Penyembahan berhala
Penyembahan berhala adalah istilah merendahkan untuk pemujaan berhala, benda fisik seperti gambar kultus, sebagai dewa,[1] atau praktik diyakini hampir pada ibadah, seperti memberikan kehormatan yang tidak semestinya dan memperhatikan bentuk membuat selain Tuhan.[2] Dalam agama Abrahamik semua penyembahan berhala adalah sangat dilarang, meskipun dilihat sebagai apa yang merupakan penyembahan berhala mungkin berbeda di dalam dan di antara mereka. Dalam agama-agama lain penggunaan gambar kultus diterima, meskipun istilah "penyembahan berhala" tidak mungkin digunakan dalam agama, yang pada dasarnya tidak setuju. Gambar, ide, dan objek merupakan penyembahan berhala sering kali menjadi masalah perdebatan yang cukup besar, dan di dalam semua agama Abrahamik istilah ini dapat digunakan dalam pengertian yang sangat luas, dengan tidak ada implikasi bahwa perilaku menentang untuk benar-benar merupakan dari penyembahan religius dari objek fisik.
Penyembahan berhala menurut agama
Yahudi
Penyembahan berhala di dalam agama Yahudi disebutkan dalam kitab keluaran pasal 20 ayat 4–5 dan termasuk sepuluh perintah Allah
20:4 Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
20:5 Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Allah, tuhanmu, adalah tuhan yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku.
— Keluaran 20:4–5
Kristen
Gagasan-gagasan di dalam agama Kristen berkenaan dengan penyembahan berhala dilandaskan pada perintah pertama Dasatitah yang berbunyi:
Jangan ada padamu ilah lain di hadapan-Ku.[3]
Perintah ini dijabarkan di dalam Alkitab, yakni di dalam Keluaran 20:3 ayat ke-3 dari bab 20 Kitab Keluaran, Matius 4:10 ayat ke-10 dari bab 4 Injil Matius, Lukas 4:8 ayat ke-8 dari bab 4 Injil Lukas, dan banyak lagi ayat lain, misalnya:[3]
Janganlah kamu membuat berhala bagimu, dan patung atau tugu berhala janganlah kamu dirikan bagimu; juga batu berukir janganlah kamu tempatkan di negerimu untuk sujud menyembah kepadanya, sebab Akulah TUHAN, Allahmu. Kamu harus memelihara hari-hari Sabat-Ku dan menghormati tempat kudus-Ku, Akulah TUHAN.
Pandangan Kristen mengenai penyembahan berhala secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yakni pandangan Kristen Katolik dan Kristen Ortodoks yang menghalalkan citra-citra keagamaan,[5] dan pandangan banyak jemaat Kristen Protestan yang mengharamkannya. Meskipun demikian, banyak umat Kristen Protestan yang memanfaatkan citra salib sebagai lambang.[6][7]
Kristen Katolik
Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks dari generasi ke generasi membela pemanfaatan ikon. Perdebatan mengenai apa yang disiratkan citra-citra dan apakah penghormatan dengan bantuan ikon-ikon di dalam gereja setara dengan penyembahan berhala sudah berlangsung berabad-abad lamanya, teristimewa sejak abad ke-7 sampai dengan zaman Reformasi Protestan pada abad ke-16.[8] Perdebatan-perdebatan ini mendukung penyertaan ikon-ikon Yesus Kristus, Perawan Maria, dan para Rasul, yakni ikonografi yang diungkapkan dalam bentuk karya seni kaca patri, santo-santa daerah, dan berbagai macam lambang iman Kristen lainnya. Perdebatan-perdebatan tersebut juga mendukung amalan-amalan seperti misa Katolik, penyalaan lilin di depan gambar-gambar, hiasan-hiasan dan perayaan-perayaan Natal, serta pawai-pawai sukaria maupun pawai-pawai peringatan dengan mengusung patung-patung yang penting artinya bagi agama Kristen.[8][9][10]
Di dalam makalahnya yang berjudul Ihwal Citra Ilahi, Santo Yuhana Addimasyqi membela pemanfaatan ikon-ikon dan citra-citra sebagai tanggapan langsung terhadap gerakan ikonoklasme Bizantium yang memprakarsai aksi penghancuran citra-citra keagamaan pada abad ke-8 dengan dukungan Kaisar Leo III maupun penggantinya, Kaisar Konstantinus V, semasa berkecamuknya perang agama melawan Khilafah Bani Umayyah.[11] "Saya berani menggambar citra Allah yang tidak kasatmata, bukan dalam keadaan-Nya yang tidak kasatmata, melainkan dalam keadaan-Nya sesudah menjadi kasatmata demi kepentingan kita melalui daging dan darah," ungkap Santo Yuhana Addimasyqi dalam tulisannya. Ia menambahkan pula bahwa citra-citra adalah ungkapan-ungkapan "untuk mengenang mukjizat, kehormatan, kenistaan, kebajikan, maupun kejahatan", dan bahwasanya buku juga merupakan citra yang tersurat dalam bentuk lain.[12][13] Ia membela pemanfaatan citra-citra dalam kegiatan-kegiatan keagamaan atas dasar doktrin Kristen tentang Yesus sebagai inkarnasi Firman Allah.[14]
Islam
Di dalam agama Islam penyembahan berhala adalah salah satu perbuatan syirik yang membatalkan tauhid uluhiyah
Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.
— Al-'A`raf 7:191
...dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.
— An-Nahl 16:20
Referensi
- ^ http://mw2.merriam-webster.com/dictionary/idolatry
- ^ Catechism of The Catholic Church, passage 2113, pp.460, Geoffrey Chapman, 1999
- ^ a b T. J. Wray (2011). What the Bible Really Tells Us: The Essential Guide to Biblical Literacy. Rowman & Littlefield Publishers. hlm. 164–165. ISBN 978-1-4422-1293-0.
- ^ Terrance Shaw (2010). The Shaw's Revised King James Holy Bible. Trafford Publishing. hlm. 74. ISBN 978-1-4251-1667-5.
- ^ Frank K. Flinn (2007). Encyclopedia of Catholicism. Infobase. hlm. 358–359. ISBN 978-0-8160-7565-2.
- ^ Leora Batnitzky (2009). Idolatry and Representation: The Philosophy of Franz Rosenzweig Reconsidered. Princeton University Press. hlm. 147–156. ISBN 978-1-4008-2358-1.
- ^ Ryan K. Smith (2011). Gothic Arches, Latin Crosses: Anti-Catholicism and American Church Designs in the Nineteenth Century. University of North Carolina Press. hlm. 79–81. ISBN 978-0-8078-7728-9.
- ^ a b Moshe Halbertal; Avishai Margalit; Naomi Goldblum (1992). Idolatry . Harvard University Press. hlm. 39–40, 102–103, 116–119. ISBN 978-0-674-44313-6.
- ^ L. A. Craighen (1914). The Practice of Idolatry. Taylor & Taylor. hlm. 21–26, 30–31.
- ^ William L. Vance (1989). America's Rome: Catholic and contemporary Rome . Yale University Press. hlm. 5–8, 12, 17–18. ISBN 978-0-300-04453-9.
- ^ Stephen Gero (1973). Byzantine Iconoclasm During the Reign of Leo III: With Particular Attention to the Oriental Sources. Corpus scriptorum Christianorum Orientalium: Subsidia. hlm. 1–7, 44–45.
- ^ Saint John (of Damascus) (1898). St. John Damascene on Holy Images: (pros Tous Diaballontas Tas Agias Eikonas). T. Baker. hlm. 5–6, 12–17.
- ^ Hans J. Hillerbrand (2012). A New History of Christianity. Abingdon. hlm. 131–133, 367. ISBN 978-1-4267-1914-1.
- ^ Benedict Groschel (2010). I Am with You Always: A Study of the History and Meaning of Personal Devotion to Jesus Christ for Catholic, Orthodox, and Protestant Christians. Ignatius. hlm. 58–60. ISBN 978-1-58617-257-2.