Sumalata

Revisi sejak 8 Maret 2020 01.21 oleh Liapanigoro (bicara | kontrib) (Membuat halaman baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

A. Sumalata

Sumalata pada awalnya hanyalah nama dari sebuah tempat di wilayah utara Pohala’a Limutu (Limboto). Nama Sumalata sendiri sebelumnya adalah Tumolata. Tapi dikarenakan lidah orang Belanda yang sulit mengeja kata “Tumolata”, dan menyebutnya dengan “Sumalata”, sehingga dalam penulisnya menjadi “SOEMALATA”.  Sumalata disaat pemerintahan Wala’o Pulu masih merupakan satu wilayah utuh dari   Deme I sampai Tolinggula. Nanti setelah tahun 1889, ketika Sumalata menjadi sebuah Onder Distirik yang dikepalai oleh seorang Marsaole, barulah wilayah Sumalata dibagi menjadi 8 (delapan) desa ‘kambungu’ yakni Deme I, Deme II, Buladu, Wubudu, Bulontio, Buloila, Biawu dan Tolinggula.

Peristiwa Olabu Tamu'u

Kejayaan Sumalata berlangsung kurang lebih selama 1 (satu) abad, disamping adanya pasang surut pertumbuhan ekonomi di wilayah itu. Hal ini dikarenakan adanya beberapa peristiwa yang mempengaruhi aktifitas ekonomi, baik pertambangan, pertanian dan perdagangan. Pertama, ketika terjadi peristiwa Tamu’u dan Olabu, yang membunuh salah satu pegawai dari NV. Mijnbouw Maatschappij "Soemalata" yang sempat menggegerkan Pemerintah Belanda dan masyarakat Sumalata ditahun 1899, yang kemudian disusul terjadinya banjir bandang pada tahun 1926, yang meluluhlantahkan bangunan-bangunan di Ibukota Sumalata, yang pada waktu itu terletak antara Jembatan Buladu dan Wubudu sekarang ini. Akibatnya pusat pemerintahan dan perdagangan dipindahkan ke wilayah disekitar Tanjung Pongoala (sekarang Dusun Pongoala Desa Buladu). Tamu’u dan Olabu menjadi orang nomor satu yang paling dicari-cari oleh Pemerintah Kolonial Belanda saat itu. Namun dengan kelebihan mereka yang kononnya saat mereka berhasil ditangkap oleh belanda dan dibawah dengan kapal besar belanda namun saat itu pula olabu tamuu berhasil kabur karena memiliki kelebihan yang diluar akal manusia.

Disaat keduanya berada dibagian kiri perahu, maka perahupun oleng ke kiri, begitupun sebaliknya. Kerana mengingat kondisi kapal yang tidak memungkinkan untuk mengangkut kedua orang kakak beradi tersebut, maka terpaksa keduanya dipindahkan ke sebuah kapal penumpang yang cukup besar. Dan lokasi pemindahan Tamu’u dan Olabu dari sebuah perahu motor ke sebuah Kapal Penumpang, hingga kini dikenal dengan nama “Polamiya” (dari kalimat Pilolamiya liyo ole’ Tamu’u wawu te Olabu/lokasi dipindahkannya Tamu’u dan Olabu).

Referensi

© 2018 Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya