Masjid Shah
Masjid Shah dikenal pula sebagai masjid Imam (setelah revolusi Islami tahun 1979 di Iran) dan Masjid Jameh Abbasi yang merupakan sebuah masjid di Isfahan, Iran, berlokasi di sisi selatan Taman Naghsh-i Jahan. Masjid ini dibangun pada periode Safavi, dibawah perintah Shah Abbas dari Persia.
| |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Shia Islam |
Kepemimpinan | Mayor of Isfahan |
Status | Active |
Lokasi | |
Lokasi | Isfahan, Iran |
Koordinat | 32°39′16″N 51°40′39″E / 32.65444°N 51.67750°E |
Arsitektur | |
Arsitek | Shaykh Bahai |
Gaya arsitektur | Four-iwan format |
Peletakan batu pertama | 1611 |
Rampung | 1629 |
Biaya konstruksi | 60,000 tomans |
Spesifikasi | |
Panjang | 100 m |
Lebar | 130 m |
Tinggi luar kubah | 53 m |
Menara | 4 |
Tinggi menara | 42 m |
Masjid ini merupakan contoh sempurna dari arsitektur Islami Iran, dan dipandang sebagai mahakarya Arsitektur Persia. Masjid Shah merupakan mahakarya abadi dari arsitektur di Iran. Masjid ini terdaftar, bersama dengan Taman Naghsh-i Jahan, sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Pembangunannya dimulai pada tahun 1611, keindahan masjid ini terutama dikarenakan oleh ubin mozaik dengan tujuh warna dan tulisan-tulisan kaligrafinya.
Masjid ini merupakan salah satu warisan yang ditampilkan dalam Around the World in 80 Treasures ditampilkan oleh sejarawan arsitektur Dan Cruickshank.
Masjid ini juga digambarkan pada bagian belakang uang kertas Iran sebesar 20,000 rial.[1]
Sejarah
Pada tahun 1598, ketika Shah Abbas memutuskan untuk memindahkan ibu kota kerajaan Persia dalam masa pemerintahannya dari barat laut kota Qazvin ke pusat kota di Isfahan, ia memulai sesuatu yang akan menjadi upaya terbesar dalam sejarah Persia; pembuatan ulang atas kota kuno. Dengan memilih pusat kota di Isfahan, yang menjadi subur karena Sungai Zāyandeh ("sungai pemberi-kehidupan"), terbentang layaknya mata air di dataran tandus yang luas, ia memastikan ibu kota terlindungi bila terjadi serangan baik dari Ottoman dan Uzbek, dan pada waktu yang bersamaan mendapatkan tambahan kuasa atas Teluk Persia, yang belakangan menjadi wilayah perdagangan penting untuk Belanda dan Britania Perusahaan-perusahaan India Timur.[2]
Kepala arsitek untuk tugas kolosal akan perencanaan tempat pemukiman adalah Shaykh Bahai (Baha' ad-Din al-`Amili), yang memusatkan program pada dua tugas utama dari rencana utama Shah Abbas: jalan Chahar Bagh, diapit dikedua sisi oleh institusi-institusi terkemuka, seperti pemukiman semua pejabat-pejabat asing, dan Taman Naqsh-e Jahan ("Panutan Dunia").[3] Sebelum Shah menjadi penguasa, struktur kekuatan Persia mengalami desentralisasi, yang mana institusi berbeda berupaya mendapatkan kekuasaan, termasuk didalamnya militer (Qizilbash) dan gubernur-gubernur dari berbagai provinsi ; guna membentuk kerajaan. Shah Abbas ingin merombak struktur politik yang demikian, dan pembuatan ulang Isfahan, sebagai ibu kota Agung Persia, merupakan langkah penting dalam pemusatan kekuatan.[4] Dengan demikian, Shah Abbas akan mengumpulkan tiga komponen kekuatan utama di Persia dalam wilayah kekuasaannya; kekuatan agamawi, disimbolkan oleh Masjid Shah, kekuatan perdagangan, disimbolkan dengan Pasar Kerajaan, dan tentunya, kekuasaan akan Shah sendiri, bertempat tinggal di Istana Ali Qapu.
Inti paling berharga dari proyek ini adalah Masjid Shah, yang akan menggantikan Masjid Jameh yang lebih tua dalam memimpin sholat Jumat. Guna mencapai hal tersebut, Masjid Shah dibangun bukan hanya atas dasar keagungan, memiliki kubah paling besar di kota, tetapi Shaykh Bahai juga berencana mendirikan dua sekolah agama dan masjid musim dingin yang berada pada masing-masing sisinya.[5] Oleh karena harapan Shah untuk menyelesaikan pembangunan gedung dalam masa hidupnya, jalan pintas diraih dalam pembangunannya; sebagai contoh, Shah tidak mengindahkan peringatan dari salah satu arsitek Abu'l Qāsim mengenai bahaya kelemahan dari pondasi masjid, dan ia tetap pada proses pembangunannya.[6] Alasan arsitek tersebut pun terbukti, karena pada tahun 1662, bangunan tersebut mengalami banyak perbaikan.[7] Dan juga, rakyat Persia menciptakan gaya baru akan ubin mozaik (Tujuh-warna) yang lebih murah dan lebih cepat, hal ini tentunya mempercepat proses pembangunan. Pekerjaan ini diselesaikan dengan sangat baik oleh sekelompok pengrajin terbaik di negara itu, dan seluruh pekerjaan dipantau oleh kaligrafer Ulung, Reza Abbasi. Pada akhirnya, sentuhan terakhir dilakukan menjelang akhir tahun 1629, beberapa bulan setelah kematian Shah.
Juga, banyak sejarawan bertanya-tanya mengenai orientasi janggal Taman Kerajaan (Maidān). Tidak seperti kebanyakan gedung-gedung penting, taman ini tidak berada dalam posisi menghadap Mekah, makan ketika memasuki gerbang-masuk masjid, seseorang harus, hampir tanpa disadari, berputar kearah kanan, hal ini memungkinkan supaya ruangan utama menghadap Mekah. Donald Wilber memberikan penjelasan yang paling masuk akal akan hal ini; tujuan dari Shaykh Bahai supaya masjid dapat terlihat dari sisi manapun oleh mereka yang berada di maydān. Bila titik poros maydān bertepatan dengan titik poros Mekah, maka pandangan akan kubah masjid akan terhalangi oleh tugu gerbang-masuk yang berada di depannya. Dengan membuat sudut sedemikian, kedua bagian dari gedung, gerbang-masuk dan kubah, berada dalam posisi pandang sempurna yang dapat dinikmati semua orang yang berada di taman.[8]
Arsitektur dan desain
Desain – gaya empat-iwan
Bangsa Safawi berpendapat bahwa Masjid Shah sebagai sebuah aliran dimana mereka dapat mengutarakan pendapat mereka akan beragam teknik arsitetur mereka. Bentuk empat-iwan, yang dirangkum oleh dinasi Seljuk, diwariskan oleh bangsa Safawiyah, dengan tegas menetapkan beranda halaman masjid tersebut, dengan lajur masuk bertugu pada setiap sisi, sama pentingnya dengan bangunan itu sendiri.[9] Pada masa pemerintahan Seljuk, sebagaimana mistis Islami mulai bangkit dan masyarakat Persia sedang mencari desain arsitektural yang menekankan identitas Iran, sususan empat-iwan mendapat tempat tersendiri. Masyarakat Persia telah memiliki legenda arsitektur yang kaya, dan bentuk istimewa iwan sesungguhnya diambil pada masa terdahulu, desain istana Sassanid,[9] yakni Istana Ardashir. Dengan demikian, arsitektur Islami menjadi saksi tampilnya sebuah jenis baru yang berbeda dari desain gaya-hipo terdahulu, masjid-masjid Arab, seperti Masjid Umayyad. Bentuk empat-iwan secara khusu mengambil bentuk persegi, halaman yang berada di tengah dengan ruang masuk dari masing-masing sisi, memberikan kesan akan pintu gerbang dunia spiritual.
Berada di pelataran publik, atau Maidan, gerbang-iwan (pintu masuk) menuju masjid mengambil bentuk setengah-lingkaran, membentuk setengah-bulan dan berukuran tinggi 27 meter, bingkai melengkung dipenuhi hiasan berwarna pirus dan dihiasi karya stalaktit dari ubin yang mewah, penggambaran jelas dari arsitektur Islami Persia. Pada masing-masing sisi berdiri dua menara, dengan tinggi 42 meter, yang pada puncaknya terdapat balkoni kayu terukir dengan stalaktit hingga ke arah bawah. Kaligrafer Ahli dari Kerajaan, Reza Abbasi, mengukir tanggal mulai pembangunan, dan disampingnya berisikan ayat-ayat yang memuja Muhammad dan Ali.[10] Pada bagian tengah, didepan pintu masuk, terdapat kolam kecil dan tempat peristirahatan kuda, dan dibagian dalam para umat mendapatkan wadah besar dari marmer yang tertumpu, berisikan air tawar atau limun. Waddah ini masih ada sebagaimana pada waktu empat ratus tahun lalu, tetapi sudah tidak lagi berfungsi sebagai penyegar kepada para umat yang datang sholat Jumat.
Ketika melalui gerbang masuk, kita menjumpai halaman utama, pada bagian tengahnya terdapat kolam besar. Dua gerbang masuk (iwan) pada setiap sisinya memberikan pemandangan menuju gerbang utama yang berada di ujung, satu-satunya dengan menara, dan dibelakangnya terdapat kubah agun, dengan hiasan yang warna-warni.
Fitur utama dari masjid adalah menara, dan Masjid Shah memiliki empat menara. Akan tetapi, masjid-masjid di Persia, menara-menara tinggi dipandang kurang tepat untuk digunakan mengumandangkan adzan, dan mereka akan menambahkan edikula, dikenal dalam bahasa Persia sebagai goldast (buket) untuk kepentingan khusus, dan untuk Masjid Shah berada di puncak iwan bagian barat.[11]
Bangunan Religi
Pada bagian dalam, kelengkapan akustik dan pantulan pada bagian tengah dibawah kubah merupakan pusat perhatian banyak pengunjung, karena kecerdasan arsitek, ketika menciptakan kubah, memungkinkan Imam untuk berbicara dengan suara lembut tetapi tetap dapat terdengar jelas oleh semua orang yang berada dalam masjid.
Mihrab, sebuah lembaran marmer dengan tinggi sepuluh kaki dan lebar tiga kaki pada dinding barat-daya, menunjukkan arah Mekah. Pada bagian atasnya, pengikut Shah menempatkan lemari bertatahkan emas. Lemari tersebut menampung dua relik: sebuah Quran, yang menurut sejarah merupakan salinan oleh Imam Reza, dan jubah dengan noda darah milik Imam Hussain. Walau tidak pernah dipamerkan, jubah tersebut dikatakan memiliki kekuatan magis; mengangkat ujung tombak pada medan peperangan, kepercayaannya bahwa jubah tersebut dapat mengusir musuh.[12]
Dari halaman utama, iwan yang menunjuk ke arah timur memiliki sebuah sekolah agama, atau disebut madrasa. Iwan ini juga menyimpan naskah yang dituliskan oleh kaligrafer Muhammad Riza Imami yang menyembah Empat Belas Orang Suci (antara lain, Muhammad, Fatimah, dan Dua Belas Imam). Iwan pada sisi barat menuju ke madrasa yang lain dan sebuah masjid musim dingin. Pada areanya sendiri, sebuah halaman terpisah, kita dapat menemukan Jam matahari yang dibuat oleh Shaykh Bahai.
Kubah
Sebagaimana dengan iwan-iwan, pengenalan kubah kedalam desain arsitektural Islami dimulai oleh bangsa Persia. Struktur gedung tertua yang dimaksud adalah Masjid Agung Zavareh, sekitar tahun 1135.[13] Bangsa Persia telah membangun kubah yang demikian beberapa abad sebelumnya, dan contoh-contoh awal dari kubah dengan ukuran terbesar di dunia terdapat di Iran, contohnya adalah Kastil Perawan. Maka, para Muslim Safawiyah mencontoh pengetahuan pra-Islamic dalam pembangunan kubah, contoh penggunaan squinch untuk membentuk transisi dari bangunan bersisi delapan, menjadi kubah melingkar. Untuk menutupi wilayah transisi tersebut, bangsa Persia membentuk jaringan stalaktit yang menarik. Oleh karenanya merupakan awal perkenalan dengan fitur tersebut kepada masjid-masjid Persia.
Kebangkitan Persia dalam pembangunan kubah diawali oleh Dinasti Safawiyah. Fitur nyata dari kubah Persia, yang memisahkan semuanya dari kubah-kubah yang dibentuk pada peradaban Kristen atau Ottoman dan Kerajaan Mughal, ubin-ubin warna-warni yang menutupi bagian luar kubah mereka sebagaimana mereka melakukannya pada bagian dalam. Kubah-kubah demikian kemudian bertambah banyak di Isfahan, dan wilayah sekitarnya, bentuk berwarna-biru nantinya akan mendominasi garis langit di kota. Memantulkan cahaya matahari, kubah-kubah ini tampak seperti permata pirus dan tampak bahkan dari kejauhan oleh pengelana yang menyelusuri Jalur Sutra melalui Persia. Dengan mencapai ketinggian 53 meter, kubah Masjid Shah kemudian menjadi yang tertinggi ketika selesai pada tahun 1629. Bangunan tersebut dibangun dengan kubah berlapis ganda dengan ketebalan 14 meter antara kedua lapisnya, dan berada pada ruangan kubah bersegi-delapan.[14]
Kesenian
Masjid Shah merupakan sebuah struktur agung, yang menggunakan 18 juta batu-bata dan 475,000 ubin, Shah mengeluarkan biaya sebesar 60,000 toman untuk membangunnya.[15] Bangunan ini juga menggunakan ubin mozaik dengan gaya haft rangi (tujuh-warna). Pada masjid-masjid Iran terdahulu, ubin-ubin yang digunakan adalah mozaik fayans, dengan proses lambat dan mahal dimana ubin-ubin satu-warna dipotong kecil-kecil dan digabungkan untuk menciptakan desain yang rumit. Pada metode haft rangi, seniman menggabungkan semua warna, kemudian membakar ubin tersebut. Lebih murah dan lebih cepat, prosedur baru yang memungkinkan penggunaan kombinasi warna yang lebih luas, menciptakan pola yang lebih kaya, menarik dipandang mata.[7][16] Menurut Jean Chardin, kelembaban udara Persia yang rendah membuat warna-warna menjadi lebih hidup dan lebih kontras dengan beragam pola, jauh lebih menarik dibanding dengan apa yang dapat dicapai di Eropa, dimana ubin-ubin berwarna menjadi tampak kusam dan tidak begitu menarik.[17] Akan tetapi, sebagian besar penulis kontemporer dan modern melihat hasil karya ubin-ubin di Masjid Shah sebagai keunggulan baik dari segi kualitas dan keindahan dibandingkan karya yang digunakan untuk melapisi Masjid Lotfallah, yang kemudian sering kali menjadi rujukan oleh sejarawan Persia, seperti Iskandar Munshi, sebagai masjid dengan kesucian dan keindahan yang agung.[18]
Para arsitek juga banyak menggunakan marmer, yang mereka kumpulkan dari tambang kaca didekat Ardestan.[7] Seluruh gedung, mulai dari batas masuk hingga ke bangunan utama, dua meter bagian bawah dinding ditutupi dengan marmer berwarna krem, yang secara indah dipahat pada setiap sisinya disetiap sisi pintu masuk dan juga diukur dengan naskah-naskah. Diatas bagian ini dimulai dengan ubin-ubin mozaik yang menutupi sisa bangunan.
Gerbang masuk masjid menampilkan dekorasi ubin yang terbaik dari bangunan itu sendiri. Seluruhnya dibentuk dari ubin mozaik dengan tujuh warna (biru tua Persia, biru muda Turki, putih, hitam, kuning, hijau dan biskit). Sebuah prasasti besar bertuliskan naskah-naskah religi dari naskah thuluth berwarna putih pada bagian bawah iwan yang berwarna biru tua. Ubin-ubin yang digunakan di Masjid Shah kebanyakan berwarna biru, kecuali yang melapisi ruangan aula, yang kemudian dikembalikan kewarna yang lebih sejuk, kuning-kehijauan.[16]
Menghadap ke utara, gerbang masjid menuju Maidan biasa berada dibawah bayang-bayang tetapi sejak dilapisi dengan ubin mozaik yang bersinar; wilayah ini berkilau dengan didominasi oleh warna biru muda dengan kepekatan yang luar biasa. Facing northwards, the mosque’s portal to the Maidan is usually under shadow but since it has been coated with radiant tile mosaics it glitters with a predominantly blue light of extraordinary intensity. Ornamen bangunan ini sama sekali tradisional, seraya mencerminkan motif klasik Irani yang melambangkan keberkahan dan efektivitas. Dengan area yang simetris dan iwan-iwan yang seimbang, kita terpukau oleh kerumitan Arabes dalam balutan kuning keemasan dan biru tua, yang memberkahi pengunjung dengan perasaan tentram.
Arsitek
Arsitek pembangunan masjid ini (seperti yang dilaporkan) bernama ″Ostad Ali Akbar Esfahani″.
Ukuran-ukuran
The port of the mosque measures 27 m (89 ft) high, crowned with two minarets 42 m (138 ft) tall. The Mosque is surrounded with four iwans and arcades. All the walls are ornamented with seven-color mosaic tile. The most magnificent iwan of the mosque is the one facing the Qibla measuring 33 m (108 ft) high. Behind this iwan is a space which is roofed with the largest dome in the city at 52 m (171 ft) height. The dome is double layered. The whole of the construction measures 100 x 130 meter (330 ft × 430 ft), with the central courtyard measuring 70 x 70 meter (230 ft × 230 ft).
Galeri Foto
-
Masjid pada malam hari
-
Interior gedung utama
-
Pemandangan interior dari kubah
Pandangan panoramik
Lihat pula
- Chehel Sotoun Palace
Catatan
- ^ Central Bank of Iran. Banknotes & Coins: 20000 Rials. – Retrieved on 24 March 2009.
- ^ Savory, Roger; Iran under the Safavids, p. 155.
- ^ Sir Roger Stevens; The Land of the Great Sophy, p. 172.
- ^ Savory; chpt: The Safavid empire at the height of its power under Shāh Abbas the Great (1588–1629)
- ^ Blake, Stephen P.; Half the World, The Social Architecture of Safavid Isfahan, 1590–1722, p. 143–144.
- ^ Savory, p. 162
- ^ a b c Blake; p. 144
- ^ Wilber, Donald; Aspects of the Safavid Ensemble at Isfahan, in Iranian Studies VII: Studies on Isfahan Part II, p 407–408.
- ^ a b http://www.ne.jp/asahi/arc/ind/2_meisaku/55_shah/sha_eng.htm
- ^ Blake; p. 143
- ^ Hattstein M., Delius P.; Islam, Art and Architecture; p. 513
- ^ Blake, p. 143
- ^ http://www.ne.jp/asahi/arc/ind/2_meisaku/50_zavareh/zav_eng.htm
- ^ Hattstein M., Delius P.; p. 513–514
- ^ Pope; Survey, p. 1185–88
- ^ a b Hattstein M., Delius P.; p. 513
- ^ Ferrier, R. W.; A Journey to Persia, Jean Chardin's Portrait of a Seventeenth-century Empire, chpt: Arts and Crafts
- ^ Blake; p.149
Referensi
- Mimaran-i Iran by Zohreh Bozorg-nia. 2004. ISBN 964-7483-39-2
Bacaan lanjutan
- Half the World. The Social Architecture of Safavid Isfahan, 1590–1722; by Stephen P. Blake
- Iran Under the Safavids; by Roger Savory
- A journey to Persia. Jean Chardin's Portrait of a Seventeenth-century Empire; by R. W. Ferrier
- Iran: Empire of the Mind; by Michael Axworthy