Konoe Fumimaro
Pangeran Fumimaro Konoe (近衛 文麿 , Konoe Fumimaro; Konoe juga dieja Konoye, 12 Oktober 1891 – 16 Desember 1945) adalah seorang politisi Jepang dalam pemerintahan Kekaisaran Jepang yang menjabat Perdana Menteri Jepang ke-34, ke-38, dan ke-39. Ia adalah pendiri/ketua Taisei Yokusankai, dan menjabat perdana menteri ketika Jepang melibatkan diri dalam Perang Dunia II.
Fumimaro Konoe | |
---|---|
近衞 文麿 | |
Perdana Menteri Jepang ke-34, 38 dan 39 | |
Masa jabatan 22 Juli 1940 – 18 Oktober 1941 | |
Penguasa monarki | Shōwa |
Masa jabatan 4 Juni 1937 – 5 Januari 1939 | |
Penguasa monarki | Shōwa |
Pemimpin Taisei Yokusankai | |
Masa jabatan 12 Oktober 1940 – 18 Oktober 1941 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Tokyo, Jepang | 12 Oktober 1891
Meninggal | 16 Desember 1945 Tokyo, Jepang | (umur 54)
Partai politik | Imperial Aturan Bantuan Asosiasi (1940–1945) |
Afiliasi politik lainnya | Independent (Sebelum 1940) |
Tanda tangan | |
Penghargaan
| |
Sunting kotak info • L • B |
Masa muda
Pangeran Fumimaro Konoe dilahirkan di Tokyo sebagai pewaris keluarga Konoe yang merupakan bagian dari klan Fujiwara. Ayahnya yang bernama Konoe Atsumaro telah lama aktif secara politik, dan pernah mendirikan Ikatan Anti-Rusia pada tahun 1903. Setelah ayahnya meninggal, Fumimaro Konoe mewarisi gelar pangeran, status sosial yang banyak, tetapi ayahnya tidak mewariskan cukup banyak uang.
Pangeran Konoe berhasil melobi agar dirinya diikutsertakan dalam delegasi Jepang yang dikirim ke Konferensi Perdamaian Paris 1919. Pada tahun 1918, sebelum berangkat ke Versailles, ia menerbitkan sebuah esai berjudul Reject the Anglo-American-Centered Peace (Tolak Perdamaian Inggris-Amerika Sentris). Setelah diterjemahkan oleh wartawan Amerika Thomas Franklin Fairfax Millard, penasihat politik Jepang Saionji Kinmochi menulis bantahan dalam jurnal Millard's Review.[1]
Pada tahun 1925, Konoe mendapat perhatian publik yang menguntungkan dirinya setelah mendukung Undang-Undang Pemilihan Umum Jepang. Gelar pangeran yang disandangnya membuatnya mendapat kursi di Dewan Bangsawan Parlemen Jepang. Pada tahun 1933, ia terpilih menjadi Ketua Dewan Bangsawan. Anugerah Grand Cordon Orde Harta Suci diterimanya pada tahun 1934.
Sebagai perdana menteri
Pada bulan Juni 1937, Pangeran Fumimaro Konoe terpilih sebagai Perdana Menteri Jepang. Sebulan setelah menjabat perdana menteri, pasukan Jepang bentrok dengan pasukan Tiongkok dekat Peking dalam peristiwa yang disebut Insiden Jembatan Marco Polo. Konoe mengirim tiga divisi tentara, mengingatkan militer untuk tidak memperburuk konflik. Dalam waktu tiga minggu militer melancarkan serangan umum. Konoe dan kabinetnya takut tentara Jepang tidak akan menghormati segala perjanjian damai. Dia juga tidak yakin bahwa Chiang dapat mengendalikan tentaranya sendiri. Pada bulan Agustus, tentara Tiongkok membunuh dua marinir Jepang di Shanghai. Konoe setuju dengan Menteri Angkatan Darat Jenderal Hajime Sugiyama untuk mengirim dua divisi demi membela kehormatan Jepang. Kabinetnya kemudian mengeluarkan pernyataan, menuduh baik pihak nasionalis dan komunis Tiongkok berperilaku "semakin provokatif dan menghina" Jepang.
Pada bulan Desember 1937, Markas Besar Kekaisaran yang otonom secara struktur dari pemerintah terpilih, memerintahkan tentara Jepang di Tiongkok untuk bergerak menuju ibu kota Nanking. Dalam beberapa minggu Nanking berhasil direbut setelah tentara Angkatan Darat Jepang terlibat dalam Pembantaian Nanking.
Pada bulan Januari 1938, Pemerintah Konoe mengumumkan bahwa Jepang tidak lagi akan berurusan dengan Pemerintah Chiang Kai-shek, dan akan menunggu perkembangan rezim baru. Ketika diminta klarifikasi lebih lanjut, Konoe berkata bahwa maksudnya lebih dari sekadar tidak mengakui rezim Chiang, tetapi "menolaknya" dan akan "menghancurkannya".[2] Sementara itu, Konoe dan pihak militer memaksakan Undang-Undang Mobilisasi Nasional melalui Diet.[butuh rujukan] Undang-undang ini memungkinkan pemerintah pusat untuk menguasai semua sumber daya manusia dan bahan-bahan.
Tentara Jepang memperoleh kemenangan di Hsuchow, Hankow, Kanton, Wuchang, dan Hanyang, tetapi tentara Tiongkok tetap terus melakukan perlawanan. Setelah menyatakan dirinya sudah lelah dijadikan "robot" oleh pihak militer, Konoe mengundurkan diri pada bulan Januari 1939, dan ditunjuk sebagai ketua Dewan Penasihat Kekaisaran Jepang. Kiichirō Hiranuma menggantikannya sebagai perdana menteri. Konoe mendapat penghargaan Orde Matahari Terbit pada tahun 1939.
Masa jabatan kedua Konoe dan kebijakan luar negeri Matsuoka
Ketidakpuasan terhadap Perdana Menteri Mitsumasa Yonai membuat Angkatan Darat Jepang memanggil kembali Konoe sebagai perdana menteri. Pada 23 Juni, Konoe mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Penasihat Kaisar,[3] dan kabinet Yonai bubar pada 16 Juli 1940. Konoe kembali ditunjuk sebagai perdana menteri. Salah satu dari tindakan pertamanya adalah membentuk Liga Anggota Parlemen Realisasi Perang Suci untuk mengimbangi oposisi dari politikus seperti Saitō Takao yang telah menentang Perang Tiongkok-Jepang Kedua di parlemen pada 2 Februari 1940.
Bertentangan dengan saran sekutu politiknya dan juga Kaisar, [butuh rujukan] Konoe menunjuk Yosuke Matsuoka sebagai menteri luar negeri. Matsuoka populer di mata angkatan darat dan publik Jepang setelah menjadikan dirinya tokoh yang membuat Jepang keluar dari Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1933. Kebijakan luar negeri Konoe dan Matsuoka dibuat berdasarkan sebuah dokumen yang ditulis oleh angkatan darat. Sebagai hasil dari kebijakannya, Jepang akan berusaha mengamankan posisinya di Tiongkok, meredam konflik dengan Uni Soviet, memindahkan pasukannya ke Indochina, dan bersiap-siap terhadap respon militer dari Britania dan kemungkinan dari Amerika Serikat.
Setelah jatuhnya Pemerintah Prancis, Jepang menempatkan pasukannya di Indochina Prancis pada September 1940. Pada September 1940, Pakta Tripartit ditandatangani, menjadikan Jepang, Jerman, dan Italia dalam satu poros.
Matsuoka mencoba untuk mengamankan posisi Jepang dengan membuat perjanjian netralitas antara Jepang dan Uni Soviet (dengan Molotov dan Stalin). Jepang setuju untuk melepas hak menambang mineral di bagian utara Sakhalin, tetapi tidak memberi konsesi apa pun. Bagi Jepang, pakta itu membuat Amerika Serikat dan Uni Soviet makin sulit untuk bersekutu melawan Jepang. Perjanjian netralitas ini dihormati oleh kedua pihak hingga tahun 1945.
Pada 1944 Konoe mulai berpendapat bahwa pemerintah Jepang harus memulai perundingan untuk menentukan akhir Perang Dunia II. Ia juga memimpin delegasi perdamaian ke Moskwa namun Vyacheslav Molotov menolak menemuinya.
Konoe menjabat sebagai wakil pimpinan dalam pemerintahan penyerahan pasca perang Jepang. Fumimaro Konoe bunuh diri pada 16 Desember 1945 setelah Jenderal Douglas MacArthur mengumumkan bahwa ia akan diadili karena kejahatan perang.
Referensi
- ^ Kazuo Yagami, Konoe Fumimaro and the Failure of Peace in Japan, 1937–1941: A Critical Appraisal of the Three-time Prime Minister (McFarland, 2006):19.
- ^ Wakabayashi, Bob Tadashi (1991). "Emperor Hirohito on Localized Aggression in China". Sino-Japanese Studies 4 (1), p. 15.
- ^ The Ambassador in Japan (Joseph C. Grew) to the Secretary of State, 24 June 1940, Foreign Relations of the United States, 1940, vol. IV, p. 962