Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto

museum di Indonesia
Revisi sejak 8 Februari 2021 13.44 oleh Braverious (bicara | kontrib) (Menolak perubahan teks terakhir (oleh 115.178.247.139) dan mengembalikan revisi 17823101 oleh Fandy Aprianto Rohman)

Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto adalah bangunan yang terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya, yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan rumah yang diperkirakan dibangun pada 1919 ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Pada 17 Juni 2015, rumah tersebut menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain, yaitu GPIB Tamansari Salatiga, Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, Rumah Tinggal Notosoegondo, dan Toko Aneka Jaya.

Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah.

Keadaan bangunan

 
Frederik Bousché dan Wilhelmina Frederika Kouwenberg bersama keempat anaknya pada 1910.

Rumah ini diperkirakan dibangun pada 1919 dengan pemilik awal bernama Frederik Bousché, seorang Indo-Belanda kelahiran Delanggu, Klaten.[1] Pada awal pendiriannya, Bousché – seperti mayoritas orang Belanda lainnya – menanam berbagai bunga di halaman rumah tersebut serta memilih motif tulip untuk lantainya.[2] Bangunan rumah itu berada di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama Julianalaan).[3][4][5] Pada masa pemerintahan gemeente (kotapraja), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama Europeesche Wijk.[6][7] Menurut Prakosa, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).[8] Namun, Supangkat menegarai bahwa ruas Julianalaan menjadi lokasi alternatif pendirian rumah tinggal tersebut karena lahan di sekitar Jalan Diponegoro (dahulu bernama Toentangscheweg) mulai padat.[9][10]

Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial di Kota Salatiga. Hingga tahun 2020, kondisi fisik bangunannya terawat dengan baik. Selain itu, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika gaya art deco Indo-Eropa dan belum pernah mengalami perubahan desain maupun renovasi.[11] Bangunan rumah tersebut terdiri atas bangunan induk, paviliun di sisi kiri, serta ruang keluarga yang menunjukkan bahwa penghuninya banyak.[12] Menurut Supangkat, fondasi yang dipakai di rumah ini adalah batu kali besar dan tinggi untuk menghindari resapan air yang dapat merusak tembok, sedangkan atapnya berbentuk perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk gazebo di sudut bangunan. Bangunan rumah serta pekarangan yang luasnya hingga Jalan Margosari tersebut mulai ditempati oleh keluarga Hasmo Sugijarto sejak tahun 1950. Sugijarto sendiri memiliki istri yang berprofesi sebagai bidan dan delapan orang anak yang semuanya perempuan. Hal inilah yang menyebabkan bangunan rumah ini pernah dijadikan sebagai klinik bersalin.[13][14]

Kompensasi pelestarian

Rumah tinggal yang berdekatan dengan Kantor Pos Salatiga tersebut terinventarisasi untuk ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Salatiga dengan Nomor Inventaris 111-73/Sla/67[a][15] dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.[11] Pada 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari BPCB Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lain di Kota Salatiga. Kompensasi tersebut diserahkan kepada Sri Kadarinah selaku pemilik dan pengelola bangunan. Adapun empat bangunan lain itu adalah GPIB Tamansari Salatiga (diserahkan kepada Marthinus Mijan Rukait selaku Ketua IV Pelaksana Harian Majelis GPIB Tamansari Salatiga), Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius (diserahkan kepada Suster Kepala Maria Gratia Surtinan), Rumah Tinggal Notosoegondo (diserahkan kepada Hendriani selaku pemilik dan pengelola bangunan), dan Toko Aneka Jaya (diserahkan kepada Heriyanto selaku pemilik dan pengelola bangunan).[16][17]

Lihat pula

Keterangan

  1. ^ Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah tahun 2009 (Hatmadji, dkk 2009, hlm. 3).

Rujukan

  1. ^ Prakosa (2017), hlm. 64: "Cerita lain terkait hubungan golongan Eropa dengan masyarakat bumiputra datang dari keluarga dr. Frederik Bousche. Keluarga Indo-Belanda yang pernah bertempat tinggal di Julianalaan (saat ini di depan Kantor Pos Salatiga) dan dimiliki oleh keluarga dr. R. Hasmo Sugijarto) itu dikenal dermawan (...)"
  2. ^ Supangkat (2019), hlm. 9: "Seperti kebanyakan orang Belanda yang menyukai bunga, Bousche pun demikian juga sehingga dia banyak menanam bunga (...)"
  3. ^ Saputra, Imam Yuda (27 April 2016). "Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya". Solopos. Diakses tanggal 12 Maret 2020. 
  4. ^ Supangkat (2012), hlm. 21: "Beberapa nama jalan lain yang "berbau" Belanda, misalnya Koffiestraat yang kemudian diganti Prins Hendriklaan (sekarang Jalan Yos Soedarso), Emmalaan (sekarang Jalan Adisutjipto), Prinsenlaan (sekarang Jalan Tentara Pelajar), Julianalaan (sekarang Jalan Moh. Yamin) (...)"
  5. ^ Harnoko, dkk (2008), hlm. 42: "Jalan Moh. Yamin ada bangunan-bangunan kolonial, yang kini digunakan untuk rumah tinggal, kantor pos, dan kantor pegadaian (...)"
  6. ^ Anwar (2019), hlm. 147: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona Europeesche Wijk dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"
  7. ^ Rohman (2020), hlm. 124: "Pada masa pemerintahan gemeente, kawasan di sekitar Rumah Dinas Asisten Salatiga memang berkembang menjadi pusat kota. Perkembangan ini turut mendorong orang-orang kulit putih untuk menjadikan daerah tersebut sebagai kawasan elite (...)"
  8. ^ Prakosa (2017), hlm. 27: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar Toentangscheweg (...)"
  9. ^ Supangkat (2012), hlm. 35: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri Toentangscheweg, sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk)".
  10. ^ Supangkat (2019), hlm. 8: "(...) Dengan adanya ketetapan tersebut, banyak orang Belanda membangun gedung-gedung berarsitektur Eropa di sepanjang ruas jalan itu. Ketika sudah tidak ada lahan lagi di sana, ruas Julianalaan menjadi alternatif yang banyak diburu".
  11. ^ a b Pemerintah Kota Salatiga (tanpa tanggal). "Bangunan Cagar Budaya". Pemerintah Kota Salatiga. Diakses tanggal 12 Maret 2020. 
  12. ^ Supangkat (2019), hlm. 7-8: "(...) Rumah tinggal bergaya art deco ini bisa disebut sebagai kompleks bangunan, karena selain rumah dan paviliun di sisi kirinya, di belakang masih ada bangunan lagi yang merupakan kesatuan dari rumah tersebut".
  13. ^ Rahardjo, dkk (2013), hlm. 245-246: "Bangunan rumah tinggal bergaya Indo-Eropa yang mulai dikembangkan di Hindia Belanda awal abad ke 20 ini masih kokoh dan asli. Belum ada perubahan desain maupun renovasi bentuk (...)"
  14. ^ Supangkat (2019), hlm. 10: "Sampai saat ini, bangunan tersebut secara keseluruhan masih terlihat kokoh dan asli, dalam arti belum ada perubahan desain atau penambahan bangunan (...)"
  15. ^ Hatmadji, dkk (2009), hlm. 133-135: "Nama BCB/Situs : Rumah Tinggal (dr. R. Hasmo Sugijarto); No. Inventaris : 11-73/Sla/67; Lokasi : Jl. Moh. Yamin 4 Salatiga (...)"
  16. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020. 
  17. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020. 

Daftar pustaka

Buku

  • Harnoko, Darto, dkk (2008). Salatiga dalam Lintasan Sejarah. Salatiga: Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olah Raga Kota Salatiga. 
  • Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917–1942. Semarang: Sinar Hidoep. 
  • Rahardjo, Slamet, dkk (2013). Sejarah Bangunan Cagar Budaya Kota Salatiga. Salatiga: Pemerintah Daerah Kota Salatiga. 
  • Supangkat, Eddy (2019). Gedung-Gedung Tua yang Melewati Lorong Waktu Salatiga. Salatiga: Griya Media. 
  • Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. 

Jurnal ilmiah

Lainnya

Pranala luar