Gereja Kristen Jawa Salib Putih
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Salib Putih adalah bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Hasanudin km. 4 (Kota Salatiga – Kopeng), Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Gereja tersebut merupakan satu-satunya gereja di Kota Salatiga yang menggunakan atap mansard. Selain itu, gereja ini juga menjadi bangunan yang menjadi titik perhatian di jalur Kota Salatiga dan Kopeng. Keberadaannya menjadi salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. Setidaknya hingga tahun 2020, kondisi bangunannya terawat dengan baik serta difungsikan sebagai tempat ibadah rutin umat Kristen di sekitar kawasan itu.
Keadaan bangunan
Gereja ini berada di Jalan Hasanudin km. 4 (Kota Salatiga – Kopeng) dan satu kompleks dengan Agrowisata Salib Putih.[1] Gereja tersebut menjadi salah satu gereja Kristen tertua di Jawa Tengah. Menurut Purnomo dan Sastrosupono dalam buku berjudul Gereja-Gereja Kristen Jawa, GKJ: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa, gereja tua lain yang berada di Jawa Tengah adalah Gereja Kristen Jawa Tengah Utara di Grobogan yang dibangun tahun 1898 serta GPIB Immanuel Semarang (Gereja Blenduk) di Semarang yang dibangun tahun 1753.[2]
Berdasarkan tulisan angka di tugu peringatan yang berada satu kompleks dengan gereja tersebut, disebutkan bahwa peringatan 50 tahun berdirinya gereja pada 1952. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa gereja ini dibangun tahun 1902.[3] Tulisan di tugu berbentuk tiang batu yang dilengkapi dengan bola dan salib berwarna putih itu juga memuat Injil Yohanes 3:16 dalam bahasa Jawa, yaitu:[4]
Awit déné Allah enggoné ngasihi marang djagad iku kongsi masrahaké kang Putra ontang-anting, supaja saben wong kang ngugemi, adja kongsi nemu karusakan, nanging nduwènana urip langgeng.[4]
(Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Dia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal).[5]
Menurut Mulyati yang mengutip keterangan dari Buku Sejarah Salib Putih, 14 Mei 1902–4 Mei 2013, bentuk bangunan gereja tersebut masih asli sejak pertama kali didirikan. Tiang dan skur (kayu penahan) yang digunakan masih asli, tetapi fondasinya telah diganti dengan batu bata. Gereja itu merupakan satu-satunya gereja di Kota Salatiga yang menggunakan atap mansard[a] (atap prancis atau atap trotoar). Hasil kajian dan identifikasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 turut memperjelas bahwa konstruksi dinding gereja ini menggunakan kombinasi kayu dan papan.[6] Pintu gerbang gereja ini memuat tulisan Injil Markus dengan aksara Jawa, yaitu padalemaningsun sinebuta dalem pamujan (rumahku disebut sebagai rumah pemujaan).[7]
Dalam penelitiannya, Mulyati yang mewawancarai salah seorang informan bernama Zakeus, menuturkan bahwa salah satu keunikan gereja tersebut adalah mimbar khotbahnya yang terbuat dari kayu jati dan kondisinya masih bagus. Selain itu, di bawah mimbar juga terdapat kolam pembaptisan, meskipun telah ditutup dengan kayu. Adapun sesanti yang berada di belakang mimbar ditulis dengan bahasa Jawa, yaitu aku ora pedhot-pedhot anganthi marang kowé kongsi tumeka wekasaning jaman (aku tidak akan putus dalam mencapai-Mu hingga akhir zaman).[8]
Setidaknya hingga tahun 2020, kondisi fisik keseluruhan bangunan gereja tersebut terawat dengan baik serta difungsikan sebagai tempat ibadah rutin umat Kristen di sekitar kawasan itu.[9][10] Gereja yang terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 11-73/Sla/140[b][11] ini menjadi bangunan yang menjadi titik perhatian di jalur Kota Salatiga dan Kopeng. Keberadaannya menjadi salah satu bukti fisik penyebaran agama Kristen di kawasan Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.[10][12]
Dinamika
Berdasarkan data arsip Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) mengenai pendirian yayasan, keberadaan GKJ Salib Putih maupun panti wreda, panti asuhan, dan perkebunan di kawasan Salib Putih bermula dari komite pelayanan sosial yang dipimpin oleh pasangan suami-istri penginjil berbeda kebangsaan dari Leger des Heils (Bala Keselamatan), yaitu Adolph Theodoor Jocobus van Emmerick (Belanda) dan Alice Cornelia Cleverly (Inggris). Pada awal pelayanannya, Brouwer memperjelas bahwa Bala Keselamatan di wilayah Salatiga dan Semarang dikenal dengan Bala Kěslamětan (bahasa Jawa).[13] Komite sosial yang didirikan oleh Adolph dan Alice ini awalnya hanya fokus kepada pelayanan sosial untuk kesejahteraan umat berupa rumah perawatan bagi masyarakat yang kurang mampu.[14]
Mereka berdua datang ke Hindia Belanda tahun 1882 sebagai amtenar.[3][15] Peran mereka diawali ketika Gunung Kelud meletus tahun 1901. Wolterbeek dalam Babad Zending in Java menengarai bahwa letusan tersebut tidak hanya menimbulkan masalah sosial dan ekonomi saja, tetapi juga epidemi penyakit kolera yang menimpa penduduk. Chao turut menambahkan bahwa sekitar + 300 orang penduduk yang berada di sekitar gunung itu lantas mengungsi hingga ke wilayah Kota Salatiga.[16] Untuk sementara waktu, mereka ditampung di Alun-Alun Salatiga (saat ini bernama Lapangan Pancasila Salatiga) dalam barak-barak darurat serta mendapatkan penanganan dari tenaga medis Militair Hospital (saat ini bernama Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Dokter Asmir – disingkat RS DKT dr. Asmir).[15]
Komite sosial yang dipimpin oleh Adolph dan Alice ini sebenarnya mengajak para pengungsi untuk pindah ke Semarang (pusat awal Bala Keselamatan Indonesia).[15] Namun, menurut arsip YSKSP, atas dasar pertimbangan kemanusiaan, jarak, dan fasilitas di Semarang yang tidak memungkinkan, mereka disarankan untuk menempati kawasan yang sekarang bernama Salib Putih. Komite tersebut lantas mendirikan barak-barak penampungan untuk tempat tinggal dan perawatan di lahan seluas + 40 hektar secara swadaya, sedangkan para pengungsi ditampung dan dirawat sementara di rumah keluarga Emmerick, yang sekarang menjadi SMK Kristen Salatiga.[17] Mereka mulai menempati kawasan Salib Putih pada 14 Mei 1902.[15][18]
Selain mendapatkan bantuan dari komite sosial, para pengungsi juga dilatih dengan berbagai keterampilan untuk menggarap kawasan ini, yaitu bertani, beternak, dan membuka areal perkebunan (kopi, vanili, karet, lengkeng, dan rumput gajah). Selanjutnya, bagi para pengungsi yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke Sumatra maupun Sulawesi, sedangkan bagi yang tidak bersedia diberi tanah dan tempat tinggal hampir seluas 12 hektar di wilayah tersebut.[19] Dalam perkembangannya, areal ini bertambah luas karena mendapatkan hibah dari wedana serta tambahan hasil pembelian tanah yang dilakukan oleh keluarga Emmerick.[20]
Berhubung sebagian besar pengungsi yang tidak ingin bertransmigrasi bersedia memeluk agama Kristen, dibangunlah sebuah gereja di wilayah itu pada 1902. Bangunan gereja ini terbuat dari kayu jati dengan menara di puncaknya sebagai tempat lonceng gereja. Lonceng itu merupakan hadiah dari pemerintah Belanda yang berangka tahun 1682.[7] Pada tahun itu pula komite sosial yang didirikan oleh keluarga Emmerick berganti nama menjadi Witte Kruis Kolonie. Nama ini dalam bahasa Indonesia berarti "Perkumpulan Salib Putih". Yayasan tersebut belum berbadan hukum, tetapi mempunyai hak otonomi sendiri.[21]
Pada 9 Juli 1924, Adolph meninggal dan semua tugas pelayanan diteruskan oleh istrinya hingga tahun 1942. Yayasan yang dikelolanya lantas berganti nama menjadi Vereniging der Witte Kruis Kolonie dan telah berbadan hukum pada 1928, serta mendapatkan subsidi dari pemerintah Belanda. Sampai tahun 1930, yayasan ini memiliki anggota lebih dari 1.200 orang. Selanjutnya, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda, Alice ditangkap dan akhirnya meninggal.[18]
Setelah Indonesia merdeka, semua aset Belanda diserahkan kepada pemerintah Indonesia, termasuk lahan Salib Putih dan bangunan gereja. Pun demikian, tahun 1948 pengelolaannya diserahkan kepada anak Adolph, yaitu Santoso Adolf van Emmerick hingga tahun 1952. Seluruh aktivitas yayasan selanjutnya dikelola oleh Perkumpulan Rumah Sosial Sana Bapa dan dipimpin oleh pejabat pemerintah bernama Somadilaga.[19]
Pada 1952, pemerintah Indonesia menyerahkan pengelolaan gereja dan Perkumpulan Rumah Sosial Sana Bapa kepada Sinode GKJ. Nama Sana Bapa lantas diubah menjadi Perkumpulan Rumah Perawatan Salib Putih oleh Ketua Pelaksana Harian Sinode GKJ bernama Basuki Probowinoto. Perubahan tersebut disetujui oleh Djodi Gondokusumo selaku Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan akta notaris Nomor J.A. 5/67/23 tanggal 2 Agustus 1954.[18]
Yayasan ini terakhir berganti nama menjadi Yayasan Sosial Kristen Salib Putih (YSKSP) pada 1977. Untuk memenuhi ketentuan undang-undang, yayasan tersebut didaftarkan secara resmi kepada pemerintah Indonesia (dalam hal ini Menteri Sosial Republik Indonesia) melalui akta notaris No. 066-12/KPTS/BBS/II/86 tanggal 25 Februari 1986, tetapi baru dikukuhkan tanggal 14 Desember 1995.[3][16]
Lihat pula
Keterangan
- ^ Atap mansard juga disebut dengan atap prancis atau atap trotoar adalah atap pinggul gaya empat sisi yang ditandai oleh dua lereng di setiap sisinya dengan kemiringan yang lebih rendah, tertusuk oleh jendela atap pada sudut yang lebih curam daripada atas (Kindangen 2019, hlm. 29). Garis patahan atap di tambahan kasau miring atau atap mansard adalah garis pertemuan antara dua bidang atap yang berbeda kemiringannya. Arahnya sejajar dengan garis tirisan atap, berarti kedudukannya mendatar (horizontal) (Frick & Setiawan 2001, hlm. 187).
- ^ Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 (Hatmadji, dkk 2009, hlm. 3).
Rujukan
- ^ Setiawan, Hendra (29 Desember 2019). "Gereja Salib Putih, Sejarah Perjalanan Agama Kristen di Salatiga". Suara Merdeka. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
- ^ Purnomo & Sastrosupono (1988), hlm. 108 dan 131
- ^ a b c Setiawan, Hendra (29 Desember 2019). "Gereja Salib Putih, Sejarah Perjalanan Agama Kristen di Salatiga". Suara Merdeka. Diakses tanggal 21 Mei 2020.
- ^ a b Rahardjo, dkk (2013), hlm. 76
- ^ Yayasan Lembaga Sabda (YLSA) (tanpa tanggal). "Yohanes 3:16 (Versi Paralel)". Alkitab Sabda. Diakses tanggal 22 Desember 2020.
- ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 271
- ^ a b Rahardjo, dkk (2013), hlm. 74
- ^ Rahardjo, dkk (2013), hlm. 75
- ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 271-272
- ^ a b Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (2 April 2018). "Gereja Salib Putih, Bukti Sejarah Penyebaran Agama Kristen di Kawasan Semarang dan Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 19 Mei 2020.
- ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 272
- ^ Seo (2013), hlm. 111
- ^ Brouwer (1950), hlm. 78-79
- ^ Sumartana (2012), hlm. 9-10
- ^ a b c d Rahardjo, dkk (2013), hlm. 72
- ^ a b Chao (2017), hlm. 62
- ^ Ismael (1954), hlm. 42
- ^ a b c Sinode Gereja Kristen Jawa (29 Januari 2020). "Doa untuk Salib Putih". Sinode Gereja Kristen Jawa. Diakses tanggal 22 Mei 2020.
- ^ a b Rahardjo, dkk (2013), hlm. 72-73: "Bagi orang rawatan yang telah sembuh diberi kesempatan untuk bertransmigrasi ke Sumatra maupun Sulawesi, sedangkan bagi yang tidak bersedia dan mampu berdiri sendiri diberi tanah garapan maupun tempat tinggal hampir seluas 12 hekar di wilayah tersebut (...)"
- ^ Platzdasch (2014), hlm. 72: "In the late nineteenth century, White Cross was used by the Salvation Army and a huge part of the land is currently used by the Javanese Christian Church (GKJ) (...)"
- ^ Rohman (2020), hlm. 125: "(...) bahkan ada satu komunitas pimpinan A. Van Emmerick yang memiliki jemaat mencapai + 700 orang. Komunitas ini dinamakan dengan Witte Kruis atau Salib Putih".
Daftar pustaka
Buku
- Brouwer, Melattie Margaretha (1950). Zamrud di Khatulistiwa: Sejarah Gereja Bala Keselamatan di Indonesia Jilid I. Semarang: Bala Keselamatan Indonesia.
- Chao, En-Chieh (2017). Entangled Pieties: Muslim-Christian Relations and Gendered Sociality in Java, Indonesia (Contemporary Anthropology of Religion). New York: Springer International Publishing.
- Frick, Heinz; Setiawan, Puja L. (2001). Ilmu Konstruksi Struktur Bangunan (Cara Membangun Kerangka Gedung Ilmu Konstruksi Bangunan 1). Yogyakarta: Kanisius.
- Hatmadji, Tri, dkk (2009). Cagar Budaya Salatiga. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah.
- Ismael, Dina (1954). Zamrud di Khatulistiwa: Sejarah Gereja Bala Keselamatan di Indonesia Jilid II. Semarang: Bala Keselamatan Indonesia.
- Kindangen, Jefrey I. (2019). Ventilasi Atap. Yogyakarta: Deepublish.
- Platzdasch, Bernhard (2014). Religious Diversity in Muslim-Majority States in Southeast Asia (Areas of Toleration and Conflict). Singapura: Markono Print Media.
- Purnomo, Hadi; Sastrosupono, M. Suprihadi (1988). Gereja-Gereja Kristen Jawa, GKJ: Benih yang Tumbuh dan Berkembang di Tanah Jawa. Jakarta: Taman Pustaka Kristen (TPK), Gunung Mulia untuk Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa.
- Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga.
- Seo, Myengkyo (2013). State Management of Religion in Indonesia. New York: Routledge.
- Sumartana (2012). Komunitas Kristen di Jawa Tengah (Sepenggal Sejarah Gereja Kristen Jawa). Salatiga: BPK Gunung Mulia.
Jurnal ilmiah
- Rohman, Fandy Aprianto (Juni 2020). "Administrasi Pemerintahan Gemeente di Salatiga 1917-1942". Walasuji. 11 (1). ISSN 2502-2229.
Bacaan lanjutan
- Bala Keselamatan Indonesia (1971). Sedjarah Ringkas dan Perkembangannja. Semarang: Bala Keselamatan Indonesia.
- Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga.
- Probowinoto, Basuki (1995). Ikrar dan Ikhtiar dalam Hidup Pendeta Basoeki Probowinoto. Jakarta: Gunung Mulia.