Telesera
Dengan nama panjang PT Telekomindo Selular Raya, Telesera pertama kali didirikan pada 1990 dan sahamnya awalnya dimiliki oleh PT Rajawali Wira Bhakti Utama (yang dimiliki oleh Peter Sondakh) sebesar 90% dengan sisanya dimiliki oleh Abram Makimawu. Namun, perusahaan ini baru beroperasi pada tahun 1995, dengan 100% sahamnya dialihkan ke perusahaan Grup Rajawali lain, yaitu PT Telekomindo Primabhakti (yang 10% sahamnya dimiliki Telkom, 54% oleh Grup Rajawali, 10% oleh Yayasan Dana Pensiun Pegawai Telkom, 10% oleh Yayasan Kartika Eka Paksi, 2% oleh Yayasan Tridaya Kejaksaan Agung dan Koperasi Pegawai Telkom sebesar 0,40%).[1] Perusahaan ini mengoperasikan sistem jaringan berbasis AMPS di beberapa daerah yang ditetapkan pemerintah, yaitu di Bali, Kalimantan dan Sumatera Selatan menggunakan frekuensi 800 MHz.[2][3][4] Modal awal pengguna Telesera adalah operasional bagi hasil AMPS PT Telekomindo Primabhakti yang dialihkan ke Telesera. Perlu diketahui sebelumnya bahwa PT Telekomindo Primabhakti didirikan pada 9 Maret 1990 sebagai pengelola sistem AMPS untuk telepon mobil (istilah resminya STKB-N, Sistem Sambungan Telepon Kendaraan Bermotor Nasional) di daerah Palembang, Denpasar dan Samarinda-Balikpapan-Banjarmasin menggunakan sistem Motorola dan menargetkan sekitar 7.800 pengguna.[5][6] Setelah pendirian Telesera, maka operasional PT Telekomindo dialihkan pada Telesera (dan PT Telekomindo berubah menjadi perusahaan induk yang mengelola berbagai perusahaan telekomunikasi Grup Rajawali, seperti Excelcomindo).[7]
Anak perusahaan (2003-2007) | |
Industri | Operator dan layanan telekomunikasi seluler Indonesia |
Nasib | Merger dengan Mobile-8 |
Penerus | Mobile-8 |
Didirikan | 1990 |
Ditutup | 11 Juni 2007 |
Kantor pusat | Jakarta, Indonesia |
Produk | AMPS (1995-2002) |
Pemilik | Telekomindo Primabhakti (Rajawali Wira Bhakti Utama) (1990-2001) Telkom (2001-2003) Centralindo Pancasakti Cellular (Bimantara Citra) (2003) Mobile-8 (2003-2007) |
Bagaimanapun, dikarenakan pasar di wilayah yang diberikan padanya oleh pemerintah tidak terlalu besar, maka Telesera tetap menjadi perusahaan AMPS terkecil di Indonesia. Sejak awal berdirinya, Telesera hanya memiliki 6.000-7.000 pelanggan: pada akhir 1995 sebanyak 7.500, pada 1997 sebesar 6.705 (walaupun mempunyai kapasitas pelanggan sebesar 11.500), pada April 1999 menjadi 6.792, dan menjadi 7.556 pada akhir 2001.[8][9] Mungkin, karena itulah, perusahaan ini merupakan satu-satunya perusahaan AMPS yang tetap mempertahankan sistem bagi hasil yang telah dijalankannya sejak operasionalnya masih berada di bawah PT Telekomindo. Sistem bagi hasil antara keduanya dipatok sebesar 30% untuk Telkom dan 70% untuk Telesera. Keuntungan Telkom pun tidak besar, pada 1998 misalnya hanya mendapat Rp 6,1 M dan pada 1999 sebesar Rp 5,7 M.[10][11] Seiring waktu, kerjasama bagi hasil antara Telkom dan PT Telekomindo berakhir sehingga seluruh saham dan aset Telesera beralih ke Telkom sejak Juni 2001.[12] Awalnya, setelah Telesera 100% menjadi anak perusahaan Telkom, perusahaan ini sempat direncanakan untuk diubah sistemnya menjadi CDMA. (Rencana ini tidak dilanjutkan karena penjualan Telesera, dan Telkom pada 2003 akan meluncurkan Flexi sebagai layanan CDMA-nya).[13]
Seiring dengan kondisi ekonomi dan program restrukturisasi perusahaan, PT Telkom kemudian memutuskan untuk melepaskan seluruh saham perusahaanya yang menggunakan AMPS, termasuk Telesera.[14] Pada 8 Agustus 2003, penjualan itu akhirnya tercapai ketika PT Centralindo Pancasakti Cellular (yang terafiliasi dengan Bimantara Citra) dan Telkom sepakat melakukan pertukaran saham. Dalam transaksi ini, Telkom menjual 100% sahamnya di Telesera kepada PT Centralindo (ditambah 14,20% saham Komselindo dan 20,17% saham Metrosel) dengan biaya Rp 185,10 M, dan sebagai gantinya, PT Centralindo menyerahkan saham PT Indonusa Telemedia (penyelenggara TV kabel TelkomVision) sebesar 35% dan memberi hak untuk membeli 16,85% sahamnya di Pasifik Satelit Nusantara pada Telkom. Manajemen sendiri menyediakan dana sebesar Rp 900 M untuk menuntaskan transaksi ini.[15][16]
Manajemen Bimantara (via PT Centralindo) yang kemudian menjadi pengelola baru Telesera memutuskan untuk membangun perusahaan baru dengan sistem baru, yaitu CDMA. Perusahaan baru itu dikenal dengan nama Mobile-8 Telecom yang didirikan akhir 2002, dan sebagai persiapannya Bimantara menjadikan perusahaan komunikasi yang telah diakusisinya, yaitu Telesera, Metrosel dan Komselindo menjadi anak perusahaan Mobile-8.[17][18][19] Pada akhirnya, sebagai "penerus" Telesera adalah Fren yang diluncurkan pada 8 Desember 2003 yang berbasis CDMA 2000 dengan modal awal salah satunya adalah bekas pelanggan AMPS Telesera. Sejak saat itu, Telesera hanya menjadi anak perusahaan Mobile-8 yang tidak terlalu aktif, dan pada akhirnya dimerger dengan induknya, Mobile-8 pada 11 Juni 2007.[20]
Lihat pula
Referensi
- ^ Towards a Knowledge-based Economy: East Asia's Changing Industrial Geography
- ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
- ^ Informasi, Masalah 203-208
- ^ Telecommunications in Asia: Policy, Planning and Development
- ^ 50 tahun peranan pos & telekomunikasi
- ^ Profile of Indonesian Telecommunications Industry & Development
- ^ Full Circle Managing Through Learning.Leading.Serving
- ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
- ^ Informasi, Masalah 203-208
- ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
- ^ Untold Story IPO Telkom di NYSE & BEJ
- ^ AsiaCom Yearbook
- ^ Yearbook of Asia-Pacific Telecommunications
- ^ On becoming a customer-centric company: transformasi Telkom menjadi perusahaan berbasis pelanggan
- ^ Tempo, Volume 31,Masalah 48-52
- ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 15,Masalah 18-26
- ^ Telecommunications Reform in the Asia-Pacific Region
- ^ Tempo, Volume 31,Masalah 48-52
- ^ Gamma, Volume 3,Masalah 6-14
- ^ Merger Tiga Anak Usaha Mobile-8 Efektif