Wayang sadat
Wayang Sadat adalah wayang dakwah Islam dengan menciptakan tokoh-tokoh wayang yang digunakan sebagai medium dakwah tauhid yang mengadopsi Walisongo. Wayang sadat mulai dipentaskan pertama kali oleh Suryadi pada tahun 1985 dengan menggunakan lakon Ki Ageng Pengging yang memuat ajaran tauhid dalam bentuk tersirat dalam janturan, dialog, syair gerongan, dan cakepan sulukan.
Sejarah
Wayang Sadat mulai dipentaskan pada tahun 1985 di Desa Trucuk. Wayang Sadat dibuat oleh seorang seniman sekaligus mubaligh bernama Suryadi yang saat tulisan ini dibuat (2020) telah berusia 86 tahun. Mengamati kembali perspektif budaya, wayang adalah perwujudan sinkretisme dan serpihan dari beragam budaya yang mengkonstruksinya. Sifat ini menunjukkan pluralitas dan sifat eklektik budaya sebagai akibat budaya Jawa yang terbuka dan toleran terhadap berbagai budaya lain. Selaras dengan hal tersebut, wayang sadat hadir dari produksi akulturasi Jawa-Islam untuk menjadi sarana penyampaian ajaran tauhid ke-Islaman. Perlu digarisbawahi bahwa sejauh ini banyak wayang yang telah lahir dan berkembang memiliki nilai religiuitas namun hanya dalam tataran normatif dan belum menyentuh ke aspek mendasar dari esensi keagamaan Islam yaitu Tauhid. Tauhid dalam ajaran Islam merupakan fondasi dasar dan inti keimanan seorang muslim. Sehingga, dapat dikatakan bahwa wayang sadat muncul menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya dengan misi pengajaran tauhid keislaman. Ajaran tauhid dalam pergelaran wayang sadat ini hanya akan menyoroti pada lakon Ki Ageng Pengging yang memiliki muatan ajaran tauhid ke-Islaman. Analisis akan dipusatkan pada nilai simbolik dalam pergelaran baik dalam janturan, dialog, syair-syair gerongan, dan cakepan sulukan.[1]
Etimologi
Secara etimologis, kata Sadat berasal dari kalimat “syahadat” yang merupakan rukun iman yang pertama bagi pemeluk agama Islam. Iman yaitu meyakini sepenuh hati bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad adalah Rasulullah. Suryadi memiliki dua tujuan dalam pementasan wayang sadat. Pertama, wayang sadat digunakan untuk berdakwah ajaran tauhid keislaman. Sejauh ini para penyebar agama Islam sudah menggunakan seni pewayangan sebagai dakwah tetapi dapat diamati bahwa hanya terdapat sedikit porsi dakwah di dalam pagelaran wayang tersebut. Selain itu, pertunjukan wayang yang telah ada sebelumnya umumnya bersumber dari Epos Mahabarata dan Ramayana yang kental nuansa Hindu-Budha. Kedua, melalui pertunjukan wayang sadat, Suryadi ingin merangsang apresiasi umat Islam, khususnya masyarakat Trucuk dan sekitarnya pada tahun 1980an, yang dinilainya masih rendah terhadap seni tradisi. Dengan berdasarkan pada kreativitas seni dan landasan dakwah Islam, Suryadi membuat lakon-lakon yang terlepas dari epos Hindu-Budha. Lakon-lakon baru muncul dari rekonstruksi cerita dakwah Walisongo. Selain bersumber dari karya sastra kuno berupa babad dan serat, Suryadi menguatkan citra wayang sadat sebagai wayang dakwah Islam dengan menciptakan tokoh-tokoh wayang yang mengadopsi Walisongo, yaitu Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan para tokoh dari zaman kerajaan Islam Demak yaitu Raden Patah, Ki Ageng Pengging, dan Joko Tingkir.
Refleksi Tauhid
Wayang sadat memiliki esensi tauhid yang termuat dalam lakon, ketokohan, dan simbol-simbol di dalamnya. Secara harfiah, kata tauhid dari bahasa Arab yaitu Wahhada Yuwahhidu-tauhid yang artinya “meng-Esakan”. Jadi bertauhid artinya meng-Esakan Tuhan pencipta semesta yang tidak ada sesuatu bagi-Nya dengan keyakinan yang bulat sehingga yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Mahakuasa tidak ada tandingannya. Tauhid merupakan suatu pegangan, pengilmuan, dan sesuatu yang bersabit dengan penghayatan tentang pengesaan dan Keesaaan Allah Ta’ala. Konsep tauhid terdiri dari tiga asas yaitu iman (kepercayaan), ilmu (pengetahuan) dan amal (perlakuan).Dalam tauhid terdapat enam rukun iman, yaitu: Iman kepada Allah, Iman kepada Malaikat, Iman kepada Kitab Tuhan, Iman kepada Rasul, Iman kepada Hari Akhir, dan Iman kepada Takdir Tuhan. Keenam rukun iman tersebut terdapat pada pementasan wayang sadat dalam Lakon Ki Ageng Pengging.
- ^ Ashari, Hasan; Joebagio, Hermanu; Pelu, Musa (2019). "Refleksi Ketauhidan Dalam Wayang Sadat Lakon Ki Ageng Pengging". Jantra. 14 (2): 129.