Perang Romawi–Persia

artikel daftar Wikimedia

Perang Romawi–Persia adalah serangkaian konflik antara Imperium Romawi yang kemudian di lanjutkan oleh Kekaisaran Romawi Byzantium dan orang-orang Armenia melawan Kerajaan Persia Sassaniyah . Hubungan antara Kerajaan Persia Sassaniyah dan Imperium Romawi dimulai pada tahun 268 M ; peperangan dimulai ketika menjelang runtuhnya Imperium Romawi dan terus berlanjut ketika Kekaisaran Romawi Byzantium dengan bantuan Kekaisaran Armenia melawan Kerajaan Persia Sassaniyah. Konflik ini berakhir ketika munculnya Penaklukan Arab Muslim, yang menghantam Persia Sassaniyah serta Romawi Byzantium dengan dampak yang menghancurkan, tak lama setelah Romawi Byzantium dan Persia Sassaniyah berhenti berperang.

Perang Romawi–Persia

Kameo yang menggambarkan Emperior Romawi Valeranus, melawan Raja Persia Sassaniyah, Shahpur II.
Tanggal268 – 624 M
LokasiMesopotamia Anatolia, dan Levant
Hasil Status quo ante bellum
Tokoh dan pemimpin
Lucullus,
Pompeius,
Crassus ,
Markus Antonius,
Ventidius,
Corbulo,
Trajanus,
Avidius Cassius,
Statius Priscus,
Septimius Severus,
Caracalla,
Macrinus,
Alexander Severus,
Timesitheus,
Gordianus III ,
Valerianus (POW),
Ballista,
Odaenathus,
Carus,
Galerius,
Constantius II,
Julianus ,
Patricius,
Areobindus,
Celer,
Belisarius,
Sittas,
Dagistheus,
Bessas,
Marcianus,
Justinianus,
Al-Mundhir bin al-Harits,
Maurice,
Yohanes Mystaconus,
Philippicus,
Comentiolus,
Narses
Germanus ,
Leontius,
Domentziolus,
Priscus,
Heraclius,
Theodore
Ardashir I,
Shapur I,
Narseh,
Shapur II,
Narseh ,
Narseh,
Bahram V,
Yazdegerd II,
Kavadh I,
Mihran,
Mihr-Mihroe (POW),
Azarethes,
Khosrau I,
Al-Mundhir IV ibn al-Mundhir ,
Khorianes ,
Adarmahan,
Tamkhusro ,
Varaz Vzur,
Mahbodh,
Kardarigan,
Bahram Chobin,
Zatsparham ,
Khosrau II,
Kavadh II

Meskipun peperangan antara Imperium Romawi dan Kekaisaran Romawi Byzantium melawan Kerajaan Persia Sassaniyah berlangsung selama empat abad, garis depan kedua pihak cenderung tetap stabil. Tarik-menarik berlangsung: kota, benteng, dan provinsi terus-menerus diserang, ditaklukkan, dihancurkan, dan dipindahtangankan. Kedua belah pihak tidak memiliki kekuatan logistik dan tenaga manusia untuk menghadapi kampanye yang panjang dan jauh di luar perbatasan mereka, dan kedua belah pihak tidak mampu melaju terlalu jauh tanpa mengambil risiko membuat garis depan menjadi terlalu tipis. Kedua pihak memang melakukan penaklukan di luar perbatasan masing-masing, tetapi keseimbangan selalu kembali seperti semula. Garus kebuntuan bergeser pada abad ke 3-4 M: batasnya awalnya adalah di sepanjang garis sungai Efrat; batas baru ada di timur, atau kemudian di timur laut, di seberang Mesopotamia sampai Tigris utara. Ada pula beberapa pergeseran penting lebih jauh di utara, yakni di Armenia dan Kaukasus.

Penghabisan sumber daya selama Perang Romawi–Persia pada akhirnya berujung bencana pada kedua Kekaisaran itu. Peperangan yang berkepanjangan dan meningkat pada abad ke-7 dan ke-6 SM menyebabkan kedua pihak menjadi lemah dan rentan ketika terjadi kebangkitan dan ekspansi yang tiba-tiba dari Kekhalifahan Muslim Arab, yang pasukannya menginvasi kedua kekaisaran itu hanya beberapa tahun setelah Perang Romawi–Persia berakhir. Memanfaatkan keadaan mereka yang melemah, pasukan Muslim Arab dengan cepat menaklukkan keseluruhan Kekaisaran Sassaniyah. Pasukan Arab juga merampas wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang ada di Levant, Kaukasus, Mesir, dan Afrika Utara. Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar Kekaisaran Romawi Timur berhasil dikuasai oleh Muslim.

Latar belakang

 
Romawi (ungu), Parthia (kuning) dan Seleukia (biru) pada 200 SM. Romawi dan Parthia menginvasi wilayah kekuasaan Seleukia, dan keduanya kemudian menjadi negara terkuat di Asia barat.

Menurut James Howard-Johnston, "sejak abad ke-3 SM hingga abad ke-7 M, pemain yang bersaing [di Timur] adalah pihak yang kuat dengan ambisi besar, yang mampu mendirikan dan mengamankan wilayah yang melampaui daerah-daerah yang terbagi-bagi".[1] Romawi dan Parthia mulai melakukan kontak melalui penaklukan masing-masing terhadap Kekaisaran Seleukia. Selama abad ke-3 SM, orang-orang Parthia mulai bermigrasi dari stepa Asia Tengah ke Iran utara. Meskipun dikuasai untuk sementara waktu oleh Seleukia, pada abad ke-2 SM mereka berhasil bebas dan mendirikan negara merdeka yang secara perlahan-lahan meluas, menaklukkan Persia dan Mesopotamia. Dipimpin oleh Dinasti Arcasiyah, Parthia menghalau beberapa usaha Seleukia untuk merebut kembali bekas wilayah kekausaan mereka, dan Parthia malah terus memperluas kekuasaan mereka sampai ke India (lihat Kerajaan India-Parthia).[2][3] Sementara itu Romawi mengusir Seleukia dari wilayah kekuasaan mereka di Anatolia pada awal abad ke-2 SM, setelah mengalahkan Antiokhos III yang Agung pada Pertempuran Thermopylae dan Pertempuran Magnesia. Pada akhirnya, pada tahun 64 SM Pompeius menaklukkan sisa-sisa kekuasaan Seleukia di Suriah, memusnahkan negara tersebut dan memajukan batas timur Romawi sampai ke Efrat, yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Parthia.[2]

Perang Romawi–Parthia

Perang Romawi–Sasaniyah

 
Relief batu di Naqsh-e Rustam yang menggambarkan raja Sassaniyah, Shapur I (menunggang kuda), menangkap kaisar Romawi, Valerianus (berlutu), dan Philippus si Arab (berdiri).

Konflik berlanjut tidak lama setelah penggulingan kekuasaan Parthia dan pendirian Kekaisaran Sassaniyah oleh Ardashir I. Ardashir menggempur Mesopotamia dan Suriah pada 230 M lalu menuntut penyerahan seluruh wilayah bekas kekuasaan Kekaisaran Akhemeniyah.[4][5][6] Setelah perundingan yang tanpa hasil, Alexander Severus menyerang Ardashir pada 232 M dan berhasil memukul mundurnya.[7][8][9] Pada 238–240 M, menjelang akhir masakekuasaannya, Ardashir menyerang lagi, menaklukkan beberapa kota di Suriah dan Mesopotamia, termasuk Carrhae dan Nisibis.[10][11] Peperangan terus berlanjut dan semakin keras di bawah penerus Ardashir, Shapur I, yang menginvasi Mesopotamia. Pasukannya dikalahkan pada Pertempuran Resaen pada 243 M sehingga Romawi dapat merebut kembali Carrhae dan Nisibis.[12] terdorong oleh kemenangan ini, kaisar Romawi Gordianus III bergerak menuju Efrat namun malah dipukul mundur di dekat Ktesiphon dalam Pertempuran Misiche pada 244 M.[12][13][14][15]

Pada awal 250-an M, kaisar Philippus si Arab terlibat dalam perebutan kekuasaan atas Armenia. Shapur membunuh raja Armenia dan akibatnya perang melawan Romawi kembali terjadi. Shapur mengalahkan Romawi pada Pertempuran Barbalissos, dan kemudian barangkali dia menaklukkan dan menjarah Antiokia.[12][16] Antara 258 dan 260 M, Shapur menangkap kaisar Valerianus I setelah mengalahkan pasukan Romawi pada Pertempuran Edessa. Shapur lalu bergerak ke Anatolia, tetapi dia dikalahkan oleh pasukan Romawi di sana, selain itu dia juga diserang oleh Odaenathus dari Palmyra sehingga pasukan Persia terpaksa harus mundur dari wilayah kekuasaan Romawi.[17][18][19][20]

 
Kampanye Julianus yang gagal pada 363 M mengakibatkan lepasnya wilayah kekuasaan Romawi yang pernah diperoleh melalui kesepakatan damai 299 M.

Kaisar Carus melancarkan invasi yang sukses terhadap Persia pada 283 M. Dia menjarah Ktesiphon, ibu kota Sassaniyah. Ini adalah kali ketiga Ktesiphon dijarah. Romawi bisa saja meneruskan penaklukan mereka namun Carus keburu meninggal pada bulan Desember pada tahun tersebut.[21][22][23][24] Setelah perjanjian damai yang singkat pada masa pemerintahan Diocletianus, Persia kembali menyulut permusuhan ketika mereka menginvasi Armenia dan mengalahkan pasukan Romawi di dekat Carrhae pada 296 atau 297 SM.[25][26] Namun, Galerius manghancurkan pasukan Persia dalam Pertempuran Satala pada 298. Dia berhasil menguasai baitulmal dan harem kerajaan. Tindakan ini sangat memalukan bagi pihak Persia. Perjanjian damai yang disepakati berikutnya membuat Romawi memperoleh daerah yang terbentang antara Tigris dan Greater Zab. Ini adalah kemenangan Romawi paling telak selama puluhan tahun, karena Romawi berhasil menguasai kembali seluruh wilayah mereka yang pernah hilang, ditambah dengan seluruh wilayah yang diperebutkan, serta seluruh wilayah Armenia.[27][28][29][30]

Perdamaian pada 299 M berlangsung sampai pertengahan 330-an M, ketika Shapur II memulai serangkaian serangan terhadap Romawi. Meskipun memperoleh beberapa kemenangan dalam pertempuran, kampanyenya tidak memberikan pengaruh jangka panjang: tiga pengepungan Persia atas Nisibis berhasil dipukul mundur, dan meskipun Shapur sempat menaklukkan Amida dan Singara, kedua kota itu dengan cepat direbut kembali oleh Romawi.[25] Shapur sibuk memerangi serangan kaum nomad terhadap Persia pada 350-an M sehingga tidak mengurusi Romawi, tetapi setelah itu dia melancarkan kampanye baru lagi pada 359 Ma dan lagi-lagi menaklukkan Amida. Tindakan ini memicu serangan balasan oleh kaisar Romaw, Julianus, yang menyusuri Efrat sampai ke Ktesiphon.[31] Julianus memenangkan Pertempuran Ktesiphon namun tidak dapat merebut ibu kota Persia itu dan mundur sampai ke Tigris. Diserang ole Persia, Julianus terbunuh dalam sebuah pertempuran kecil. Dengan terjebaknya pasukan Romawi di pesisir barat Efrat, penerus Julianus, Jovianus menyepakati perjanjian dengan Persia. Dia menyerahkan beberapa wilayah dengan syarat pasukan Romawi diizinkan keluar dari wilayah Sassaniyah dengan selamat. Romawi menyerahkan wilayah kekuasaan mereka di sebelah timur Tigris, selain juga Nisibis dan Singara. Setelah itu Shapur dengan cepat menaklukkan Armenia.[32] Pada 384 atau 387 M, perjanjian damai disepakati oleh Shapur III dan Theodosius I, yang membagi Armenia menjadi dua, masing-masing untuk Romawi dan Persia. Sementara itu, wilayah utara Romawi diserang oleh suku Hun, Alan, dan Jermanik, sedangkan wiayah utara Persia terancam pertama oleh suku Hun dan kemudian oleh orang-orang Heftalit. Karena kedua kekaisaran menghadapi ancaman masing-masing, akhirnya keduanya tidak saling menyerang selama beberapa waktu. Periode damai ini hanya diselingi oleh dua perang singkat, yang pertama pada 421–422 M dan yang kedua pada 440 M.[33][34][35]

Perang Bizantium–Sassaniyah

Perang Anastasius

 
Peta perbatasan Romawi–Persia setelah pembagian Amenia pada 384 M. Garis depan relatif stabil sepanjang abad k-5M.

Perang pecah ketika raja Persia Kavadh I berusaha memperoleh dukungan keuangan secara paksa dari Kaisar Romawi Bizantium, Anastasius I.[36][37][38] Pada 502 M, dia dengan cepat menaklukkan kota Theodosiopolis yang tidak siap diserang[39][40] dan kemudian mengepung Amida. Pengepungan kota-benteng itu terbukti jauh lebih sulit daripada yang Kavadh perkirakan; pasukan bertahan berhasil menahan serangan Persia selama tiga bulan sebelum akhirnya dikalahkan.[41][42] Pada 503 M, Romawi berupaya merebut kembali Amida namun gagal. Sementara itu Kavadh menginvasi Osroene, dan kemudian mengepung Edessa yang berujung kegagalan.[43] Akhirnya pada 504 M, Romawi merebut Amida melalui investasi militer. Pada tahun tersebut, gencatan senjata tercapai sebagai akibat dari invasi Armenia oleh suku Hun dari Kaukasus. Meskipun kedua pihak bernegosiasi, baru pada bulan November 506 M perjanjian tersebut disetujui.[44][45] Pada 505 M, Anastasius memerintahkan pembangunan kota berbenteng besar di Dara. Pada saat yang sama, perbentengan yang rusak juga diperbaharui di Edessa, Batnae dan Amida.[46][47] Meskipun tidak ada lagi konflik berskala besar yang terjadi selama sisa masa pemerintahan Anastasius, tetapi ketegangan terus berlanjut, khususnya ketika pembangunan berlangsung di Dara. Ini karena pembangunan perbentengan baru di zona perbatasan oleh kedua kekaisaran sebenarnya telah dilarang melalui perjanjian yang telah disepakati beberapa dekade sebelumya. Akan tetapi Anastasius terus melanjutkan proyek ini meskipun Persia merasa keberatan. Tembok pertahanannya sendiri selesai dibangun pada 507–508 M.[45][48]

 
Kekaisaran Romawi dan Persia pada 477 M, serta negara-negara tetangga merea, yang banyak diantaranya ikut terseret dalam perang antara dua kekuatan besar itu.

Perang Iberia

Pada 524–525 M, Kavadh mengusulkan pada Justinus I untuk mengadopsi putranya, Khosrau, tetapi perundingan mereka berakhir dengan kegagalan.[49][50][51] Ketegangan antara kedua pihak berujung kepada konflik ketika Iberia Kaukasus di bawah Gourgen membelot dan berpihak kepada Romawi pada 524–525 M.[52] Pertempuran terbuka Romawi–Persia pecah di daerah Transkaukasus dan Mesopotamia hulu pada 526–527 M.[53] Pada tahun-tahun awal dalam perang tersebut, Persia lebih unggul: pada 527 M, pemberontakan Iberia berhasil dipadamkan, serangan Romawi ke Nisibis dan Thebetha pada tahun tersebut juga berhasil dipukul mundur, selain itu pasukan Romawi yang dikerahkan untuk melindungi Thannuris dan Melabasa juga berhasil dihalau oleh Persia.[54][55] Berupaya memperbaiki kekurangan yang telah dimanfaatkan oleh Persia, kaisar Romawi yang baru, Justinianus I, mengatur ulang pasukan Romawi.[56]

 
Skema Pertempuran Dara.

Pada 530 M, sebuah serangan besar Persia di Mesopotamia dikalahkan oleh pasukan Romawi di bawah Belisarius pada Pertempuran Dara, sedangkan serangan kedua Persia ke Kaukasus dikalahkan oleh Sittas di Satala. Belisarius dikalahkan oleh pasukan Persia dan Lakhmid dalam Pertempuran Callinicum pada 531 M. Pada tahun yang sama Romawi merebut beberapa benteng di Armenia, sementara Persia menaklukkan dua benteng di Lazika timur.[57] Tidak lama setelah kegagalan di Callinicum, Romawi dan Persia berunding tanpa hasil.[58] Kedua pihak kembali berunding pada musim semi 532 M dan akhirnya menyepakati Perdamaian Abadi pada bulan September 532 M, yang hanya bertahan kurang dari delapan tahun. Kedua pihak setuju untuk mengembalkan semua wilayah yang mereka rebut, dan Romawi bersedia membayar sejumlah 110 centenaria (11,000 pon emas). Iberia tetap berada di tangan Persia, dan orang-orang Iberia yang telah meninggalkan negeri mereka diberi pilihan untuk tetap tinggal di wilayah Romawi atau kembali ke tempat asal mereka.[59][60]

 
Kekaisaran Romawi dan Sassaniyah pada masa pemerintahan Justinianus:
  Kekaisaran Romawi (Bizantium)
  Wilayah yang direbut oleh Justinianus
  Kekaisaran Sassaniyah
  Negara vasal Sassaniyah

Justinianus vs. Khosrau I

Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi" pada 540 M, kemungkinan sebagai tanggapan akibat penaklukan ulang Romawi di banyak bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat, yang ikut dibantu dengan berhentinya perang di Timur. Khosrau I menginvasi dan meluluhlantakkan Suriah, merampas sejumlah besar uang dari kota-kota di Suriah dan Mesopotamia, dan secara sistematis menjarah kota-kota lainnya termasuk Antiokhia, yang penduduknya dikirim ke wilayah Persia.[61][62] Belisarius, dipanggil dari kampanye di Barat untuk menghadapi ancaman Persia, melancarkan kampanye terhadap Nisibis pada 541 M yang berakhir inkonklusif. Khosrau melancarkan serangan lainnya di Mesopotamia pada 542 M ketika dia berupaya menaklukkan Sergiopolis.[63][64] Dia mundur dengan cepat ketika menghadapi pasukan Romawi di bawah Belisarius, menjarah dan merusak kota Callinicum dalam perjalannya.[65][66] Serangan terhadap sejumlah kota Romawi berhasil dipukul mundur, dan pasukan Persia dikalahkan di Dara.[67][68] Pada 543 M, Romawi melancarkan serangan ke Dvin namun dikalahkan oleh sejumlah kecil pasukan Persia di Anglon. Khosrau mengepung Edessa pada 544 M namun gagal dan akhirnya disuap oleh pasukan bertahan.[69] Setelah penarikan mundur pasukan Persia, utusan dari Romawi datang ke Ktesiphon untuk melakukan perundingan.[70][71][72] Perjanjian damai selama lima disepakati pada 545 M, dan dijamin dengan pembayaran Romawi kepada Persia.[70][73]

 
Perbatasan timur Romawi Romawi–Persia pada saat kematian Justinianus pada tahun 565 M, dengan Lazika berada di tangan Romawi (Bizantium).

Pada awal 548 M, raja Gubazes dari Lazika mendapati bahwa negerinya ditindas oleh Persia. Dia pun meminta kaisar Justinianus untuk mengembalikan protektorat Romawi di sana. Justinianus mengambil kesempatan itu, dan pada 548–549 M pasukan gabungan Romawi dan Lazika berhasil meraih serangkaian kemenangan atas pasukan Persia, meskipun mereka gagal merebut garnisun kunci di Petra. Kota tersebut pada akhirnya diduduki pada 551 M, tetapi pada tahun yang sama, serangan Persia di bawah Mihr-Mihroe berhasil menduduki Lazika timur.[74] Gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya pada 545 SM kembali diperbaharui di dekat Lazika untuk lima tahun berikutnya dengan ketentuan bahwa Romawi harus memabayr 2,000 pon emas tiap tahun.[75] Di Lazika perang berlangsung inkonklusif selama beberapa tahun, dan kedua pihak tidak mampu memperoleh kesuksesan yang berarti.[76] Khosrau, yang kini harus berurusan dengan Suku Hun Putih, memperbaharui gencatan senjata pada 557 SM, kali ini tanpa meliputi Lazika; negosiasi berlangsung untuk perjanjian damai tanpa batasan yang jelas.[71][77] Pada akhirnya, pada 561 M, utusan Justinianus dan Khosrau menyepakati perdamaian selama lima puluh tahun. Persia sepakat untuk mengevakuasi Lazika sedangkan Romawi diharuskan membayar 30,000 nomismata (solidi) tiap tahun.[78] Kedua pihak juga sepakat untuk tidak membangun perbentengan baru di dekat perbatasan dan melonggarkan pembatasan dalam hal diplomasi dan perdagangan.[79]

Perang Kaukasus

Perang kembali pecah ketika Armenia dan Iberia memberontak terhadap pemerintahan Sassaniyah pada 571 M, menyusul bentrokan yang melibatkan proksi Romawi dan Persia di gurun Yaman dan Suriah, dan perundinagn Romawi untuk bersekutu dengan Suku Turk melawan Persia.[80] Justinus II menjadikan Armenia di bawah perlindungannya, sementara pasukan Romawi di bawah keponakan Justinus, Marcianus menggempur Arzanene dan menginvasi Mespotamia Persia, mereka mengalahkan pasukan lokal di sana.[81] Pemberhentian Marciaus yang mendadak serta kedatangan pasukan Persia di bawah Khosrau berujung pada penggempuran Suriah oleh Persia, serta gagalnya kepungan Romawi di Nisibis dan jatuhnya Dara ke tangan Persia.[82] Romawi bersedia membayar 45,000 solidi dan gencatan senjata selama satu tahun akhirnya disepakati di Mesopotamia (kemudian diperpanjang sampai lima tahun).[83][84] Akan tetapi di Kaukasus dan di perbatasan gurun lainnya peperangan terus berlanjut.[85][86] Pada 575 M, Khosrau I berupaya untuk menggabungkan agresi di Armenia dengan diskusi terkait perdamaian permanen. Dia menginvasi Anatolia dan menjarah Sebasteia, tetapi setelah bentrokan di dekat Melitene, pasukan Persia menderita kerugian yang besar ketika berusaha mundur menyeberangi Efrat di bawah serangan Romawi.[87][88]

 
Kekaisaran Sassaniyah dan negara-negara tetangganya (termasuk Kekaisaran Romawi Timur) pada tahun 600 M.

Romawi memanfaatkan kekacauan Persia, dan jenderal Justinianus menginvasi wilayah Persia dan menyerang Atropatene.[87] Khosrau awalnya meminta berdamai, tetapi mengabaikan inisiatif ini setelah Tamkhusro meraih kemenangan di Armenia, di sana tindakan Romawi tidak mendapat dukungan dari penduduk lokal.[89][90] Pada musim semi 578 M perang di Mesopotamia berlanjut dengan serangan Persia terhadap wilayah Romawi. Jenderal Romawi Mauricius membalas dengan menyerang Mesopotamia Persia, merebut benteng Aphumon, dan menjarah Singara. Khosrau sekali lagi meminta perundingan damai namun dia keburu meninggal pada 579 M dan penerusnya Hormizd IV lebih suka melajutkan peperangan.[91][92]

 
Perbatasan Romawi-Persia pada abad ke-4 dan ke-7 M.

Selama tahun 580-an M, perang berlanjut inkonklusif dengan kemenangan di kedua pihak. Pada 582 M, Mauricius memenangkan pertempuran di Konstantia atas Adarmahan dan Tamkhusro, yang terbunuh, tetapi jenderal Romawi itu tidak menindaklanjuti kemenangannya; dia harus cepat-cepat pergi ke Konstantinopel untuk mengejar ambisi menjadi penguasa Romawi.[92][93][94] Kemenangan Romawi lainnya dalam Pertempuran Solakhon pada 586 M juga tidak berhasil memecah kebuntuan.[95]

Persia merebut Martyropolis melalui pengkhianatan pada 589 M, tetapi tahun tersebut kebuntuan hancur ketika jenderal Persia Bahram Chobin, setelah dipecat dan dan dihina oleh Hormizd IV, bangkit memimpin pemberontakan. Hormizd digulingkan dalam sebuah kudeta di istana pada 590 M dan digantikan oleh putranya Khosrau II, tetapi Bahram tetap saja meneruskan pemberontakannya dan mengalahkan Khosrau, yang terpaksa harus menyelamatkan diri ke wilayah Romawi, sementara Bahram merebut takhta dengan gelar Bahram VI. Dengan dukungan dari Mauricius, Khosrau memimpin pemberontakan melawan Bahram, dan pada 591 M, pasukan gabungan Romawi dan Khosrau berhasil mengalahkan Bahram dan dengan demikian Khosrau dapat kembali bertakhta. Sebagai imbalan karena telah membantunya, Khosrau tidak hanya mengembalikan Dara dan Martyrooplis, tetapi dia juga menyerahkan paruh barat Iberia dan lebih dari setengah Armenia Persia kepada Romawi.[96][97][98]

Klimaks

Pada 602 M pasukan Romawi yang sedang melakukan kampanye militer di Balkan memberontak di bawah pimpinan Phocas, yang kemudian berhasil merebut takhta dan membunuh Mauricius beserta keluarganya. Khosrau II memanfaatkan pembunuhan itu sebagai pembenaran untuk dapat kembali menyerang Romawi.[99] Pada awal perang, Persia menikmati kesuksesan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dibantu oleh siasat Khosrau yang menggunakan seseorang yang berpura-pura sebagai putra Mauricius, juga oleh pemberontakan terhadap Phocas yang dipimpin oleh seorang jenderal Romawi, Narses.[100][101] Pada 603 M Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal Romawi, Germanus, di Mesopotamia dan kemudian mengepung Dara. Meskipun pasukan bantuan Romawi datang dari Eropa, Khosrau kembali memperoleh kemenangan lainnya pada 604 M, sementara Dara takluk setelah dikepung selama sembilan bulan. Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota-kota benteng di Mesopotamia takluk setelah dikepung oleh Persia.[102][103] Pada saat yang sama, Persia juga meraih kemenangan di Armenia dan secara sistematis menguasai garnisun Romawi di Kaukasus.[104]

 
Koin perak Romawi akhir yang bertuliskan kata-kata Deus adiuta Romanis.

Phocas digulingkan pada 610 M oleh Heraclius, yang berlayar ke Konstantinopel dari Karthago.[105] Pada saat yang sama Persia telah menyelesaikan penaklukan mereka di Mesopotamia dan Kaukasus, dan pada 611 M mereka menyerbu Suriah dan memasuki Anatolia, serta menduduki Caesarea.[106] Setelah mengusir Persia dari Anatolia pada 612 M, Heraclis melancarkan serangan balasan ke Suriah pada 613 M. Dia secara telak dikalahkan di dekat Antiokhia oleh Shahrbaraz dan Shahin dan dengan demikian posisi Romawi pun semakin rawan.[107] Selama beberapa dekade berikutnya, Persia berhasil menaklukkan Palestina dan Mesir,[108] serta meluluhlantakkan Anatolia.[109] Sementara itu, suku Avar dan bangsa Slav mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyerbu Balkan, yang pada gilirannya ikut menambah kehancuran pada Kekaisaran Romawi.[110]

Selama masa tersebut, Heraclius berusaha membangun kembali pasukan Romawi. Dia memotong pengeluaran nonmiliter yang tidak penting, mendevaluasi mata uang dan melebur lempeng gereja, dengan dukungan Patriark Sergius, untuk memperoleh dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan peperangan.[111] Pada 622 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel, memercayakan kota kepada Sergius dan jenderal Bonus sebagai wali anaknya. Dia menghimpun pasukannya di Asia Kecil dan, setelah melakukan latihan untuk meningkatkan moral mereka, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri perang suci.[112][113] Di Kaukasus dia mengalahkan pasukan Arab sekutu Persia, dan kemudian meraih kemenangan atas Persia di bawah Shahrbaraz.[114][115] Menyusul masa tenang pada 623 M, ketika Heraclius merundingkan kesepakatan damai dengan suku Avar, dia melanjutkan kampanyenya di Timur pada 624 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene.[116][117] Pada 625 M, dia mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam sebuah serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam bilet musim dingin mereka.[118][119] Didukung oleh pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, suku Avar dan Slav mencoba mengepung Konstantinopel pada 626 namun gagal,[120][121] sementara pasukan Persia kedua di bawah Shahin kembali menderita kekalahan di tangan saudara Heraclius, Theodore.[122][123]

 
Ilustrasi pembunuhan Khosrau II dalam sebuah manuskrip Mughal dari sekitar tahun 1535. Sajak Persianya berasal dari Shahnameh karya Ferdowsi.

Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku Turk, yang mengambil keuntungan ketika kekuatan Persia melemah. Suku Turk memorak-perandakan wilayah Persia di Kaukasus.[124] Pada akhir 627 M, Heraclius melancarkan serangan musim dingin ke Mesopotamia, di sana, meskipun kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraclius tetap dapat mengalahkan Persia dalam Pertempuran Nineweh. Dia terus bergerak ke selatan di sepanjang Tigris dan menjarah istana agung Khosrau di Dastagird. Dia sebenarnya hendak menyerang Ktesiphon juga namun gagal karena jembatan di Kanal Nahrawan dihancurkan. Karena terus mengalami kekalahan, Khosrau digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta oleh putranya sendiri Kavadh II, yang langsung saja meminta perdamaian. Supaya dapat berdamai, Kavadh bersedia menarik pasukan Persia dari semua wilayah yang sebelumnya mereka rebut.[125][126] Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah pada 629.[127][128][129]

Akibat

Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah efek kumulatif dari konflik seabad yang hampir tanpa henti, membuat kedua kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika Kavadh II meninggal hanya beberapa bulan setelah naik takhta, Persia dilanda kekacauan dinasti dan perang saudara selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya penurunan dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kampanye Khosrau II, kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan tanah provinsi.[130] Kekaisaran Romawi juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras oleh perang, dan Balkan kini sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav.[131] Selain itu, Anatolia juga porak-poranda akibat invasi berulang oleh Persia; kekuasaan Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di Kaukasus, Suriah, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia selama bertahun-tahun.[132]

Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, karena hanya beberapa tahun kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut Howard-Johnston, serbuan orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami manusia".[133][134] Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium dan Persia telah memberi jalan bagi Islam".[135] Kekaisaran Sassaniyah dengan cepat menyerah terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar takluk. Selama Perang Bizantium–Arab, wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerah-daerah dan pulau-pulau yang terpencar-pencar di Balkan dan Italia.[136] Wilayah Romawi yang tersisa itu juga terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi, tidak seperti Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium) berhasil bertahan dari gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa wilayahnya dan dua kali secara telak berhasil memukul mundur pengepungan Arab atas ibu kotanya, yaitu pada 674–678 M dan 717–718 M.[137][138] Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil kembali oleh Romawi.

Strategi dan siasat militer

Garis waktu Perang Romawi-Persia
Perang Romawi–Parthia
69 SM Kontak pertama Romawi-Parthia, ketika Lucullus menginasi Armenia Selatan.
66–65 SM Pertikaian antara Pompeius dan Phraates III terkait perbatasan Efrat.
53 SM Romawi dikalahkan pada Pertempuran Carrhae
42–37 SM Sebuah invasi besar Parthia terhadap Suriah dan wilayah Romawi lainnya dengan telak dikalahkan oleh Markus Antonius dan Ventidius
36–33 SM Kampanye Markus Antonius melawan Persia yang berakhir dengan kegagalan. Kampanye berikutnya di Armenia berhasil, tetapi diikuti dengan penarikan mundur pasukan - seluruh wilayah direbut oleh Parthia.
20 SM Gencatan senjata dengan Parthia oleh Augustus dan Tiberius — Pengembalian wilayah yang direbut pada Pertempuran Carrhae.
36 M Dikalahkan oleh Romawi, Artabanus II melepaskan klaimnya atas Armenia.
58–63 M Invasi Romawi ke Armenia — kesepakatan dengan Parthia terkait raja Armenia.
114–117 M Kampanye utama Trajanus melawan Parthia — penaklukan Trajanus kemudian diabaikan oleh Hadrianus.
161–165 M Perang memperebutkan Armenia (161–163 M) berakhir dengan kemenangan Romawi setelah pada awalnya Parthia mengalami kesuksesan.
Avidius Cassius menjarah Ktesiphon pada 165 M.
195–197 M Sebuah serangan di bawah kaisar Septimius Severus membuat Romawi menguasai Mesopotamia utara,
216–217 M Caracalla melancarkan perang baru melawan Parthia - Penerusnya Macrinus dikalahkan oleh Parthia dalam Pertempuran Nisibis.
Perang Romawi–Sassaniyah
230–232 M Ardashir I menggempur Mesopotamia dan Suriah, namun dipukul mundur oleh Alexander Severus.
238–244 M Invasi Ardashir ke Mesopotamia, dan kekalahan Persia pada Pertempuran Resaena.
Gordianus III bergerak di sepanjang Efrat namun dihalau di dekat Ctesiphon dalam Pertempuran Misiche pada 244 M.
253 M Romawi dikalahkan pada Pertempuran Barbalissos.
sek. 258–260 M Shapur I mengalahkan dan menangkap kaisar Romawi, Valerianus I, pada Pertempuran Edessa.
283 M Carus menjarah Ktesiphon.
296–298 M Romawi dikalahkan di Carrhae pada 296 atau 297 M.
Pada 298 M Galerius mengalahkan Persia.
363 M Setelah kemenangan awal pada Pertempuran Ktesiphon, Julianus terbunuh pada Pertempuran Samarra.
384 M Shapur III dan Theodosius I membagi Armenia menjadi dua negara.
421–422 M Tanggapan Romawi atas penyiksaan yang dilakukan oleh Bahram terhadap orang Kristen Persia.
440 M Yazdegerd II menggempur Armenia Romawi.
502–506 M Perang Anastasius: konflik ini pecah ketika Anastasius I menolak memberi dukungan keuangan kepada Persia, dan berakhir dengan gencatan senjata untuk jangka waktu 7 tahun.
526–532 M Perang Iberian: kemenangan Romawi di Dara dan Satala, serta kekalahan di Callinicum — perang berakhir dengan "Kesepakatan Perdamaian Abadi".
540–561 M Perang Lazika: konflik ini pecah ketika Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi" dan menginvasi Suriah - perang berakhir pada 561 M dengan disepakatinya gencatan senjata untuk tempo 50 tahun, sementara Romawi memperoleh Lazika.
572–591 M Perang Kaukasus: konflik ini pecah ketika bansga Armenia memberontak terhadap kekuasaan Sassaniyah.
Pada 589 M, jenderal Persia, Bahram Chobin, memimpin pemberontakan melawan Hormizd IV.
Dikembalikannya Khosrau II, putra Hormizd, ke tahta Persia oleh Romawi dan pasukan Persia — Romawi kembali menguasai Mesopotamia utara (Dara, Martyropolis) dan memperluasnya sampai ke Iberia dan Armenia.
602 M Setelah kaisar Mauricius dibunuh, Khosrau II menaklukan Mesopotamia.
611–623 M Persia menaklukan Suriah, Palestina, Mesir, Rhodos, dan memasuki Anatolia.
626 M Persia dan suku Avar mengepung Konstantinopel namun gagal.
627 M Persia dikalahkan pada Pertempuran Nineveh.
629 M Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem, setelah Persias bersedia menarik pasukan dari seluruh wilayah yang direbutnya.
Atas: Prajurit legiuner Romawi abad ke-2 M.
Bawah: Prajurit katafrakt Sassaniyah

Ketika Kekaisaran Romawi dan Parthia bentrok untuk pertama kali, tampak bahwa Parthia memiliki potensi untuk mendorong garis depannya sampai ke Aigea dan Mediterania. Namun, di bawah Pacorus dan Labienus, Romawi menghalau invasi besar terhadap Suriah dan secara perlahan-lahan mampu mengambil keuntungan dari lemahnya sistem militer Parthia, yang, menurut George Rawlinson, sesuai untuk pertahanan nasional namun kurang cocok untuk penaklukan. Romawi, di lain pihak, terus-menerus memodifikasi dan memperbaharui "siasat utama" mereka sejak masa Trajanus, dan pada akhirnya Pacorus dapat melancarkan serangan terhadap Parthia.[139][140] Seperti halnya Sassaniyah pada akhir abad ke-3 dan ke-4 M, Parthia secara umum menghindari pertahanan berkelanjutan atas Mesopotamia dalam menghadapi Roamwi. Akan tetapi, dataran tinggi Iran tidak pernah berhasil ditaklukkan oleh Romawi. Ini disebabkan ekspedisi Romawi selalu sudah mengalami kelelahan ketika mencapai Mesopotamia hilir, dan jalur komunikasi mereka yang sangat panjang melalui wilayah yang tidak cukup bersahabat menjadikan pasukan Romawi rawan terhadap adanya pemberontakan dan serangan balik.[141]

Sejak abad ke-4 M, Sassaniyah Persia tumbuh kuat dan mengambil alih peran sebagai agresor. Mereka merasa bahwa banyak daerah yang diperoleh Romawi pada masa Parthia dan masa awal Sassaniyah sebenarnya merupakan wilayah milik Persia.[142] Everett Wheeler berpendapat bahwa "Sassaniyah, secara administratif lebih terpusat daripada Parthia, secara formal mengatur pertahanan wilayah mereka, meskipun mereka kekurangan pasukan tempur sampai masa Khosrau I".[141] Secara umum, Romawi mengakui bahwa Sassaniyah merupakan ancaman yang lebih serius daripada Parthia, sementara Sassaniyah menganggap Kekaisaran Romawi sebagai musuh terkuat.[143][144]

Secara militer, seperti halnya Parthia, Sassaniyah amat sangat tergantung pada pemanah berkuda ringan dan katafrakt, kavaleri berbaju zirah berat yang disediakan oleh aristokrasi. Mereka menambahkan kontingen gajah perang yang didapat dari Lembah Sungai Indus, tetapi kualitas infantri mereka kalah bagus jika dibandingkan dengan prajurit Romawi.[145] Kavaleri berat Persia menimbulkan beberapa kekalahan terhadap prajurit pejalan kaki Romawi, termasuk terhadap pasukan pimpinan Crassus pada 53 SM,[146] Markus Antonius pada 36 SM, dan Valerianus pada 260 M. Kebutuhan untuk mengatasi ancaman ini berujung pada diperkenalkannya cataphractarii ke dalam pasukan Romawi;[147][148] akibatnya, kavaleri berbaju zirah berat menjadi semakin penting baik bagi pasukan Romawi maupun Persia setelah abad ke-3 M, dan sampai akhir perang.[142] Romawi telah meraih dan mempertahankan kecanggihan tingkat tinggi dalam hal peperangan kepung, dan telah mengembangkan berbagai macam mesin kepung. Di lain pihak, Parthia kurang ahli dalam mengepung; pasukan kavaleri mereka lebih cocok untuk siasat serang dan kabur yang mampu menghancurkan kereta kepung Antonius pada 36 SM. Situasi ini berubah dengan bangkitnya Sassaniyah. Dengan berdirinya Sassaniyah, Romawi kini berhadapan dengan musuh yang memiliki kemampuan yang setara dalam hal kepung-mengepung. Sassaniyah mampu memanfaatkan artileri, mesin-mesin yang dirampas dari Romawi, tanggul, dan menara kepung.[149][150]

Menjelang akhir abad ke-1 M, Romawi mengatur ulang perlindungan perbatasan timurnya dengan suatu garis perbentengan, yaitu sistem limes, yang bertahan sampai datangnya penaklukan Muslim pada abad ke-7 M setelah perbaikan oleh Diocletianus.[151][152] Seperti halnya Romawi, Sassaniyah juga membangun dinding pertahanan yang menghadap ke wilayah musuh mereka. Menurut R. N. Frye, pada masa pemerintahan Shapur II, sistem Persia dikembangkan, kemungkinan meniru Diocletianus yang membangun limes di perbatasan Suriah dan Mesopotamia di Kekaisaran Romawi. Unit perbatasan Romawi dikenal sebagai limitanei, dan mereka berhadapan dengan Lakhmid di Irak, yang sering membantu Persia menyerang Romawi. Shapur menginginkan adanya kekuatan pertahanan permanen melawan suku-suku Arab lainnya di gurun, khususnya suku-suku yang bersekutu dengan Romawi. Shapur juga membangun garis perbentengan di barat yang meniru sistem limes Romawi, yang membuat orang-orang Sassaniyah terkesan.[153][154]

Pada masa awal kekuasaan Sassaniyah, sejumah negara oenyangga ada antara kedua kekaisaran. Seiring waktu, negara-negara penyangga itu dikuasai oleh kedua kekaisaran, dan pada abad ke-7 M negara penyangga terakhir, Lakhmid Arab Al-Hirah, dikuasai oleh Kekaisaran Sassaniyah. Frye mengamati bahwa pada abad ke-3 M negara klien semacam itu memainkan peranan penting dalam hubungan Romawi–Sassaniyah, tetapi kedua kekaisaran secara berangsur-angsur mengganti negara macam itu dengan sistem pertahanan yang terorganisir yang diatur oleh pemerintah pusat, dan didasarkan pada limes serta kota-kota berbenteng di perbatasan, misalnya Dara.[153] Studi dan penelitian terkni yang membandingkan Sassaniyah dan Parthia menunjukkan bahwa Sassaniyah memang lebih unggul dalam teknik pengepungan serta organisasi dan rekayasa militer,[154][155] selain juga kemampuan untuk membangun pertahanan.[156]

Tanggapan

Perang Romawi–Persia disebut sebagai konflik yang "sia-sia" dan terlalu "menekan dan melelahkan untuk dipikirkan".[157] Secara profetis, Kassios Dio mengamati "siklus konfrontasi bersenjata tanpa akhir" ini dan berpendapat bahwa "telah diperlihatkan sendiri oleh fakta-fakta bahwa penaklukan [Severus] merupakan sumber perang dan pengeluaran yang besar dan konstan bagi kita. Karena konflik ini hanya menghasilkan sedikit dan menyedot sejumlah banyak; dan kini kita telah mencapai bangsa-bangsa yang merupakan tetangga orang Medes dan Parthia bukannya tetangga kita sendiri, kita selalu, jika boleh dibilang, melakukan pertempuran yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang itu."[158][159] Dalam rangkaian panjang perang antara dua kekuatan besar itu, garis depan di Mesopotamia hulu cenderung tidak berubah. Para sejarawan mengamati bahwa kestabilan garis depan selama berabad-abad itu luar biasa, meskipun Nisibis, Singara, Dara dan kota-kota lainnya di Mesopotamia hulu berpindah tangan seiring waktu, dan kepemilikian kota-kota perbatasan ini membuat kekaisaran yang memilikinya memperoleh keuntungan dalam hal perdagangan atas musuhnya. Seperti yang Frye sebutkan:[153]

Orang akan merasa bahwa darah yang ditumpahkan dalam peperangan antara dua negara itu hanya memberikan sedikit hasil bagi satu pihak ataupun pihak lainnya seperti beberapa meter tanah yang diperoleh dengan pengorbanan yang mahal dalam peperangan parit pada Perang Dunia Pertama.

"Bagaimana mungkin itu menjadi sesuatu yang baik ketika menyerahkan kepemilikan yang terbaik kepada orang asing, orang barbar, pimpinan musuh, orang yang iman dan keadilannya belum teruji, dan terlebih lagi, orang yang menganut iman yang asing dan kafir?"
Agathias (Sejarah, 4.26.6, diterjemahkan oleh Averil Cameron) tentang orang Persia, penilaian tipikal menurut pandangan Romawi.[160]

Kedua belah pihak berupaya untuk membenarkan tujuan militer mereka dengan cara yang aktif dan reaktif. Cita-cita Romawi untuk menguasai dunia ditambah dengan dengan rasa kebanggaan dalam peradaban barat, serta diperkuat dengana danya ambisi untuk menjadi penjaga perdamaian dan keteraturan. Sumber-sumber dari Romawi memperlihatkan prasangka lama berkaitan dengan adat, struktur agama, bahasa, dan bentuk pemerintahan negara-negara di Timur. John F. Haldon menggarisbawahi bahwa "meskipun konflik antara Persia dan Romawi Timur berkutat di sekitar isu mengenai kendali strategis di sekitar perbatasan timur, tetapi selalu ada unsur ideologi dan agama yang muncul". Sejak masa Konstantinus, kaisar Romawi mengangkat diri mereka sendiri sebagai pelindung orang-orang Kristen di Persia.[161] Sikap ini menciptakan kecurigaan yang besar terhadap kesetiaan orang Kristen yang tinggal di Iran Sassaniyah, dan sering kali berujung pada ketegangan Romawi–Persia atau bahkan konfrontasi militer.[162][163] Satu ciri dari fase final konflik ini, ketika apa yang telah dimulai pada 611–612 M sebagai perang penyergapan dengan segera berubah menjadi perang penaklukan, adalah penggunaan Salib sebagai simbol kejayaan imperial, dan juga unsur keagamaan yang kuat dalam propaganda imperial Romaw; Heraclius menegcam Khosrau sebagai musuh Tuhan, dan para penulis pada abad ke-6 dan ke-7 M sangat memusuhi Persia.[164][165] Trradisi pemikiran bersejarah "pro-Romawi" ini bertahan selama berabad-abad, dan baru pada zaman sekarang para sejarawan mengadopsi pendekatan yang lebih luas, dan berusaha untuk memperjelas posisi Persia yang kurang diketahui.[166]

Historiografi

 
Pelecehan yang dilakukan terhadap kaisar Romawi, Valerianus, oleh raja Parthia, Shapur, (Hans Holbein the Younger, 1521, pena dan tinta hitam pada sketsa kapur, Kunstmuseum Basel)

Sumber untuk sejarah Parthia dan perang melawan Romawi hanya ada sedikit dan tidak lengkap. Bangsa Parthia mengikuti tradisi Akhemenyah dan lebih menyukai historiografi lisan. Akibatnya, ketika bangsa Persia ditaklukkan, sejarah mereka banyak yang hilang. Dengan demikian sumber utama untuk periode ini berasal dari sejarawan Romawi (Tacitus, Marius Maximus, dan Justiusn) dan Yunani (Herodianosos, Kassios Dio dan Plutarkhos). Buku ketiga belas Orakel Sibyl menceritakan pengaruh Perang Romawi–Persia di Suriah sejak masa pemerintahan Gordianus III sampai dominasi provinsi oleh Odaenathus dari Palmyra. Dengan berakhirnya catatan Herodianosos, semua naratif kronologis kontemporer mengenai sejarah Romawi pun hilang, sampai munculnya naratif karya Lactantius dan Eusebius pada awal abad ke-4 M, keduanya dari sudut pandang Kristen.[167][168]

Sumber utama untuk periode Sassaniyah awal tidaklah sezaman. Di antaranya yang paling penting adalah orang Agathias dan Malalas dari Yunani, Tabari dan Ferdowsi dari Persia, Agathangelos dari Armenia, dan Kronik Suryani tentang Edessa dan Arbela, sebagian besar dari mereka bersumber pada sumber-sumber Sasaniyah akhir, khususnya Khwaday-Namag. Sejarah Augustus tidak sezaman dan tidak tepercaya, tetapi itu merupakan sumber naratif utama bagi Severus dan Carus. Inskripsi tiga bahasa (Yunani, Parthia, dan Persia Pertangahan) Shapur merupakan sumber primer.[169][170] Akan tetapi semua itu merupakan upaya terisolasi dalam mendekati historiografi tulisan dan tidak menjelaskan banyak hal mengenai sejarah Persia, bhkan ada akhir abad ke-4 M, praktik mengukir relief batu dan menuliskan inskripsi pendek telah ditinggalkan oleh orang Sassaniyah.[170]

Untuk periode antara 353 dan 378 M, ada sumber saksi mata mengenai peristiwa utama di perbatasan timur dalam Res Gestae karya Ammianus Marcellinus. Untuk peristiwa-peristiwa selama periode antara abad ke-4 dan ke-6 M, karya-karya Sozomenus, Zosimus, Priscus, dan Zonaras adalah sangat bernilai.[171] Sumber tunggal paling penting untuk perang Persia Justinianus sampai tahun 533 M adalah Procopius. Penerusnya Agathias dan Menander Protector juga memberikan banyak rincian penting. Theophylact Simocatta adalah sumber utama untuk masa pemerintahan Mauricius,[172] sedangkan Theophanes, Chronicon Paschale dan puisi-puisi karya George dari Pisidia adalah sumber yang berguna untuk masa akhir perang Romawi–Persia. Selain sumber Bizantium, dua sejarawan Armenia, Sebeos dan Movses, ikut berkontibusi dalam menceritakan naratif perang Heraclius dan oleh Howard-Johnston disebut sebagai "sumber non-Muslim terpenting yang masih tersisa".[173]

Catatan kaki

  1. ^ Howard-Johnston (2006), 1
  2. ^ a b Ball (2000), 12–13
  3. ^ Dignas–Winter (2007), 9 (PDF)
  4. ^ Herodianos, Sejarah Romawi, VI, 2.1–6
  5. ^ Kassios Dio, Sejarah Romawi, LXXX, 4.1–2
  6. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 16
  7. ^ Herodianos, Sejarah Romawi, VI, 5.1–6
  8. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 24–28
  9. ^ Frye (1993), 124
  10. ^ Frye (1993), 124–125
  11. ^ Southern (2001), 234–235
  12. ^ a b c Frye (1993), 125
  13. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 27.7–8
  14. ^ Orakel Sybil, XIII, 13–20
  15. ^ Southern (2001), 235
  16. ^ Southern (2001), 235–236
  17. ^ Lactantius, De Mortibus Persecutorum, 5
  18. ^ Orakel Sybil, XIII, 155–171
  19. ^ Frye (1993), 126
  20. ^ Southern (2001), 238
  21. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 38.2–4
  22. ^ Eutropius, Abridgment of Roman History, IX, 18.1
  23. ^ Frye (1993), 128
  24. ^ Southern (2001), 241
  25. ^ a b Frye (1993), 130
  26. ^ Southern (2001), 242
  27. ^ Aurelius Victor, Liber de Caesaribus, 39.33–36
  28. ^ Eutropius, Ikhtiar Sejarah Romawi, IX, 24–25.1
  29. ^ Frye (1993), 130–131
  30. ^ Southern (2001), 243
  31. ^ Frye (1993), 137
  32. ^ Frye (1993), 138
  33. ^ Bury (1923), XIV.1
  34. ^ Frye (1993), 145
  35. ^ Greatrex-Lieu (2002), II, 37–51
  36. ^ Procopius, Perang, I.7.1–2
  37. ^ Greatrex&ndash
  38. ^ Lieu (2002), II, 62
  39. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XLIII
  40. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 62
  41. ^ Zacharias Rhetor, Historia Ecclesiastica, VII, 3–4
  42. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 63
  43. ^ Greatrex–Lieu (2002), I I, 69–71
  44. ^ Procopius, Wars, I.9.24
  45. ^ a b Greatrex–Lieu (2002), II, 77
  46. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XC
  47. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 74
  48. ^ Joshua the Stylite, Chronicle, XCIII–XCIV
  49. ^ Procopius, Perang, I.11.23–30
  50. ^ Greatrex (2005), 487
  51. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 81–82
  52. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 82
  53. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 84
  54. ^ Zacharias Rhetor, Historia Ecclesiastica, IX, 2
  55. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 83, 86
  56. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 85
  57. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 92–96
  58. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 93
  59. ^ Evans (2000), 118
  60. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 96–97
  61. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 102
  62. ^ H. Börm, "Der Perserkönig im Imperium Romanum", Chiron 36 (2006), 299ff.
  63. ^ Procopius, Perang, II.20.17–19
  64. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 109–110
  65. ^ Procopius, Perang, II.21.30–32
  66. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 110
  67. ^ Corripus, Johannidos, I.68–98
  68. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 111
  69. ^ Greatrex-Lieu (2002), II, 113
  70. ^ a b Procopius, Perang, 28.7–11
  71. ^ a b Greatrex (2005), 489
  72. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 113
  73. ^ Evans, Justinian (527–565 AD); Greatrex–Lieu (2002), II, 113
  74. ^ Treadgold (1997), 204–207
  75. ^ Treadgold (1997), 209
  76. ^ Farrokh (2007), 236
  77. ^ Treadgold (1997), 211
  78. ^ Menander Protector, History, frag. 6.1. Menurut Greatrex (2005), 489, bagi banyak orang Romawi kesepakatan ini "tampak berbahaya dan menunjukkan kelehaman".
  79. ^ Evans, Justinian (527–565 AD)
  80. ^ John of Epiphania, History, 2 AncientSites.com gives an additional reason for the outbreak of the war: "[The Medians'] contentiousness increased even further ... when Justin did not deem to pay the Medians the five hundred pounds of gold each year previously agreed to under the peace treaties and let the Roman State remain forever a tributary of the Persians." See also, Greatrex (2005), 503–504
  81. ^ Treadgold (1997), 222
  82. ^ The great bastion of the Roman frontier was in Persian hands for the first time (Whitby [2000], 92–94).
  83. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 152
  84. ^ Louth (2005), 113
  85. ^ Theophanes, Chronicle, 246.11–27
  86. ^ Whitby (2000), 92–94
  87. ^ a b Theophylact, History, I, 9.4 Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF)
    Treadgold (1997), 224
  88. ^ Whitby (2000), 95
  89. ^ Treadgold (1997), 224
  90. ^ Whitby (2000), 95–96
  91. ^ Soward, Theophylact Simocatta and the Persians Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF); Treadgold (1997), 225;
  92. ^ a b Whitby (2000), 96
  93. ^ Soward, Theophylact Simocatta and the Persians Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF)
  94. ^ Treadgold (1997), 226
  95. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 168-169
  96. ^ Theophylact, V, Sejarah, I, 3.11 Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF) and 15.1 Diarsipkan 2010-06-12 di Wayback Machine. (PDF)
  97. ^ Louth (2005), 115
  98. ^ Treadgold (1997), 231–232
  99. ^ Foss (1975), 722
  100. ^ Theophanes, Kronik, 290–293
  101. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 183–184
  102. ^ Theophanes, Kronik, 292–293
  103. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 185–186
  104. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 186–187
  105. ^ Haldon (1997), 41; Speck (1984), 178.
  106. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 188–189
  107. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 189–190
  108. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 190–193, 196
  109. ^ The mint of Nicomedia ceased operating in 613, and Rhodes fell to the invaders in 622–623 (Greatrex-Lieu (2002), II, 193–197).
  110. ^ Howard-Johnston (2006), 85
  111. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 196
  112. ^ Theophanes, Kronik, 303–304, 307
  113. ^ Cameron (1979), 23; Grabar (1984), 37
  114. ^ Theophanes, Chronicle, 304.25–306.7
  115. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 199
  116. ^ Theophanes, Kronik, 306–308
  117. ^ reatrex–Lieu (2002), II, 199–202
  118. ^ Theophanes, Kronik, 308–31
  119. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 202–205
  120. ^ Theophanes, Chronicle, 316
  121. ^ Cameron (1979), 5–6, 20–22
  122. ^ Theophanes, Kronik, 315–316
  123. ^ Farrokh–McBride (2005), 56
  124. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 209–212
  125. ^ Theophanes, Kronik, 317–327
  126. ^ Greatrex–Lieu (2002), II, 217–227
  127. ^ Haldon (1997), 46
  128. ^ Baynes (1912), passim
  129. ^ Speck (1984), 178
  130. ^ Howard-Johnston (2006), 9: "[Heraclius'] victories in the field over the following years and its political repercussions ... saved the main bastion of Christianity in the Near East and gravely weakened its old Zoroastrian rival."
  131. ^ Haldon (1997), 43–45, 66, 71, 114–15
  132. ^ Ambivalence toward Byzantine rule on the part of miaphysites may have lessened local resistance to the Arab expansion (Haldon [1997], 49–50).
  133. ^ Foss (1975), 746–47
  134. ^ Howard-Johnston (2006), xv
  135. ^ Liska (1998), 170
  136. ^ Haldon (1997), 49–50
  137. ^ Haldon (1997), 61–62
  138. ^ Howard-Johnston (2006), 9
  139. ^ Rawlinson (2007), 199: "The Parthian military system had not the elasticity of the Romans ... However loose and seemingly flexible, it was rigid in its uniformity; it never altered; it remained under the thirtieth Arsaces such as it had been under the first, improved in details perhaps, but essentially the same system."
  140. ^ Michael Whitby (2000), 310, "the eastern armies preserved the Roman military reputation through to the end of the 6th century by capitalizing on available resources and showing a capacity to adapt to a variety of challenges".
  141. ^ a b Wheeler (2007), 259
  142. ^ a b Frye (2005), 473
  143. ^ Greatrex (2005), 478
  144. ^ Frye (2005), 472
  145. ^ Cornuelle, An Overview of the Sassanian Persian Military Diarsipkan 2008-06-30 di Archive.is; Sidnell (2006), 273
  146. ^ According to Reno E. Gabba, the Roman army was reorganized over time after the impact of the Battle of Carrhae (Gabba [1966], 51–73).
  147. ^ Vegetius, III, Epitoma Rei Militaris, 26
  148. ^ Verbruggen–Willard–Southern (1997), 4–5
  149. ^ Campbell–Hook (2005), 57–59
  150. ^ Gabba (1966), 51–73
  151. ^ Shahîd (1984), 24–25
  152. ^ Wagstaff (1985), 123–125
  153. ^ a b c Frye (1993), 139
  154. ^ a b Levi (1994), 192
  155. ^ Excavations In Iran Unravel Mystery Of "Red Snake", Science Daily
  156. ^ Rekavandi–Sauer–Wilkinson–Nokandeh, The Enigma of the Red Snake
  157. ^ Brazier (2001), 42
  158. ^ Kassios Dio, Sejarah Romawi, LXXV, 3.2–3
  159. ^ Garnsey–Saller (1987), 8
  160. ^ Greatrex (2005), 477–478
  161. ^ Barnes (1985), 126
  162. ^ Sozomen, Ecclesiastical History, II, 15
  163. ^ McDonough (2006), 73
  164. ^ Haldon (1999), 20
  165. ^ Isaak (1998), 441
  166. ^ Dignas–Winter (2007), 1–3(PDF)
  167. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 5
  168. ^ Potter (2004), 232–233
  169. ^ Frye (2005), 461–463
  170. ^ a b Shahbazi, Historiography
  171. ^ Dodgeon–Greatrex–Lieu (2002), I, 7
  172. ^ Boyd (1999), 160
  173. ^ Howard-Johnston (2006), 42–43

Referensi

Sumber primer

Sumber sekunder

Bacaan lanjutan

Pranala luar