Dua dimensi manusia
“Tubuh memiliki suatu kedekatan dengan jiwa, karena dia adalah tempat yang ke dalamnya ruh dan intelek ditiupkan; dan intelek adalah wujud pertama yang diciptakan oleh Yang Nyata”
Ibnu Arabi
Jika tubuh adalah kendaraan (markab), ruh sang pengendaranya (rakib), dan akhirat adalah terminal akhir perjalanan. Lantas perbuatan terbaik apakah yang bisa diberi untuk tubuh? Yang mampu menciptakan kedekatan dengan ruh melalui ibadah dan khidmat kepada Allah. Hal ini merupakan tahapan pertama dari kebahagiaan umat manusia dan pemenuhan akan hikmah penciptaan. Sebagai makhluk Allah, manusia memiliki dua dimensi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, baik keberadaan dan fingsinnya. Dimensi pertama, fisik yang dapat diraba dan dirasakan panca indera. Kedua, dimensi merafisik, yakni jiwa atau ruh atau akal (aql, rohani).
Keterpautan jiwa pada tubuh terkait eksistensi dan individuasinya (tasyakhhus) bersifat sementara dan bukan urutan subsistem. Pada tahapan perwujudan awalnya, dan sekaitan dengan asal-usul temporal, jiwa tergantung pada materi, dalam urutan selanjutnya, melampaui semua ketergantungan tersebut.
Pada awalnya jiwa kosong dari setiap kesempurnaan dan bentuk, baik (bentuk) kendrinya ataupun intelektual. Dia mencapai suatu titik di mana dia bisa melepaskan setiap bentuk – partikultural maupun universal – dari materi dan mempersepsinya atau melihat dalam dirinya sendiri.
Selanjutnya jiwa pada permulaannya suatu wujud potensial, kosong dari kesempurnaan; suatu nonentitas yang halus; menanggung kesamaan penting dengan tubuh. Dalam madah lain, dia adalah tahapan ragawi terakhir dan tahapan spiritual awal, yang di titik itu bukanlah tubuh murni ataupun ruh murni. Alih-alih dia merupakan kesempurnaan ragawi dan potensialitas spiritual. Pada tahap akhir dia sampai pada keterlepasan murni (tajarrud al-mahd) dari materi dan kebebasan dari tubuh.
Setiap perbuatan ragawi seperti melihat atu mendengar dengan telinga sesungguhnya perbuatan jiwa. Agen sebenarnya dari perbuatan tersebut adalah jiwa. Jiwalah yang sesungguhnya menjadi pendengar dan pelihat (juga wujud yang berbeda dari itu) yang menggunakan fakultas-fakultas persepsi.
Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy dengan bahasa yang berbeda menjelakan, manusia sebagai kesatuan eksistensi fisik dan non-fisik. Jika dipisahkan akan terdiri dari dua hal: akal yang dapat mengetahui sesuatu dan perasaan yang merupakn tempat bersemayamnya rasa cinta atau benci terhaddap sesuatu. Konsensus para pakar menyatakan, akal manusia yang dapat mengetahui sesuatu itu berada di otak, sedangkan perasaannya ada dalam hati.
Segala hal yang terkait dengan kepekaan, pengetahuan, dan perasaan berada dalam ruh. Sebagian kita ketahui sebagai salah satu rahasia Allah Swt. Ruh masuk dan mengalir ke sela-sela tubuh sehingga lahirlah kepekaan, masuk dan mengalir ke otak, lahirlah pengetahuan, masuk dan mengalir ke hati lahirlah perasaan yang dapat memberikan motivasi, penolakan, dan pengagungan, yaitu cinta, kebencian, dan kekaguman.
Jadi menurut Al-Buthy, kita dapat mengetahui bahwa ruh manusialah yang senantiasa mengendalikan ilmu pengetahuan. Ruh manusialah yang memberikan manusia hakikat kepekaan, perasaan cinta, benci, dan penghormatan. Jika tak ada ruh, tak ada yang tersisa dari diri manusai, kecuali daging, darah, dan tulang. Jadi, akal lahir dari hakikat yang bersifat materi, perasaan lahir dari kebutuhan materi yang yang terakumulasi dalam diri manusia, dan kepekaan tidak lain hanyalah anugerah kehidupan. Sementara itu, kehidupan lahir dari gerakan dan kehangatan, dari berbagai unsur seperti karbon, ozon, dan oksigen.
Dalam Al-Qur’an kata ruh disebut pada QS. Al Hijr: 29. “Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku”. Ini berarti derajat jiwa lebih tinggi dari tubuh, lebih rendah ketimbang intelek. Jiwa adalah medan bagi penumbuhan ruh. Dan benih yang Allah – dengan sarana ruh – telah tanam di ladang jiwa bersemi lebih dari (sekedar) imajinasi-imajinasi, hasrat-hasrat, dan hal-hal lainnya. Dengan demikian, semua sains, pemikiran, dan perbuatan dicapai melalui bibit yang ditanam dan ditumbuhkan Allah melalui ruh ke dalam jiwa dan tubuh. Inilah bagaimana jiwa mempunyai suatu aspek yang naik menuju alam yang lebih tinggi dan suatu aspek yang turun menuju alam yang lebih rendah.
Perbuatan terbaik ruh adalah menyatu dengan Yang Hakiki dan melepaskan diri dari selain-Nya. Dampak dari sikap memelihara perilaku menyatu dengan Yang Hakiki, ruh akan berada dalam suatu tahapan keterbatasan dan keterlepasan dari ikatan-ikatan (material). Di saat itu cahaya wilayah gaib menjelma.
Ruh pulalah yang menembus bagian-bagian tubuh dan syaraf-syaraf otak. Dia lebih lembut (latif) keberadaannya, lebih dekat aktualisasinya (fi’liyyat), lebih jauh dari kepasifan (infi’al) dan dari dipengaruhi (oleh elemen-elemen eksternal), dan sebaliknya. Dia lebih kuat (katsif), lebih dekat pada potensi (quwwah) dan lebih pasif.
Karena itu pula, ruh instingtif (bukhari) lebih rendah tingkatannya dari jiwa dan lebih tinggi dari tubuh. Dia menjadi penghubung tubuh dan jiwa. Secara jelas, antara keduanya mediator-mediator lain sangatlah penting, seperti alam mitsal (barzakh al mitsali) yang merupakan mediator antara jiwa rasional (nafs an-natiqah) dan ruh binatang (ruh al-haywani, atau seperti sebagian dari bagian-bagian tubuh yang terhubung pada ruh yang menguap melalui bagian tubuh yang dominan.
Dengan demikian, jika dipisahkan dari fisiknya, manusia memiliki susunan ganda: akal yang dapat mengetahui dan perasaan yang dapat mencintai dan membenci. Hanya saja, jika kita ingin mengungkapkannya dengan detail, dapat dikatakan bahwa sifat kemanusiaan yang tersembunyi di balik fisiknya tak lain adalah ruh yang mengalir dalam seluruh tubuhnya.