Geguritan

bentuk puisi di kalangan penutur bahasa Jawa dan Bali
Revisi sejak 21 Agustus 2019 01.57 oleh Argo Carpathians (bicara | kontrib) (←Suntingan Ogya Adyatma (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh AABot)

Geguritan (berasal dari bahasa Jawa Tengahan, kata dasar: gurit, berarti "tatahan", "coretan") merupakan bentuk puisi yang berkembang di kalangan penutur bahasa Jawa dan Bali.

Geguritan berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa bentuk geguritan yang berbeda. Dalam bentuk yang awal, geguritan berwujud nyanyian yang memiliki sanjak tertentu[1]. Di Bali berkembang bentuk geguritan semacam ini. Pengertian geguritan di Jawa telah berkembang menjadi sinonim dengan puisi bebas, yaitu puisi yang tidak mengikatkan diri pada aturan metrum, sajak, serta lagu ([2].

Geguritan atau dalam hal ini puisi Jawa modern mulai muncul pada tahun 1929 di majalah Kejawen dengan terbitnya tiga buah judul geguritan[3]. Pada tahun 1930-1940 terbit tujuh buah karya lainnya. Puisi Jawa modern sempat terhenti pada awal zaman pendudukan Jepang dan baru muncul kembali sesedah revolusi[4]. Puisi Jawa modern ini dipelopori oleh R. Intoyo dan Subagiyo Ilham Notodijoyo[5].

Catatan kaki

  1. ^ Dalam bahasa Jawa: tembang uran-uran awujud purwakanti atau "nyanyian yang sebagian kata-katanya diulang-ulang"
  2. ^ Dalam bahasa Jawa: karangan kang pinathok kaya tembang nanging guru gatra, guru wilangan, guru lagune ora ajeg atau "karangan yang telah dirumuskan seperti nyanyian tetapi bait, suku kata, dan rimanya tidak tetap"
  3. ^ Ras, J.J. (1985). Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir, diterjemahkan Hestri. Jakarta: Grafiti-pers.
  4. ^ 1953-, Saputra, Karsono H., (2001). Puisi Jawa struktur dan estetika (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Wedatama Widya Sastra. ISBN 9799653010. OCLC 48100094. 
  5. ^ Suripan Sadi Hutomo. (1975). Telaah Kesusastraan Jawa Modern. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Kebudayaan Republik Indonesia