Kabupaten Boyolali

kabupaten di Indonesia, di pulau Jawa
Revisi sejak 16 Januari 2006 02.21 oleh Wic2020 (bicara | kontrib) (Boyolali dipindahkan ke Kabupaten Boyolali)

Boyolali, , (bahasa Jawa: Bayalali arti harafiah: "Lupa dari marabahaya"), adalah sebuah daerah kabupaten di Jawa Tengah. Daerah ini adalah penghasil susu perah.


Ibukota: Boyolali kota
Wilayah: 1.015,07 km²
Penduduk: ~ 1 juta jiwa.
jumlah kecamatan:16
Provinsi:Jawa Tengah




-> Daftar Daerah Tingkat II

Kabupaten Boyolali sebagai salah satu dari 35 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah, terletak aantara 110o 22 ‘ – 110o 50’ Bujur Timur dan 7o 36’ – 7o 71’ Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 75 sd 1.500 meter dari permukaan laut dan memiliki jarak bentang: - Barat – Timur : 48 KM - Utara – Selatan : 54 Km.

Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Kabupaten Boyolali adalah: - Sebelah Utara : Kab. Grobogan dan Kab. Semarang. - Sebelah Timur : Kab. Karanganyar, Kab. Sragen dan Kab. Sukoharjo. - Sebelah Selatan : Kab. Klaten dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. - Sebelah Barat : Kab. Magelang dan Kab. Semarang.

Secara administratif Kabupaten Boyolali terdiri dari 19 Kecamatan yang terbagi menjadi 262 desa dan 5 kelurahan. Dari seluruh desa dan kelurahan yang ada, 224 desa/kelurahan merupakan desa yang berada di dataran rendah atau sekitar 83 persen dari seluruh desa/kelurahan dan selebihnya merupakan desa di dataran tingi.

Kabupaten Boyolali memiliki luas wilayah sebesar 101.510,1 hektar yang terdiri dari 22.119 ha (21,79%) lahan sawah dan 79.371,1 ha (78,21%) bukan lahan sawah. Ditinjau dari sisi penggunaan lahan, luas lahan sawah terbesar berpengairan teknis (23,98%), lainnya berpengairan setengah teknis, sederhana, tadah hujan dan lain-lain. Sedangkan lahan kering yang digunakan untuk bangunan/pekarangan sebesar 25.023,2 ha (31,52%), tegal/kebun/lading/huma sebesar 30.608,9 ha (38,55%), hutan Negara seluas 14.454,7 ha (18,21%) dan selebihnaya dipergunakan untuk padang gembala, tambak/kolam dan lainnya yang mencapai 11,72% dari total bukan lahan sawah Kabupaten Boyolali adalah termasuk dalam Sub Daerah Tujuan Wisata (Sub DTW)-A di Jawa Tengah, yaitu terletak di kaki sebelah timur gunung Merapi dan Merbabu sehingga memiliki pemandangan yang indah dan mempesona serta mempunyai Bandara Internasional Adi Sumarmo. Kota Boyolali berjarak +25 km dari Kota Budaya SUrakarta dan merupakan koridor jalur wisata Solo-Selo-Borobudur (SSB).

         Boyolali dikenal sebagai kota susu, masyarakatnya ramah-tamah sehingga sesuai dengan motto pembangunan atau julukannya "Boyolali Tersenyum" (Tertib, Elok, Rapi, Sehat, Nyaman untuk Masyarakat). Boyolali menatap masa depan dengan penuh optimisme karena banyak sektor dominan yang sangat potensial.Mendengar nama Boyolali, akan terbayang di benak kita sapi-sapi perah yang melenguh ketika puting susunya diremas-remas. Gambaran itu mudah mampir di pikiran kita karena memang sapi perah dan susu sebagai produknya, menjadi ikon dari daerah ini. Patungnya ada di berbagai sudut kota, dan beberapa produk susu olahan yang telah mengalami proses pasteurisasi, juga bisa dibeli dari penjaja makanan kota itu. Selain susu, Boyolali juga punya ikon lain yang sama populernya, yakni industri kerajinan tembaga. Sentra produksinya di Desa Tumang, Kecamatan Cepogo, yang jaraknya 12 km dari Boyolali kota. Untuk sampai ke sana, kita melewati jalan yang menanjak. Daerah itu berada di lereng Gunung Merbabu. Sebenarnya, selain dua ikon itu, Boyolali punya sumber-sumber popularitas yang juga kuat. Misalnya, kawasan Selo, sebagai daerah wisata untuk para petualang yang ingin menggapai Puncak Merapi. Sebelum dipopulerkan menjadi bagian dari jaringan wisata Solo-Selo-Borobudur, namanya telah menginternasional. Di internet nama itu selalu disebut sebagai daerah peristirahatan sementara bagi para pendaki Gunung Merapi. Di Kabupaten ini juga terdapat Bandara Adisumarmo, Asrama Haji Donohudan, Waduk Kedung Ombo, serta objek-objek wisata yang menarik.  


         Tapi itu semua tidak membuat para elit politik dan pemerintahan daerah ini berbangga diri. Maklumlah, pada tahun ini dijumpai kasus-kasus gizi buruk di semua kecamatan wilayah yang pernah dipimpin oleh seorang dokter (mantan bupati dr H Djaka Srijanta itu). Jumlahnya tidak main-main, 265 kasus. Dengan kata lain, ada tantangan konkret yang membentang di depan. Ikon-ikon yang dimiliki itu tidaklah cukup untuk membuat berbangga diri. Tantangan itu memang harus dijawab dengan kerja jauh lebih keras dari aparatus birokrasi, para elit politik, bersama dengan warganya.

Boyolali memiliki luas wilayah 1.015,10 km2, dengan jumlah penduduk 935.768 jiwa. Dengan demikian, tingkat kepadatannya 922 orang/ km2. Sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian, khususnya hortikultura. Produknya antara lain cabe, pepaya, jagung, gandung, jahe, kacang tanah. Beberapa produknya dipasarkan hingga ke Thailand dan Jepang.

Persoalan yang serius dihadapi daerah ini adalah kekurangan air di musim kemarau, khususnya di daerah-daerah dataran tinggi, yang juga jadi sentra produksi susu. Boleh jadi, air itu yang menjadi sumber persoalan kemiskinan dan kesehatan yang melanda daerah ini, karena banyak warga harus menjual sebagian kekayaannya guna mendapatkan air bersih itu.

Maka wajar bahwa pengadaan air bersih juga menjadi prioritas pemerintah kabupaten, di antara impian-impian lain, yang sebagian telah terealisasi, seperti membangun pasar tradisional yang megah, mengembangkan pariwisata, mempertahankan dan meningkatkan produksi susu lewat peremajaan sapi perah. (21) Suara Merdeka 17-07-2005 Boyolali Tetap Kembangkan Persusuan Memasuki wilayah Boyolali, kita akan menjumpai patung-patung sapi belang-blonteng hitam putih, dengan puting-puting susu di bagian bawah tubuhnya, di berbagai tempat. Itu patung sapi perah. Sapi perah memang menjadi ikon dari Kabupaten Boyolali, karena daerah ini merupakan penghasil susu terbesar di Jawa Tengah.

Memang, dari segi kuantitas, sapi potong di kawasan ini lebih banyak jumlahnya, yakni 88.322 ekor (data 2003), peternaknya merata seluruh 19 kecamatan di kabupaten tersebut. Di tingkat Jawa Tengah, Boyolali menduduki ranking ke-4 dalam jumlah sapi potong.

Sementara itu, jumlah sapi perah 59.193 ekor, peternaknya terkonsentrasi di tujuh kecamatan, yakni di Kecamatan Selo, Ampel, Cepogo, Musuk, Boyolali, Mojosongo, dan Teras. Kecamatan-kecamatan itu termasuk daerah dataran tinggi yang udaranya dingin, karena sapi perah yang dikembangkan di Boyolali saat ini berasal dari wilayah sub-tropis Australia dan Selandia Baru.

Sekalipun secara kuantitas kalah, toh sapi perah dengan susu sebagai produknya, tetap dipilih jadi simbol daerah, karena memang kabupaten ini yang terbesar memproduksi susu dibanding daerah-daerah lain di Jawa Tengah. Di masa lalu, dari usaha sapi perah, para peternak menghasilkan banyak sarjana. "Insinyur susu", demikian sebutan para sarjana yang pendidikannya dibiayai dari hasil susu.

Tetapi saat ini produksi susu di Boyolali mengalami tantangan yang serius. Jangankan berkembang, bertahan dalam kondisi saat ini saja sudah merupakan prestasi. Jumlah sapi perah pun menurun dibanding tahun 2002 yang 60.205 ekor.

Surutnya perekonomian nasional dianggap sebagai biang keladinya. Karena hal itu mengakibatkan harga bibit ternak unggul menjadi mahal, demikian pula dengan pakan, obat-obatan dan sarana produksi lainnya.

Di tingkat lokal, penurunan jumlah pasokan susu dari peternak juga dirasakan oleh KUD Persusuan Kecamatan Musuk. Ketua KUD Kecamatan Musuk Mulyono mengemukakan, saat ini rata-rata 25 ribu liter per hari yang masuk ke koperasinya. Masa keemasan memang di era masa pemerintahan Soeharto, bisa mencapai 32 ribu liter per hari.

Ada banyak faktor penyebabnya, kata Mulyono. Di masa orde baru dulu, ada kewajiban bagi peternak untuk memasok susu-susu yang diproduksinya ke KUD. Karena, bagaimanapun KUD juga yang berperan mengadakan sapi-sapi perah itu ke para petani. Sementara di sisi pasarnya, ada kewajiban bagi industri pengolah susu untuk menampung susu-susu dari dalam negeri, khususnya lewat KUD.

Perubahan Situasi

Di era reformasi, situasinya berubah. Peternak sapi perah bebas menjual susunya ke pihak mana pun. Mereka praktis mencoba-coba menikmati kondisi yang relatif liberal itu, dengan menjual susu ke agen-agen, yang selanjutnya menyalurkannya entah ke mana.

"Tetapi itu hanya berlangsung sekitar setahun. Pada tahun 1999, hampir semua kembali ke koperasi lagi. Alasannya, mereka banyak dibohongi, produk-produk mereka tidak dibayar, dan sebagainya," kata Mulyono.

Tantangan yang lebih serius justru adalah kondisi perdagangan bebas dunia. Karena tidak ada kewajiban bagi pabrik-pabrik susu untuk menerima susu-susu produksi domestik, mereka bisa membuka diri terhadap tawaran dari produsen susu dari berbagai negara. Harganya lebih murah, kualitasnya lebih bagus. Seringkali datang dalam bentuk sudah olahan, yakni susu bubuk. Pihak pabrikan dalam negeri tinggal mengubahnya dalam bentuk yang dikehendaki, atau menambah cita rasa tertentu yang menjadi ciri khas produksinya.

Bagaimanapun, industri pengolahan susu dalam negeri harus tetap menjaga keseimbangannya, untuk tetap selamat. Bukan atas dasar nasionalisme, tetapi semata-mata logika pasar.

Kalau mereka mengabaikan peternak susu domestik, maka jumlah produksi susu mentah secara nasional praktis akan surut. Jika itu terjadi, industri-industri pengolahan susu akan tergantung sepenuhnya dari sumber-sumber di pasar internasional, yang strukturnya bisa jadi oligarkhi (hanya beberapa pemasok). Jika itu terjadi, harga bisa mereka kendalikan.

Peremajaan Bibit Sapi Unggul

Secara konkret, apa yang sesungguhnya mereka harapkan? Edi Nirmolo, seorang anggota DPRD yang mantan Ketua KUD Musuk mengemukakan, saat ini persoalan produktivitas sapi perah yang menurun juga diakibatkan oleh kondisi sapi bersangkutan.

"Sapi-sapi tersebut sudah keturunan (filial - red.) ketiga atau keempat, dari induknya yang memang unggul. Dengan demikian, produktivitasnya tidak sedahsyat induk aslinya," tuturnya.

Semakin panjang rantai turunan itu, semakin turun juga produktivitasnya. Jika induk dari turunan-turunan itu bisa menghasilkan 10-11 liter susu per hari, sekarang paling-paling hanya 7 liter , dengan masa produktif selama 4-5 bulan sebelum masa birahi.

Tetapi, kata Nirmolo, sejelek-sejeleknya produktivitas sapi impor, masih jauh lebih baik dibanding sapi perah lokal. Produk sapi perah lokal rata-rata 5 liter per hari. Masa produksinya pun hanya 2 bulan. "Maka, kalau ditanya apa yang diperlukan untuk mempertahankan produksi susu, maka yang pertama adalah perlu peremajaan bibit sapi perah, khususnya dari New Zaeland yang kami tahu kualitasnya bagus," katanya.

Lalu kebutuhan berikutnya adalah ketersediaan air bersih, yang sangat vital untuk produksi sapi perah. Seringkali terjadi, di musim kemarau para peternak terpaksa menjual pedhet (anak sapi - red.) untuk mendapatkan air bersih, yang diperlukan agar sanitasi pada saat proses pemerahan tetap terjaga.

Tetap Diprioritaskan

Merespons harapan-harapan itu, Kepala Bappeda Kabupaten Boyolali Robert Andolia Pindongo SH, mengemukakan Pemkab tetap punya perhatian yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan dan mengembangkan persususan, lewat keberadaan sapi perah maupun sarana produksi lainnya.

Tentang air bersih, itu memang persoalan masyarakat Boyolali, tidak hanya khas peternak sapi perah. Maka itu, pengadaan air bersih itu menjadi prioritas utama. Untuk itu akan dibangun beberapa sumu artetis di beberapa wilayah dataran tinggi yang sulit air. Antara lain di kawasan lereng Merapi, yakni Wonosegoro.

"Bagaimanapun ketersediaan air merupakan indikator kesejahteraan. Maka, itu akan diusahakan sekuat tenaga," tutur Robert.

Selain itu, pihak Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI ) Kabupaten Boyolali akan membangun pabrik pengolahan susu di Desa Winong Kecamatan Boyolali. Pabrik ini bisa menerima sekitar 70 ribu liter susu per hari. Kehadirannya akan merangsang para peternak untuk berproduksi susu.

Yang jelas, kata Robert, industri persusuan Boyolali juga merupakan bagian integral dari pengembangan pariwisata di daerah ini, bersama dengan ikon terkenal lainnya, yakni industri kerajinan tembaga di Tumang.

"Kita bayangkan, para wisatawan yang datang dari Solo, hendak ke Borobudur lewat Selo (jalur Solo-Selo-Borobudur -red.), kita tawarkan untuk jalan-jalan juga ke sentra produksi susu dan kerajinan tembaga. Mereka bisa menikmati beragam sajian produk susu, yang sudah dikerjakan di tingkat KUD, atau membeli suvenir kerajinan tembaga dari Cepogo," tutur Robert.

Kecamatan Cepogo terletak di lereng gunung Merbabu, 12km dari Boyolali kota. Daerah ini, merupakan sentra kerajinan tembaga terbesar di Jawa Tengah. Di kecamatan ini terdapat 499 unit usaha kerajinan, yang menghasilkan beberapa produk barang.

Di tahun 70 hingga 80-an, daerah ini banyak memasok kebutuhan alat dapur dari tembaga untuk banyak daerah. Saat ini, Cepogo dengan cerdas mendiversifikasikan produk-produknya menjadi lebih menarik, mulai dari suvenir-suvenir kecil, hingga ornamen artistik, yang dipasang di hotel, gedung pemerintahan hingga jalan-jalan di berbagai kota Indonesia.

Jejaknya ada di mana-mana. Termasuk di luar negeri. Nilai ekspor dari kerajinan tembaga dari kecamatan ini 60.481 dolar Amerika (tahun 2003). Jumlah yang tidak sedikit. (21) Suara Mereka 17-07-2005

Pasar Tradisional Jadi Prioritas Jika daerah-daerah lain tergila-gila berusaha membangun mal-mal di era otonomi daerah ini, tidak demikian halnya dengan Kabupaten Boyolali. Ada tiga pasar yang berdiri megah saat ini. Yakni Pasar Pengging yang menelan biaya Rp 9 miliar, Pasar Ampel dengan biaya pembangunannya Rp 11 miliar dan Pasar Sunggingan (Kecamatan) Boyolali yang menghabiskan biaya Rp 12,6 miliar. Pasar Pengging saat ini telah termanfaatkan.

Kepala Bappeda Boyolali Robert Andolia Pindongo SH mengemukakan, pembangunan pasar-pasar tersebut pada hakekatnya untuk lebih meningkatkan pertumbuhaan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Boyolali pada tahun 2004 berkisar 5-6 %, tentu angka itu diharapkan akan meningkat lagi di tahun-tahun mendatang, sebagai konsekuensi aktivitas ekonomi yang meningkat pula.

Pembangunan itu, kata dia, merupakan pengejawantahan dari Renstra 200-2005, yang pada dasarnya menekankan empat sektor -yakni sektor pertanian, perindustrian, pariwisata dan koperasi- untuk meningkatkan kesejahteraan warga kabupaten. Peningkatan lapangan kerja menjadi salah satu prioritasnya.

Sekalipun terkenal dengan ikon kerajinan tembaga dan sapi perah, Robert mengemukakan, sumbangan terbesar dari PDRB tetaplah berasal dari bidang pertanian. Di tahun 2003, PDRB (berdasarkan harga berlaku) di daerah ini mencapai Rp 1,043 triliun. Dari sisi proporsi, sumbangan sektor pertanian menyumbang 39,74%. Angka itu antara lain berasal dri sub sektor tanaman pangan 23,24% dan sub sektor peternakan 13,05%.

Di bidang pertanian Kabupaten Boyolali memang terkenal sebagai salah satu sentra hortikultura (sayuran dan buah-buahan) di Jawa Tengah. Pepaya, cabai, jagung, adalah produk unggulan daerah ini. Pepaya bahkan menempati ranking pertama se Jateng.

Fakta dan data itu menjadi dasar penting untuk penciptaan pasar produksi. Maka dibuatlah pasar tradisional yang tergolong megah untuk sebutan "tradisional". Di bidang pertanian

Pembangunan pasar maka akan memudahkan pelayanan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menjadi nyaman dalam memenuhi kebutuhan. Dampaknya, semakin banyak uang yang beredar di Boyolali.

Di sisi lain, keberadaan pasar juga akan bisa mengembangkan perekonomian di sekitarnya. Kalau kondisi pasar tidak memenuhi persyaratan atau kurang layak maka warga akan melarikan uangnya ke kota lain untuk berbelanja, kata dia.

Tapi pembangunan pasar tradisional yang megah itu bukan tanpa kritik. Salah satu kritik itu datang dari Ketua DPRD Saptoto, berkaitan dengan skala yang besar dari pasar itu. Sekalipun Dewan juga menyetujui anggaran pembangunannya, sikap objektif perlu dikedepankan untuk kepentingan bersama.

Persoalan yang terjadi agaknya baru diketahui ketika pasar itu sudah dipakai, yakni Pasar Pengging. Di sana transaksi yang diterima pedagang cenderung berkurang, karena jumlah pedagang bertambah banyak.

Komitmen memang cukup mahal harganya. Mungkin ada kehendak untuk menjadikan pasar tradisional di Indonesia seperti pasar-pasar tradisional di kawasan Asia lainnya. Jepang misalnya, pasar tradisionalnya nyaman sekali untuk dikunjungi.

Pusat Pertumbuhan

Terinspirasi oleh kesuksesan Kabupaten Sukoharjo membangun kawasan Solo Baru, sebagai pusat pertumbuhan, rupanya Boyolali pun ingin mencobanya.

Yang dijadikan pusat orientasi adalah sama, yakni Kota Solo. Maka, yang akan dijadikan kawasan pusat pertumbuhan itu adalah wilayah di perbatasan Boyolali - Solo, yakni Ngemplak.

Ada banyak hal yang bisa digapai secara simultan jika daerah itu bisa tumbuh seperti Solo Baru, kata Robert. Kawasan itu bisa jadi salah satu daya tarik investasi, daya tarik pariwisata, sekaligus jadi model daerah-daerah lain untuk berkembang