Petambakan, Madukara, Banjarnegara

desa di Kecamatan Madukara, Banjarnegara

Petambakan adalah desa di Kecamatan Madukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Petambakan merupakan lokasi Kadipaten Banjar Petambakan sebelum dipindahkan ke Banjar Watulembu yang terletak di sebelah barat Desa Petambakan, di seberang kali Merawu.

Petambakan
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenBanjarnegara
KecamatanMadukara
Kode pos
53482
Kode Kemendagri33.04.08.2013 Edit nilai pada Wikidata
Luas220.373 Ha
Jumlah penduduk3.080 Jiwa

Wilayah

Desa Petambakan dengan luas 220.373 hektar terletak pada ketinggian 322 meter di atas permukaan laut dan lokasinya pada garis lintang 7.3730 dan garis bujur 109.6935. Desanya dibatasi oleh Desa Rakitan di sebelah utara, Desa Blitar di sebelah Timur, Kelurahan Rajasa di sebelah selatan dan [[Kali Merawu]] di sebelah barat.

Pembagian Wilayah


Rukun Warga

Desa Petambakan dibagi ke dalam RT dan RW sebagai berikut:

RW I terdiri dari RT 1 -5 terletak di bagian selatan desa

RW II terdiri dari RT 1-4 terletak di bagian tengah selatan desa

RW III terdiri dari RT 1-4 terletak di bagian utara timur

RW IV terdiri dari RT 1-4 terletak di bagian barat dan utara desa

Padukuhan

Pada masa lalu, desa terdiri dari padukuhan-padukuhan

Pungkuran, terletak pada RT 3 dan 4 RW III. Nama Pungkuran mengandung arti, lokasinya terletak di belakang pendopo Kadipaten Banjar Petambakan. Di Pungkuran ini terdapat makam Kuburan Keramat.

Patoman, terletak pada RT 1 dan 2 RW III. Patoman dulunya merupakan nama desa dimana terletak lokasi Kadipaten Banjar Petambakan. Di sebelah utara Musholla Nurul Hilal (RT 1 RW III) terletak tanah Tabetan, yaitu lokasi pemeliharaan kuda-kuda milih Adipati.

Sarean / Pasarean, terletak di RT 4 RW IV. Di Sarean ini terdapat makam / kuburan dimana Adipati Seda Loji dimakamkan.

Magangan, terletak di RT 3 RW IV. Magangan mengandung arti, tempat menghadang atau pemberhentian bagi orang yang melewati jalan.

Dukuh, lokasi di RT 1 dan 2 RW 1.

Baturgedhe lokasi di RT 5 dan 2 RW 1. Baturgedhe aslinya merupakan tanah persawahan, yang kemudian dijadikan lokasi perumahan dan gedung pendidikan.

Pemerintahan

Desa Petambakan dipimpin oleh seorang Kepala Desa (kades). Kades yang menjabat saat ini adalah Hery Setyo Pranadi, SE sebelumnya Kades Yadi sebelum Kades 'Abbas (ayah kades sekarang) sebelum Imam Hadiyono sebelum Ahmad Yusro. Sekdes = Khairuman menggantikan Khaerul Anwar, S.Ag. sebelumnya Main (mertua Khairuman) Kadus 1 = Sofiati Kadus 2 = Sutarman Kadus 3 = M. Yunus Kadus 4 = Subagyo

Kependudukan

Jumlah penduduknya ada 3091 jiwa, laki-laki 1540 jiwa dan perempuan 1551 jiwa.


Pasar Hewan

Pasar Tradisional Petambakan diresmikan pada tanggal 14 Oktober 2011 terletak selatan desa, di barat jalan dekat perbatasan Kelurahan Rejasa. Pasar hewan ini sebelumnya terletak di selatan Lapangan Petambakan di seberang barat jalan Banjarnegara - Karangkobar menjadi di dekat perbatasan dengan Desa Rejasa, sekitar 200 meter dari pasar lama. Lokasi pasar lama ini kemudian dijadikan POM Bensin. Dengan luas lahan 16.000 m2, pasar ini lebih luas dibandingkan pasar lama yang hanya 2000 m2. Untuk daya tampung lahan parkir pasar mampu menampung 300 kendaraan truk dan sejenisnya.

PBB

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB ) TAHUN 2015 untuk Desa Petambakan sejumlah Rp. 70.369.485,- dengan jumlah SPPT : 1.886 Lembar.

Pendidikan

  1. MTs Muhammadiyah Petambakan
  2. SMP IT Permata Hati Banjarnegara
  3. MI Muhammadiyah Petambakan
  4. SD IT Permata Hati Banjarnegara
  5. SDN Petambakan
  6. Bustanul Athfal Aisyiah Petambakan
  7. KB Aisyiah Petambakan
  8. KB Qurrota A'yun Petambakan
  9. TK Pertiwi Tambak Arum Petambakan

Sejarah

Desa Petambakan merupakan lokasi Kadipaten Banjar Petambakan sebelum dipindahkan ke Banjar Watulembu yang terletak di sebelah barat Desa Petambakan, di seberang kali Merawu.

Kyai Ageng Maliu pendiri Desa Banjar

Disebutkan, Kyai Maliu sangat tertarik akan keindahan alam di sekitar Kali Merawu, Desa Petambakan sebelah barat atau sebelah selatan jembatan Clangap (sekarang). Keindahan tersebut antara lain karena tanahnya berundak, berbanjar sepanjang kali. Kyai Maliu mendirikan pondok/rumah sebagai tempat tinggalnya yang baru. Setelah Kyai Maliu tinggal di tempat barunya tersebut, dalam waktu singkat disusul pula dengan berdirinya rumah-rumah penduduk yang lain di sekitar pondok Kyai Maliu sehingga kemudian membentuk suatu perkampungan. Perkampungan tersebut terus berkembang waktu-demi waktu yang akhirnya menjadi sebuah desa.

Desa baru tersebut kemudian dinamakan “Banjar” sesuai dengan daerahnya yang berupa sawah yang berpetak-petak. Atas dasar musyawarah penduduk desa baru tersebut Kyai Maliu diangkat menjadi pertinggi (Kepala Desa), sehingga kemudian dikenal dengan nama “Kyai Ageng Maliu Pertinggi Banjar”.

Keramaian dan kemajuan desa Banjar di bawah kepemimpinan Kyai Ageng Maliu semakin pesat dengan kedatangan Kanjeng Pengeran Giri Wasiat, Panembahan Giri Pit dan Nyai Sekati yang sedang berdakwah menyiarkan Islam. Ketiganya merupakan putera Sunan Giri, Raja di Giri Gajah Gresik yang bergelar Prabu Satmoko.

Sejak kedatangan Pangeran Giri Pit, desa Banjar menjadi pusat pengembangan Agama islam. Kyai Ageng Maliu semakin bertambah kemampuannya dalam hal agama Islam dan dalam hal memimpin Desa Banjar. Karena kepemimpinannya itulah Desa Banjar semakin berkembang dan semakinn ramai.

Desa Banjar yang didirikan oleh Kyai Ageng Maliu inilah pada akhirnya menjadi cikal bakal Kabupaten Banjarnegara.


Awal Pemerintahan Kabupaten Banjarnegara

Setelah wafatnya Adipati Wargo Utomo I (Adipati Wirasaba) dalam perjalanan pulang setelah menghadap Sultan Hadiwijaya (Sultan Pajang) akibat adanya kesalahpahaman Utusan (Gandek) dari Kerajaan Pajang dalam mengartikan perintah Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, yang diperkuat dengan fitnah Demang Toyareka (Adik Adipati Wargo Hutomo), pucuk pimpinan Kadipaten Wirasaba mengalami kekosongan. Untuk selanjutnya Wirasaba dipimpin oleh Patih yang telah mewakili Adipati sejak menghadap Sultan.

Para Putera Adipati tidak ada yang berani menggantikan kedudukan ayahnya sebelum mendapat izin dari Kanjeng Sultan di Pajang.

Menyadari kesalahannya yang menyebabkan wafatnya Adipati Wargo Utomo I, Sultan Hadiwijaya mengutus Tumenggung Tambakbaya mengirimkan surat kepada keluarga Adipati Wargo Utomo I di Wirasaba yang isinya mengharapkan kehadiran salah satu putera Adipati Wargo Utomo I menghadap Sultan. Namun demikian tak satu pun putera Adipati Hargo Utomo I yang bersedia menghadap. Hal ini karena, disamping duka yang belum hilang, ada kekhawatiran akan mendapat perlakuan yang sama.

Akhirnya Tumenggung Tambakbaya meminta Joko Kaiman (menantu Adipati) untuk memenuhi panggilann Sultan menghadap ke Pajang. Atas persetujuan saudara-saudara iparnya, berangkatlah Joko Kaiman menghadap.

Di Pajang, Sultan menjelaskan duduk permasalahan sehingga Adipati Hargo Hutomo terbunuh dan menyempaikan permohonan maaf kepada semua putera Adipati dan masyarakat Wirasaba. Dalam kesempatan itu pula, Sultan mengangkat Joko Kaiman menjadi Adipati Wirasaba menggantikan Adipati Wargo Hutomo I, bergelar Adipati Wargo Hutomo II.

Menyadari statusnya hanya sebagai putera menantu, maka demi menjaga keutuhan keluarga, setelah diangkat menjadi Adipati, Joko Kaiman (Wargo Hutomo II) mengeluarkan kebijakan yaitu membagi Kadipaten Wirasaba menjadi 4 (empat) Kadipaten kecil untuk saudara-saudara iparnya, yaitu:


1. Kadipaten Wirasaba diserahkan kepada Kyai Ngabei Wargo Wijoyo;

2. Kadipaten Merden, diserahkan kepada Kyai Ngabei Wiro Kusumo;

3. Kadipaten Banjar Petambakan diserahkan kepada Kyai Ngabei Wiroyudo, dan

4. Kadipaten Banyumas di Daerah Kejawar dipimpin sendiri oleh Wargo Hutomo II.




Kebijakan ini disetujui semua saudara iparnya dan mendapatkan izin dari Sultan Pajang. Karena kebijakannya membagi Daerah Wirasaba menjadi 4(empat) Kadipaten ini, Kyai Adipati Wargo Hutomo II mendapat julukan Adipati Mrapat.

Peristiwa tersebut merupakan awal adanya pemerintahan Kadipaten Banjar Petambakan, cikal bakal Kabupaten Banjarnegara, sehingga kini peringatan HUT Kabupaten Banjarengara diubah menjadi tanggal 26 Pebruari, yang dihitung semenjak menghadapnya Joko Kaiman kepada Sultan Pajang yang diperkirakan terjadi pada tanggal 1 Syawal, atau 26 Pebruari 1571.

Perubahan efektif mulai berlaku sejak ditandatanganinya Peraturan Daerah pada sidang Paripurna DPRD bulan Maret 2019.

Sedangkan Peringatan Hari Jadi tahun 2019 tatap dilaksanakan tanggal 22 Agustus dengan agenda Kegiatan Sarasehan dan Sosialisasi Peraturan Daerah No:6 Tahun 2019 Tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara, di Pendopo Dipayudha Adhi Graha.

Perubahan Hari Jadi Kab. Banjarnegara dari tanggal 22 Agustus 1831 menjadi 26 Februari 1571, mendasar pada Babad Kalibening yang merupakan sumber sejarah Banyumas dimana disebutkan bahwa pada Hari Senin Pon tanggal 1 Syawal 978 H. bertepatan dengan tanggal 26 Februari 1571, setelah Sultan Pajang menobatkan menantu Adipati Wirasaba yaitu Raden Joko Kaiman kemudian membagi wilayah Kadipaten Wirasaba menjadi 4 Kadipaten yaitu: Kadipaten Banyumas Kadipaten Pamerden, Kadipaten Wirasaba dan Kadipaten Banjar Petambakan. [1]


Kabupaten Banjar Petambakan

Kyai Ngabehi Wiroyudo merupakan Adipati Banjar Petambakan pertama yang memerintah pada ± Tahun 1582 (melihat Pendopo Kabupaten Banyumas di Kejawar oleh Wargo Hutomo II, yang merupakan salah satu pecahan dari Kabupaten Wirasaba tercatat tahun 1582).

Namun siapa pengganti Kyai Ngabehi Wiroyudo sampai R. Ngabehi Banyakwide diangkat sebagai Kliwon Banyumas yang bermukim di Banjar Petambakan tidak diketahui, karena tidak ada/belum ditemukan sumber/catatan tertulis. Ada kemungkinan Kabupaten Banjar Petambakan di bawah Kyai Ngabehi Wiroyudo tidak berkembang (tidak lestari) seperti halnya Kabupaten Merden yang diperintah R. Ngabei Warga Wijaya dan Kabupaten Wirasaba yang diperintah R. Ngabei Wirakusuma. Tidak demikian halnya dengan Kabupaten Banyumas R. Adipati Wargo Hutomo II yang dapat bertahan dan terus berkembang.

R. Banyakwide adalah putera R. Tumenggung Mertoyudo (Bupati Banyumas ke-4). Dari sini terlihat bahwa selama 3 (tiga) periode kepemimpinan Bupati di Kabupaten Banyumas (setelah Wargo Hutomo II) sampai dengan Bupati ke-4 (R.T. Mertoyudo), Kabupaten Banjar Petambakan tidak tercatat ada yang memerintah.

Karena cukup lama tidak ada yang memerintah, maka setelah diangkatnya R. Banyakwide sebagai Kliwon Banyumas tetapi bermukim di Banjar Petambakan, ada yang menyebut Banyak wide adalah Bupati Banjar Petambakan Pertama setelah Pemerintahan Ngabehi Wiroyudo.

R. banyak wide mempunyai 4 (empat) putera, yaitu:

1. Kyai Ngabehi Mangunyudo;

2. R. Kenthol Kertoyudo;

3. R. Bagus Brata;

4. Mas Ajeng Basiah.


Sepeninggal R. banyakwide Kabupaten Banjar Petambakan diperintah oleh R. Ngabehi Mangunyudo I yang kemudian dikenal dengan julukan Hadipati Mangunyudo Sedo Loji (Banteng), karena beliau gugur di loji saat perang melawan Belanda di Kartosuro.

Perlawanannya terhadap Belanda ditunjukkan sewaktu ada perang Pracino (Pecinan) yaitu pemberontakan oleh Bangsa Tionghoa kepada VOC saat Mataram dipimpin Paku Buwono II.

R. Ngabehi Mangunyudo I sebagai Bupati manca minta izin untuk menghancurkan Loji VOC di Kartasura. Paku Buwono II mengizinkannya dengan suatu permintaan agar R. Ng Mangunyudo tidak membunuh pasangan suami isteri orang Belanda yang berada di loji paling atas.

Akhirnya perang sengit pun terjadi antara prajurit Mangunyudo I dengan pasukan VOC (tahun 1743). Melihat prajuritnya banyak yang tewas, Adipati Mangunyudo I sangat marah, seluruh penghuni loji dibunuhnya, bahkan beliau lupa pesan Sri Susuhunan Pabu Buwono II. Melihat masih ada orang Belanda yang masih hidup di bagian paling atas loji, R. Mangunyudo I mengejarnya dan berusaha membunuh pasangan suami isteri orang Belanda, yang sebenarnya adalah Pakubuwono II dan Permaisuri yang sedang menyamar. Merasa terancam jiwanya, Pakubuwono II akhirnya membunuh Adipati Mangunyudo I yang sedang kalap di loji VOC. Sebab itulah kemudian Adipati Mangunyudoo I dikenal dengan sebutan Adipati Mangunyudo Sedo Loji.



Kadipaten Banjar Watu Lembu

a. Berdasarkan sumber/buku “Inti Silsilah dan Sejarah Banyumas”

Setelah Adipati Mangunyudo I wafat, disebutkan bahwa pengganti Bupati Banjar Petambakan adalah puteranya yang bergelar R. Ngabehi Mangunyudo II, yang dikenal dengan R. Ngabehi Sedo Mukti.

Di era kepemimpinannya, kadipaten dipindahkan ke sebelah barat Sungai Merawu dengan nama Kabupaten Banjar Watu Lembu (Banjar Selo Lembu).

R. Ngabehi Mangunyudo II merupakan Bupati Banjar Watu Lembu pertama, yang kemudian digantikan oleh puteranya, bergelar R. Ngabehi Mangunyudo III yang kemudian berganti nama menjadi Kyai R. Ngabehi Mangunbroto, Bupati Anom Banjar Selolembu. Masih dari sumber yang sama, R. Ngabehi Mangunbroto wafat karena bunuh diri.

Penggantinya adalah R.T. Mangunsubroto yang memerintah Kabupaten Banjar Watu Lembu sampai Tahun 1831.

Karena Kabupaten Banjar Watu Lembu sangat antipati terhadap Belanda, maka setelah Perang Diponegoro dimana kemenangan dipihak Belanda, Kadipaten Banjar Watu Lembu diturunkan statusnya menjadi distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabehi Mangunsubroto dan R. Ng. Ranudirejo.


b. Berdasarkan sumber “Register sarasilah Keturunan R. Ngabehi Banyakwide dan Register Catatan Legenda Riwayat Kanjeng Sunan Giri Wasiat, Kyai Panembahan Giri Pit, Nyai Ageng Sekati”

Dalam sumber tersebut disebutkan bahwa yang menggantikan Mangunyudo I adalah R. Ngabehi Kenthol Kertoyudo yang kemudian bergelar R. Ngabehi Mangunyudo II. Dalam Perang Diponegoro lebih dikenal dengan R. Tumenggung Kertonegoro III atau Mangunyudo Mukti.

Pada masa pemerintahannya, kadipaten dipindahkan ke sebelah barat Sungai Merawu dan kemudian dinamakan Kabupaten “Banjar Watulembu”.

Sikap Adipati Manyunyudo II yang sangat antipasti terhadap Belanda dan bahkan turut memperkuat pasukan Diponegoro dalam perang melawan Belanda (dimana perang tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Belanda), berakibat R. Ngabehi Mangunyudo II dipecat sebagai Bupati banjar Watu Lembu. Dan pada saat itu pula status Banjar Watu Lembu diturunkan menjadi distrik dengan dua penguasa yaitu R. Ngabehi Mangun Broto dan R. Ngabehi Ranudirejo.

Terlepas sumber mana yang benar, para pemimpin/Bupati Banjar mulai dari Mangunyudo I sampai Mangunsubroto atau Mangunyudo II, semuanya anti penjajah Belanda.


Kabupaten Banjarnegara

Atas jasanya mengalahkan prajurit Banjarwatulembu (pengikut Pangeran Diponegoro) dan dianggap berjasa kepada Kerajaan Mataram (pada waktu itu terdapat ikatan perjanjian dengan Belanda), Raden Tumenggung Dipoyudho IV oleh Belanda diusulkan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono VII untuk ditetapkan menjadi Adipati Banjar (Banjar Watu Lembu), setelah sebelumnya pernah menjabat Ngabehi di Purbalingga dan kemudian menjadi Tumenggung Ayah (Kecamatan di Kabupaten Kebumen) selama 25 tahun.

Setelah mendapat izin, maka berdasarkan Resolutie Governeur General Buitenzorg tanggal 22 Agustus 1831 Nomor I, maka Raden Tumenggung Dipoyudho IV resmi menjabat Bupati Banjar Watu Lembu.

Beberapa saat setelah pengangkatannya, Raden Tumenggung Dipoyudho IV meminta izin kepada Paku Buwana VII di Kasunanan Surakarta untuk memindahkan Kadipaten ke sebelah selatan Sungai Serayu. Setelah permintaan tersebut dikabulkan, maka dimulailah pembangunan kota kabupaten yang semula berupa daerah persawahan.

Untuk mengenang asal mula kota kabupaten baru yang berupa persawahan dan telah dibangun menjadi kota, kabupaten baru tersebut diberi nama “BANJARNEGARA” (MEMPUNYAI MAKSUD Sawah = Banjar, berubah menjadi kota = Negara) sampaii sekarang.

Setelah segala sesuatunya siap, Raden Tumenggung Dipoyudo IV sebagai Bupati beserta semua pegawai kabupaten pindah dari Banjar Watu Lembu ke kota kabupaten yang baru Banjarnegara.

Dikarenakan pada saat pengangkatannya status Kabupaten Banjar Watu Lembu yang terdahulu dihapus, maka Raden Tumenggung Dipoyudho IV dikenal sebagai Bupati Banjarnegara I (pertama).


Peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Banjarnegara

Sebelumnya, peristiwa pengangkatan Raden Tumenggung Dipoyudho IV pada tanggal 22 Agustus 1831 sebagai Bupati Banjarnegara inilah yang dijadikan dasar untuk penetapan Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara, yaitu dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Banjarnegara tanggal 1 Juli 1981 dan Peraturan daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Banjarnegara Nomor 3 Tahun 1994 tentang Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara.


Mulai tahun 2019, peringatan hari jadi ini diubah menjadi tanggal 26 Pebruari, sehingga pada 22 Agustus 2019, dimanfaatkan hanya untuk sosialisasi perubahan hari jadi ini. Perubahan hari jadi ini merujuk pada buku Babad Kalibening yang menjadi sumber sejarah di wilayah Banyumas. Selain itu, diperkuat dengan catatan sejarah kepulangan Raden Jaka Kaiman (menantu Adipati Wirasaba) disertai gandek atau pengawal dari kesultanan pajang. Jaka Kaiman secara ksatria berani menghadiri undangan Sultan Pajang (diperkirakan pada tanggal 26 Februari 1571 bertepatan dengan 1 syawal 978 Hijriah yang merupakan hari raya bagi umat Islam) pasca wafatnya Adipati Wirasaba akibat kesalahan pihak Kesultanan.

Usai mendapat kanugrahan sebagai pemegang tampuk kekuasaan di Wirasaba, Jaka Kaiman menyampaikan gagasan untuk membagi kekuasaan menjadi 4 kadipaten Wirasaba yang sangat luas untuk saudara iparnya. Maka ia dijuluki “Adipati Mrapat” (Jawa : Mara Papat atau membagi empat). Wirasaba kemudian dibagi 4 yaitu : Wirasaba sendiri, Merden, Banjar Petambakan, dan Kejawar.

Kadipaten Banjar Petambakan mempunyai tokoh bupati heroik yang bernama Mangunyuda alias “Sedaloji” yang gugur di loji kompeni untuk membela tanah air pada Geger Pracino di Keraton Surakarta. Perubahan hari jadi ini untuk membawa spirit nasionalisme dan patriotisme, karena peringatan hari jadi pada tanggal sebelumnya yakni 22 Agustus merupakan tanda dimulainya kekuasaan Belanda secara administratif di Banjarnegara. Berbeda dengan tanggal 26 Februari ini jauh sebelumnya dan memiliki spirit nasionalisme dan patriotisme. [2]


Referensi

Derap Serayu

Dinas Pariwisata Banjarnegara

Sarean Pekuncen

Sekilas Babad Banjar Petambakan