Ketuanan Melayu
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Hanamanteo (Kontrib • Log) 1385 hari 515 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Ketuanan Melayu (كتوانن ملايو) adalah konsep politik yang menekankan keunggulan Melayu di Malaysia saat ini. Konsep ini tertuang dalam Pasal 153 Konstitusi Malaysia yang memberikan jaminan hak-hak khusus kepada etnis Melayu di Malaysia.[1] Institusi politik tertua di Malaysia adalah sistem penguasa Melayu di sembilan negara bagian Melayu. Pemerintahan kolonial Inggris mengubah sistem ini dan menggantikannya terlebih dahulu menjadi sistem pemerintahan tidak langsung, kemudian pada tahun 1948, dengan menggunakan lembaga berdasarkan budaya ini, mereka memasukkan monarki Melayu ke dalam cetak biru bagi Federasi Malaya yang sudah merdeka.[2]
Istilah Tanah Melayu menganggap kepemilikan negara bagian Melayu. Dalam metode ini, pemerintah kolonial memperkuat etnonasionalisme Melayu, etnis dan budaya Melayu, serta kedaulatan Melayu dalam negara-bangsa baru. Meskipun budaya lain akan terus berkembang, identitas komunitas politik yang muncul akan dibentuk oleh budaya politik "bersejarah" dari kelompok etnis Melayu yang dominan.[3] Imigran Tionghoa dan India yang merupakan minoritas signifikan di Malaysia dianggap berutang budi kepada orang Melayu karena memberi mereka kewarganegaraan dengan imbalan hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 153 Konstitusi Malaysia. Pengaturan quid pro quo ini biasanya disebut sebagai kontrak sosial. Ketuanan Melayu biasa disebut oleh para politikus, khususnya yang tergabung dalam Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO).
Meskipun gagasannya sendiri sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Malaysia, istilah "ketuanan Melayu" baru mulai terkenal pada awal dasawarsa 2000-an. Dalam sejarah, oposisi politik yang paling lantang terhadap konsep tersebut berasal dari partai-partai beranggotakan bangsa minoritas seperti Partai Gerakan Rakyat Malaysia dan Partai Aksi Demokratis (DAP). Gagasan ketuanan Melayu mendapat perhatian pada dasawarsa 1940-an, ketika orang Melayu mengorganisasi diri untuk memprotes pendirian Persatuan Malaya dan kemudian berjuang demi kemerdekaan. Selama dasawarsa 1960-an, terdapat upaya substansial yang menantang ketuanan Melayu yang dipimpin oleh Partai Aksi Rakyat (PAP) asal Singapura yang merupakan negara bagian sejak 1963 hingga 1965 dan DAP setelah pengeluaran paksa Singapura. Namun, pasal Konstitusi Malaysia yang terkait dengan ketuanan Melayu tetap "bercokol" setelah kerusuhan rasial 13 Mei 1969, menyusul kampanye pemilihan umum yang berfokus kepada masalah hak warga bukan Melayu dan ketuanan Melayu. Pada saat yang sama muncul "ultra" yang mengokohkan pemerintahan satu partai yang dipimpin oleh UMNO, dan peningkatan penekanan pada orang Melayu sebagai orang-orang definitif Malaysia, yaitu hanya orang Melayu yang bisa menjadi orang Malaysia sejati. Pada milenium ketiga, sejumlah partai lain yang tergabung dalam Pakatan Harapan seperti Partai Keadilan Rakyat dan Partai Amanah Negara juga mengikuti jejak Partai Aksi Demokrasi yang menggugat ketuanan Melayu dan sebaliknya memajukan "ketuanan rakyat".
Kerusuhan ini menyebabkan perubahan besar dalam pendekatan pemerintah terhadap masalah rasial dan mengarah pada pengenalan kebijakan aksi afirmatif agresif yang sangat memihak orang Melayu, Kebijakan Ekonomi Baru (DEB). Kebijakan Kebudayaan Nasional yang juga diperkenalkan pada tahun 1970 menekankan kepada asimilasi orang bukan Melayu ke dalam kelompok etnis Melayu. Namun selama dasawarsa 1990-an, Perdana Menteri Mahathir bin Mohamad menolak pendekatan ini lewat kebijakannya Bangsa Malaysia yang menekankan identitas Malaysia alih-alih Melayu untuk negara bagian. Selama dasawarsa 2000-an, politisi mulai menekankan ketuanan Melayu lagi dan secara terbuka mengecam menteri pemerintah yang mempertanyakan kontrak sosial.
Kemenangan mengejutkan Pakatan Harapan dalam pemilihan umum pada 2018 sedikit banyak berpengaruh terhadap gagasan ketuanan Melayu.
Asal usul "Ketuanan Melayu"
Menurut banyak sejarawan, akar utama perselisihan antar etnis dan ketuanan Melayu adalah kurangnya hubungan antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu. Karena banyak imigran yang didatangkan sebagai "pekerja pendatang" oleh Britania, para imigran ini merasa tidak perlu untuk berintegrasi dengan masyarakat Melayu dan bahkan tidak banyak yang mau belajar bahasa Melayu. Pengecualian terdapat pada kaum Tionghoa Peranakan yang telah berasimilasi dengan baik selama 600 tahun. Menurut Ming Shi-lu, nenek moyang Tionghoa Peranakan adalah "hadiah" yang diberikan kepada Sultan Melaka sebagai tanda pengakuan hubungan bilateral antara Dinasti Ming dengan Kesultanan Melaka. Pada saat pemerintahan Britania, kebanyakan Tionghoa Peranakan adalah saudagar-saudagar yang kaya dan dalam kesehariannya berbahasa Melayu, berbusana Melayu, dan berkuliner Melayu.[4]
Kebijakan kependidikan Britania kemudian mensegregasi kaum-kaum yang satu dengan yang lain. Britania memberikan pendidikan yang minim bagi kaum Melayu, sedangkan kaum non-Melayu dibiarkan sendiri. Kaum Melayu yang umumnya tinggal di pedesaan tidak dianjurkan bersosialisasi dengan kaum non-Melayu perkotaan.[5] Kondisi ekonomi Melayu yang miskin dibandingkan dengan kaum Tionghoa yang lebih baik juga membakar sentimen rasial ini.
Faktor lain yang mencuatkan ketuanan Melayu adalah pendudukan Jepang di Malaya semasa Perang Dunia II. Perang Dunia ini "membangkitkan kesadaran politik di antara warga Malaya dengan mengintensifkan komunalisme dan kebencian rasial". Kebijakan Jepang atas "politisasi kaum petani Melayu" secara sengaja membakar nasionalisme Melayu. Dua sejarahwan Melayu menulis bahwa "Perlakuan tidak ramah yang diberikan Jepang kepada kaum Tionghoa dan perlakuan sebaliknya yang diberikan kepada kaum Melayu membantu kaum Tionghoa merasakan identitasnya yang terkucil secara lebih tajam..." Salah satu komentator asing juga menyatakan "Semasa periode pendudukan ... sentimen nasional Melayu telah menjadi kenyataan; sentimen ini sangatlah anti-Tionghoa dan dalam unjuk rasa diserukan 'Malaya untuk orang Melayu'..."[6]
Pra-Kemerdekaan
Nasionalisme Awal Melayu
Nasionalisme Melayu sebagai gerakan politik yang terorganisasikan dan bersatu tidaklah wujud sebelum Perang Dunia II. Konsep ketuanan Melayu juga tidak relevan dengan kondisi politik saat itu karena warga Tionghoa-Malaysia dan India Malaysia yang menduduki hampir setengah jumlah populasi Malaya tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai warga Malaya.[7] Sebuah laporan dari British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies pada awal tahun 1930-an menemukan bahwa jumlah warga non-Melayu yang menganggap Malaya sebagai tanah air mereka sangat kecil.[8]
Walaupun Britania secara de facto memerintah Malaya, secara de jure warga Melayu dijadikan sebagai pemimpin boneka yang dikontrol oleh Britania. Komisioner Tinggi Britania Sir Hugh Clifford, mendemonstrasikan ideologi Britania yang membenarkan kolonialisme Britania atas Malaya[9] ketika dia menekankan "setiap orang di negara ini [untuk] memperhatikan fakta bahwa ini adalah negara Melayu, dan kami Britania datang kemari atas undangan Yang Mulia Raja-Raja Melayu, dan adalah tugas kamu untuk membantu orang Melayu memerintah negara mereka sendiri."[10] Britania berpura-pura mengadopsi kebijakan "pro-Melayu" agar warga Melayu, seperti yang dikatakan oleh Komisioner Tinggi Sir Laurence Guillemard, dipersiapkan untuk mengambil tempat yang pantas dalam kehidupan administrasi dan komersial di negara ini.[11] Pada kenyataannya, warga non-elit Melayu tetap termarjinalisasi oleh kebijakan ekonomi dan politik pemerintah kolonial Britania, dan baik kebijakan pendidikan maupun ketenagakerjaan sangat terbatas.[12]
Komunitas warga non-Melayu yang lahir di tanah Malaya dengan cepat kemudian mulai meminta perwakilan politik. Tahun 1936 komunitas warga India yang lahir di Malaya meminta Komisioner Tinggi Sir Shenton Thomas memberikan mereka andil dalam jabatan-jabatan administrasi pemerintahan. Thomas menolak permintaan ini, dengan menunjuk bahwa orang India yang lahir di Malaya sebagai "pendatang asing".[13] Walaupun Britania menganggap warga Tionghoa sebagai "angkatan kerja sementara", dengan menunjukkan statistik yang mengindikasikan bahwa kebanyak imigran Tionghoa pada akhirnya pulang kembali ke tanah asal mereka, para kritikus beralasan bahwa populasi warga Tionghoa yang lahir di Malaya terus meningkat. Walaupun demikian, Britania tetap berkeras bahwa adalah berbahaya untuk mempertimbangkan warga Tionghoa memiliki kecenderungan tinggal menetap di Malaya; komunitas India yang lahir di Malaya — meliputi hampir 20% dari populasi warga India, dengan sisanya sebagai pekerja buruh yang bermigrasi dengan alasan yang sama seperti warga Tionghoa — juga diabaikan.[14]
Britania mengatur kehidupan warga Melayu dengan kehidupan tradisional mereka sebagai petani, membatasi gerakan, ekonomi, dan pendidikan mereka. Kebijakan ini diambil atas dasar pemikiran bahwa pendidikan yang diberikan pada warga Bengal di India telah menimbulkan ketidakpuasan dan pemberontakan.[15] Britania hanya melibatkan warga Melayu yang berkelas ke dalam pemerintahan. Walaupun warga non-Melayu tidak dimasukkan ke dalam posisi pemerintahan, banyak dari jabatan-jabatan sipil diisi oleh warga non-Melayu, kebanyakan adalah orang India yang sengaja didatangkan untuk mengisi jabatan ini.[14] Kebanyakan ahli sejarah mendeskripsikan kebijakan pro-Melayu ini disengajakan hanya untuk mempertahankan kedudukan Britania daripada memperkuat kedudukan warga Melayu; banyak yang mengkarakterisasikan pendekatan Britania ini sebagai taktik divide et impera, menjauhkan suku yang satu dengan lainnya untuk memisahkan elemen masyarakat Malaya dalam harmonitas yang tipis.[16][17]
Tahun 1920-an, warga Tionghoa lokal yang memiliki kekuatan ekonomi yang signifikan, mulai mendorong pemerintah Britania memberikan mereka andil lebih besar di pemerintahan Malaya.[18] Banyak warga dari komunitas Tionghoa, yang telah mencapai 39% dari populasi Malaya, masih terdiri dari pekerja buruh sementara. Walaupun demikian, warga Tionghoa Peranakan — yang merupakan warga Tionghoa yang lahir di Malaya — ingin diberikan posisi dalam pemerintahan dan di anggap sebagai warga Malaya. Salah satu pemimpin warga Tionghoa bertanya, "Siapa bilang bahwa ini adalah negeri Melayu? ... Ketika Kapten [Francis] Light tiba, apakah dia menemukan orang Melayu, atau kampung Melayu? Kakek moyang kami datang ke sini dan bekerja keras sebagai kuli — tidak malu menjadi kuli — dan mereka tidak mengirimkan uang mereka kembali ke Tiongkok. Mereka menikah dan menghabiskan uang mereka di sini, dan dengan begini pemerintah dapat membangun negara ini dari hutan menjadi peradaban. Kami telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari negara ini. Ini adalah negara kami..." Intelek-intelek Melayu yang jengkel keberatan dengan alasan ini, mengemukakan sebuah analogi dengan warga Tionghoa sebagai tukang batu dan Malaya sebagai rumah. Tukang batu yang telah dibayar, menurut argumentasi mereka, tidak berhak diberikan bagian kepemilikan rumah yang dibangunnya. Karena itu, mereka menolak setiap usaha untuk memberikan warga Tionghoa kewarganegaraan dan hak-hak politik lainnya.[19]
Sebaliknya pula, tidak semua warga Melayu pula yang lahir di Malaya. Sejumlah kelompok etnis lain yang berhubungan dengan etnis Melayu seperti suku Jawa dan Bugis telah bermigrasi ke dalam Malaya sepanjang abad 19 dan 20. Kebanyakan dengan cepat berasimilasi ke dalam identitas kebudayaan Melayu.[20] Pada akhirnya, permohonan warga Tionghoa Malaya tampaknya memiliki pengaruh yang kuat terhadap Britania. Tahun 1927, Gubernur Negeri-Negeri Selat mengalamatkan warga Tionghoa sebagai "penduduk asli Malaya Britania".[21]
Sesaat sebelum Perang Dunia II, nasionalisme Melayu mulai menekankan ketuanan Melayu. Dikhawatirkan bahwa kebijakan Britania mulai condong terhadap pembentukan nasionalitas Malaya yang memasukkan warga Tionghoa dan India. Beberapa warga Melayu kemudian berusaha mempertahankan status quo dengan menggunakan Britania sebagai pertahanan terhadap ancaman non-Melayu. Yang lainnya mulai memperjuangkan sebuah negara Melayu yang merdeka dan berdaulat, seperti "Negara Indonesia Raya".[22]
Uni Malaya
Setelah Perang Dunia II, Britania mengumumkan pembentukan Uni Malaya yang akan melonggarkan kebijakan-kebijakan imigrasi, mengurangi kedaulatan raja-raja Melayu, dan tidak mengakui adanya supremasi Melayu serta membentuk Malaya sebagai protektorat Britania Raya. Sebagai penduduk yang lahir di Malaya, kebanyakan warga Tionghoa Malaya dan India Malaya memenuhi syarat mendapatkan kewarganegaraan di bawah prinsip jus soli. Dengan jaminan hak-hak yang sama kepada semua orang, warga Melayu khawatir bahwa kekuatan kecil yang disisakan akan kemudian diambil juga.[23][24] Dan sejak awal pula, kaum Melayu tidak menganggap mereka sendiri sebagai bagian dari label "warga Malaya".[25]
Untuk pertama kalinya, warga Melayu menjadi sadar secara politik dan memprotes pembentukan Uni Malaya. Pada satu perkumpulan terdapat sebuah plakat yang bertuliskan "Malaya adalah milik Melayu. Kami tidak ingin bangsa lain diberikan hak dan keistimewaan yang sama dengan bangsa Melayu."[26] Satu organisasi Melayu memberitahukan kepada Britania bahwa ketetapan kewarganegaraan ini akan membawa pada kepunahan etnis Melayu beserta tanah dan raja mereka."[27] Sekelompok royalis Melayu dan pejabat sipil yang dipimpin oleh Dato' Onn Ja'afar membentuk Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) untuk memprotes pembentukan Uni Malaya[28] Walaupun Uni Malaya dibentuk sesuai dengan rencana, kampanye memprotes pembentukan tersebut terus berlanjut; tahun 1948, Britania menggantikan Uni Malaya dengan Federasi Malaya. Federasi ini mengembalikan kedaulatan raja-raja Melayu, memperketat pembatasan imigrasi dan kewarganegaraan, dan memberikan warga Melayu hak-hak istimewa.[29] Walaupun demikian, tujuan semula Britania tetap sama: memperkenalkan "sebuah bentuk kewarganegaraan umum yang terbuka untuk semua orang, tanpa memandang etnis, yang menganggap Malaya sebagai rumah mereka dan objek kesetiaan mereka."[30]
Oposisi yang terbatas terhadap ketuanan Melayu dan UMNO semasa periode ini datang dari koalisi antara All-Malaya Council of Joint Action (AMCJA) dan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Walaupun salah satu konstituen organisasi PUTERA berkeras pada ketuanan Melayu sebagai "hak lahir nasional" warga Melayu, PUTERA ikut serta dengan AMCJA memperjuangkan persamaan politik non-Melayu. Setelah Britania menolak untuk mempedulikan koalisi PUTERA-AMCJA, koalisi ini menolak berunding dengan Britania, kemudian melancarkan mogok umum untuk memprotes apa yang dianggap sebagai kecacatan dalam negara baru. Setelah Federasi Malaya dibentuk, koalisi ini kemudian dibubarkan.[31]
Sebelum pembentukan Federasi, warga non-Melayu secara umum tidak dilibatkan dalam perpolitikan dan nasionalisme Malaya; lebih tertarik kepada politik tanah asal mereka, warga non-Melayu tidak pernah secara signifikan mendukung Uni Malaya[32] AMCJA, walaupun terdiri dari warga non-Melayu, tidak mewakili sebagian besar dari komunitas warga non-Melayu di Malaya.[33] Kurangnya ketertarikan atau kesetiaan kepada Malaya di antara warga non-Melayu tampaknya menjustifikasi ketuanan Melayu.
Beberapa ahli sejarah beragumentasi bahwa kegagalan Uni Malaya membuat warga Tionghoa sadar akan kebutuhan perwakilan politik mereka. Malay Chinese Association (MCA) — sebuah partai politik komunal yang mengkampanyekan hak-hak politik warga Tionghoa — dibentuk segera sesudah pembentukan Federasi Malaya.[34] Yang lainnya mengklaim bahwa faktor utama dibalik keterlibatan warga non-Melayu ke dalam politik Malaya dan tuntuan hak-hak mereka, adalah karena peningkatan jumlah warga non-Melayu yang lahir di Malaya. Laporan yang sama dari British Permanent Under-Secretary of State for the Colonies mengindikasikan bahwa warga non-Melayu yang lahir di Malaya "tidak pernah melihat tanah nenek moyang mereka dan mereka mengklaim bahwa keturunan-keturunan mereka seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil."[35] Presiden pertama MCA adalah Tan Cheng Lock, seorang warga Tionghoa yang lahir di Malaya yang sebelumnya memimpin AMCJA sebelum pembubarannya.
Menuju kemerdekaan Malaya
Setelah tujuan awalnya tercapai, UMNO kemudian memosisikan dirinya sebagai partai politik yang memperjuangkan kemerdekaan Malaya. Pada saat yang sama pula, Partai Komunis Malaya (MCP) melancarkan pemberontakan bersenjata untuk membentuk pemerintahan komunis di Malaya. Pemberontakan ini mencapai puncaknya pada kedaruratan Malaya yang terus berlangsung setelah kemerdekaan. Dalam pemerontakan ini, segregasi antar ras sangat jelas terlihat. Pihak yang menentang pihak komunis hampir keseluruhannya adalah kaum Melayu, manakala kaum Tionghoa banyak yang mendominasi kedudukan di partai komunis. Britania kemudian membentuk Komite Hubungan Komunitas (Jawatankuasa Hubungan antara Kaum, Communities Liaison Committee) yang terdiri dari politikus-politikus tinggi Malaya dari berbagai komunitas untuk mengalamatkan berbagai isu-isu sensitif, utamanya yang mengangkut isu ras. Beberapa kompromi mengenai sejumlah isu seperti kewarganegaraan, pendidikan, demokrasi, dan supremasi Melayu disetujui. Pada akhirnya, "tawar menawar" antara kaum Melayu dengan kaum non-Melayu dirumuskan. Sebagai ganti kaum Melayu melepaskan ketuanan Melayunya, warga Melayu akan dibantu untuk mengejar ketertinggalan ekonominya. Salah satu anggota komite ini E.E.C. Thuraisingham kemudian berkata bahwa, "Saya dan lainnya percaya bahwa Melayu yang terbelakang seharuslah diberikan tawaran yang lebih baik. Kaum Melayu haruslah dibantu untuk mencapai kesetaraan dengan kaum non-Melayu agar dapat mengukuhkan Negara Malaya bersatu yang setara."[36]
Permasalahan terus bermunculan. Banyak anak muda Tionghoa Malaya yang diwajibkan ikut pelatihan militer untuk mencegah serangan komunis melarikan diri dari Malaya. Kebanyakan warga Tionghoa yang mengikuti wajib militer ini adalah warga didikan Inggris dan bukanlah didikan Tionghoa. Bagi kaum Melayu, hal ini mengindikasikan bahwa kaum Tionghoa tidak memiliki kesetiaan apapun terhadap Malaya dan ini menjustifikasikan ketuanan Melayu. Persepsi ini semakin diperparah oleh dikotomi rasial yang terlihat di antara kaum yang mendukung komunis dengan kaum yang menentangnya.[37]
Pada awal tahun 1950-an, Onn Ja'afar mengajukan wacana untuk membuka keanggotaan UMNO bagi seluruh warga Malaya dan menggantikan namanya menjadi Organisasi Nasional Malaya Bersatu (Pertubuhan Kebangsaan Penduduk Tanah Melayu Bersatu). Wacana ini akan mengikis identitas UMNO sebagai partai yang memperjuangkan ketuanan Melayu. Namun hal ini tidak mendapatkan dukungan anggota dalam partai UMNO sendiri. Onn Ja'afar kemudian mengundurkan diri pada tahun 1951 dan mendirikan Partai Kemerdekaan Malaya (Independence of Malaya Party, IMP). Ia digantikan oleh Tunku Abdul Rahman yang bersikeras akan kedaulatan Melayu. Dengan mengungkit kurangnya kesetiaan warga non-Melayu terhadap Malaya, ia menuntut warga non-Melayu untuk mengklarifikasikan kesetiaan mereka terlebih dahulu sebelum diberikan kewarganegaaan, dan selanjutnya dalam bukunya Political Awakening menyatakan bahwa "Kepada siapapun yang mencintai dan merasa berhutang kesetiaan kepada negara ini, kami akan menyambutnya sebagai penduduk Malaya. Mereka haruslah benar-benar penduduk Malaya, dan mereka akan memiliki hak dan keistimewaan yang sama dengan kaum Melayu."[38] Tidak lama setelah itu pada tahun 1952, ia tampaknya mengkontradiksi dirinya sendiri, dengan bersikeras agar kaum Melayu melindungi posisi khusus mereka: "Malaya adalah untuk kaum Melayu dan tidak seharusnya diperintah oleh gabungan berbagai bangsa."[39]
Semasa periode ini, kaum Tionghoa Peranakan mulai memperlihatkan ketertarikannya pada politik lokal, utamanya Tionghoa Peranakan Pulau Pinang, di mana terdapat gerakan separatis Tionghoa yang aktif. Dengan lebih berpihak kepada Britania daripada kepada kaum Melayu, kaum Tionghoa Peranakan utamanya tidak senang atas pengalamatan mereka sebagai pendatang asing. Kaum Tionghoa Peranakan ini menghindar dari UMNO dan MCA, percaya bahwa manakala UMNO dan ekstremis Melayu bertujuan memperluas hak khusus Melayu dan membatasi hak kaum Tionghoa, MCA terlalu "egois" dan tidak dapat dipercayai.[40] Kaum Tionghoa Peranakan khawatir atas penyatuan Negeri-Negeri Selat dengan Malaya dan tidak merasa memiliki kesamaan dalam suatu negara "Malaya untuk Melayu" yang di dalamnya kaum Tionghoa tidak dianggap sebagai bumiputera. Salah satu pemimpin Tionghoa Peranakan dengan penuh emosi mendeklarasikan, "Saya dapat mengklaim lebih "anak Pulau Pinang" daripada 99 persen kaum Melayu yang tinggal di sini sekarang." Dengan penolakan kuat dari pemerintah, gerakan separatis ini pada akhirnya berangsur-angsur hilang.[41]
Beberapa orang mengajukan bahwa kaum non-Melayu tidak merasa setia kepada Malaya karena mereka tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai bernasionalitas Malaya dan lebih terikat dengan latar belakang budaya dan etnis mereka. Untuk melawan hal ini, pada tahun 1952, kewarganegaraan diberikan kepada hampur semua warga non-Melayu yang lahir di Malaya. Kewarganegaraan ganda dilarang, sehingga memaksa warga non-Melayu untuk memilih di antara tanah nenek moyangnya atau Malaya.[42] Berlawanan dengan asumsi kaum Melayu, mayoritas kaum non-Melayu memilih untuk menetap dan sehingganya membuktikan kesetiaan mereka kepada Malaya. Kaum-kaum non-Melayu inilah yang menjadi nenek moyang kaum non-Melayu Malaysia sekarang.
Seiring dengan persiapan Malaya untuk memiliki pemerintahan sendiri, Britania memulai "Sistem Keanggotaan" (seperti sistem kabinet). Seperti Komiter Hubungan antar Komunitas, keanggotaan pemerintahan berasal dari berbagai komunitas. Sistem ini dianggap sebagai titik awal model pembagian kekuasaan multirasial di Malaya dan Malaysia setelah kemerdekaan. Pada saat yang sama, Britania juga mulai meletakkan kerangka sistem pendidikan nasional yang akan menciptakan rasa "kebersamaan sebagai warga Malaya". Proposal Barnes Report yang diajukan oleh Britania mendapatkan penentangan yang kuat dari komunitas Tionghoa karena "jenuh dengan nasionalisme Melayu" dan memperkuat ketuanan Melayu. Proposal lainnya, Fenn-Wu Report, mendapatkan dukungan kaum Tionghoa, namun tidak mendapat persetujuan kaum Melayu. Pada akhirnya rekomendasi Barnes Report akan sekolah nasional berbahasa Inggris diimplementasikan pada tahun 1952 di tengah-tengah protes kuat dari kaum Tionghoa yang kecewa terhadap tidak adanya ketentuan mengenai sekolah berbahasa non-Melayu. Pada tahun 1956, sebuah komite yang dikepalai Tun Abdul Razak mengevaluasi sistem pendidikan ini. Propasal "Razak Report" merekomendasikan bahwa sekolah dasar berbahasa non-Melayu diizinkan untuk dibuka, namun haruslah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah nasional. Sekolah menengah berbahasa non-Melayu tidak akan diizinkan dan hanya sekolah menengah nasional saja yang akan dibiayai pemerintah. Komunitas Tionghoa dengan kuat menetang proposal "Razak Report" ini pula dan melancarkan kampanye melawannya.[43] Walaupun demikian, rekomendasi "Razak Report" ini pada umumnya sangat sukses dan kebanyakan rekomendasinya masih digunakan sampai dengan sekarang.
Partai Perikatan
Walaupun UMNO mendukung ketuanan Melayu, ia membentuk aliansi (perikatan) dengan MCA dan Kongres India Malaya (MIC) dalam pemilihan Dewan Legislatif Federal tahun 1955 yang disebut sebagai "Parti Perikatan" (Partai Aliansi). Aliansi ini mengejutkan banyak pihak karena MCA sebelumnya dengan keras menuntuk hak politik yang setara bagi seluruh warga negara. Presiden MCA, Tan Cheng Lock, sendirinya juga merupakan Tionghoa Peranakan. Walaupun pada awalnya aliansi ini dianggap sebagai aliansi yang didasarkan pada keuntungan sesaat, aliansi ini memenangkan 51 dari 52 kursi yang diperebutkan. Sisa satu kursinya dimenangkan oleh Partai Islam Se-Malaya (PAS), yang merupakan partai Melayu yang mengadvokasikan ketuanan Melayu. Kekalahan partai-partai non-komunal lainnya memberikan persepsi bahwa atmosfer politik Malaya tidak cocok dengan partai-partai multi rasial. Koalisi pemerintahan yang terdiri dari partai-partai monorasial dianggap lebih stabil dan cocok dengan politik Malaya.[44] Sebelum pemilihan umum, Dato' Onn Ja'afar telah mengubah pendekatannya dengan membentuk Partai Negara setelah IMP mengalami kekalahan pada pemilu daerah. Walaupun ia mengadvokasi kebijakan pro-Melatyu yang lebih kuat, Partai Negara gagal menjatuhkan aliansi ini. Beberapa sejarahwan percaya bahwa proposal Partai Negara mendorong politikus-politikus UMNO untuk mengambil kebijakan-kebijakan pro-Melayu yang lebih radikal.[45][46] Britania sendiri bersikeras memindahkan kekuasaannya hanya kepada pemerintahan yang multirasial dan aliansi antara UMNO, MCA, dan MIC dianggap memenuhi syarat multirasial ini.[47]
Kemerdekaan Malaya dan pembentukan Malaysia
Kemerdekaan dan Konstitusi
Federasi Malaya (Persekutuan Tanah Melayu) secara resmi merdeka dari Imperium Britania tahun 1957. Konstitusi negara baru ini memiliki beberapa ketentuan seperti Pasal 153 yang menjamin kaum Melayu mendapatkan hak-hak istimewa. Komisi Reid yang menyusun konstitusi ini menyatakan bahwa pasal 153 hanyalah bersifat sementara dan harus ditinjau ulang oleh parlemen 15 tahun setelah kemerdekaan.[48] Konstitusi ini tidak secara eksplisit menyatakannya maupun mengklarifikasi tujuan pasal 153. Konstitusi menyatakan bahwa semua warga Malaya setara di depan hukum tanpa menyebut-nyebut "Kedaulatan Melayu" maupun gagasan-gagasan lain yang berhubungan dengan ketuanan Melayu. Kewarganegaraan Jus soli yang memberikan kewarganegaraan kepada siapapun yang lahir dalam Federasi Malaya juga diberikan walaupun tidak secara retroaktif. Pemberian kewarganegaraan secara jus soli ini merupakan "pengorbanan" kaum Melayu yang sebelumnya dengan keras berkampanye menentang kewarganegaraan jus soli dalam Uni Malaya.[49]
Di sisi lain, bahasa Melayu dan Islam dijadikan bahasa nasional dan agama resmi negara. Kedudukan Raja-raja Melayu juga tetap dipertahankan. Keputusan ini bertujuan untuk menghargai kaum Melayu sebagai orang Malaya yang sebenarnya, yakni menjadi seorang Malaya adalah sama halnya menjadi seorang Melayu. Di mata banyak orang pula, hal ini memberikan Malaya identitas Melayu.[50] Seorang akademiawan mengajukan bahwa "Kaum Melayu memiliki perasaan yang telah mendarah daging bahwa hanya merekalah yang merupakan bumiputera, dan sehingganya mempunyai hak-hak istimewa tertentu atas tanah Malaya." Dan sebenarnya pun pada tahun 1964 Tunku mengatakan "Adalah dimengerti semua orang bahwa negara ini dari namanya, tradisi dan karakternya, adalah Melayu. ... Di negara lain di mana pendatang asing mencoba untuk mendominasi bidang ekonomi dan bidang-bidang lain, pada akhirnya akan mendapatkan oposisi keras dari penduduk asli. Namun ini tidak sama halnya dengan kaum Melayu. Oleh karena itu, sebagai gantinya, pendatang-pendatang asing itu harus menghargai posisi orang Melayu..."[39] Diajukan bahwa nasionalitas Malaysia tidak muncul karena "semua simbol-simbol nasional Malaysia diturunkan dari tradisi Melayu".[51]
Pembatasan konstitusional atas jumlah konstituensi Parlemen dari pedesaan kemudian dicabut dan dianggap sebagai "penopang tak langsung" hak khusus Melayu. Hal ini disebabkan karena kaum Melayu kebanyakan berpusat di daerah pedesaan dan secara tidak langsung meningkatkan kekuasaan politik kaum Melayu. Konstitusi awal negara secara implisit mengikuti sistem "satu orang, satu suara". Perubahan pada konstituensi ini dikecam karena "memberikan satu orang satu suara, yang lainnya banyak suara: tidak didasarkan pada kemampuan intelektual tetapi hanya bertujuan untuk menjamin dominasi kelompok-kelompok tertentu."[52]
Ketentuan-ketentuan konstitusional yang dirujuk sebagai "Agenda Melayu", mendapatkan sedikit sentimen dari kaum non-Melayu, walaupun kebanyakan dari mereka mendapatkan kewarganegaraan dan secara teoretis sejajar dengan warga Melayu di bawah konstitusi. Hal ini dapat disebabkan oleh penerimaan kontrak sosial yang salah seorang sejarahwan menulis: "Pada tingkat elit, kaum non-Melayu mengakui bahwa kaum Melayu secara politik superior karena status penduduk asli mereka dan bahwa susunan pemerintahan Malaysia memiliki karakter Melayu ... Kaum Melayu dijamin menjadi mayoritas baik dalam parlemen negara bagian maupun parlemen federal ... Kaum Melayu mengontrol posisi yang tertinggi dalam pemerintahan dan ... mendominasi anggota kabinet federal." Seorang sejarahwan Melayu menulis bahwa "Sebagai gantinya, kaum Tionghoa mendapatkan melebihi apa yang kaum Tionghoa Asia Tenggara lainnya mimpikan — kewarganegaraan yang setara, partisipasi politik dan jabatan, kesempatan ekonomi yang tidak dihalang-halangi, dan toleransi kepada bahasa, agama, dan institusi kebudayaan mereka."[53]
Beberapa pihak mengekspresikan kekhawatirannya kepada pasal 153. Sesaat sebelum kemerdekaan, China Press mensugestikan bahwa manakala hak-hak khusus "dapat dimengerti pada awal pembangunan negara," jika "periode 'hak-hak khusus' tidak dibatasi, ataupun ruang lingkupnya tidak ditentukan secara jelas, maka persengketaan yang tak habis-habisnya ... akan bermunculan pada hari-hari mendatang," dan berargumen bahwa hak-hak khusus pada akhirnya akan memisah-misahkan warga Malaya daripada menyatukannya.[54]
Pembentukan Malaysia
Pada tahun 1961, ketika pemerintah Malaya mulai mendiskusikan kemungkinan penggabungan dengan Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei, permasalahan hubungan antar etnis mulai mencuat kembali. Proposal pembentukan "Malaysia" tanpa Sabah dan Sarawak telah bergulir lebih dari satu dasawarsa, namun negosiasi sebelumnya gagal. Warga Singapura sendiri tidak begitu tertarik untuk diperintah oleh pemerintah Melayu.[55] Namun, pada tahun 1961, Singapura mulai menerima gagasan untuk bergabung dengan Malaysia karena terdapat anggapan pada saat itu bahwa industri Singapura tidak dapat bertahan tanpa akses ke pasar Malaya.[56]
Pemerintah Malaya tidak bergitu suka menerima warga Tionghoa Singapura yang akan menekan populasi Melayu menjadi minoritas dalam negara Malaysia yang baru. Banyak kaum Melayu merasa bahwa mengubah dominasi Melayu dalam militer dan kepolisian akan membuat posisi Melayu dalam keadaan bahaya. Ada juga yang berargumen bahwa posisi ekonomi Melayu yang inferior akan semakin kentara apabila kaum Tionghoa Singapura yang lebih kaya masuk dan menimbulkan ketidakpuasan publik.[57] Pemerintah Malaya memutuskan untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan bergabung dengan Sabah dan Sarawak. Kedua koloni Britania ini memiliki populasi penduduk asli yang besar, yang oleh pemerintah Malaya dianggap sebagai "Melayu". Di bawah pasal 160 Konstitusi Malaya, kebanyakan penduduk asli Sabah dan Sarawak bukanlah Melayu karena mereka kebanyakan merupakan animis ataupun beragama Kristen, sehingganya tidak sesuai dengan konstitusi yang mengharuskan Melayu beragama Islam. Untuk mengatasinya, pemerintah Malaya memperluas definisi informal "Melayu" agar dapat melingkupi penduduk-penduduk asli Sabah dan Sarawak.[58]
Warga Sabah dan Sarawak tidak melihat keuntungan apapun dari penggabungan ini. Banyak yang menganggap Malaya hanyalah untuk orang Melayu, manakala mereka tidak menganggap diri mereka sebagai Melayu. Istilah "Malaysia" dengan frasa "Malay" (Melayu) juga dianggap menakutkan. Adanya agama resmi Islam dan bahasa nasional Melayu juga meperparah ketakutan akan "dominasi Melayu". Agar penggabungan dapat terjadi, Sabah dan Sarawak menuntut bahwa penduduk asli Sabah dan Sarawak juga diberikan hak khusus yang sama dengan kaum Melayu.[59] Dua puluh butir perjanjian antara pemerintah Malaya dengan Sabah dan 18 butir perjanjian antara pemerintah Malaya dengan Sarawak kemudian ditandatangani. Setelah negosiasi yang berlarut-larut dan dukungan dari Britania, berbagai masalah akhirnya berhasil diselesaikan. Penggabungan ini secara efektif berlaku tanggal 16 September 1963.
"Malaysian Malaysia!" (Malaysia-nya orang Malaysia)
Dalam Pemilihan Umum Singapura tahun 1963, aliansi UMNO menantang pemerintahan Partai Aksi Rakyat (PAP) melalui Partai Aliansi Singapura. Politikus-politikus UMNO secara aktif berkampanye di Singapura mendukung Aliansi Singapura, melontarkan pendapat bahwa kaum Melayu Singapura diperlakukan sebagai warga negara kelas dua oleh pemerintah PAP yang multirasial. Walaupun demikian, semua kandidat Melayu yang didukung oleh UMNO kalah dalam pemilu ini. Politikus-politikus PAP, yang melihat hal ini sebagai pelanggaran perjanjian oleh aliansi UMNO untuk tidak mengikuti pemilu di Singapura, memutuskan untuk sebaliknya mengikuti pemilihan umum di Malaya dalam Pemilihan Umum Malaysia tahun 1964. Walaupun PAP menarik banyak orang dalam pawai politiknya, partai ini hanya memenangi satu suara. Beberapa sejarahwan menganggap bahwa permintaan Presiden MCA yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan kepada kaum Tionghoa untuk tidak menantang hak khusus Melayu agar Malaysia tidak beresiko bergabung dengan Indonesia membantu MCA mengamankan statusnya sebagai "pemimpin kaum Tionghoa di semenanjung Malaya".[60] Akibat keikutsertaan PAP dalam pemilu Malaysia, pemimpin-pemimpin UMNO sangat marah kepada PAP.[61][62]
Permasalahan-permasalahan baru terus bermunculan. Lee Kuan Yew, pemimpin pemerintahan Singapura dan PAP, mendeklarasikan penolakannya atas ketuanan Melayu, dan sebaliknya menyerukan "Malaysian Malaysia" (Malaysia-nya orang Malaysia).[45] Ia berargumen bahwa "bangsa Melayu mulai bermigrasi ke Malaysia dalam jumlah besar hanya sekitar 700 tahun yang lalu. Dari 39% kaum Melayu di Malaysia, sepertiganya adalah imigran baru yang datang ke Malaya dari Indonesia. Oleh karena itu adalah salah dan tidak logis bagi kelompok rasial tertentu untuk berpikir bahwa merekalah yang paling dibenarkan disebut sebagai bangsa Malaysia dan yang lainnya hanyalah menjadi warga Malaysia melalui belas kasihan mereka."[63]
Lee kemudian berkeluh: "Malaysia — kepada siapa ia berpunya? Kepada bangsa Malaysia. Namun siapakah bangsa Malaysia? Saya berharap saya adalah bangsa Malaysia, Tuan Pembicara. Namun kadang-kadang, duduk di ruangan ini, saya ragu apakah saya diizinkan menjadi bangsa Malaysia. Keraguan inilah yang menyangkut di pikiran saya, dan ... [seketika] emosi dilepaskan, dan manusia dengan manusia saling berseberangan dibatasi oleh garis tak terucapkan ini, anda akan mempunyai sejenis peperangan yang akan memecah belah negara ini dari atas ke bawah dan menghancurkan Malaysia."[64] Kadang-kadang, Lee memperparah situasi dengan membuat komentar-komentar rasial. Banyak pidato-pidatonya yang terus mendengung-dengungkan komposisi etnis Malaysia, mengingatkan kepada para pendengar bahwa kaum non-Melayu yang sekarang telah menjadi mayoritas, dengan 61% populasi berbanding 39% Melayu, "Mengapa kita harus kembali ke Singapura yang dulu dan sekali lagi menurunkan derajat non-Melayu di Malaya menjadi minoritas?"[65] Lee memperparah hubungan PAP-UMNO dengan secara konstan menuntut pemerintah federal memerangi kelompok ultra yang banyak menduduki jabatan penting UMNO seperti Syed Jaafar Albar dan Syed Nasir Ismail.[66][67]
Pernyataan-pernyataan Lee mengundang kemarahan banyak pihak, utamanya politikus-politikus Perikatan. Tan Siew Sin menyebut Lee "Kekuatan perusak terbesar dalam seluruh sejarah Malaysia dan Malaya."[68] Tunku Abdul Rahman menganggap Lee terlalu ekstremis dalam pandangannya, manakala politikus-politikus UMNO berpendapat bahwa Lee hanyalah berusaha menarik dukungan kaum Tionghoa Malaysia dengan retorikanya.[69] Pernyataan Lee mengenai migrasi Melayu mendapatkan bantahan keras. Albar menyerukan: "Mengatakan bahwa orang Melayu berada dalam kategori yang sama dengan ras lain adalah sebuah hinaan..." Surat kabar UMNO Malaya Merdeka memperingatkan: "Jika kaum Melayu ditekan dengan keras dan kepentingannya tidak dilindungi," kaum Melayu akan menggabungkan Malaysia dengan Indonesia.[70] Adalah hal ini yang Tunku Abdul Rahman takuti. Baginya, golongan ultra bukanlah ekstremis sebenarnya. Adalah orang-orang yang menginginkan terbentuknya "Indonesia Raya" untuk menekan populasi Tionghoalah yang dia anggap sebagai ancaman utama.[71]
Hubungan antar kaum yang buruk berakhir pada kerusuhan rasial 1964 Singapura,[62] yang secara tidak langsung oleh politikus Melayu PAP Othman Wok tuduh telah direncanakan oleh kelompok Ultra.[72] Ketegangan antar kaum terus bertambah tahun-tahun setelah kerusuhan itu. Deklarasi Syed Jaafar Albar "Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Melayu" mendapatkan tanggapan keras dari Lee Kuan Yew yang menyatakan dalam Parlemen: "Jika saya telah berpindah dan mengatakan apa yang [dia] telah katakan (Di mana pun saya berada, saya adalah seorang Tionghoa), di manakah kita ini? Tetapi saya terus mengingatkan orang-orang bahwa saya adalah seorang Malaysia. Saya belajar "Bahasa Kebangsaan" (Bahasa Melayu) dan saya menerima Pasal 153 Konstitusi."[73]
Lee bersikeras bahwa dia tidak menolak hak-hak khusus Melayu ataupun Pasal 153, berkata: "jika komunitas imigran ... tidak melihat permasalahannya, jika mereka tidak bisa merasa seperti apa menjadi seorang Melayu yang miskin, dan tidak merasakannya untuk orang Melayu, maka saya dapat mengatakan dengan segera dia (orang Melayu) akan mewujudkan ketidakpuasannya dengan kepastian dan seluruh negeri akan jatuh ke dalam kekacauan."[74] Beberapa anggota Perikatan tidak menerima klaim ini dengan serius. Politikus-politikus UMNO bersikeras bahwa konsep "Malaysian Malaysia" menyiratkan kesetaraaan total, menghilangkan hak-hak istimewa Melayu.[75] Senu Abdul Rahman, salah seorang Menteri Federal, merasa advokasi kesetaraan Lee akan membuat kaum Melayu tidak mendapatkan kesempatan berpartisipasi dalam bidang ekonomi: "Apa yang kami mau adalah kesempatan, kesempatan untuk mendapatkan kekayaan ekonomi bagi orang-orang kami." Seraya mengutuk pernyataan Lee bahwa dia adalah seorang Malaysia atas hak dia sendiri, Senu bertanya: "Hak yang Lee sekarang nikmati tidaklah jatuh dari langit begitu saja. Hak ini diberikan kepadanya. Tidakkah ia memiliki rasa terima kasih kepada penduduk asli negara ini?" Lee menjawab: "Tidak, saya tidak menikmati keramahan siapapun. Saya di sini karena ini hak saya sendiri. Dan 61 persen rakyat Malaysia haruslah mempertahankan hak ini atau ia akan menghilang. Tanpa hak ini, mereka tidak memiliki masa depan."[76] Beberapa politikus, seperti Syed Jaafar Albar, berpendapat lebih jauh lagi merujuk orang Melayu sebagai Bumiputera, "tuan rumah", yang keramahannya telah disalahgunakan oleh bangsa asing atau orang tumpangan seperti Lee. Hal ini memprovokasi anggota kabinet Lim Swee Aun yang menuntut "kita adalah pemilik bersama, bukan orang tumpangan, bukan pula tamu."[77][78]
Beberapa politikus Melayu memiliki pandangan yang berbeda dari mayoritas UMNO. Ismail Abdul Rahman memberitahukan parlemen bahwa "... baik Perikatan dan PAP menjunjung konsep Malaysian Malaysia," namun hanya berbeda dalam metode penerapannya saja. Ismail mengkarakterisasikan pendekatan PAP sebagai "jalan lurus non-komunalisme" sedangkan Perikatan memerlukan "dua langkah. Pertama, keharmonisan antar ras; kedua, keadaan non-komunalisme." Pernyataan ini ditolak Lee sebagai "lip service" yang tidak dapat dianggap serius kecuali segala tindak tanduk golongan Ultra dikontrol dan dihentikan.[79][80]
Pendepakan Singapura dari Malaysia
Lee Kuan Yew terus melancarkan kampanyenya, membentuk Dewan Solidaritas Malaysia (Malaysian Solidarity Council, MSC) yang terdiri dari partai-partai multirasial seperti PAP, Partai Progresif rakyat (People's Progressive Party, PPP) dan Partai Demokrasi Bersatu (United Democratic Party, UDP) pada tahun 1965. Pada pertemuan umum pertama dan terakhir MSC, beberapa pemimpin partai-partai ini menyampaikan pidato mereka yang mendukung konsep Malaysian Malaysi. D.R. Seenivasagam dari PPP menuduh Perikatan menggunakan Pasal 153 Konstitusi untuk "mengintimidasi non-Melayu", manakala Ong Kee Hui dari Partai Rakyat Sarawak Bersatu (Sarawak United People's Party, SUPP) mengatakan bahwa "Kami dapat melihat perilaku intoleransi dan memuncaknya tanda-tanda penolakan atas kesetaraan politik kepada orang-orang non-Melayu. Demi negara kita dan kita sendiri, hal ini harus dihentikan dan kejatuhan ke dalam rasialisme sempit harus diawasi. Kesetaraan politik haruslah diberikan kepada siapapun yang tinggal di sini dan menjadikan negara ini tanah air mereka, tanpa peduli asal usul rasial mereka."[81]
Setelahnya, anggota parlemen dari UMNO Mahathir bin Mohamad menyerang Lee dalam parlemen: "[Orang Tionghoa Singapura] tidak pernah mengetahui kekuasaan Melayu dan tidak dapat menerima gagasan bahwa orang-orang yang telah mereka tundukkan (orang Melayu) sekarang berada dalam posisi memerintah mereka."[82] Lee merespon pernyataan tersebut dalam bahasa Melayu: "Tentu terdapat jutawan-jutawan Tionghoa dengan mobil-mobil dan rumah-rumah yang besar. Apakah ini adalah jawaban untuk membuat beberapa Melayu menjadi jutawan dengan mobil-mobil dan rumah-rumah yang besar? ... Apabila kita memperdaya rakyat untuk percaya bahwa mereka miskin karena mereka tidak memiliki hak-hak Melayu atau karena anggota oposisi menentang hak-hak Melayu, di manakah kita akan berakhir? Anda membuat rakyat pedesaan percaya bahwa mereka miskin karena kami tidak berbicara bahasa Melayu, karena pemerintah tidak menulis dalam bahasa Melayu, sehingga ia mengharapkan keajaiban untuk terjadi [ketika bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa nasional]. Pada saat kita semua berbicara bahasa Melayu, ia akan mendapatkan peningkatan standar hidup, dan apabila hal itu tidak terjadi, apakah yang akan terjadi? Manakala, kapanpun kegagalan dalam kebijakan ekonomi, sosial, dan kependidikan terjadi, anda akan datang dan mengatakan, oh, orang-orang Tionghoa, India, dan lainnya yang jahat ini menentang hak-hak Melayu. Mereka tidak menentang hak-hak Melayu. Mereka, kaum Melayu, memiliki hak sebagai warga negara Malaysia untuk naik ke tingkatan pelatihan dan pendidikan yang telah dihasilkan oleh komunitas-komunitas yang lebih kompetitif, yaitu komunitas non-melayu. Inilah yang harus dilakukan, tidakkah demikian? Bukan dengan menyodorkan mereka doktrin-doktrin terbelakang bahwa apa yang harus mereka lakukan adalah mendapatkan hak-hak Melayu untuk sebagian kecil orang Melayu istimewa dan permasalahan mereka akan terselesaikan."[83]
Pada akhirnya, Tunku Abdul Rahman, merasa muak dengan semua permainan politik dan diyakinkan bahwa percekcokan retorika lebih jauh lagi akan berakhir pada kekerasan, meminta Singapura untuk memisahkan diri dari Malaysia. Singapura menjadi negara merdeka pada tahun 1965 dengan Lee Kuan Yew sebagai Perdana Menteri pertamanya.[84]
Insiden 13 Mei dan Kebijakan Ekonomi Baru
Permasalahan bahasa
Konstitusi secara spesifik menentukan bahwa penggantian bahasa nasional dari bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu ditunda selama 10 tahun. Seiring dengan semakin dekatnya tenggat waktu 10 tahun itu pada tahun 1967, beberapa kaum Tionghoa mulai gelisah dan menuntut kebijakan bahasa yang lebih liberal dan mengizinkan penggunaan bahasa Mandarin dalam acara-acara publik tertentu. Ekstremis dari UMNO dan PAS bereaksi keras atas tuntutan itu, namun Perikatan memberikan kompromi dalam Undang-Undang Bahasa Nasional yang mengukuhkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, namun mengizinkan penggunaan Bahasa Inggris dalam kondisi tertentu dan penggunaan bahasa non-Melayu dalam kegiatan tak resmi. Tunku Abdul Rahman menyebutnya sebagai "arah yang menjamin kedamaian",[85] namun undang-undang tersebut dicemooh oleh banyak orang Melayu, yang membentuk Front Aksi Bahasa Nasional dengan harapan membalikkan ataupun mengamendemen undang-undang tersebut. Kepemimpinan Tunku juga secara terbuka dipertanyakan.[86]
Insiden 13 Mei
Pada tahun 1969, Pemilihan Umum Malaysia diadakan. Pemilihan umum ini adalah pemilihan pertama yang diikuti oleh partai-partai oposisi non-Melayu secara besar-besaran, selain pada pemilihan tahun 1964 yang diikuti PAP dari Singapura. Dua partai oposisi utama adalah Partai Aksi Demokratik (Democratic Action Party, DAP) yang merupakan lanjutan dari partai PAP dan Partai Gerakan Rakyat Malaysia (Gerakan) yang merupakan partai multirasial pimpinan Lim Chong Eu, dan intelektual kelas menengah lainnya seperti Tan Chee Khoon dan Syed Hussein Alatas. Kedua partai tersebut mengajukan proposal kebijakan mengenai bahasa, pendidikan, dan hak-hak Melayu yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. DAP terus berkampanye "Malaysian Malaysia" setelah Singapura pimpinan Lee Kuan Yew memisahkan dari Malaysia. Beberapa politkus dari DAP utamanya menyerukan pengangkatan bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan bahasa Tamil sebagai bahasa nasional bersama-sama dengan bahasa Melayu. Dukungan pemerintah yang lebih kuat terhadap pendidikan kaum Tionghoa juga dituntut.[87]
PAS, dipihak lainnya, mencoba menarik suara dengan menuduh UMNO menjual hak-hak orang asli Melayu kepada pendatang asing. Ketika hasil pemilihan umum diumumkan, PAS berhasil mendapatkan kemenangan kecil, namun DAP dan Gerakan lebih sukses dan menggantikan pemerintahan Perikatan di tiga negara bagian. Ini juga hampir menjatuhkan mayoritas dua per tiga kursi parlemen yang dipegang oleh Perikatan.[88] Kemenangan ini didapatkan dari suara-suara yang sebelumnya mendukung MCA. Setelah pemilu ini, MCA kemudian mengumumkan bahwa ia tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan yang baru. Partai DAP dan Gerakan yang memenangkan beberapa kursi melakukan pawai kemenangan di ibu kota Kuala Lumpur pada 11 Mei dan 12 Mei, di mana banyak partisipan mencela orang Melayu dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Semua Melayu kasi habis". Pernyataan permintaan maaf dilayangkan setelah pawai itu. Namun, kaum Melayu yang terkejut menyalahkan kaum Tionghoa karena telah mengkhianati "rumusan Perikatan dengan memberikan suara kepada oposisi yang membangkitkan kembali masalah mendasar seperti hak-hak Melayu dan bahasa nasional".[89]
Para ekstremis Melayu menyambut baik pengunduran MCA, merasa pemerintahan yang didominasi oleh UMNO dan Melayu akan lebih memajukan kepentingan Melayu.[90][91] UMNO juga mengadakan pawainya sendiri, yang pada akhirnya berakhir rusuh pada tanggal 13 Mei 1969. Kerusuhan ini kemudian disebut sebagai "Insiden 13 Mei". Pawai ini dilaporkan diorganisasikan oleh Menteri Besar Selangor Harun bin Idris, yang dianggap sebagai seorang Chauvinis Melayu.[92] Para pendukung UMNO berkumpul di rumah Harun pada sore 13 Mei, di mana pawai ini akan bermulai, penuh dengan parang dan senjata-senjata lain. Beberapa pemimpin mengutuk "hinaan" para "kafir" pada pawai sebelumnya, menyerukan pawai tandingan untuk "mengajari orang Tionghoa pelajaran" atas penantangan mereka terhadap supremasi Melayu. Dengan cepat, gerombolan anggota pawai mulai menyerang pengendara-pengendara motor Tionghoa, dan melancarkan pembakaran ke rumah-rumah dan toko-toko Tionghoa. Kerusuhan ini menyebar dan berlanjut selama dua hari.[93][94]
Akibat kerusuhan ini, Parlemen diberhentikan dan kedaruratan negara dideklarasikan. Dewan Operasi Nasional dibentuk untuk menjalankan administrasi negara dalam keadaan genting. Walaupun kerusuhan telah berakhir, ketegangan masih berlanjut. Boikot kaum non-Melayu terhadap barang-barang buatan dan jasa Melayu didukung secara penuh, manakala banyak kaum Melayu seperti Mahathir Mohamad dan Raja Muktaruddin Daim menyerukan pemerintahan otokrasi satu partai di bawah UMNO. Menurut beberapa sumber, salah satu golongan "ultra" yang terdiri dari Syed Nasir Ismail, Musa Hitam, dan Tengku Razaleigh, merasa bahwa Konstitusi yang membagi kekuasaan kepada tiap kaum telah gagal dan setuju agar negara ini "dikembalikan" kepada orang Melayu. Dicurigai bahwa mereka setuju untuk mengutus Mahathir ke Kuala Lumpur untuk melancarkan kampanye anti-Tunku.[95]
Mahathir menulis sepucuk surat terbuka kepada Tunku dan menuduhnya "memberikan orang Tionghoa apa yang mereka tuntut ... anda telah memberikan mereka terlalu banyak muka." Dengan segera, pelajar-pelajar dari perguruan tinggi di seluruh negeri mulai berdemonstrasi, menyerukan pengunduran diri Tunku dan pengangkatan pemimpin yang dapat mengembalikan "kedaulatan Melayu". Kerusuhan sporadis yang dipercayai diprovokasi oleh lawan-lawan Tunku pun mulai terjadi.[96]
Daripada tunduk terhadap tuntutan pengunduran diri, Tunku Abdul Rahman mengeluarkan Mahathir dan Musa Hitam dari UMNO. Menteri Dalam Negeri Ismail Abdul Rahman mencurigai bahwa "kaum Ultra ini percaya kepada teori liar dan fantastis mengenai dominansi absolut satu ras terhadap kaum-kaum yang lain tanpa peduli terhadap Konstitusi ... Polarisasi telah terjadi dalam politik Malaysia dan kaum rasialis ekstrem yang ada di antara anggota partai pemerintah mulai melakukan upaya menjatuhkan kepemimpinan sekarang."[97]
Dilema Melayu dan Kebijakan Ekonomi Baru
Setelah dikeluarkan dari UMNO, Mahathir menghabiskan waktunya menulis buku Dilema Melayu yang di dalamnya ia menulis "bahawa orang Melayulah penduduk asal atau penduduk bumiputera Tanah Melayu (Malaya) dan orang Melayulah sahaja yang dapat mendakwa Tanah Melayu sebagai satu-satunya negara mereka. Mengikut amalan di seluruh dunia, maka ini bermakna orang Melayu mempunyai hak-hak yang tidak dapat dipisahkan mengenai bentuk dan tanggungjawab kewarganegaraan yang boleh dikenakan ke atas warganegara yang bukan berketurunan bumiputera."[98]
Mahatir mengekspresikan ketidaknyamanannya dengan "terlalu ramai warganegara bukan Melayu yang boleh menguasai orang-orang Melayu sebaik sahaja segala perlindungan itu dihapuskan"[99] ketika "Secara tiba-tiba sedarlah orang Melayu bahawa dia tidak boleh menganggap Tanah Melayu sebagai tanah airnya. Tidak ada lagi Tanah Melayu — tanah air bagi orang Melayu. Dia sekarang sudah jadi orang lain, orang Malaysia, tetapi orang Melayu Malaysia dengan kuasanya di Tanah Melayu — tanah airnya — sekarang bukan sahaja diperkongsikan dengan orang lain, malahan diperkongsikan secara tidak sama rata. Tambahan pula dia sekarang diminta supaya melepaskan lebih banyak lagi pengaruh yang ada padanya."[100] Sesaat setelah Mahathir menjadi Perdana Menteri, Mahathir membantah ia telah mengubah pandangannya sejak ia menulis buku tersebut.[101]
Mahathir dan Musa Hitam kemudian masuk kembali ke UMNO di bawah pemerintahan Tun Abdul Razak, Perdana Menteri ke-dua Malaysia. Beberapa butir Kebijakan Ekonomi Baru (Bahasa Melayu: Dasar Ekonomi Baru) canangannya didasarkan pada beberapa advokasi Mahathir dalam buku Dilema Melayu-nya. Tujuan Kebijakan Ekonomi Baru seperti yang dinyatakan adalah penghapusan "identifikasi kaum menurut fungsi ekonominya".[102] Untuk mencapai hal ini, Kebijakan Ekonomi Baru menargetkan 30% ekonomi dikontrol oleh "Bumiputera" pada tahun 1990. Ini dikenal menjadi "solusi 30 persen" dan "kuota Bumiputera" diberikan dalam banyak bidang, termasuk pula pendaftaran saham publik dan skema pembelian rumah pribadi. Walau demikian, sasaran Kebijakan Ekonomi Baru bukanlah untuk mendistribusi ulang kekayaan, namun untuk memperbesar "kue" ekonomi dan memberikan sebagian besar bagiannya kepada orang Melayu, sehingga meningkatkan partisipasi ekonomi semua kaum.[103]
Rasional utama implementasi Kebijakan Ekonomi Baru seperti yang dijelaskan dalam Rancangan Malaysia Kedua adalah untuk mengalamatkan "ketidakseimbangan ekonomi" antara orang Tionghoa dengan orang Melayu. Pada tahun 1969, kaum Melayu hanya menguasai 1.5% ekonomi manakala kaum Tionghoa menguasai 22.8%; sisanya dikuasai oleh orang asing.[104] Beberapa penentang kebijakan ini berargumen bahwa manakala peningkatan penguasaan ekonomi oleh orang Tionghoa mengorbankan orang Melayu, pertumbuhan ketimpangan ekonomi yang terbesar terjadi pada orang Melayu terkaya dengan orang Melayu termiskin. Antara tahun 1957 sampai dengan tahun 1970, penguasaan perekonomian Melayu oleh 20% orang Melayu terkaya meningkat dari 42,5% menjadi 52,5%, manakala 40% orang Melayu termiskin mendapatkan penurunan dari 19,5% menjadi 12,7%.[105]
Dewan Operasi Nasional mengeluarkan laporannya sendiri menganalisas akar permasalahan kekerasan 13 Mei. Disebutkan bahwa bahkan dalam bidang pelayanan sipil yang dipekerjakan oleh orang Melayu sendiri, pegawai sipil non-Melayu melebih pegawai sipil Melayu dalam banyak bidang. Pegawai sipil Melayu hanya menjadi mayoritas dalam Kepolisian dan Militer. Laporan ini menyimpulkan: "Tuduhan bahwa kaum non-Melayu dikesampingkan dianggap oleh orang Melayu sebagai pemelintiran yang disengajakan. Orang Melayu yang telah merasa dikesampingkan dalam kehidupan ekonomi negara, sekarang mulai merasa terancam kedudukannya dalam bidang pelayanan sipil. Sikap pintu tertutup yang diterapkan kepada kaum Melayu oleh kaum non-Melayu dalam banyak sektor privat dalam negara ini tidak pernah diungkit oleh politikus-politikus non-Melayu."[106]
Menurut Rancangan Malaysia Kedua, Kebijakan Ekonomi Baru bertujuan untuk "menciptakan komunitas komersial dan industri Melayu" melalui "perusahaan-perusahaan kepemilikan penuh maupun patungan." Sebelum rancangan ini, pemerintah Malaysia hanya memainkan peran "administratif, suportif, dan regulatoris" dalam usaha mengalamatkan ketimpangan ekonomi, namun menghindari "usaha perwakilan secara langsung dan aktif" dalam mengedepankan kepentingan Melayu.[107] Dengan Rancangan Malaysia Kedua, pemerintah Malaysia tidak hanya "membatasi akses populasi Tionghoa dan India ke universitas-universitas dan kepegawaian negara," namun juga secara aktif ikut campur dalam ekonomi agar "[Bumiputera] mendapatkan bagian yang lebih besar dalam kegiatan bisnis".[108]
Sebelum Kebijakan Ekonomi Baru, telah terdapat berbagai program-program aksi afirmatif yang dijalankan pemerintah Malaysia. Namun, kebanyakan hanyalah berfokus pada sektor pelayanan sipil. Penerimaan masuk perguruan-perguruan tinggi negara juga didasarkan pada kemampuan pelajar. Pemerintahan Tunki lebih memilih kebijakan laissez-faire dan meminimalisasi intervensi ekonomi.[45] Walaupun beberapa badan pemerintah sebelumnya seperti Lembaga Kemajuan Kampung & Perusahaan (Rural & Industrial Development Authority, RIDA) telah didirikan untuk membantu para wirausahawan Melayu, program-program badan ini dikritik karena memberikan bantuan berdasarkan pada koneksi politik. RIDA kemudian diganti namanya menjadi Majlis Amanah Rakyat (MARA) pada tahun 1965 sebagai simbol perkembangan kewirausahaan Melayu.[109]
Walaupun Kebijakan Ekonomi Baru bertujuan mengatasi ketimpangan ekonomi, kebijakan ini dengan cepat diasosiasikan dengan Ketuanan Melayu. Walaupun jarang sekali kedua hal ini secara langsung disamakan, keduanya sering diungkit secara bersamaan dan disiratkan bahwa konsep Kebijakan Ekonomi Baru diturunkan dari Ketuanan Melayu.
Amandeman konstitusi dan perubahan kebijakan lainnya
Parlemen Malaysia kemudian bersidang kembali pada tahun 1971. Walaupun Kebijakan Ekonomi Baru disahkan tanpa persetujuan parlemen, amendemen pada Konstitusi Malaysia memerlukan persetujuan parlemen. Undang-Undang Konstitusi (Amendemen) 1971 (Akta Perlembagaan (Pindaan) 1971) yang disusun pemerintah Malaysia beserta beberapa amendemen terhadap Undang-Undang Hasutan (Akta Hasutan) Malaysia membatasi kebebasan berpendapat mengenai "isu-isu sensitif" seperti bahasa nasional, hak khusus Melayu, raja-raja Melayu, dan kewarganegaraan.[110] Pembatasan-pembatasan ini juga berlaku bagi anggota parlemen dan menghapuskan kekebalan hukum mereka. Amendemen ini juga mengklarifikasikan arti Pasal 152 Konstitusi dan memasukkan "warga pribumi Sabah dan Sarawak" dalam Pasal 153 serta memperluas hak-hak khusus Melayu kepada seluruh Bumiputera.[111] Selain itu, Yang di-Pertuan Agong juga dapat mengeluarkan arahan agar universitas atau perguruan tinggi manapun di Malaysia mengimplementasikan sistem penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kuota rasial yang mengedepankan Bumiputera. Semua perguruan tinggi Malaysia dengan segera menerapkan sistem kuota tersebut setelah diperintahkan oleh Kementerian Pendidikan. Beberapa politikus kemudian mempertanyakan konstitusionalitas tindakan ini karena Yang di-Pertuan Agong sendiri belum pernah mengeluarkan arahan tersebut.[112]
Untuk menjaga semua hal ini, amendemen pasal-pasal yang menyentuh "isu-isu sensitif" seperti di atas beserta klausa-klausa yang mengatur undang-undang amendemen dilarang dibahas oleh parlemen tanpa persetujuan Majlis Raja-Raja. Langkah ini membuat pasal-pasal "sensitif" tersebut dikukuhkan (tak dapat diubah) dan mendapat kritik dari anggota-anggota parlemen dari pihak oposisi. Tidaklah jelas pula apakah larangan pembahasan "isu-isu sensitif" ini juga berlaku bagi larangan itu sendiri. Walau demikian, undang-undang ini tetap disahkan.[111] Undang-Undang Keselamatan Dalam Negeri (Akta Keselamatan Dalam Negeri) yang memberikan pemerintah kuasa untuk menangkap siapapun yang dianggap membahayakan keselamatan nasional untuk periode waktu tak terbatas tanpa kaji ulang hukum juga diamendemen pada tahun 1971 dengan menekankan pada "pemeliharaan keharmoninisan antarkaum".[113]
Perubahan-perubahan ini mendapatkan penentangan yang keras dan pihak oposisi dan luar negeri. Ketika rancangan perubahan pertama diumumkan, Britania menuduh bahwa perubahan ini akan "mempertahankan sistem feodal yang mendominasi masyarakat Melayu" dengan "memberikan lembaga monarki konstitusional ini kuasa pemblokiran yang besar". Penyensoran isu-isu sensitif ini dicap bertolak belakang dengan seruan Tun Abdul Razak yang menyerukan "realisasi penuh masalah-masalah yang sensitif tidak boleh lagi disembunyikan dalam karpet..."[114] Beberapa kritikus berargumen bahwa Pasal 153 tidaklah lebih dari sebuah "mangkuk nasi kertas" dan bahkan tidak memberikan Orang Asli dan suku-suku aborigin lainnya hak-hak khusus Melayu.[115]
Perbuahan kebijakan penting lainnya berkaitan dengan bidang pendidikan. Pada tahun 1970, pemerintah Malaysia menentukan bahwa bahasa Melayu menggantikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Walaupun pembiayaan pemerintah atas pendidikan kaum Tionghoa dan Tamil terus berlanjut, banyak kaum non-Melayu yang menganggap kebijakan baru ini sebagai yang "paling diskriminatif". Alasan pemerintah adalah perubahan ini akan memberikan kaum Melayu peluang mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan akan menyatukan para siswa-siswa sekolah dan memelihara keharmonisan antar kaum serta secara tidak langsung menekankan "kemelayuan negara Malaysia".[107]
Pada tahun yang sama pula, Kebijakan Kebudayaan Nasional (Dasar Kebudayaan Kebangsaan) diumumkan. Syed Nasir Ismail menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah ini bertujuan untuk menciptakan "identitas Muslim Bumiputera" (identiti Islam Kebumiputraan) bagi seluruh warga Malaysia.[116] Intinya, tujuan Kebijakan Kebudayaan Nasional ini adalah untuk mengasimilasikan kaum-kaum pendatang (Tionghoa dan Tamil) ke dalam identitas pribumi Malaysia. Walaupun mendapatkan penetangan yang kuat dari kaum Tionghoa, pemerintah Malaysia menolak untuk menarik Kebijakan Kebudayaan Nasional.[117] Untuk memperkuat kesatuan nasional, ideologi nasional Malaysia, Rukunegara, diperkenalkan.
Politik dan Dominasi Melayu
Model Partai Perikatan yang lama, di mana tiap-tiap kaum diwakili oleh satu partai ditinggalkan dengan pembentukan Barisan Nasional (BN) pada tahun 1974. Beberapa partai oposisi sebelumnya, meliputi Gerakan, PPP, dan PAS, bergabung ke dalam BN yang dipimpin UMNO. Walaupun MCA dan MIC disertakan dalam BN, pengaruh kedua partai ini menurun dikarenakan partisipasi partai-partai non-Melayu lainnya dalam koalisi. Pada tahun 1977, PAS dikeluarkan dari koalisi dan UMNO menjadi satu-satunya perwakilan partai Melayu di BN, walaupun terdapat partai-partai non-Melayu yang juga mewakili kepentingan Melayu.[118] Setelah pengeluaran PAS, PAS melakukan pendekatan yang berbeda atas hak khusus Melayu, mengutuk Kebijakan Ekonomi Baru mendiskriminasi kaum lain serta tidak Islami.[119]
Pada tahun 1974, Mahathir diangkat sebagai Menterti dalam Kabinet Tun Razak. Ia menjadi Wakil Perdana Menteri dua tahun setelahnya di bawah Tun Hussein Onn yang meneruskan jabatan Perdana Menteri setelah kematian mendadak Tun Razak.[120]
Semasa 1970-an, ketika Kebijakan Ekonomi Baru sedang jaya-jayanya, "Dominasi Melayu" merupakan fakta kehidupan bernegara yang diterima oleh kebanyakan rakyat Malaysia.[120] Manakala pada periode 1957 sampai dengan 1969 "Dominasi Melayu" dibendung oleh "tawar-menawar antaretnis" dalam pemerintahan Partai Perikatan, sejak Insiden 13 Mei, banyak ahli politik yang memandang bahwa lingkungan politik telah berubah menjadi didominasi oleh "kontrol hegemoni" Melayu dan UMNO;[121] pada tahun 1970, salah satu anggota kabinet mendeklarasikan bahwa hak khusus Melayu akan terus ada "ratusan tahun ke depan".[122] Tunku mengamati pada tahun 1977 bahwa "tampaknya kaum non-Bumiputera memandang bahwa mereka telah menjadi warga negara kelas dua dalam negara ini."[123] Kebijakan etnik pemerintah Malaysia terus didasarkan atas dua argumen dasar Mahathir, yaitu status "historis" kekuasaan Melayu atas Malaya dan "kebutuhan khusus" Melayu.[124] Oleh karena diskusi publik mengenai isu-isu ini dikriminalisasikan, terdapat sedikit sekali literatur-literatur lokal yang membahas supremasi Melayu.
Kelompok Ultra yang dicurigai mengeksploitasi kerusuhan 13 Mei kemudian berhasil mengontrol Malaysia. Razaleigh, Menteri Keuangan saat itu, disanjung-sanjung sebagai "Bapak Ekonomi Bumiputera".[125] Musa Hitam dan Mahathir, yang keduanya semakin bernaik kiprah di bidang politik menjaga citra mereka sebagai bagian dari kelompok "ultra", walaupun tidaklah jelas apakah ini memang disengajakan. Jurnalis K. Das pernah mengklaim bahwa Musa memberitahukannya bahwa "seorang politikus muda Malaysia harus memainkan "kartu rasialis" secara penuh bahkan apabila tiada tulang chauvinis satupun yang berada dalam tubuhnya."[126] Setelah pensiun, Musa mengatakan bahwa "pemimpin-pemimpin nasional cenderung mencari kambing hitam ketika dihadapkan kepada situasi krisis dalam keputusasan" dan menggunakan taktik rasial untuk mengisi "perut kosong" mereka.[127]
Pergerakan Pemuda UMNO khususnya menjaga citra "ultra" ini sejak tahun 1960-an. Salah satu wakil ketuanya mengatakan bahwa "Tujuan asal UMNO adalah memperjuangkan kepentingan ras Melayu dan ini harus diteruskan. Kita tidak ingin adanya faksi-faksi dalam UMNO."[128] Pada tahun 1980, Tun Hussein Onn mengumumkan bahwa ia akan meletakkan jabatannya kepada Mahathir oleh karena kesehatan yang memburuk. Mahathir menjadi perdana menteri pada tahun 1981 dengan Musa Hitam sebagai wakilnya.
Pemerintahan Mahathir
Aksi afirmatif dan protes kaum Tionghoa
Kebijakan-kebijakan afirmatif Kebijakan Ekonomi Baru dilanjutkan di bawah pemerintahan Mahathir. Para ahli politik menganggap pemerintahannya sebagai kelanjutan "kontrol hegemoni" politik Malaysia oleh kaum Melayu dan UMNO secara khususnya.[121] Pada masa ini, Mahathir berfokus pada konsolidasi kekuasaanya dalam UMNO dan pemerintahan.[129] Akibatnya, hanya ada sedikit konfrontasi langsung antara kaum Melayu dengan non-Melayu mengenai Ketuanan Melayu.
Pada tahun 1981, MCA melakukan evaluasi terhadap Kebijakan Ekonomi Baru dan kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya melalui sudut pandang kaum Tionghoa. Hasil evaluasi ini menunjukkan beberapa masalah, yaitu kecurigaan bahwa status kewarganegaraan kaum Tionghoa Malaysia tidak dihargai, dan mengklaim bahwa tujuan Kebijakan Ekonomi Baru untuk menghapuskan identifikasi ras berdasarkan fungsi ekonomi telah dihapuskan.[130] Selain itu, diargumenkan bahwa kaum non-Melayu tidak diwakili secara proporsional dalam Parlemen dan kabinet karena manipulasi wilayah distrik pemilihan umum (gerrymandering). Kebanyakan wilayah pemilihan pedesaan yang didominasi Melayu melebihi wilayah pemilihan perkotaan yang heterogen, walaupun jumlah populasi wilayah pemilihan perkotaan melebihi populasi wilayah pemilihan pedesaan.[131] Walaupun MCA mengeluarkan laporan ini, UMNO menghindari kontroversi langsung dengan MCA mengenai masalah ini.
Ketegangan mulai muncul setelah Pemilihan Umum Malaysia tahun 1986, ketika UMNO berhasil mendapatkan mayoritas kursi Parlemen, mengizinkan UMNO membentuk pemerintahan sendiri tanpa berkoalisi dengan partai-partai lain. Beberapa pemimpin UMNO dengan serius mendiskusikan kemungkinan pemerintahan tanpa koalisi ini. Salah satu pemimpin tersebut, Abdullah Ahmad, secara publik mendukung supremasi Melayu secara permanen dan menurunkan status kaum non-Melayu sebagai warga negara kelas dua. Seruan ini pada akhirnya tidak dihiraukan dan pemerintahan koalisi Barisan Nasional tetap berlanjut. Walau demikian, beberapa pejabat UMNO memperingati partai-partai non-Melayu untuk tidak "bermain api" dengan mempertanyakan isu-isu seperti hak khusus orang Melayu (Hak Keistimewaan Orang Melayu). Dalam Majelis Umum UMNO tahun itu, Mahathir menyatakan: "Kita tidak berharap mencuri hak-hak orang lain. Namun janganlah biarkan orang lain mencuri hak-hak kita." Ketika parlemen bersidang, DAP mulai menyerukan keberatannya mengenai pembagian warga Malaysia menjadi "warga negara kelas satu dan kelas dua". Sebagai balasannya, beberapa anggota parlemen UMNO mulai menyebut-nyebut kaum non-Melayu sebagai pendatang asing dalam parlemen. Ketika DAP mencoba untuk melakukan penelusuran distribusi ekonomi antar kaum untuk mengevaluasi progres Kebijakan Ekonomi Baru, peraturan parlemen (Peraturan-peraturan Majlis Mesyuarat) diamendemen sehingganya melarang penelusuran tersebut.
Lihat pula
Sumber
- ^ Meredith L. Weiss, "The 1999 Malayan General Elections: Issues, Insults, and Irregularities." Asian Survey, Vol. 40, No. 3, (May 200)pp 430.
- ^ Amy L. Freedman (2000). Political Participation and Ethnic Minorities: Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia, and the United States. Routledge. hlm. 74. ISBN 978-0-415-92446-7.
- ^ Wang Gungwu (2005). Nation Building: Five Southeast Asian Histories. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 99. ISBN 978-981-230-320-2.
- ^ Hwang, pp. 25–26.
- ^ Hwang, pp. 30–31.
- ^ Hwang, pp. 34–35.
- ^ Ye, Lin-Sheng (2003). The Chinese Dilemma, pp. 26–27. East West Publishing. ISBN 0-9751646-1-9.
- ^ Hwang, In-Won (2003). Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir, p. 24. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-185-2.
- ^ Kratoska, Paul H., ed. Honorable Intentions: Talk on the British Empire in Southeast Asia Delivered at the Royal Colonial Institute, 1874-1928. Singapore: Oxford University Press,1983 (introduction)
- ^ Keith, Patrick (2005). Ousted!, p. 140. Media Masters. ISBN 981-05-3865-0.
- ^ Roff, W.R. (1974). The Origins of Malay Nationalism, pp. 114, 118. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
- ^ Hirschman, Charles “The Making of Race in Colonial Malaya: Political Economy and Racial Ideology.” Sociological Forum, Vol. 1, No. 2 (Spring, 1986), 330-361.Lee, Edwin. The British as Rulers: Governing Multiracial Singapore, 1867-1914. Singapore: Singapore University Press, National University of Singapore, 1991.Nonini, Donald M. British Colonial Rule and the Resistance of the Malay Peasantry, 1900-1957, New Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1992.Rahim, Lily. The Singapore Dilemma: The Political and Educational Marginality of the Malay Community. New York: Oxford University Press, 1998.Hussein Alatas, Syed. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese From the 16th to 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London: Frank Cass, 1977), Ch 12. 116-17
- ^ Roff, pp. 109–110.
- ^ a b Roff, pp. 110–111.
- ^ Thomas Metcalf, “Empire Recentered: India in the Indian Ocean Arena,” in Colonialism and the Modern World: Selected Studies, eds. Gregory Blue, Martin Bunton, and Ralph Crozier (Armonk NY: M.E. Sharpe, 2002), 31.
- ^ Abdullah, Asma & Pedersen, Paul B. (2003). Understanding Multicultural Malaysia, p. 44. Pearson Malaysia. ISBN 983-2639-21-2.
- ^ Rashid, Rehman (1993). A Malaysian Journey, p. 28. Self-published. ISBN 983-99819-1-9.
- ^ Swettenham, Frank. British Malaya: An Account of the Origin and Progress of British Influence in Malaya. By Sir Frank Swettenham, K.C. M. G. Late Governor of the Straits Colony. London: John Lane Co., 1900. (pg 232-4).
- ^ Roff, pp. 207–210.
- ^ Abdullah & Pedersen, p. 20.
- ^ Hickling, R.H. (1991). Essays in Malaysian Law, pp. 51–52. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-385-5.
- ^ Roff, pp. 235–236.
- ^ Hwang, p. 37.
- ^ Ongkili, James P. (1985). Nation-building in Malaysia 1946–1974, p. 42. Oxford University Press. ISBN 0-19-582681-7.
- ^ Ongkili, pp. 59–66, 73.
- ^ Ongkili, p. 47.
- ^ Ongkili, p. 50.
- ^ Hwang, p. 38.
- ^ Hwang, p. 39.
- ^ Hickling, p. 87.
- ^ ongkili_59-66
- ^ Jawan, Jayum A. (2003). Malaysian Politics & Government, p. 37. Karisma Publications. ISBN 983-195-037-2.
- ^ Ongkili, p. 68.
- ^ Ye, p. 34.
- ^ Hwang, p. 25.
- ^ Ongkili, pp. 82–84.
- ^ Ongkili, p. 84.
- ^ Putra, Tunku Abdul Rahman (1986). Political Awakening, pp. 30, 31. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-136-4.
- ^ a b Josey, Alex (1980). Lee Kuan Yew: The Crucial Years, pp. 83–84. Times Books International. ISBN 981-204-448-5.
- ^ Sopiee, Mohamed Noordin (1976). From Malayan Union to Singapore Separation: Political Unification in the Malaysia Region 1945 – 65, pp. 77 – 78. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
- ^ Sopiee, pp. 61–62, 69.
- ^ Ongkili, pp. 88–90.
- ^ Ongkili, pp. 90–91, 107–111.
- ^ Keith, pp. 31–33.
- ^ a b c Lee, Hock Guan (2001). "Political Parties and the Politics of Citizenship and Ethnicity in Peninsular Malay(si)a, 1957-1968". Retrieved March 17, 2006.
- ^ Ongkili, pp. 94–97.
- ^ Keith, pp. 142–143.
- ^ Ooi, Jeff (2005). "Social Contract: 'Utusan got the context wrong'"[pranala nonaktif]. Retrieved 11 November 2005.
- ^ Ongkili, p. 113.
- ^ Milne, R.S. & Mauzy, Diane K. (1999). Malaysian Politics under Mahathir, p. 34. Routledge. ISBN 0-415-17143-1.
- ^ Hwang, p. 49.
- ^ Hickling, pp. 69, 166, 229.
- ^ Hwang, p. 67.
- ^ Hickling, p. 179.
- ^ Sopiee, p. 102.
- ^ Sopiee, p. 146.
- ^ Keith, p. 21.
- ^ Sopiee, p. 144.
- ^ Sopiee, p. 150.
- ^ Keith, p. 149.
- ^ Goh, Cheng Teik (1994). Malaysia: Beyond Communal Politics, pp. 36–37. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-475-4.
- ^ a b Goh, Jenny (July 23, 1997). "Small spark can create big mess"[pranala nonaktif]. Straits Times.
- ^ Ye, p. 143.
- ^ Keith, pp. 115–116.
- ^ Sopiee, p. 204.
- ^ Sopiee, p. 194.
- ^ Keith, p. 118.
- ^ "'Impossible to co-operate with Singapore while Lee is Premier'". (2 June 1965). Straits Times.
- ^ Khaw, Ambrose (1998). "This man is making too much noise". Retrieved 11 November 2005.
- ^ Keith, p. 124.
- ^ Keith, pp. 66–67.
- ^ Veloo, Ravi (Jan. 25, 1997). "Othman Wok on race relations". Straits Times.
- ^ Keith, p. 128.
- ^ Lee, Kuan Yew (1998). The Singapore Story, p. 598. Marshall Cavendish Editions. ISBN 981-204-983-5.
- ^ Keith, pp. 72–73, 121.
- ^ Keith, pp. 179–181.
- ^ Lee, p. 620.
- ^ Keith, p. 115.
- ^ Ongkili, p. 211.
- ^ Josey, pp. 269–270.
- ^ Lee, pp. 616–617.
- ^ Keith, pp. 128–129.
- ^ Lee, pp. 612–613.
- ^ Ooi, Jeff (2005). "Perils of the sitting duck"[pranala nonaktif]. Retrieved 11 November 2005.
- ^ Hwang, pp. 66–67.
- ^ Hwang, p. 71.
- ^ Hwang, p. 74, 89.
- ^ Hwang, p. 75.
- ^ Hwang, pp. 77–78.
- ^ Khoo, Boo Teik (1995). Paradoxes of Mahathirism, p. 22. Oxford University Press. ISBN 967-65-3094-8.
- ^ Maidin, Zainuddin (1994). The Other Side of Mahathir, pp. 19–21. Utusan Publications & Distributors. ISBN 967-61-0486-8.
- ^ Means, Gordon P. (1991). Malaysian Politics: The Second Generation, p. 6. Oxford University Press. ISBN 0-19-588988-6.
- ^ Kamarudin, Raja Petra (2000). "A Reporter’s Account of an Interview With Tunku Abdul Rahman On the 13 May Incident"[pranala nonaktif]. Retrieved April 10, 2006.
- ^ Means, pp. 6–7.
- ^ Von Vorys, Karl (1975). Democracy without Consensus: Communalism and Political Stability in Malaysia, p. 317. Princeton University Press. ISBN 0-691-07571-9.
- ^ Means, pp. 8–9.
- ^ Means, p. 10.
- ^ Mohamad, Mahathir bin (1970). The Malay Dilemma, p. 133. Times Books International. ISBN 981-204-355-1.
- ^ Mohamad, p. 31.
- ^ Mohamad, p. 76.
- ^ Khoo, p. 25.
- ^ Musa, M. Bakri (1999). The Malay Dilemma Revisited, p. 113. Merantau Publishers. ISBN 1-58348-367-5.
- ^ Musa, p. 115.
- ^ Hwang, p. 80.
- ^ Hilley, John (2001). Malaysia: Mahathirism, Hegemony and the New Opposition, p. 33. Zed Books. ISBN 1-85649-918-9.
- ^ Ongkili, p. 221–222.
- ^ a b Hwang, p. 113.
- ^ Abdullah & Pedersen, p. 53.
- ^ Musa, pp. 97–100.
- ^ Khoo, p. 108.
- ^ a b Khoo, p. 104– 106.
- ^ Trinidade, F.A. & Lee, H.P. (eds., 1986). The Constitution of Malaysia: Further Perspectives and Developments, pp. 48–49. Penerbit Fajar Bakti. ISBN 967-65-0030-5.
- ^ Khoo, p. 107.
- ^ Emery, Fred (Nov. 8, 1969). "Malaysia unity call against a background of fear", p. 7. The Times.
- ^ Hickling, pp. 74–75.
- ^ b. Maaruf, Shaharuddin (1984). Concept of a Hero in Malay Society, p. 122. Eastern Universities Press. ISBN 9971-71-204-0.
- ^ Hilley, p. 129.
- ^ Hwang, pp. 115, 117.
- ^ Musa, p. 81.
- ^ a b Khoo, p. 35.
- ^ a b Hwang, pp. 10–11.
- ^ Lim, Kit Siang (1978). Time Bombs in Malaysia, p. 218 (2nd ed.). Democratic Action Party. No ISBN available.
- ^ Hickling, p. 181.
- ^ Ye, pp. 34–35.
- ^ Khoo, p. 49.
- ^ Khoo, p. 24.
- ^ Hwang, p. 145.
- ^ b. Maaruf, p. 121.
- ^ Hwang, hal. 134–135.
- ^ Tan, Koon Swan (1982). Introduction. In Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), Malaysian Chinese, pp. vii–xi. Eastern Universities Press. No ISBN available.
- ^ Yeoh, Michael Oon Kheng (1982). The Politics of Under-Representation. In Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), Malaysian Chinese, pp. 61–71. Eastern Universities Press. No ISBN available.
Daftar pustaka
- James Chin. (2009) The Malaysian Chinese Dilemma: The Never Ending Policy (NEP), Chinese Southern Diaspora Studies, Vol 3, 2009
- Abdullah, Asma & Pedersen, Paul B. (2003). Understanding Multicultural Malaysia. Pearson Malaysia. ISBN 983-2639-21-2.
- Adam, Ramlah binti, Samuri, Abdul Hakim bin & Fadzil, Muslimin bin (2004). Sejarah Tingkatan 3. Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 983-62-8285-8.
- Goh, Cheng Teik (1994). Malaysia: Beyond Communal Politics. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-475-4.
- Hickling, R.H. (1991). Essays in Malaysian Law. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-385-5.
- Hilley, John (2001). Malaysia: Mahathirism, Hegemony and the New Opposition. Zed Books. ISBN 1-85649-918-9.
- Hwang, In-Won (2003). Personalized Politics: The Malaysian State under Mahathir. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 981-230-185-2.
- Jawan, Jayum A. (2003). Malaysian Politics & Government. Karisma Publications. ISBN 983-195-037-2.
- Josey, Alex (1980). Lee Kuan Yew: The Crucial Years. Times Books International. ISBN 981-204-448-5.
- Keith, Patrick (2005). Ousted! Media Masters. ISBN 981-05-3865-0.
- Khoo, Boo Teik (1995). Paradoxes of Mahathirism. Oxford University Press. ISBN 967-65-3094-8.
- Lee, Kuan Yew (1998). The Singapore Story. Marshall Cavendish Editions. ISBN 981-204-983-5.
- Lim, Kit Siang (1978). Time Bombs in Malaysia (2nd ed.). Democratic Action Party. No ISBN available.
- b. Maaruf, Shaharuddin (1984). Concept of a Hero in Malay Society. Eastern Universities Press. ISBN 9971-71-204-0.
- Maidin, Zainuddin (1994). The Other Side of Mahathir. Utusan Publications & Distributors. ISBN 967-61-0486-8.
- Means, Gordon P. (1991). Malaysian Politics: The Second Generation. Oxford University Press. ISBN 0-19-588988-6.
- Milne, R.S. & Mauzy, Diane K. (1999). Malaysian Politics under Mahathir. Routledge. ISBN 0-415-17143-1.
- Mohamad, Mahathir bin (1970). The Malay Dilemma. Times Books International. ISBN 981-204-355-1.
- Musa, M. Bakri (1999). The Malay Dilemma Revisited. Merantau Publishers. ISBN 1-58348-367-5.
- Noor, Farish A. (2005). From Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia. Silver Fish Books. ISBN 983-3221-05-X.
- Ongkili, James P. (1985). Nation-building in Malaysia 1946–1974. Oxford University Press. ISBN 0-19-582681-7.
- Putra, Tunku Abdul Rahman (1986). Political Awakening. Pelanduk Publications. ISBN 967-978-136-4.
- Rashid, Rehman (1993). A Malaysian Journey. Self-published. ISBN 983-99819-1-9.
- Roff, W.R. (1974). The Origins of Malay Nationalism. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
- Sopiee, Mohamed Noordin (1976). From Malayan Union to Singapore Separation: Political Unification in the Malaysia Region 1945 – 65. Penerbit Universiti Malaya. No ISBN available.
- Federal Territory MCA Liaison Committee (Ed.), Malaysian Chinese. Eastern Universities Press. No ISBN available.
- Trinidade, F.A. & Lee, H.P. (eds., 1986). The Constitution of Malaysia: Further Perspectives and Developments. Penerbit Fajar Bakti. ISBN 967-65-0030-5.
- Von Vorys, Karl (1975). Democracy without Consensus: Communalism and Political Stability in Malaysia. Princeton University Press. ISBN 0-691-07571-9.
- Ye, Lin-Sheng (2003). The Chinese Dilemma. East West Publishing. ISBN 0-9751646-1-9.