Beno Soematenojo
Beno Soematenojo adalah salah satu pahlawan yang berasal dari Salatiga yang telah mengisi kemerdekaan Republik Indonesia. Dahulu dia merupakan tahanan politik yang dibuang ke Digul Irian dan berhasil pulang dalam keadaan masih hidup.
Latar belakang keluarga
Beno merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari keluarga Somadiwirja yang bertempat tinggal di Jalan Kalitaman No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Lelaki kelahiran tahun 1915 ini hanya mampu menikmati pendidikan de Scholen der Tweede Klasse (Sekolah Angka Dua) di Blauran, yang menggunakan pengantar bahasa Jawa. Dia tidak diperkenankan masuk ke de Scholen der Eerste Klasse dikarenakan bukan berasal dari keturunan priayi.
Ketika masih bersekolah, Beno sudah merasakan adanya perbedaan perlakuan pemerintah penjajah terhadap kaum pribumi. Semangat nasionalismenya semakin tinggi ketika guru kelasnya menceritakan peristiwa Sumpah Pemuda. Kebetulan guru kelasnya merupakan seorang pergerakan, sehingga dia sangat dekat dengan gurunya itu. Setelah tamat sekolah, dia menyusul kakaknya yang bernama Diyon Paulus ke Jakarta untuk membantu orang tuanya.
Perjuangan
Beno pernah menyamar sebagai tukang potong rambut keliling dalam melaksanakan tugas sebagai kurir bagi Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Syahrir, yang dikelompokkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai garis kekuatan nasionalis, radikal, dan ekstrim. Tanggal 1 Agustus 1933, Soekarno ditangkap dan dibuang ke Endeh, Flores dengan tujuan supaya terpisah dari Hatta dan Syahrir. Penangkapan berikutnya dilakukan tanggal 25 Februari 1934 kepada Hatta, Syahrir, Murtuwo, Burhanudin, Bondan, dan Beno. Mereka dibuang dan diasingkan ke Digul Irian Selatan.Tempat penahanan Beno dipisahkan dengan Hatta dan Syahrir. Dia dikelompokkan dengan Murtowo, Burhanudin, Bondan di Tanah Tinggi. Dia bertemu dengan Sayuti Melik dari Semarang, Abdulrachman dan Tobing dari Salatiga, Marlan dari Yogya, Kartopandoyo dan Sastrowiyono dari Solo, Broto dari Semarang, serta Ellias Yacoub dari Sumatra Barat, yang sejak pada tahun 1926 sudah menghuni di Digul.
Gubernur Jendral Hindia Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff bertugas untuk menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam menghadapi gerakan sosial politik yang menuntut kemerdekaan. Agitasi yang dilakukan oleh kaum pergerakan harus diahadapi dengan ancaman penjara atau pembuangan. Tindakan pemerintah penjajahan ini menganggap bahwa kaumpergerakan menyerang misi penjajahan. Bagi mereka yang sebagai kaum pergerakan, mengasingkan atau pembuangan merupakan keharusan. Kaum pergerakan mempunyai pengaruh yang besar di bidang politik penjajahan. Untuk keperluan tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyediakan tanah Digul sebagai filter gerakan radikalisme di Hindia Belanda. Tanah Digul sendiri merupakan wilayah Afdeling Amboina Gubernemen Maluku, setelah Irian dikuasai oleh Belanda pada tahun 1828.
Tanah Digul dengan luas kurang lebih 10.000 ha di Irian Selatan dibagi menjadi empat wilayah, yaitu Tanah Merah, Gunung Arang, Tanah Tinggi dan daerah khusus untuk Kaum Militer dan Kantor Pemerintahan. Daerah Digul, sebagian besar masih berupa hutan lebat berawa yang ditempati oleh nyamuk ganas. Nyamuk-nyamuk ganas ini dapat menyebabkan penyakit malaria yang diikuti demam dan kencing darah hitam (zwartterkoorts) mematikan. Tempat pembuangan di Digul inipertama kali dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan kaum radikal yang berani melakukan pemberontakan terhadap penjajahan yang dilakukan oleh kaum komunis pada tahun 1926 di Semarang. Menurut laporan terdapat antara 850 sd 1300 orang kaum radikal dibuang ke Digul, sementara pemimpin-pemimpin mereka seperti Alimin, Musso, Semaun, dan Darsono melarikan diri ke luar negeri. Tokoh-tokoh radikal lama yang menjadi penghuni Digul adalah Sayuti Melik dan Ali Archam Karena tulisan-tulisannya yang sangat pedas dalam mengkritisi pemerintah penjajahan.
Tindakan pemerintah Hindia terhadap kelompok-kelompok radikal di Hindia Belanda dengan pembuangan ke Digul Irian Selatan ternyata justru membangkitkan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari penjajahan. Para mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri khususnya di Negeri Belanda mulai menjadikan organisasi Perhimpunan Indonesia sebagai pos terdepan pergerakan nasional, sehingga banyak tokoh seperti Bung Hatta, Ali Sastroamijoyo, Abdul Majid dan Natsir Datuk Pamuncak ditangkap dan baru setengah tahun kemudian diadili. Bagi kaum pergerakan di Hindia Belanda, rumah penjara bahkan dijadikan pusat kegiatan kader seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan yang lainnya. Rumah penjara berkembang menjadi lembaga tukar menukar informasi dan pengembangan pemikiran antara kelompok etnis, agama, pekerja dan ideologis. Bahkan tidak jarang muncul sabotase, pemogokan kerja dan penyerangan terhadap petugas.
Dari berbagai persoalan yang tumbuh di penjara dengan aksi-aksi yang radikal menunjukkan akan adanya peningkatan ekstrimistas para tahanan yang sebagian besar dihuni oleh tahanan politik. Pemerintah mengelompokkan tahanan menjadi tiga macam, yaitu:
- Tahanan nomor satu; terutama mereka yang selalu dipandang menyalahi aturan, pernah menerima hukuman rotan, mereka yang terasing dari sesama tahanan.
- Tahanan nomor dua; adalah mereka yang pernah menerima hukuman tingkat satu dan kehilangan fasilitas yang ada di penjara 1 tahun.
- Tahanan nomor tiga; adalah mereka yang dipandang ringan hukumannya, kesadaran politik relatif rendah, tidak pernah melawan dan berhak mendapat segala fasilitas yang tersedia dalam kurungan.
Dari jenis tahanan di atas menunjukkan bahwa penjara sebagai saringan untuk memisahkan manusia yang berkesadaran politik, mampu bertindak dengan yang kurang mampu. Jika seseorang gagal masuk kategori tiga, dia kemungkinan besar untuk dibuang ke Digul, Endeh, Bendanaira atau Bengkulu.
Contoh: Dari penjara Pamekasan Madura terdapt 16 orang yang harus dibuang ke Digul setelah diperiksa oleh PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Sedangkan dari penjara Glodok dan Cipinang nama-nama seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, Murtowo, Burhanuddin, bondan dan Beno merupakan calon penghuni Digul.
Pada akhir tahun 1944 muncullah organisasi yang menghimpun tahanan politik dari Digul/aktivis-aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia yang diberi nama SIBAR (Serikat Indonesia Baru) di Melbourne. Melalui organisasi politik yang baru inilah mereka meneruskan perjuangan di Australia. Perjuagan mereka akhirnya berhasil mendesak pemerintah Australia agar membantu pemulangan ke Indonesia. Berita akan dikembalikan ke Indonesia baru didapat bahwa mereka akan dipulangkan ke Indonesia pada pertengahan Oktober 1945 dengan kapal Exprance Bay.
Namun, diantara teman-temannya yang kembali ke Salatiga tidak semuanya meneruskan perjuangan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan. Pada umumnya memeilih berkumpul dengan keluarga masing-masing sesuai dengan bidang masing-masing. Di antara 7 orang yang berasal dari Salatiga yang meneruskan perjuangan kemerdekaan dalam pergerakan politik hanyalah Beno yang masih membujang. Dendam kesumat kepada Belanda justru makin menyala-nyala, karena ketika pulang ke Salatiga mendapat rumah orang tuanya di Jalan Kalitaman No. 4 Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Telah hancur dibakar tentara Belanda, karena mencari Beno tidak ditemukan.
Daftar pustaka
Buku
- Harnoko, Darto, dkk (2012). Riwayat Perjuangan Pahlawan-Pahlawan Salatiga dalam Mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia. Salatiga: Pemerintah Kota Salatiga Dinas Perhubungan, Komunikasi, Kebudayaan, dan Pariwisata. ISBN 978-602-1797-30-3.