Aksara Jawa

aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan bahasa sekitarnya
Revisi sejak 23 Maret 2021 01.23 oleh RaFaDa20631 (bicara | kontrib) (Membatalkan 3 suntingan by Skaing jru (bicara): Suntingan mengganggu (Twingkel))

Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka, Carakan,[1] atau Dentawyanjana,[2] adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, namun dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu, serta bahasa historis seperti Sanskerta dan Kawi. Aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,[3][4] dan sebagian Jawa Barat[5] sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.

Aksara Jawa
ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
Jenis aksara
BahasaJawa, Sunda, Madura, Sasak, Melayu, Kawi, Sanskerta
Periode
abad ke-15 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Java, 361 Sunting ini di Wikidata, ​Jawa
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Javanese
U+A980U+A9DF
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua)[6] namun umum diselingi dengan sekelompok tanda baca yang bersifat dekoratif.

Sejarah

Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Jawa.[7] Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari aksara Kawi pada peralihan abad ke-14 hingga 15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.[8][9]

Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Jawa dengan cakupan yang luas dan beragam. Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antara satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa berkembang dengan berbagai macam variasi dan gaya penulisan yang digunakan silih-bergantian sepanjang sejarah penggunaannya.[10][a] Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta, namun naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antardaerah. Di daerah Jawa Barat, semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh kaum ningrat Sunda (ménak) akibat pengaruh politik dinasti Mataram.[11] Namun begitu, kebanyakan masyarakat Sunda pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad Pegon yang diadaptasi dari abjad Arab.[12] Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang, sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, namun juga dari pelantunan dan pembawaan sang pembaca.[13] Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19 meski isinya sering kali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.[9]

Media

Serat Yusuf dalam naskah lontar, koleksi Tropenmuseum
Serat Yusuf dalam naskah kertas, koleksi Museum Sonobudoyo

Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. Aksara Kawi yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk prasasti batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media lontar, yakni daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.[14]

Pada abad ke-13, kertas mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.[15] Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: dluwang) adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut juga pohon glugu). Secara tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di keraton dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.[15][16]

Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari Eropa. Pada awalnya, kertas Eropa hanya digunakan oleh sebagian kecil juru tulis Jawa karena harganya yang mahal – kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam jumlah terbatas.[b] Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas Eropa perlu disuplementasikan dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya hingga abad ke-19.[16] Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa sebagai media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di pesantren dan desa.[15] Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak aksara Jawa juga mulai dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak secara massal dan menjadi lumrah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[17]

Penggunaan

Penggunaan Aksara Jawa
 
Detail salah satu halaman dalam Serat Selarasa yang disalin pada tahun 1804 di Surabaya. Dua figur di paling kiri terlihat sedang melantunkan bacaan beraksara Jawa.

Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks sastra tradisional Jawa hampir selalu disusun dalam bentuk tembang yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, namun juga dari irama dan nada pelantunan.[13] Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru, peran pujangga adalah untuk menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti Cerita Panji bukanlah sebuah teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji.[18] Genre sastra dengan akar paling kuno adalah wiracarita atau epos Sanskerta seperti Ramayana dan Mahabharata yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Islam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan. Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, misal Pangeran Panji, Damar Wulan, dan Calon Arang.[19]

Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis oleh Paul van Vlissingen yang aksara Jawa cetaknya pertama kali digunakan dalam surat kabar Bataviasch Courant edisi bulan Oktober 1825.[20] Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan oleh berbagai pihak seiring dengan berkembanganya kajian sastra Jawa.[21] Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan fon cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta[c] dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa. Rancangan Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan fon Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah Kajawèn yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa.[17][23] Pada tingkat pemerintahan, salah satu bentuk penerapan aksara Jawa adalah penggunaannya sebagai salah satu teks legal multi-bahasa dalam uang kertas Gulden yang disirkulasikan De Javasche Bank.[24]

Kemunduran

Seiring dengan meningkatnya permintaan bacaan masyarakat pada awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis: mencetak materi apa pun dengan aksara Jawa pada waktu itu memerlukan dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih aksara Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memakan lebih banyak waktu dan biaya. Dalam rangka menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat, berbagai penerbit seperti Balai Pustaka kian mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin.[25][d] Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad ke-20 cenderung tetap menggunakan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kegiatan surat-menyurat, misal, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan daripada penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-lahan menurun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942.[27] Beberapa penulis menyebutkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik, meski hingga kini belum ditemukan dokumentasi atau catatan resmi dari larangan tersebut.[e] Namun tidak dipungkiri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang dan tidak kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.[29]

Penggunaan kontemporer

Perbandingan gaya aksara Jawa untuk papan nama instansi pemerintahan
Gagrag Surakarta (Perwal Solo No. 3/2008)
Gagrag Yogyakarta (Pergub DIY No. 70/2019)

Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa, dan aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Akan tetapi, banyak upaya kontemporer untuk menerapkan aksara Jawa hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional; tidak ada lagi, sebagai contoh, publikasi berkala seperti majalah Kajawèn yang isi substansialnya menggunakan aksara Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa hanya sadar akan keberadaan aksara Jawa dan mengenal beberapa huruf, namun jarang ada yang mampu membaca atau menulisnya secara substansial,[30][31] sehingga sampai tahun 2019 tidak jarang ditemukan papan nama di tempat umum yang penulisan aksara Jawa-nya memiliki banyak kesalahan dasar.[32][33] Beberapa kendala dalam upaya revitalisasi penggunaan aksara Jawa termasuk perangkat elektronik yang sering kali mengalami kendala teknis untuk menampilkan aksara Jawa tanpa galat, sedikitnya instansi dengan kompetensi memadai yang dapat dikonsultasikan, dan kurangnya eksplorasi tipografi yang menarik bagi masyarakat.[30][34] Meskipun begitu, upaya revitalisasi terus digeluti oleh sejumlah komunitas dan tokoh masyarakat yang aktif memperkenalkan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama dalam sarana digital.[34]

Bentuk

Aksara

Aksara merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara dasar, namun tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.

Wyanjana

Aksara wyanjana (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[35][36]

Aksara Wyanjana (deret kuno)
Tempat pelafalan Semivokal Sibilan Celah
Nirsuara Bersuara Sengau
Tidak Teraspirasi Teraspirasi Tidak Teraspirasi Teraspirasi
Velar  

ka
 

kha
 

ga
 

gha
 

ṅa[1]
 

ha/a[5]
Palatal  

ca
 

cha
 

ja
 

jha
 

ña2
 

ya
 

śa[6]
Retrofleks  

ṭa[3]
 

ṭha
 

ḍa[4]
 

ḍha
 

ṇa
 

ra
 

ṣa
Dental  

ta
 

tha
 

da
 

dha
 

na
 

la
 

sa
Labial  

pa
 

pha
 

ba
 

bha
 

ma
 

wa
Catatan

^1 /ŋa/ sebagaimana nga dalam kata "mengalah"
^2 /ɲa/ sebagaimana nya dalam kata "menyanyi"
^3 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
^4 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
^5 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:

^6 /ɕa/ mendekati pengucapan sya dalam kata "syarat"

Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegena (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan nama yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal Bima ditulis ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal Pakubuwana ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).[37] Dari 20 aksara nglegena, hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;[37] apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti Gani dapat dieja ꦒꦤꦶ (tanpa murda), ꦓꦤꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegena maupun murda adalah aksara mahaprana. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.[35][f]

Aksara Wyanjana (deret modern)
ha/a[1] na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegena  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Murda  
 
[2]
 
[3]
 
 
 
 
 
 
 
Mahaprana  
 
 
 
 
Catatan

^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
^2 ca murda hanya teratestasi dalam bentuk pasangan,[4] bentuk aksara dasarnya merupakan rekonstruksi kontemporer
^3 ra agung, memiliki fungsi yang serupa dengan aksara murda lainnya namun tidak dikenal secara luas karena penggunaannya yang terbatas di lingkungan kraton[35]

Swara

Aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[36]

Aksara Swara
Tempat pelafalan Velar Palatal Labial Retrofleks Dental Velar-Palatal Velar-Labial
Pendek  

a
 

i
 

u
 

ṛ/re[1]
 

ḷ/le[2]
 

é[3]
 

o
Panjang  
ꦄꦴ
ā
 

ī
 
ꦈꦴ
ū
 
ꦉꦴ
ṝ/reu[4a][4b]
 

ḹ/leu[5a][5b]
 

ai6
 
ꦎꦴ
au7
Catatan

^1 pa cerek, /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
^2 nga lelet, /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
^3 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:

^4a pa cerek dirgha, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini[40]
^4b dalam penulisan Sunda digunakan untuk /rɨ/ sebagaimana reu dalam kata bahasa Sunda "pireu"[41]
^5a nga lelet raswadi, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini[40]
^5b dalam penulisan Sunda digunakan untuk /lɨ/ sebagaimana leu dalam kata bahasa Sunda "deuleu"[41]
^6 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^7 diftong /aw/ sebagaimana au kata "pantau"

Sebagaimana aksara wyanjana, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara swara dalam deret Sanskerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara swara digunakan untuk menggantikan aksara wyanjana ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu diperjelas.[42]

Pa cerek ꦉ, pa cerek dirgha ꦉꦴ, nga lelet ꦊ, dan nga lelet raswadi ꦋ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[40][43] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini sering kali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut aksara gantèn. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[44]

Rékan

Aksara rékan (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.[45] Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Arab, kemudian diadaptasi untuk kata serapan dari bahasa Belanda, dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan untuk menulis kata-kata bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagian besar aksara rékan dibentuk dengan menambahkan diakritik cecak telu pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara rékan fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan cecak telu pada aksara wyanjana pa ꦥ. Kombinasi wyanjana dan ekuivalen bunyi asing tiap rékan bisa jadi berbeda antarpenulis karena ketiadaan persetujuan bersama dan lembaga bahasa yang mengatur.

Terdapat lima aksara rekan menurut Padmasusastra[46] dan Dwijasewaya[47]: kha, dza, fa, za, dan gha, namun menurut Hollander, terdapat sembilan:[48]

Aksara Rékan
ḥa kha qa dza sya fa/va za gha 'a
Aksara Jawa  
ꦲ꦳
 
ꦏ꦳
 
[1]
 
ꦢ꦳
 
ꦱ꦳
 
ꦥ꦳
 
ꦗ꦳
 
ꦒ꦳
 
ꦔ꦳
Abjad Arab ح خ ق ذ ش ف ز غ ع
Catatan

^1 aksara "ka Sasak", aslinya hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sasak

Diakritik

Diakritik (sandhangan ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.

Swara

Sandhangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) adalah sandhangan yang digunakan untuk mengubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya, sebagaimana berikut:[49]

Sandhangan Swara
Pendek Panjang
-a -i -u [1] -o -e[2] -ai[3] -au[4] -eu[5a][5b]
-  
 
 
 
ꦺꦴ
 
 
 
 
 
 
ꦻꦴ
 
ꦼꦴ
- wulu suku taling taling-tarung pepet tarung wulu melik suku mendut dirga muré dirga muré-tarung pepet-tarung
ka ki ku ko ke kai kau keu
ꦏꦶ ꦏꦸ ꦏꦺ ꦏꦺꦴ ꦏꦼ ꦏꦴ ꦏꦷ ꦏꦹ ꦏꦻ ꦭꦻꦴ ꦏꦼꦴ
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat", bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:

^3 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^4 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^5a bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta, dalam kajian Kawi umum diromanisasi menjadi ö
^5b dalam penulisan Sunda digunakan untuk /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum"

Sebagaimana aksara swara, hanya sandhangan vokal pendek yang umumnya diajarkan dan digunakan dalam bahasa Jawa kontemporer, sementara sandhangan vokal panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.

Panyigeging wanda

Sandhangan panyigeging wanda (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[50]

Sandhangan Panyigeging Wanda
nasal[1] -ng -r -h pemati[2]
 
 
 
 
 
panyangga cecak layar wignyan pangkon
kam kang kar kah k
ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Catatan

^1 umumnya hanya ditemukan dalam salinan lontar Bali untuk menuliskan kata keramat seperti ong ꦎꦀ
^2 tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau kalimat (lihat pasangan)

Wyanjana

Sandhangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[51]

Sandhangan Wyanjana
-re -y- -r- -l- -w-
 
 
 
ꦿ
 
꧀ꦭ
 
꧀ꦮ
keret pengkal cakra panjingan la gembung
kre kya kra kla kwa
ꦏꦽ ꦏꦾ ꦏꦿ ꦏ꧀ꦭ ꦏ꧀ꦮ

Pasangan

Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Akan tetapi, pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀). Berbeda dengan pangkon, pasangan tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ma (ꦩ) yang diiringi bentuk pasangan dari pa ( ꧀ꦥ) menjadi mpa (ꦩ꧀ꦥ). Bentuk pasangan setiap aksara ada di tabel berikut:[52]

Aksara dan Pasangan
ha/a na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegena Aksara  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasangan  
꧀ꦲ
 
꧀ꦤ
 
꧀ꦕ
 
꧀ꦫ
 
꧀ꦏ
 
꧀ꦢ
 
꧀ꦠ
 
꧀ꦱ
 
꧀ꦮ
 
꧀ꦭ
 
꧀ꦥ
 
꧀ꦝ
 
꧀ꦗ
 
꧀ꦪ
 
꧀ꦚ
 
꧀ꦩ
 
꧀ꦒ
 
꧀ꦧ
 
꧀ꦛ
 
꧀ꦔ
Murda Aksara  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pasangan  
 
꧀ꦖ[1]
 
꧀ꦬ
 
꧀ꦑ
 
꧀ꦡ
 
꧀ꦯ
 
꧀ꦦ
 
꧀ꦘ
 
꧀ꦓ
 
꧀ꦨ
Mahaprana Aksara  
 
 
 
 
Pasangan  
꧀ꦣ
 
꧀ꦰ
 
꧀ꦞ
 
꧀ꦙ
 
꧀ꦜ
Catatan

     tanda bulat (◌) pada karakter bukanlah bagian dari pasangan, tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
^1 kerap digunakan sebagai bagian dari pepadan yang tidak memiliki fungsi fonetis
^2 pasangan dalam tabel ini merupakan bentuk yang digunakan dalam penulisan Jawa modern. Beberapa aksara memiliki bentuk pasangan yang berbeda dalam penulisan Sanskerta-Kawi

Contoh pemakaian pasangan dapat dilihat sebagaimana berikut:

komponen penulisan keterangan
  +   +   +   +   =   a + (ka + (pangkon + sa)) + ra → a + (ka + (pasangan sa)) + ra = a(ksa)ra
  +   +   +   +   =   ka + (na + (pangkon + tha) + -i) → ka + (na + (pasangan tha) + -i) = ka(nthi)

Angka

Aksara Jawa memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya angka Arab, namun sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Jawa, semisal angka 1 ꧑ dengan aksara wyanjana ga ꦒ, atau angka 8 ꧘ dengan aksara murda pa ꦦ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca pada pangkat atau pada lingsa untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 17 Juni" ditulis ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤꦶ atau ꦠꦁꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤꦶ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok kertas. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[53][54]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tanda baca

Teks tradisional Jawa ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan memiliki sejumlah tanda baca yang disebut pada (ꦥꦢ). Bentuknya sebagaimana berikut:

Pada
lingsa lungsi adeg adeg-adeg pisèlèh rerenggan pangkat rangkap surat koreksi
andhap madya luhur guru pancak tirta tumètès isèn-isèn
 
 
 
 
 
꧌...꧍
 
꧁...꧂
 
 
 
 
 
 
꧋꧆꧋
 
꧉꧆꧉
 
꧞꧞꧞
 
꧟꧟꧟

Dalam pengajaran modern, tanda baca yang paling sering digunakan adalah pada adeg-adeg, pada lingsa, dan pada lungsi, yang masing-masing berfungsi untuk membuka paragraf (sebagaimana pillcrow), memisahkan kalimat (sebagaimana koma), dan mengakhiri kalimat (sebagaimana titik). Pada adeg dan pada pisèlèh umumnya digunakan untuk mengapit sisipan di tengah teks seperti kurung atau petik, sementara pada pangkat berfungsi seperti titik dua. Pada rangkap kadang digunakan sebagai tanda pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia informal setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (misal kata-kata ꦏꦠꦏꦠ → kata2 ꦏꦠꧏ).[55]

Beberapa tanda baca tidak memiliki ekivalen dalam ejaan latin dan sering kali bersifat dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis, semisal rerenggan yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam surat-menyurat, seperangkat tanda baca digunakan di awal surat sebagai tanda pembuka dan kadang digunakan pula sebagai penanda status sosial dari sang pengirim surat; dari pada andhap yang rendah, pada madya yang menengah, hingga pada luhur yang tinggi. Pada guru kadang digunakan sebagai pilihan netral yang tidak memiliki konotasi sosial, sementara pada pancak digunakan untuk mengakhiri surat. Namun perlu diperhatikan bahwa bentuk dan fungsi ini merupakan kaidah yang digeneralisasi. Sebagaimana rerenggan, tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan opsional, dengan beragam susunan bentuk yang bervariasi antara daerah dan juru tulis.[55]

Ketika terjadi kesalahan dalam penulisan naskah, beberapa juru tulis keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih mencoret bagian yang salah: tirta tumétès yang ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan isèn-isèn yang ditemukan di naskah Surakarta. Tanda koreksi ini langsung dibubuhkan mengikuti bagian yang salah sebelum penulis melanjutkan dengan penulisan yang benar. Semisal seorang juru tulis ingin menulis pada luhur ꦥꦢꦭꦸꦲꦸꦂ namun terlanjur menulis pada hu ꦥꦢꦲꦸ sebelum ia sadar kesalahannya, maka kata ini dapat dikoreksi menjadi pada hu···luhur ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ.[56]

Pepadan

Selain tanda baca biasa, salah satu ciri khas penulis aksara Jawa adalah pepadan (ꦥꦼꦥꦢꦤ꧀), yakni seperangkat tanda baca penanda sajak yang bentuk dan pengerjaannya sering kali memiliki nilai artisik tinggi. Beberapa bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:

Pepadan
pada kecil pada besar
         
 
 
꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅

Perangkat tanda baca pepadan dapat dikenal dengan berbagai nama dalam teks-teks tradisional. Behrend (1996) membagi pepadan ke dalam dua kelompok umum: pada kecil yang merupakan tanda baca tunggal, serta pada besar yang sering kali disusun berderet dari beberapa tanda baca. Pada kecil digunakan untuk menandakan pergantian bait yang biasanya muncul setiap 32 hingga 48 suku kata tergantung metrum yang digunakan. Pada besar digunakan untuk menandakan pergantian tembang (diikuti pula oleh metrum, irama, dan citra pelantunan) yang biasanya muncul tiap 5 hingga 10 halaman, meski hal ini sangat tergantung dari susunan naskah yang bersangkutan.[57] Pedoman penulisan aksara Jawa sering kali membagi pada besar menjadi tiga jenis pada, purwa pada ꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ yang digunakan di awal tembang pertama, madya pada ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ yang digunakan di pergantian tembang, dan wasana pada ꧅ ꦆ ꧅ yang digunakan di penutup tembang terakhir.[55] Namun karena bentuknya yang sangat bervariasi antarnaskah, tiga tanda baca ini sering kali melebur dan dianggap satu dalam praktek penulisan sebagian besar naskah Jawa.[58]

Pepadan merupakan elemen aksara yang paling menonjol dalam naskah Jawa dan hampir selalu ditulis dengan kemampuan artisik tinggi yang meliputi kaligrafi, pewarnaan, hingga penyepuhan dengan kertas emas.[59] Dalam sejumlah naskah mewah, bentuk pepadan bahkan bisa menjadi petunjuk untuk tembang yang digunakan; pepadan dengan elemen sayap atau figur burung yang menyerupai gagak (dhandhang dalam bahasa Jawa) merujuk pada tembang dhandhanggula, sementara pepadan dengan elemen ikan mas merujuk pada tembang maskumambang (secara harfiah berarti "emas mengambang di air"). Salah satu pusat penulisan naskah dengan gubahan pepadan yang paling indah adalah skriptorium Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.[58][60]

Pengurutan

Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan lima aksara pertama dalam deret tersebut.[g] Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang sering kali dikaitkan dengan legenda Aji Saka.[61][62] Asal-usul deret ini tidak diketahui dengan pasti, namun deret Hanacaraka diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat Jawa setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.[63][64] Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan hanacaraka.[65][66]

Deret Hanacaraka
       
ꦲꦤꦕꦫꦏ(18px) ꦢꦠꦱꦮꦭ(18px) ꦥꦝꦗꦪꦚ(18px) ꦩꦒꦧꦛꦔ(18px)
(h)ana caraka
ada dua utusan
data sawala
yang berselisih pendapat
padha jayanya
sama kuatnya
maga bathanga
inilah mayat mereka

Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa dapat diurutkan berdasarkan tempat pelafalannya (warga) menurut prinsip fonologi Sanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pāṇini.[36][63] Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga berdasarkan tiga aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta, seperti aksara Dewanagari, Tamil, dan Khmer.

Deret Sanskerta (Kaganga)
Pancawalimukha Ardhasuara Ūṣma Wisarga
Kaṇṭya Tālawya Mūrdhanya Dantya Oṣṭya
         
ꦏꦑꦒꦓꦔ(18px) ꦕꦖꦗꦙꦚ(18px) ꦛꦜꦝꦞꦟ(18px) ꦠꦡꦢꦣꦤ(18px) ꦥꦦꦧꦨꦩ(18px) ꦪꦫꦭꦮ(18px) ꦯꦰꦱ(18px) (18px)
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha

Contoh teks

Berikut adalah cuplikan Serat Katuranggan Kucing yang dicetak pada tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Jawa modern.[67]

Pada Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
7 ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀‍꧈ ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈ Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa tèmbong putih, leksanira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyanira ipun, yèn bundhel langkung utama Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat tèmbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
8 ꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀‍꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈ Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran dhadhang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yèn bundhel nora ngapa Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut dhadhang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah.

Berikut adalah cuplikan dari Kakawin Rāmāyaṇa yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[68]

Pada Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
XVI
31
꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉ Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada. Air jernih telaga bagaikan langit, seekor kura-kura mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-bunga yang bertebaran, menyebarkan sarinya bagaikan awan.

Perbandingan dengan aksara Bali

Kerabat paling dekat dari aksara Jawa adalah aksara Bali. Sebagai keturunan langsung aksara Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Bali cenderung bersifat konservatif dan mempertahankan banyak aspek dari ejaan Kawi yang tidak lagi digunakan dalam aksara Jawa. Sebagai contoh, kata desa dalam aksara Jawa kini ditulis ꦢꦺꦱ. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena desa merupakan kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: deśa ꦢꦺꦯ, menggunakan aksara sa murda alih-alih aksara sa nglegena. Seperti bahasa Jawa, bahasa Bali juga tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa nglegena dan sa murda, namun ejaan asli selalu dipertahankan kapan pun memungkinkan. Salah satu alasannya agar sejumlah kata serapan dari bahasa Sanskerta-Kawi yang bunyinya sama dalam bahasa Bali dapat tetap dibedakan dalam tulisan, misal antara kata pada (ꦥꦢ, tanah/bumi), pāda (ꦥꦴꦢ, kaki), dan padha (ꦥꦣ, sama), serta antara kata asta (ꦲꦱ꧀ꦠ, adalah), astha (ꦲꦱ꧀ꦡ, tulang), dan aṣṭa (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan).[69][70][71]

Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:

Aksara Dasar (konsonan)
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha/a
Jawa
Bali
Aksara Dasar (vokal)
a ā i ī u ū é[1] ai[2] o au[3]
Jawa ꦄꦴ ꦈꦴ ꦉꦴ ꦎꦴ
Bali
Catatan

^1/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"

Diakritik
-a -i -u -ṛ -ṝ [1] -ai[2] -o -au[3] -e[4] -eu[5] -m -ng -r -h pemati
Jawa - ꦽꦴ ꦺꦴ ꦻꦴ ꦼꦴ
Bali - ᬿ
ka ki ku kṛ kṝ kai ko kau ke keu kam kang kar kah k
Jawa ꦏꦴ ꦏꦶ ꦏꦷ ꦏꦸ ꦏꦹ ꦏꦽ ꦏꦽꦴ ꦏꦺ ꦏꦻ ꦏꦺꦴ ꦭꦻꦴ ꦏꦼ ꦏꦼꦴ ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Bali ᬓᬵ ᬓᬶ ᬓᬷ ᬓᬸ ᬓᬹ ᬓᬺ ᬓᬻ ᬓᬾ ᬓᬿ ᬓᭀ ᬓᭁ ᬓᭂ ᬓᭃ ᬓᬁ ᬓᬂ ᬓᬃ ᬓᬄ ᬓ᭄
Catatan

^1 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
^2 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
^3 diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
^4 /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
^5 /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum". Dalam alih aksara bahasa Kawi, diromanisasi menjadi ö[36]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jawa
Bali
Tanda Baca
Jawa pada lingsa pada lungsi pada pangkat pada adeg-adeg pada luhur
Bali carik siki carik parérén carik pamungkah panti pamada
Contoh Kalimat (bahasa Kawi)
Jawa ꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉
Bali ᭛ᬚᬳ᭄ᬦᬷᬬᬵᬳ᭄ᬦᬶᬂᬢᬮᬕᬓᬤᬶᬮᬗᬶᬢ᭄᭞ ᬫᬫ᭄ᬩᬂᬢᬂᬧᬵᬲ᭄ᬯᬸᬮᬦᬸᬧᬫᬦᬶᬓᬵ᭞ ᬯᬶᬦ᭄ᬢᬂᬢᬸᬮ᭄ᬬᬂᬓᬸᬲᬸᬫᬬᬲᬸᬫᬯᬳᬸᬭ᭄᭞ ᬮᬸᬫ᭄ᬭᬧ᭄ᬯᬾᬓᬂᬲᬭᬶᬓᬤᬶᬚᬮᬤ᭟
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwékang sari kadi jalada.
(Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)

Penggunaan dalam bahasa Madura

Aksara Jawa di dalam bahasa Madura disebut Carakan Madhurâ atau Carakan Jhâbân (aksara yang berasal dari Jawa). Apabila dalam penggunaan bahasa Jawa tiap aksara dapat merepresentasikan suara /a/ atau /ɔ/, maka dalam bahasa Madura mewakili suara /a/ atau /ɤ/. Bentuk carakan Madhurâ sendiri terdiri dari aksara ghâjâng (aksara nglegena), aksara rajâ atau murdâ (aksara murda), aksara sowara atau swara (aksara swara), dan aksara rèka'an (aksara rékan). Terdapat pula pangangghuy (sandhangan) yang terdiri dari pangangguy aksara (sandhangan swara), pangangghuy panyèghek (sandhangan panyigeging wanda), dan pangangghuy panambâ (sandhangan wyanjana).[72][73][74][75][76]

Perbandingan dengan bahasa Jawa

Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan mencolok dengan bahasa Jawa. Meski demikian, dalam bahasa Madura tidak terdapat perbedaan penggunaan konsonan aspirat dan tanaspirat.[77]

Aksara Ghâjâng (Aksara Nglegena)
ha na ca ra ka da dha ta sa wa la pa ḍa ḍha ja jha ya nya ma ga gha ba bha tha nga
Jawa
ha na ca ra ka da/dha ta sa wa la pa ḍa/ḍha ja/jha ya nya ma ga/gha ba/bha tha nga
Madura

Aksara rèka'an dalam bahasa Madura yang diajarkan di sekolah-sekolah hanya ada lima buah, sedangkan dalam Madoereesche Spraakkunst dan Sorat tjarakan Madurah berturut-turut terdapat tujuh dan sembilan buah:[78][79]

Aksara Rèka'an (Aksara Rékan)
ha kha dza fa/va za gha 'a ta sya la
Aksara Jawa ꦲ꦳ ꦏ꦳ ꦢ꦳ ꦥ꦳ ꦗ꦳ ꦒ꦳ ꦔ꦳ ꦠ꦳ ꦯ꦳ ꦭ꦳
Abjad Arab ح خ ذ ف ز ع غ ط ش ل
Bahasa Belanda h ch f/v g
Contoh ꦲ꦳ꦺꦴꦏꦺꦴꦩ꧀ ꦲꦏ꦳ꦺꦫꦠ꧀ ꦢ꦳ꦶꦏ꧀ꦏꦺꦂ ꦭꦥ꦳ꦭ꧀ ꦗ꦳ꦏꦠ꧀ ꦒ꦳ꦲꦶꦧ꧀ ꦠ꦳ꦫꦺꦏ꧀ ꦯ꦳ꦫꦠ꧀ ꦭ꦳ꦲꦶꦧ꧀
Transliterasi hokom akhèrat dzikkèr lafal zâkat ghaib tarèk syarat laib

Perbedaan lainnya yaitu penggunaan wignyan yang dalam bahasa Jawa berfungsi sebagai akhiran -h, sedangkan dalam bahasa Madura menjadi akhiran -' seperti pada tabel berikut:[72]

Pangangghuy (Sandhangan)
Pangangghuy aksara Pangangghuy panyèghek Pangangghuy panambâ
i è o u e -ng -r -' pemati -r- -re -y-
ꦺꦴ ꦿ
cèthak lèngè lèngè-longo soko petpet cekcek lajâr bisat papatèn pèḍer perper sokomaljâ
pi po pu pe pang par pa' p pra pre pya
ꦥꦶ ꦥꦺ ꦥꦺꦴ ꦥꦸ ꦥꦼ ꦥꦁ ꦥꦂ ꦥꦃ ꦥ꧀ ꦥꦿ ꦥꦿ ꦥꦾ

Contoh penggunaan

Berikut penggunaan carakan dalam Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera (Bab orang menangkap ikan di Tanah Jawa dan Madura) disertai dengan ejaan bahasa Madura modern.[80]

Bahasa Madura Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
ꦥꦫꦲꦺꦴꦥꦩꦺꦒꦃꦲꦤ꧀ꦤꦺꦥꦺꦴꦤ꧀ꦗꦸꦏꦺꦴꦃꦏꦺꦔꦺꦁꦧꦶꦢꦃꦲꦒꦶꦢꦢ꧀ꦢꦶꦝꦸꦧꦂꦤ꧇ Parao pamèghâ'ânnèpon jhuko' kèngèng bhidhâ'aghi dhâddhi ḍu bârna: Perahu penangkap ikan dapat dibedakan menjadi dua macam:
꧑꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴ꧈ ꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦏꦗꦸꦧꦸꦁꦏꦺꦴꦭ꧀ꦱꦺꦲꦺꦭꦺꦴꦧꦔꦺ꧉ ꦧꦝꦱꦺꦲꦺꦱꦺꦩ꧀ꦧꦸꦏꦗꦸꦥꦺꦴꦭꦺꦲꦺꦥꦺꦁꦒꦶꦂ꧈ ꦧꦝꦱꦺꦧꦸꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀꧈ 1. Parao, sè èbhâḍhi ḍâri kaju bungkol sè èlobângè. Bâḍâ sè èsèmbu polè è pèngghir, bâḍâ sè bhunten 1. Perahu, yang dibuat dari kayu bulat yang dilubangi. Ada yang ditambah lagi di pinggir, ada yang tidak
꧒꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦥꦥꦤ꧀ꦫꦧ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦧꦤ꧀ꦱꦢꦗ꧉ 2. Parao sè èbhâḍhi papan rabten bân sadhâjâ. 2. Perahu yang dibuat dari papan dan seluruhnya.

Blok Unicode

Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Javanese[1][2]
Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x
U+A99x
U+A9Ax
U+A9Bx ꦿ
U+A9Cx
U+A9Dx
Catatan
1.^Per Unicode versi 14.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong
Lihat pula Tabel alternatif Unicode aksara Jawa yang diurutkan berdasarkan hanacaraka

Galeri

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Mengenai ragam langgam aksara Jawa, T E Behrend menulis sebagaimana berikut:
  2. ^ VOC berupaya untuk mendirikan pabrik kertasnya sendiri di Jawa yang beroperasi antara tahun 1665–1681. Namun pabrik tersebut tidak mampu memenuhi semua permintaan kertas di Jawa, sehingga suplai kertas terus mengandalkan pengiriman dari Eropa.[16]
  3. ^ Bagi kalangan Eropa abad ke-19, tulisan tangan Surakarta disetujui sebagai langgam aksara Jawa yang paling indah sehingga tokoh seperti J.F.C. Gericke menyarankan agar langgam Surakarta dijadikan panutan untuk membuat rancangan aksara Jawa yang layak.[22]
  4. ^ Pada tahun 1920, direktur Balai Poestaka D.A. Rinkes menulis dalam kata sambutannya untuk katalog buku-buku Jawa koleksi Bataviaasch Genootschap sebagaimana berikut:
  5. ^ Sebagai perbandingan, pemerintahan Jepang yang menduduki Kamboja pada periode waktu yang sama justru menghapus upaya penggunaan huruf Latin yang dimulai pemerintahan kolonial Kamboja Prancis dan mengembalikan penggunaan aksara Khmer sebagai aksara resmi Kamboja.[28]
  6. ^ Contoh kata dengan aksara mahaprana yang digunakan dalam penulisan Kawi misal aṣṭa (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan)[38] dan nirjhara (ꦤꦶꦂꦙꦫ, air terjun).[39]
  7. ^ Setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam abjad Arab (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).

Rujukan

  1. ^ Poerwadarminta 1939, hlm. 627.
  2. ^ Poerwadarminta 1939, hlm. 68.
  3. ^ Behrend 1996, hlm. 161.
  4. ^ a b Everson 2008, hlm. 1.
  5. ^ Tarmid, Muhammad. "Silabus bahasa Indramayu Sekolah Dasar". Indramayu: UPTD Pendidikan Kecamatan Kroya. 
  6. ^ Widiarti, Anastasia Rita; Pulungan, Reza (28 April 2020). "A method for solving scriptio continua in Javanese manuscript transliteration". Heliyon (dalam bahasa Inggris). 6 (4): e03827. doi:10.1016/j.heliyon.2020.e03827. ISSN 2405-8440. 
  7. ^ Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten" (PDF). Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining: xi, 9-35. OCLC 220137657. 
  8. ^ Casparis, J G de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. 4. Brill. ISBN 9004041729. 
  9. ^ a b Behrend 1996, hlm. 161-162.
  10. ^ a b Behrend 1996, hlm. 162.
  11. ^ Moriyama 1996, hlm. 166.
  12. ^ Moriyama 1996, hlm. 167.
  13. ^ a b Behrend 1996, hlm. 167-169.
  14. ^ Hinzler, H I R (1993). "Balinese palm-leaf manuscripts". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 149 (3). doi:10.1163/22134379-90003116. 
  15. ^ a b c Behrend 1996, hlm. 165-167.
  16. ^ a b c Teygeler, R (2002). "The Myth of Javanese Paper". Dalam R Seitzinger. Timeless Paper (dalam bahasa Inggris). Rijswijk: Gentenaar & Torley Publishers. ISBN 9073803039. 
  17. ^ a b Molen 2000, hlm. 154-158.
  18. ^ Behrend 1996, hlm. 172.
  19. ^ Behrend 1996, hlm. 172-175.
  20. ^ Molen 2000, hlm. 137.
  21. ^ Molen 2000, hlm. 136-140.
  22. ^ Molen 2000, hlm. 149-154.
  23. ^ Astuti, Kabul (Oktober 2013). Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa dalam Pelestarian Sastra Jawa. International Seminar On Austronesian - Non Austronesian Languages and Literature. Bali. 
  24. ^ Pick, Albert (1994). Standard Catalog of World Paper Money: General Issues. Colin R. Bruce II and Neil Shafer (editors) (edisi ke-7th). Krause Publications. ISBN 0-87341-207-9. 
  25. ^ Robson 2011, hlm. 25.
  26. ^ Molen 1993, hlm. 83.
  27. ^ Hadiwidjana, R. D. S. (1967). Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab: titi-wara tuwin aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa. U.P. Indonesia. hlm. 9. 
  28. ^ Chandler, David P (1993). A History of Cambodia. Silkworm books. ISBN 9747047098. 
  29. ^ Robson 2011, hlm. 27-28.
  30. ^ a b Wahab, Abdul (Oktober 2003). Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah (PDF). Kongres Bahasa Indonesia VIII. Kelompok B, Ruang Rote. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. hlm. 8-9. 
  31. ^ Florida, Nancy K (1995). Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophesy in Colonial Java. Duke University Press. hlm. 37. ISBN 9780822316220. 
  32. ^ Mustika, I Ketut Sawitra (12 Oktober 2017). Atmasari, Nina, ed. "Alumni Sastra Jawa UGM Bantu Koreksi Tulisan Jawa pada Papan Nama Jalan di Jogja". Yogyakarta: Solo Pos. Diakses tanggal 8 Mei 2020. 
  33. ^ Eswe, Hana (13 Oktober 2019). "Penunjuk Jalan Beraksara Jawa Salah Tulis Dikritik Penggiat Budaya". Grobogan: Suara Baru. Diakses tanggal 8 Mei 2020. 
  34. ^ a b Siti Fatimah (27 Februari 2020). "Bangkitkan Kongres Bahasa Jawa Setelah Mati Suri". Bantul: Radar Jogja. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-19. Diakses tanggal 25 Mei 2020. 
  35. ^ a b c Everson 2008, hlm. 1-2.
  36. ^ a b c d Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi (PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12. 
  37. ^ a b Darusuprapta 2002, hlm. 11-13.
  38. ^ Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed. Old Javanese-English Dictionary. Nijhoff. hlm. 143, entri 4. ISBN 9024761786. 
  39. ^ Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed. Old Javanese-English Dictionary. Nijhoff. hlm. 1191, entri 11. ISBN 9024761786. 
  40. ^ a b c Woodard, Roger D (2008). The Ancient Languages of Asia and the Americas. Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0521684943. 
  41. ^ a b Everson 2008, hlm. 18.
  42. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 13-15.
  43. ^ Poerwadarminta 1930, hlm. 11.
  44. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 20.
  45. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 16-17.
  46. ^ Padmasusastra (1917). Layang Carakan. hlm. 16. 
  47. ^ Dwijasewaya (1910). Paramasastra Jawa. hlm. 21. 
  48. ^ Hollander, J J de (1886). Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal en Letterkunde. Leiden: Brill. hlm. 3. 
  49. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 19-24.
  50. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 24-28.
  51. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 29-32.
  52. ^ Everson 2008, hlm. 2.
  53. ^ Everson 2008, hlm. 4.
  54. ^ Darusuprapta 2002, hlm. 44-45.
  55. ^ a b c Everson 2008, hlm. 4-5.
  56. ^ Everson 2008, hlm. 5.
  57. ^ Behrend 1996, hlm. 188.
  58. ^ a b Behrend 1996, hlm. 190.
  59. ^ Behrend 1996, hlm. 189-190.
  60. ^ Saktimulya, Sri Ratna (2016). Naskah-naskah Skriptorium Pakualaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 602424228X. 
  61. ^ Robson 2011, hlm. 13-14.
  62. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 8-11.
  63. ^ a b Everson 2008, hlm. 5-6.
  64. ^ Ricci, Ronit (Desember 2015). "Reading a History of Writing: heritage, religion and script change in Java". Itinerario. Leiden. 39 (03): 424. doi:10.1017/S0165115315000868. 
  65. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 35-41.
  66. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 51-58.
  67. ^ Serat Katoerangganing ning Koetjing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ), diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.
  68. ^ Kern, Hendrik (1900). Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff. 
  69. ^ Tinggen, I Nengah (1993). Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha. hlm. 7. 
  70. ^ Medra, I Nengah (1998). Pedoman Pasang Aksara Bali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. hlm. 44. 
  71. ^ Sutjaja, I Gusti Made (2006). Kamus Inggris, Bali, Indonesia. Lotus Widya Suari bekerjasama dengan Penerbit Univ. Udayana. ISBN 9798286855. 
  72. ^ a b Hamzah, Bambang Hartono; Sayunani, Isya; Gani, Abdul; Dradjid, H.M. (2014). Ghazali, A. Syukur; Poerno, Heru Asri, ed. Sekkar Anom I (dalam bahasa Madura). Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. hlm. 148. 
  73. ^ Sukardi, A. (2005). Kasustraan Madura Kembang Sataman (dalam bahasa Madura) (edisi ke-2). Jember: Dinas Pendidikan Kabupaten Jember. 
  74. ^ Kiliaan 1897, hlm. 89.
  75. ^ Wedhawati (2001). Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Bahasa. hlm. 39–40. ISBN 9796851415. 
  76. ^ Davies, William D. (2010). A Grammar of Madurese (dalam bahasa Inggris). Berlin: Walter de Gruyter. hlm. 53. ISBN 9783110224443. 
  77. ^ Kiliaan 1897.
  78. ^ Hamzah, Bambang Hartono; Sayunani, Isya; Gani, Abdul; Dradjid, H.M. (2015). Sekkar Anom 2 (dalam bahasa Madura). Surabaya: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. hlm. 155. 
  79. ^ Kiliaan 1897, hlm. 97.
  80. ^ Koesoemo, R. Sosro Danoe; M. Partosoegondo (1922). Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera (dalam bahasa Madura). Balai Poestaka. 

Daftar pustaka

Pedoman penulisan

Bahasa Sanskerta dan Kawi

Bahasa Sunda

Bahasa Madura

Pranala luar

Koleksi digital

Naskah digital

Lainnya