Silek Kumango

jenis silek asal nagari Kumango

Silat Kumango (Minangkabau: Silek Kumango) adalah salah satu aliran silat (silek) utama khas Minangkabau.[1] Silat ini berasal dari Nagari Kumango, yang termasuk Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.[2][3] Aliran ini diciptakan oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidi, seorang ulama tarekat dan pendekar silat ternama asal Kumango.[4][5]

Sejarah

Syekh Abdurrahman al-Khalidi, atau disebut juga Syekh Kumango, adalah peramu Silat Kumango.[6][7] Ia disebutkan bernama kecil Alam Basifat,[8] dan lahir pada sekitar tahun 1802. Pada masa mudanya adalah pendekar yang banyak merantau ke berbagai pelosok nusantara untuk belajar mengaji dan bersilat. Syekh Kumango menguasai tarekat Syattariah, Naqsyabandiyah, dan juga Sammaniyah. Setelah kembali dari perantauannya, ia kemudian mengajar agama dan ilmu beladiri di surau di kampungnya, yang dikenal dengan nama Surau Subarang.

Pengaruh ajaran tarekat pada Silat Kumango sangat terasa, yang menuntut para muridnya dapat mengendalikan diri.[9][10] Jurus-jurus pada silat ini tidak lagi meniru gerakan hewan atau alam, sebagaimana pada golongan silat-silat tua lainnya di Sumatera Barat.[11]

Penyebaran Silek Kumango antara lain telah sampai ke Malaysia, Belanda, dan kawasan lain di Indonesia

Konsep dan teknik

Konsep dan teknik Silat Kumango memiliki persamaan dengan aliran-aliran silat Minangkabau lainnya, meskipun memiliki ciri khasnya tersendiri. Di dalam silat ini tetap dikenal istilah-istilah garak-garik, langkah, kudo-kudo, gelek, jurusan, sikap pasang, dan lain-lain sebagai bagian dari karakter dasar silat Minangkabau.[12]

Langkah

Seperti halnya silat di Minangkabau, belajar melangkah dianggap penting. Para murid ditekankan agar belajar cara melangkah yang benar, sebab jurus atau buah tidaklah akan tepat penggunaannya apabila langkah yang dilakukan tidak benar. Silek Kumango memakai konsep langkah ampek (langkah empat), namun Syekh Kumango memakai istilah Islami untuk menamai gerak langkah khas Silat Kumango, yaitu langkah alif-lam, lam-ha, mim-ha, dan mim-dal.[8][11]

Langkah-langkah dalam Silat Kumango dilakukan dengan ringan dan berhati-hati, demi menjaga kegesitan dan antisipasi yang cepat untuk menyerang atau bertahan; teknik melangkah ini dinamakan pijak baro.[13] Langkah-langkah yang dilakukan bertujuan mendekatkan pesilat dengan tubuh lawannya, sehingga dapat melakukan penyergapan yang diikuti dengan serangan pukulan dan/atau bantingan.[14]

Jurus

Silat Kumango menerapkan jurus-jurus yang lembut dan fleksibel dalam taktiknya untuk mengalahkan lawan.[14] Pesilat Kumango yang ahli telah terlatih untuk melepaskan diri dari hampir semua bentuk kuncian, pintingan, ataupun cekikan yang dilakukan oleh lawan.[14] Gerakan menghindar yang dilakukan sering terlihat seperti "mengalah", namun segera dibalikkan untuk mendapat situasi yang menguntungkan, sehingga di tengah suatu gerakan yang lembut akan muncul tindakan yang keras terhadap lawan.[14]

Jurus-jurus atau inti gerakan pada Silat Kumango sbb.:[15]

  • Ilak suok
  • Ilak kida
  • Rambah
  • Cancang
  • Sambuik pisau
  • Lantak siku
  • Ampang
  • Patah tabu
  • Ucak tangguang
  • Ucak lapeh

Lihat pula

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Pauka 1988, hlm. 27.
  2. ^ Maryono, O'ong (2002). Pencak Silat in the Indonesian Archipelago (dalam bahasa Inggris). Yayasan Galang. hlm. 200. ISBN 978-979-9341-60-0. 
  3. ^ Tarab berasal dari kata Tarok, yaitu nama tumbuhan yang pada zaman dahulu seratnya dibuat untuk pakaian. Pada zaman penjajahan Jepang, pakaian dari serat tarok ini kembali populer dengan ucapan ichi ni san shi go roku, baju goni sarawa tarok (satu dua tiga empat lima enam, baju goni celana tarok).
  4. ^ Jasmi 2019, hlm. 106.
  5. ^ Prabowo 2016, hlm. 7.
  6. ^ Jasmi 2019, hlm. 101, 106.
  7. ^ http://www.mail-archive.com/silatindonesia@yahoogroups.com/msg01880.html
  8. ^ a b Fuadi, A. (2013-12-17). The Land of Five Towers (English Edition) (dalam bahasa Inggris). Gramedia Pustaka Utama. hlm. 151. ISBN 978-979-22-7594-0. 
  9. ^ Jasmi 2019, hlm. 105, 108.
  10. ^ Prabowo 2016, hlm. 7-8.
  11. ^ a b Prabowo 2016, hlm. 8.
  12. ^ Pauka 1998, hlm. 31-37.
  13. ^ Pauka 1998, hlm. 35.
  14. ^ a b c d Draeger 2012, hlm. 97-98.
  15. ^ Prabowo 2016, hlm. 9-11.

Bahan bacaan

Pranala luar