang dikelilingi pegunungan sebuah "benteng", darimana mereka dapat meluncurkan serangan-serangan balik.[13]

Kekuatan

 
Pergerakan Detasemen Shoji dari Eretanwetan menuju ke arah Bandung

Ada 9.000 prajurit dibawah pimpinan Jacob Pesmantermasuk 5.900 orang dari komando awalnya, dan sisanya berasal dari resimen infanteri 2 KNIL dan satu batalion tambahan tetapi mereka terpencar karena harus mempertahankan beberapa titik sekaligus. Resimen Infanteri 2, yang turut dalam serangan balik yang gagal, juga sudah tidak efektif dalam pertempuran.[12] Dalam hal angkatan udara, KNIL dapat menggunakan 27 pesawat.[12] West Group diperkirakan tiba antara tanggal 6 dan 7 Maret dan akan siap tempur pada tanggal 10, tetapi sebelumnya Bandung Group harus mengisi celah dalam pertahanan Bandung.[14] Belanda telah membangun pertahanan di jalur-jalur menuju Bandung,[11] dan Kolonel W.J. de Veer memimpin prajurit yang mempertahankan Tjiater.[15]

Tentara ke-16 Jepang awalnya hanya menugaskan Detasemen Shoji untuk menjaga titik-titik yang telah mereka rebut di sekitar Kalijati dan jembatan-jembatan yang melintasi Sungai Citarum sambil menunggu bala bantuan datang dari barat.[16][17] Namun, Shōji memutuskan untuk langsung menyerang Bandung melalui Tjiater, sebelum Belanda dapat meluncurkan serangan balik dan untuk mencegah serangan udara terus-terusan pada AU Jepang di Kalijati.[11] Meskipun atasannya khawatir dapat tersangkut di Tjiater, rencana Shōji diamini.[18] Ada sekitar 3.000 tentara dalam Detasemen Shoji, dan mereka secara umum lebih berpengalaman dan lebih terlatih dari tentara KNIL. Di antara detasemen ini, 2.000-2.400 akan turut serta dalam pertempuran. AU Jepang yang tersedia dalam pertempuran sejumlah 39 pesawat.[12]

Garis pertahanan di ujung utara Tjiater terletak di samping jurang dan dirancang untuk satu resimen, dan terdiri dari parit pertahanan, dua garis kasemat, dan kawat berduri yang semuanya sepanjang 2 kilometer. Saat pertempuran pecah, pertahanan tersebut hanya berisi satu batalion yang didukung sejumlah satuan kecil. Garis pertahanan paling depan hanya dipertahankan satu kompi infanteri. Di ujung selatan terdapat garis pertahanan lain, yang belum selesai dibangun karena kurang pekerja.[19]

Jalannya pertempuran

Pada pagi hari tanggal 4 Maret, kedua belah pihak meluncurkan serangan udara, melibatkan serangan pesawat Belanda dan Britania Raya (Royal Air Force) terhadap Kalijati, dan serangan pesawat Jepang menyasar posisi terdepan pertahanan Belanda dan pangkalan udara Andir.[20] Serangan udara Jepang memaksa serdadu Belanda yang diposisikan terdepan untuk mundur kembali ke arah Lembang.[21] Serangan-serangan udara terus berlanjut sepanjang hari.[22]

Pertempuran di darat baru mulai tanggal 5 Maret, ketika tank Jepang mencapai garis depan Belanda di Perlintasan Tjiater, yang termasuk sejumlah posko pertahanan pillbox dan sepucuk meriam 50mm. Serdadu Belanda hanya didukung empat pucuk artileri di belakang pertahanan, dan artileri Belanda tidak banyak membantu dalam pertempuran.[23] Dedaunan yang lebat juga menghalangi sudut tembak dari pillbox-pillbox yang ada.[24] Setelah pertempuran selama kurang lebih tiga jam, serdadu Jepang telah hampir mencapai posisi-posisi Belanda, dan menyebabkan sekitar 50 serdadu Belanda di garis paling depan ditarik mundur setelah menghancurkan meriam dan jembatan yang melintasi jurang di depan mereka.[25] Tembakan mortir dan senapan mesin dari garis utama kemudian berbunyi, menyebabkan banyak korban jatuh di pihak Jepang sebelum mereka membalas dengan mortir mereka sendiri.[25] Dalam setengah jam saja, sejumlah serdadu Jepang berhasil menyusupi titik-titik yang kosong di garis pertama, memaksa serdadu-serdadu Belanda untuk mundur ke garis kedua sejauh 500 meter agar tidak terkepung. Dalam proses mundur, tentara-tentara Belanda kehilangan banyak lampu sorot dan radio mereka.[26] Saat pukul 4 sore, tentara Jepang telah sepenuhnya merebut garis pertama dan kini mulai menembaki posisi-posisi Belanda di hadapan mereka.[27]

Setelah menerima laporan mengenai serangan Jepang, Mayjen Pesman memindahkan pasukan cadangannya ke medan pertempuran.[28] Namun, bala bantuan ini tertunda karena macet di jalan yang sempit menuju ke Tjiater.[29] Sekitar jam 6, pasukan tambahan mereka sudah hampir tiba, tetapi terhalang oleh sejumlah serdadu Jepang yang berhasil menyusup ke belakang garis kedua.[30] Selagi bala bantuan mulai tiba, tentara Belanda di garis kedua ditarik mundur kembali ke garis pertahanan yang baru pada subuh keesokan harinya.[31] Ada sekitar 950 prajurit Belanda di garis pertahanan yang baru,[32] dan di belakang lagi ada 400 prajurit yang menjaga garis pertahanan yang belum selesai dibangun.[33] Sepanjang tanggal 5 Maret, tentara Jepang telah merebut lima pillbox.[24]

Awalnya, komandan-komandan Jepang mengira ada 3.000 serdadu Belanda di hadapan mereka, tetapi mereka baru menyadari jumlah sesungguhnya setelah menginterogasi seorang tawanan.[34] Tentara Jepang sendiri berjumlah 1.000 orang di Tjiater pada tanggal 6 Maret, dengan keunggulan dari segi mortir dan tank.[32] AU Jepang juga menjatuhkan ratusan bom ke posisi-posisi Belanda di Tjiater, menghancurkan kendaraan-kendaraan Belanda dan menjatuhkan moril mereka.[35] Pada pukul 5:30 pagi, Jepang meluncurkan suatu serangan di sisi barat pertahanan Belanda. Serangan pertama mereka gagal, begitu pula serangan kedua yang disertai bantuan udara, tetapi serangan ketiga mereka yang didukung tiga tank dan tembakan mortir berhasil menerobos dua kompi infanteri Belanda yang bertahan di sana.[36] Antara 30 hingga 50 korban jatuh di pihak Belanda dari kedua kompi tersebut, dan Jepang juga membantai 75 orang tahanan perang yang ditawan.[37] Pada siang harinya, sejumlah pasukan patroli Jepang sudah beradu tembak dengan serdadu-serdadu yang berada di garis terakhir.[38] Pada sore harinya, posisi belakang tersebut telah terkepung, tetapi sebuah serangan balik Belanda memukul mundur tentara Jepang dan memungkinkan prajurit-prajurit Belanda untuk mundur ke arah Lembang. Dalam serangan balik tersebut, Kolonel de Veer terbunuh.[39]

Pertempuran pada tanggal 7 Maret sebagian besar mencakup operasi pembersihan Jepang melawan sisa-sisa prajurit Belanda yang tidak sempat mundur.[40] Jepang juga terus maju ke arah Lembang, dan setelah sejumlah pertempuran dan baku tembak, serdadu-serdadu Belanda di Lembang kembali mundur ke Bandung.[41]

Kelanjutan

Setelah Tjiater jatuh ke tangan Jepang, posisi pasukan sekutu di Jawa Barat tidak dapat dipertahankan lagi.[17] Malam hari tanggal 7 Maret, Lembang juga jatuh ke tangan Jepang, dan Belanda mengirim seorang pembawa pesan dengan bendera putih.[42][43] Awalnya, Belanda hanya ingin menyerah di wilayah Bandung. Namun, dalam negosiasi keesokan harinya di Kalijati, panglima Tentara ke-16 Hitoshi Imamura meminta keseluruhan Hindia Belanda beserta pasukan sekutu di Jawa untuk menyerah. Gubernur-Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Komandan KNIL Hein ter Poorten awalnya menolak.[44]

Pada saat itu, West Group telah tiba di Bandung dengan niat untuk meluncurkan perang gerilya melawan Jepang, tetapi mereka mengurungkan niat mereka setelah menyadari bahwa kondisi tidak memungkinkan - Hindia Belanda terlalu besar untuk perang gerilya dengan pasukan yang tersedia, dan jumlah orang Indonesia atau Tionghoa yang berpihak kepada Belanda tidak memadai.[42][45] Surabaya pun telah direbut oleh Jepang pada tanggal 8, dan tentara KNIL di Jawa Timur sudah mengibarkan bendera putih pada hari itu juga (meskipun secara resmi mereka baru menyerah keesokan harinya).[46] Menghadapi kemungkinan pecahnya pertempuran di Bandung yang penuh pengungsi sipil,[47] pemerintah Hindia Belanda mengumumkan penyerahan mereka tengah hari tanggal 9 Maret. Kurang dari tiga jam kemudian, Perjanjian Kalijati ditandatangani, mengakhiri kekuasaan Belanda di Indonesia.[48]

Referensi

  1. ^ Boer 2011, hlm. xix-xxii.
  2. ^ OCMH 1958, hlm. 1.
  3. ^ OCMH 1958, hlm. 15.
  4. ^ a b OCMH 1958, hlm. 26.
  5. ^ Remmelink 2015, hlm. 189.
  6. ^ de Jong 1985, hlm. 1017.
  7. ^ de Jong 1985, hlm. 1018-1020.
  8. ^ Boer 2011, hlm. 365.
  9. ^ Boer 2011, hlm. 369-370.
  10. ^ Chronology and Index of the Second World War, 1938-1945 (dalam bahasa Inggris). Royal Institute of International Affairs. 1947. hlm. 112. ISBN 9780887365683. 
  11. ^ a b c Boer 2011, hlm. 367.
  12. ^ a b c d Boer 2011, hlm. 368.
  13. ^ Boer 2011, hlm. 509.
  14. ^ Boer 2011, hlm. 393-394.
  15. ^ Boer 2011, hlm. 417.
  16. ^ OCMH 1958, hlm. 28.
  17. ^ a b Boer 2011, hlm. 369.
  18. ^ Boer 2011, hlm. 395.
  19. ^ Boer 2011, hlm. 404-407.
  20. ^ Boer 2011, hlm. 373-382.
  21. ^ Boer 2011, hlm. 382-386.
  22. ^ Boer 2011, hlm. 390-392.
  23. ^ Boer 2011, hlm. 409.
  24. ^ a b Remmelink 2015, hlm. 522.
  25. ^ a b Boer 2011, hlm. 410.
  26. ^ Boer 2011, hlm. 411.
  27. ^ Boer 2011, hlm. 413-414.
  28. ^ Boer 2011, hlm. 416-417.
  29. ^ Boer 2011, hlm. 418.
  30. ^ Boer 2011, hlm. 420.
  31. ^ Boer 2011, hlm. 423.
  32. ^ a b Boer 2011, hlm. 434.
  33. ^ Boer 2011, hlm. 435.
  34. ^ Remmelink 2015, hlm. 524.
  35. ^ Boer 2011, hlm. 440.
  36. ^ Boer 2011, hlm. 443-445.
  37. ^ Boer 2011, hlm. 446-447.
  38. ^ Boer 2011, hlm. 449.
  39. ^ Boer 2011, hlm. 467-468.
  40. ^ Remmelink 2015, hlm. 526.
  41. ^ Boer 2011, hlm. 479.
  42. ^ a b Boer 2011, hlm. 484-485.
  43. ^ Remmelink 2015, hlm. 528.
  44. ^ Remmelink 2015, hlm. 529-533.
  45. ^ De Jong 1985, hlm. 1053.
  46. ^ OCMH 1958, hlm. 15-16.
  47. ^ Boer 2011, hlm. 425.
  48. ^ Remmelink 2015, hlm. 534-535.

Daftar pustaka