Gradien panas bumi

Revisi sejak 5 September 2020 14.32 oleh FBN122645 (bicara | kontrib)

Gradien panas bumi adalah laju peningkatan temperatur seiring dengan meningkatnya kedalaman di interior bumi. Di luar batas plat tektonik, panas bertambah sekitar 25 °C per km kedalaman atau 1 °F per 70 kaki, di sebagian besar tempat di bumi.[1] Meski penggunaan kata "geo" mengacu kepada bumi, namun konsep ini dapat digunakan di planet lain. Panas internal bumi datang dari kombinasi panas yang tersisa sejak pembentukan bumi, panas yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif, dan panas dari sumber lainnya. Isotop radioaktif utama penghasil panas yaitu kalium-40, uranium-238, uranium-235, dan thorium-232.[2] At the center of the planet, the temperature may be up to 7,000 K and the pressure could reach 360 GPa.[3] Karena begitu banyaknya panas yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif, ilmuwan percaya bahwa di awal sejarah bumi sebelum isotop dengan waktu paruh pendek habis, bumi menghasilkan panas yang jauh lebih tinggi. Panas yang dihasilkan sebanyak dua kali dari jumlah saat ini,[4] menyebabkan laju konveksi mantel dan pergeseran tektonik yang lebih besar, serta menyebabkan pembentukan beberapa jenis bebatuan seperti komatiite yang tidak lagi terbentuk pada kondisi bumi yang sekarang.[5]

Potongan bumi dari inti hingga eksosfer

Sumber panas

Temperatur di dalam bumi meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Bebatuan yang memiliki viskositas yang tinggi atau setengah meleleh pada temperatur antara 650 oC hingga 1200 oC diproyeksikan ada di setiap tempat di bawah permukaan bumi pada kedalaman 80 hingga 100 km. Dan temperatur pada kedalaman sekitar 3500 km (batas inti bumi) diperkirakan mencapai 5650 ± 600 kelvin.[6][7] Jumlah panas dari bumi diperkirakan mencapai 1031 joule.[1]

  • Sekitar 45-90 persen panas yang keluar dari bumi berasal dari peluruhan radioaktif unsur yang terkonsentrasi di permukaan.[8][4][9]
  • Panas yang dihasilkan dari tubrukan meteorit dan kompresi yang dilepaskan ketika bumi terbentuk.
  • Panas yang dihasilkan ketika logam berat (besi, nikel, tembaga) bergerak tenggelam ke inti bumi.
  • Panas laten yang dilepaskan ketika logam cair pada inti luar bumi mengkristal dan tenggelam masuk ke dalam inti dalam.
  • Panas yang dihasilkan dari gaya pasang ketika bumi berotasi, dihasilkan dari bebatuan yang tidak mampu bergerak seperti halnya air sehingga terkompresi dan menekan bebatuan lainnya dan menghasilkan panas.
  • Terdapat spekulasi bahwa reaksi fisi nuklir mungkin terjadi.[9]
  • Spekulasi yang telah terpatahkan bahwa medan magnetik bumi menghasilkan panas.
Isotop penghasil panas utama saat ini[4]
Isotop Panas yang dihasilkan
[W/kg isotop]
Waktu paruh
[tahun]
Mean konsentrasi mantel
[kg isotope/kg mantel]
Panas yang dihasilkan
[W/kg mantel]
238U 9.46 × 10-5 4.47 × 109 30.8 × 10-9 2.91 × 10-12
235U 5.69 × 10-4 7.04 × 108 0.22 × 10-9 1.25 × 10-13
232Th 2.64 × 10-5 1.40 × 1010 124 × 10-9 3.27 × 10-12
40K 2.92 × 10-5 1.25 × 109 36.9 × 10-9 1.08 × 10-12

Di dalam kerak benua, peluruhan isotop radioaktif alami telah secara signifikan terlibat dalam pembentukan panas bumi. Kerak kontinental mengandung banyak mineral bermassa jenis rendah namun juga mengandung sejumlah mineral litofilik berat seperti uranium. Sehingga kerak benua memiliki kandungan elemen redioaktif tertinggi di bumi di bandingkan bagian lainnya.[10] Terutama di lapisan dekat dengan permukaan bumi, isotop alami terkandung di dalam bebatuan granit dan basalt.[11] Kandungan radioaktif dalam jumlah besar ini tidak menjadi bagian dari mantel bumi karena tidak mampu menggantikan mineral dalam mantel dan pengayaan konsekuen dalam lelehan parsial. Mantel terutama mengandung mineral bermasa jenis tinggi dengan jumlah atom yang banyak karena radius atom yang relatif lebih kecil, seperti magnesium, titanium, dan kalsium.[10]

Aliran panas

Panas mengalir secara konstan dari dalam bumi menuju ke permukaan. Total panas yang hilang dari bumi mencapai 44.2 TW (4.42 × 1013 watt).[12] Aliran panas rata-rata adalah 65 mW/m2 di atas kerak benua dan 101 mW/m2 di atas kerak samudra.[12] Berarti rata-rata panas yang mengalir 0.087 watt per meter persegi, sangat kecil dibandingkan dengan energi surya yang ditangkap oleh bumi,[13] ) namun lebih terkonsentrasi di beberapa titik tertentu di mana panas dipindahkan melalui konveksi, seperti di punggung laut dan rekahan mantel.[14] Kerak bumi secara efektif bertindak sebagai insulator tebal sehingga panas harus dilepaskan melalui lubang-lubang seperti gunung berapi dan geyser secara konveksi. Bentuk pindah panas lainnya adalah dengan konduksi melalui litosfer, yang terjadi lebih banyak di lautan karena kerak samudra lebih tipis dan berusia lebih muda dibandingkan kerak benua.[12][15]

Panas dari dalam bumi dicukupkan oleh peluruhan radioaktif pada laju 30 TW.[16] Laju aliran panas bumi secara keseluruhan mencapai lebih dari dua kali konsumsi energi manusia dari segala sumber.

Aplikasi langsung

Panas dari bagian dalam bumi bis adigunakan sebagai sumber energi yang disebut dengan energi panas bumi. Gradien panas bumi telah lama digunakan sebagai pemanas ruang dan pemandian sejak zaman Romawi, dan sekarang dipakai sebagai pembangkit listrik. Dengan populasi manusia yang terus meningkat, begitu juga penggunaan energi dan dampak lingkungan terkait yang konsisten dengan emisi gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan meningkatnya ketertarikan dalam mencari sumber energi yang terbarukan dan tidak menghasilkan emisi gas rumah akca dalam jumlah besar. Menghasilkan listrik dari sumber panas bumi tidak membutuhkan bahan bakar dan menyediakan energi yang stabil.[10] Untuk mengekstrak energi panas bumi, pemindahan panas harus dilakukan secara efisien dari sumber panas bumi ke pembangkit listrik, di mana energi panas diubah menjadi energi listrik.[10] Dalam skala global, panas yang tersimpan di dalam bumi menyediakan energi yang masih berpeluang untuk dimanfaatkan. Sekitar 10 gigawatt pembangkit listrik tenaga panas bumi telah dipasang di seluruh dunia pada tahun 2007, menghasilkan 0.3% kebutuhan energi dunia. 28 gigawatt panas bumi digunakan secara langsung sebagai pemanasan, desalinisasi, proses industri, dan pertanian.[1]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Fridleifsson,, Ingvar B.; Bertani, Ruggero; Huenges, Ernst; Lund, John W.; Ragnarsson, Arni; Rybach, Ladislaus (2008-02-11). O. Hohmeyer and T. Trittin, ed. "The possible role and contribution of geothermal energy to the mitigation of climate change" (pdf). Luebeck, Germany: 59–80. Diakses tanggal 2009-04-06. 
  2. ^ Sanders, Robert (2003-12-10). "Radioactive potassium may be major heat source in Earth's core". UC Berkeley News. Diakses tanggal 2007-02-28. 
  3. ^ Alfè, D.; Gillan, M. J.; Vocadlo, L.; Brodholt, J; Price, G. D. (2002). "The ab initio simulation of the Earth's core" (PDF). Philosophical Transaction of the Royal Society of London. 360 (1795): 1227–44. Diakses tanggal 2007-02-28. 
  4. ^ a b c Turcotte, DL (2002). "4". Geodynamics (edisi ke-2). Cambridge, England, UK: Cambridge University Press. hlm. 136–7. ISBN 978-0-521-66624-4. 
  5. ^ Vlaar, N; Vankeken, P; Vandenberg, A (1994). "Cooling of the earth in the Archaean: Consequences of pressure-release melting in a hotter mantle". Earth and Planetary Science Letters. 121 (1–2): 1. Bibcode:1994E&PSL.121....1V. doi:10.1016/0012-821X(94)90028-0. 
  6. ^ Alfe, D. (2003-02-01). "Thermodynamics from first principles: temperature and composition of the Earths core" (PDF). Mineralogical Magazine. 67 (1): 113–123. doi:10.1180/0026461026610089. Diakses tanggal 2007-03-01.  C1 control character di |title= pada posisi 79 (bantuan)
  7. ^ Steinle-Neumann, Gerd (2001-09-05). "New Understanding of Earth's Inner Core". Carnegie Institution of Washington. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-12-14. Diakses tanggal 2007-03-01. 
  8. ^ Anuta, Joe (2006-03-30). "Probing Question: What heats the earth's core?". physorg.com. Diakses tanggal 2007-09-19. 
  9. ^ a b Johnston, Hamish (19). "Radioactive decay accounts for half of Earth's heat". PhysicsWorld.com. Institute of Physics. Diakses tanggal 18 June 2013. 
  10. ^ a b c d William, G. E. (2010). Geothermal Energy: Renewable Energy and the Environment (pp. 1-176). Boca Raton, FL: CRC Press.
  11. ^ Wengenmayr, R., & Buhrke, T. (Eds.). (2008). Renewable Energy: Sustainable Energy Concepts for the future (pp. 54-60). Weinheim, Germany: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
  12. ^ a b c Pollack, Henry N., et.al.,Heat flow from the Earth's interior: Analysis of the global data set, Reviews of Geophysics, 31, 3 / August 1993, p. 273 DOI:10.1029/93RG01249
  13. ^ "Climate and Earth's Energy Budget". NASA. 
  14. ^ Richards, M. A.; Duncan, R. A.; Courtillot, V. E. (1989). "Flood Basalts and Hot-Spot Tracks: Plume Heads and Tails". Science. 246 (4926): 103–107. Bibcode:1989Sci...246..103R. doi:10.1126/science.246.4926.103. PMID 17837768. 
  15. ^ Sclater, John G; Parsons, Barry; Jaupart, Claude (1981). "Oceans and Continents: Similarities and Differences in the Mechanisms of Heat Loss". Journal of Geophysical Research. 86 (B12): 11535. Bibcode:1981JGR....8611535S. doi:10.1029/JB086iB12p11535. 
  16. ^ Rybach, Ladislaus (September 2007). "Geothermal Sustainability" (PDF). Geo-Heat Centre Quarterly Bulletin. 28 (3). Klamath Falls, Oregon: Oregon Institute of Technology. hlm. 2–7. ISSN 0276-1084. Diakses tanggal 2009-05-09. 

Bahan bacaan terkait

  • "Geothermal Resources". DOE/EIA-0603(95) Background Information and 1990 Baseline Data Initially Published in the Renewable Energy Annual 1995. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 12, 2012. Diakses tanggal May 4, 2005.