Niat jahat genosida

Revisi sejak 13 Juli 2021 08.50 oleh NFarras (bicara | kontrib) (Suntingan Annisa Rizkia (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh NFarras)

Niat Jahat Genosida

Genosida ialah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.[1] Secara bahasa genosida berasal dari dua kata “geno” dan “cidium”. Kata geno berasal dari bahasa Yunani yang artinya “ras” sedangkan kata “cidium” asal kata dari bahasa Latin yang artinya “membunuh”.[2]

Suatu kejahatan yang dilakukan secara penyerangan terhadap orang lain akibat perselisihan dari etnis atau budaya sering disebut sebagai kejahatan manusia pada hukum internasional yang mengarah pada perbuatan dalam bentuk pembunuhan secara massal terhadap penyiksaan pada anggota tubuh manusia. Dalam hal ini perselisihan akan semakin meningkat dan mengarah pada suatu perbuatan yang lebih agresif dan orang yang melakukan hal tersebut akan semakin melakukannya di luar batas bahkan termasuk pada perbuatan yang berat. Golongan tindakan atau perbuatan yang berat ini merupakan pembantain besar-besaran terhadap suatu etnis tertentu yang mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian materil ataupun immateril. Hal tersebut disebut sebagai kejahatan genosida.

Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena kelompok tersebut sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah internasional dalam suatu negara. Pengertian genosida dalam Konvensi Genosida tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama.[3] Pandangan lain terkait dengan konsep gross violations of human rights ini diutarakan juga oleh Thomas van Boven ketika perumusan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (Remedy Principles and Guidelines) di tahun 2005. Menurutnya, kejahatan internasional yang terdaftar dalam Statuta Roma, yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, patut pula untuk dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran berat HAM.[4] Sementara itu, menurut Dahniar, Adwani, Mujibus salim dan Mahfud, mereka menafsirkan istilah “gross violations of human rights and fundamental freedoms” dengan menggolongkan pelanggaran HAM ke dalam 2 (dua) kategori. Adapun kategori yang dimaksud ini adalah pelanggaran HAM biasa atau “simple” dan pelanggaran HAM berat atau “gross”. Penggolongan jenis-jenis pelanggaran HAM ini sepenuhnya bergantung pada jenis dan ruang lingkup pelanggaran itu sendiri.[5]

Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta Internasional Criminal Court (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta tradisi yang sama secara turun temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan genosida. Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia tetapi apabila dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia, dimana kejahatan genosida tertuju pada kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. Kemudian kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi atau syarat dalam hal tersebut.[6]

Kejahatan genosida pada hukum pidana internasional merupakan kejahatan luar biasa dan sudah menjadi tindakan yang dilarang yang kemudian dituangkan pada Konvensi Genosida 1948, statuta International Criminal Tribunals for the Former Yugoslavia (ICTY), statuta International Criminal Tribunals for Rwanda (ICTR) serta statuta Roma 1998 yang menyatakan bahwa kejahatan genosida sebagai the most serious crimes of concern of international community as a whole.

Pada Pasal 7 UU Pengadilan HAM dinyatakan bahwa kejahatan genosida merupakan kejahatan yang melanggar HAM yang berat karena tindakannya dilakukan dengan cara membunuh, yang menyebabkan penderitaan yang berat, kemusnahan, pemaksaan oleh kelompok-kelompok bahkan pemidahan anak-anak yang dilakukan secara paksa oleh kumpulan satu ke kumpulan yang lain. Dengan demikian pada undang-undang pengadilan hak asasi manusia tersebut secara tegas memberikan ancaman terhadap pelakunya. Keadaan-keadaan konflik di atas dapat dilihat di benua Afrika, di mana terjadi konflik pada 35 negara Organization of African Unity. Dominan dari konflik tersebut termasuk pada pemberontakan menentang negara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bangsa, ras, etnis atau agama yang melawan pemerintahan/negara. Hal ini tidak terjadi di Benua Afrika tetapi di belahan dunia.

Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional

Genosida merupakan Kejahatan Internasional (International Crimes) di mana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dinilai paling serius karena melibatkan masyarakat internasional secara keseluruhan yang telah diatur dalam Mahkamah Pidana Internasional (ICC) :

  1. The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.
  2. The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of the United Nations.[7]

Sesuai dalam jurisdiksi tersebut genosida masuk dalam Kejahatan Internasional. Kejahatan Internasional yang sesuai dalam jurisdisi ini, di antaranya :

  • Kejahatan genosida;
  • Kejahatan terhadap kemanusiaan;
  • Kejahatan perang;
  • Kejahatan agresi.

Konvensi Mengenai Kejahatan Genosida

Di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg substansi pengaturan genosida sudah ada di dalamnya Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg yakni deskripsi tentang “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) yang dapat diartikan sebagai berikut :

“murder, extermination, enslavement, deporatation, and other inhumane acts commited againts any civlian population, before during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated.”

Penyebutan “..persecutions on racial or religious grounds..“ berkembang dalam bentuk khusus dari “crimes against humanity” yang dikenal sebagai genosida. Dengan melihat pengaturan tersebut, secara material kejahatan genosida masih menjadi satu dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Dan secara tegas pengaturan genosida terjadi ketika negara-negara menyepakati Konvensi Genosida 1948.

Konvensi Genosida 1948, inti pengaturan genosida secara tegas diatur meliputi:

  1. Penegasan genosida sebagai kejahatan internasional; Penegasan ini dimuat secara eksplisit di dalam Pasal II Konvensi, yang menyatakan bahwa genosida, baik dilakukan di masa perang maupun damai, adalah kejahatan yang diatur oleh hukum internasional dan negara-negara wajib mencegah serta menghukum pelakunya.
  2. Definisi genosida; Definisi genosida diformulasikan di dalam Pasal II Konvensi.
  3. Perluasan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana; Selain genosida, Konvensi juga menyatakan perbuatan-perbuatan yang dapat dijatuhi pidana, yakni: (a) persengkongkolan untuk melakukan genosida; (b) penghasutan untuk melaksanakan genosida baik secara langsung maupun berlaku umum; (c) percobaan melakukan kejahatan genosida; (d) penyertaan dalam genosida.
  4. Tanggung jawab pidana secara individual; Pertanggungjawaban pidana baik dilakukan secara individu berarti prinsip yang dikehendaki supaya pelaku kejahatan internasional menanggung tanggungjawab pidananya secara individu, baik status dan jabatannya terlepas dari pemerintahan. Artinya, status orang tersebut sebagai pejabat publik atau penguasa sekalipun, tidak dapat untuk dijakan membela untuk menjauhi tanggungjawab pidananya. Prinsip ini dapat dilihat di dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg ini ditegaskan kembali dalam Pasal IV Konvensi.
  5. Kewajiban membuat undang-undang nasional mengatur genosida; Konvensi Genosida 1948 adalah sebuah konvensi yang melaksanakan sangat bergantung pada negara-negara yang menjadi pihaknya. Konvensi ini menghendaki supaya negara-negara yang menjadi anggota konvensi untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional agar dapat menetapkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi pada lingkup nasional, khususnya genosida.
  6. Forum dan jurisdiksi, konvensi menegaskan: “bahwa pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk mengadili pelaku genosida adalah pengadilan yang berkompeten dari negara di mana genosida terjadi. Namun konvensi juga membuka peluang bagi pengadilan yang bersifat internasional untuk menerapkan jurisdiksi atas dasar persetujuan negara-negara pihak dari konvensi genosida”.
  7. Penegasan bahwa genosida bukan kejahatan politik; “Pasal VII Konvensi memuat ketentuan yang menegaskan bahwa genosida tidak dikategorikan sebagai kejahatan politik, khususnya dalam konteks ekstradisi ini menjadi penting, karena di dalam hukum internasional yang menyangkut ekstradisi dikenal ada prinsip bahwa seorang pelaku kejahatan politik tidak dapat diekstradisikan (non– extradition of political offenders).”
  8. Kemungkinan keterlibatan PBB dalam pencegahan dan penindakan; Pasal VIII mengatur bahwa suatu negara dapat meminta supaya organisasi PBB yang berkompeten mengambil tindakan sesuai dengan Piagam PBB dalam kerangka pencegahan dan penindakan genosida. Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, pasal ini sesungguhnya merupakan jalan masuk bagi Dewan Keamanan PBB untuk berperan aktif dalam pencegahan dan penindakan terhadap genosida. Ketentuan ini dapat dikaitkan dengan Bab VII Piagam PBB yang membuka peluang bagi intervensi Dewan Keamanan ketika dinilai ada kondisi yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

Statuta ICTY adalah instrumen hukum internasional yang menjadi landasan pembentukan ICTY yang dituangkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk merespons situasi krisis kemanusiaan di wilayah-wilayah pecahan Yugoslavia dan kemudian Statuta ICTY secara tegas memasukan genosida dalam jurisdiksi materialnya. Statuta ICTR mengadopsi pengaturan tentang genosida dari konvensi genosida 1948, oleh karena itu isi pengaturannya genosida memuat maksud yang sama. Dan dalam Statuta ICTR juga memuat tentang kriminalisasi dan pidana terhadap tindak kejahatan genosida:

  1. Kriminalisasi: seperti Statuta ICTY, Statuta ICTR juga mengkriminalisasikan perbuatan-perbuatan lain yang terkait dengan tindakan genosida, yaitu: persekongkolan untuk melakukan genosida, penghasutan secara langsung di muka umum untuk melakukan genosida, percobaan melakukan genosida, dan penyertaan dalam genosida.
  2. Pidana: Kemiripan ICTR dengan ICTY juga terdapat pada aspek pemidanaan terhadap genosida. Baik ICTR maupun ICTY tidak memuat pidana mati (capital punishment) sebagai salah satu pidana yang diancamkan terhadap pelaku genosida.

Statuta Roma 1998, Pokok-pokok pengaturan genosida dalam Statuta Roma meliputi:

  1. Penegasan jurisdiksi materiae ICC atas genosida: Pasal 5 paragraf 1 Statuta Roma menegaskan bahwa kejahatan genosida merupakan salah satu kejahatan terhadap mana ICC memiliki jurisdiksi. Bersama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimnes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crimes of agression), genosida dianggap sebagai “the most serious crimes of concern to the international community as a whole.
  2. Perumusan definisi genosida: Pasal 6 Statuta Roma memuat tentang rumusan perbuatan yang dikategorikan sebagai genosida. Sebagaimana telah dikemukakan, rumusan definisi genosida dalam Statuta Roma 1998 mengadopsi rumusan yang terdapat di dalam Konvensi Genosida 1948.
  3. Tanggung jawab pidana secara individual: Gagasan Penanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurnberg juga disuarakan kembali secara tegas dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998. Paragaraf 1 dari pasal tersebut menegaskan bahwa ICC memiliki jurisdiksi atas orang pribadi (natural person). Melengkapi paragraf 1, paragraf 2 menyatakan bahwa (cetak tebal oleh Penulis), “(a) person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute”. Prinsip ini kemudian diperkuat di dalam Pasal 33 yang mengatur tentang tanggung jawab individual dalam hal seseorang melakukan tindakan yang dilarang karena instruksi dari pemerintahan atau atasannya, baik sipil maupun militer. Meski demikian, ada pembatasan terhadap prinsip ini. Seseorang yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tindak pidana yang diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak dipidana kalau syarat-syarat berikut ini dipenuhi:
    1. Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari pemerintah atau atasannya;
    2. Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimannya tidak sah; dan
    3. Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah.
  4. Kriminalisasi: Sejalur dengan Statuta ICTY dan ICTR, bukan saja pelaku genosida yang diancam pidana, melainkan juga tindakan lain yang terkait dengan genosida. Secara lengkap, orang yang diancam pidana karena melakukan genosida meliputi: setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersama-sama, atau yang menyuruh lakukan (Artikel 25 3 a Statuta Roma 1998), setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida (Artikel 25 3 b Statuta Roma 1998), setiap orang yang menolong, membantu, dan menyediakan sarana sehingga terjadi genosida atau percobaan genosida (Artikel 25 3 c Statuta Roma 1998), setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara mendorong perbuatan melibatkan genosida, atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 3 d Statuta Roma 1998), setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut orang lain untuk melakukan genosida (Artikel 25 3 e Statuta Roma 1998), setiap orang yang melakukan percobaan genosida.
  5. Pidana: Seperti ketentuan di dalam Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 juga secara implisit mengesampingkan kemungkinan dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC. Pasal 77 Statuta Roma secara tegas menyatakan sebagai bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan pelaku genosida dan kejahatan lain dalam ICC yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.

Dalam Pengaturan Hukum Nasional Indonesia yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 7 menyebutkan, Kejahatan Genosida adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Berdasarkan pasal tersebut juga telah dijelaskan unsur-unsur perbuatan yang dikategorikan kejahatan genosida.

Teori Mengenai Kejahatan Genosida

Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam Hukum Internasional menggunakan teori hak asasi manusia dan teori tanggungjawab negara karena genosida merupakan suatu pelanggaran HAM berat di mana negara-negara harus bertanggungjawab melindungi negaranya dari kejahatan tersebut:

  1. Teori Hak Asasi Manusia (HAM): Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut Satjipto Raharjo mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum.[8] Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya.
  2. Teori Tanggung jawab Negara: Hukum Internasional mengenai tanggungjawab negara merupakan hukum internasional yang berdasar pada hukum kebiasaan internasional.[9] Tanggung jawab negara mempunyai hak dan kewajiban dalam melindungi setiap warga negara yang ada di luar teritorial negaranya.[10] Secara universal, tanggungjawab negara ini muncul ketika suatu negara melaksanakan hal-hal berupa mengingkari perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan suatu wilayah negara lain, merusak hak milik atau wilayah negara lain, melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata kepada negara lain, merugikan perwakilan diplomatik negara lain, atau melakukan kesalahan dalam memperlakukan warga negara asing.[11] Berkenaan dengan pelanggaran HAM, tanggung jawab negara pada hakikatnya diwujudkan dalam bentuk melakukan penuntutan secara hukum terhadap para pelaku (bringing to justice the perpetrators) dan memberikan kompensansi atau ganti rugi terhadap korban pelanggaran HAM. Pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukan individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan individu tersebut. Prinsip tanggung jawab negara dan prinsip tanggung jawab pidana secara individual, sekarang ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui (recognized) dalam hukum internasional.

Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional

Metode Penyelesain Kasus di Lingkup Hukum Internasional

Dalam hal ini terdapat dua metode penyelesaian:[12]

  1. Penyelesaian dengan damai, ialah ketika pihak yang bersengketa sepakat dengan penyelesaian yang bersahabat. Penanganan kasus secara damai ini dilakukan secara internal oleh negara yang bertanggung jawab dalam sengketa dan dikawal oleh PBB.
  2. Penyelesaian dengan paksa atau kekerasan, ialah ketika jalan keluar yang diambil dengan menggunakan kekerasan. Solusi penyelesaian ini dilakukan jika penyelesaian secara damai tidak bisa dilakukan sehingga perlu upaya secara paksa atau kekerasan dengan jalur Mahkamah Pidana Internasional.

Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat Myanmar

Myanmar yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah dinamai dengan Burma, terkhusus di kawasan Arakan secara objektif baru terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok yang kuat. Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan dengan Burma menjadi tranding topik di mana perbuatan diskriminasi terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan Etnis Rohingnya memiliki kesamaan juga dalam segi bahasa, agama serta etnis dari Bengali yang menetap di kawasan Chitaggong anggapan banyak yang menyatakan bahwa muslim Bengali yang terletak di Arakan bermukim pada abad-19 dan ke-20 berbarengan dengan datangnya kolonial Inggris. Dari sanalah kemudian sebutan imigran gelap disematkan pada Etnis Rohingnya akibat dari perang kemerdekaan beserta bencana topan tahun 1978 dan 1991, ada yang beranggapan Etnis Rohingnya ingin mengukuhkan status kewarganegaraan mereka sebagai etnis pribumi.

Adapun suku terbesar di antaranya Burma, Chin, Kachin, Arakan, Shan, Kayah, Mon, dan Karen di mana para akademisi dan juga pemerintah menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di Burma, sebagai berikut:

  1. Etnis Burman sebanyak 50 juta orang atau 50-70% merupakan mayoritas;
  2. Etnis Shan 9%;
  3. Etnis Karen 7%;
  4. Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.

Dimana Etnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di kawasan Arakan merupakan orang muslim. PBB menjelaskan bahwa banyak Etnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan Bangladesh jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang timbul dari Etnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup ICC yang mana kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu.

Apa yang telah dilakukan pemerintah Myanmar ini terhadap Etnis Rohingnya merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM berat. Yang pada akhirnya anggota kelompok Rohingnya yang mencoba bertahan mengalami perlakuan-perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi dan terus mengalami penindasan serta tidak diakuinya mereka sebagai penduduk Myanmar, sehingga menciptakan konflik yang besar di negara Myanmar yang melibatkan pemerintah Myanmar dengan Etnis Rohingnya, ini kemudian membuat Etnis Rohingnya mendapat status Stateless Person.

Kejahatan genosida ini sebenarnya sudah lama terjadi yang diawali dengan pembunuhan pada tahun 1938 oleh penduduk penganut Buddha terhadap Etnis Rohingnya, serta penangkapan pada Tahun 1970 secara besar-besaran terhadap Etnis Rohingnya, dan diberlakukannya undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 secara struktural membuat Etnis Rohingnya menjadi ilegal.

Perbuatan-perbuatan deskriminasi ini telah di dapatkan Etnis Rohingnya sejak pada tahun 1938 yang mengakibatkan terbunuhnya 30.000 orang Etnis Rohingnya pada tanggal 26 Juli. Dan terus berulang pada tahun 1942, 1968, 1992, serta puncaknya pada 2012, yang mana pemerintah Myanmar pada tahun 1982 meresmikan UU Burma Citizenship Law yang mendiskriminasikan Etnis Rohingnya.

Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.[13]

Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan Etnis Rohingnya Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional

Secara umum terdapat dua sarana penyelesaian yang pertama secara litigasi yaitu penyelesaian perkara melalui jalur peradilan atau di depan hakim dan juga yang kedua dengan sarana non-litigasi yang diartikan penyelesaian di luar pengadilan menggunakan bantuan mediator, ini merupakan upaya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara secara Internasional yang dihadapi negara-negara yang mengalami sengketa. Penyelesaian perkara dengan jalur non-litigasi yaitu:

  1. Negosiasi, penyelesaian paling umum yang biasa digunakan dalam masyarakat, cukup banyak sengketa yang diselesaikan setiap harinya dengan prosedur alasan utamanya yaitu bahwa dengan proses ini, semua pihak terkait bisa melakukan pengawasam terhadap proses penyelesaian sengketanya dan semua penyelesaian tersebut didasari dengan kesepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bersengketa.
  2. Mediasi, penggunaan perantara pihak ketiga atau seorang mediator. Mediator tersebut bisa berasal dari negara, organisasi internasional seperti PBB, politikus, ahli hukum, dan seorang ilmuwan. Mediator tersebut keikutsertaan secara aktif dalam proses mediasi tersebut, biasanya seorang mediator dengan kewenangannya sebagai pihak yang tidak memihak mengupayakan perdamaian semua pihak dengan memberikan saran untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
  3. Konsiliasi dalam prosesi penyelesaian sengketa yang lebih formal. Yang dilakukan oleh pihak ketiga atau juga komisi yang sengaja dibentuk oleh pihak-pihak yang bersengketa yang disebut juga sebagai komisi konsiliasi, yang juga memiliki fungsi untuk menetapkan syarat penyelesaian sengketa, yang keputusannya tidak mengikat kedua belah pihak.

Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional harus diselesaikan melalui badan peradilan apabila secara perdamaian tidak bisa menyelesaikannya. Kejahatan-kejahatan seperti yang termuat dalam ICC yang berhubungan dengan persoalan internasional secara menyeluruh, bisa dihukum. Oleh karena itu pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dinilai sangat penting bagi penuntutan kejahatan internasional di waktu yang akan datang (Iswadi, 2014: 2). Pengaturan Mahkamah Pidana Internasional di dalam Statuta Roma ialah tertuang pada Pasal 125 ayat 2 dan 3, Pasal 126 ayat 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 4 ayat 2, Pasal 3 ayat 2.[14] Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.[15] Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di Negara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan Etnis Muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan Etnis Muslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara diplomasi, apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.[16]

Kejahatan Genosida dalam RUU KUHP 2019

Aspek mendasar lain yang perlu ditelusuri dalam RUU KUHP 2019 adalah ketentuan kejahatan genosida yang tertuang pada Pasal 598. Untuk itu, bagian ini didedikasikan untuk menguji ketepatan rumusan redaksi yang telah disediakan dalam ketentuan tersebut. Berbeda halnya dengan awal kelahiran pelanggaran berat HAM lainnya, secara historis praktik kejahatan genosida telah ada bahkan sebelum istilah kejahatan genosida itu diciptakan. Hal ini kemudian mendorong Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Britania Raya, mendeskripsikan kejahatan genosida sebagai suatu “kejahatan tanpa nama” atau dikenal dengan istilah “the crime without a name”.[17] Barulah melalui jerih payah advokasi yang dijalankan oleh Raphael Lemkin kepada perwakilan negara-negara anggota PBB terhadap kekejian yang dilakukan oleh rezim Nazi kepada penduduk Yahudi, kemudian melahirkan istilah yang saat ini dikenal dengan kejahatan genosida (crimes of genocide) melalui tulisannya berjudul Axis Rule in Occupied Europe pada tahun 1944.[18]

Saat ini, RUU KUHP 2019 telah merumuskan pengaturan tentang kejahatan genosida tersebut dalam Pasal 598. Kendati demikian, rumusan pasal tersebut masih belum sejalan dengan ketentuan hukum internasional yang ada. Tercatat setidaknya 6 (enam) hal yang perlu dikritisi terkait dengan pengaturan dalam Pasal 598 tersebut Jika menelaah lebih jauh ke dalam rumusan redaksional yang disediakan dalam Pasal 598 tersebut, dapat dipahami bahwa RUU KUHP 2019 mendeskripsikan genosida sebagai tindakan setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama.

Adapun cara-cara genosida dapat dilakukan oleh pelaku menurut RUU KUHP 2019 adalah dengan cara:

  1. Membunuh anggota kelompok tersebut;
  2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
  3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;
  4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kepada setiap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan, percobaan dan pembantuan terhadap tindak pidana di atas, RUU KUHP 2019 menentukan bahwasanya orang tersebut dapat dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Tidak hanya itu, orang tersebut pun dapat dijatuhi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Rumusan ini jelas berbeda dengan rumusan kejahatan genosida yang diatur dalam Pasal 8 UU Pengadilan HAM maupun pada Pasal 6 Statuta Roma. Oleh karenanya, untuk memahami perbedaan rumusan redaksi ketentuan genosida yang disediakan dalam RUU KUHP 2019 dengan kedua instrumen ini,

Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RUU KUHP 2019

Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (customary international law).[19] Dalam RUU KUHP 2019 kejahatan terhadap kemanusiaan ini diatur dalam Pasal 599 yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun, jika ia melakukan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

  1. Pembunuhan;
  2. Pemusnahan;
  3. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  4. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional;
  5. Kejahatan apartheid;
  6. Perbudakan;
  7. Penyiksaan;
  8. Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang sama sifatnya yang ditujukan untuk menimbulkan penderitaan yang berat atau luka yang serius pada tubuh atau kesehatan fisik dan mental;
  9. Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan tertentu yang didasari oleh latar belakang politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan diskriminatif lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
  10. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
  11. Penghilangan orang secara paksa.

Rumusan dalam RUU KUHP 2019 sedikit mengalami perbedaan dengan Pasal 8 UU Pengadilan HAM.

Referensi

  1. ^ Widiadsih, Kezia Rahmameilani (2019-12-02). "Penuntasan Pelanggaran HAM Yang Terhambat Oleh UU Pengadilan HAM Yang Perlu Direvisi". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  2. ^ Rivanie, Syarif Saddam (2020-09-28). "Pengadilan Internasional dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme: Tantangan Hukum dan Politik". Sovereign: Jurnal Ilmiah Hukum. 2 (3): 15–27. doi:10.37276/sjih.v2i3.36. ISSN 2721-8244. 
  3. ^ Ariati, Nova (2020-11-28). "KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA". Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum. 2 (2): 197–218. doi:10.36085/jpk.v2i2.1177. ISSN 2622-3724. 
  4. ^ Essential Texts on Human Rights for the Police. Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 497–506. ISBN 978-90-04-16481-9. 
  5. ^ Dahniar, Dahniar (2017-05). "Gross Violation of Human Rights in Aceh: Patterns of Violence through the Indonesian Government's Policy". IOSR Journal of Humanities and Social Science. 22 (05): 19–40. doi:10.9790/0837-2205011940. ISSN 2279-0845. 
  6. ^ Parthiana, Wayan (1981-08-02). "PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL". Jurnal Hukum & Pembangunan. 11 (4): 344. doi:10.21143/jhp.vol11.no4.858. ISSN 2503-1465. 
  7. ^ Victor., Tsilonis, (2019). The Jurisdiction of the International Criminal Court. Springer International Publishing. ISBN 978-3-030-21526-2. OCLC 1162637746. 
  8. ^ Sujatmoko, Andrey (2016-10-20). "Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional". PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law). 3 (2). doi:10.22304/pjih.v3n2.a6. ISSN 2460-1543. 
  9. ^ Priyatno, Dwidja; Aridhayandi, M. Rendi (2018-06-07). "Resensi Buku (Book Review) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014". Jurnal Hukum Mimbar Justitia. 2 (2): 881. doi:10.35194/jhmj.v2i2.36. ISSN 2580-0906. 
  10. ^ Sefriani, Sefriani (2011). "KETAATAN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTI FILSAFAT HUKUM". JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM. 18 (3): 405–427. doi:10.20885/iustum.vol18.iss3.art6. ISSN 0854-8498. 
  11. ^ Nugraha, Satria (2019-06-19). "Tanggung Jawab Negara dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional Studi Kasus Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah dan Implikasinya Bagi Indonesia". Aktualita (Jurnal Hukum). 2 (1): 215–232. doi:10.29313/aktualita.v2i1.4683. ISSN 2620-9098. 
  12. ^ Harun, Martin (2015-10-05). "Yohanes Bambang Mulyono, Sejarah dan Penafsiran Leksionaris Versi RCL, Jakarta: Grafika KreasIndo, 2014, xv+257 hlm". DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA. 14 (2): 307–310. doi:10.26551/diskursus.v14i2.53. ISSN 2580-1686. 
  13. ^ Alit Putra, Ketut; Rai Yuliartini, Ni Putu; Sudika Mangku, Dewa Gede (2020-09-21). "ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL". Jurnal Komunitas Yustisia. 1 (1): 66. doi:10.23887/jatayu.v1i1.28662. ISSN 2722-8312. 
  14. ^ Siswanto, Heni (2016-04-19). "PEMBANGUNAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGEFEKTIFKAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA KORUPSI". FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum. 9 (1). doi:10.25041/fiatjustisia.v9no1.584. ISSN 2477-6238. 
  15. ^ Kania, Dede (2014-08-03). "PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA". Yustisia Jurnal Hukum. 3 (2). doi:10.20961/yustisia.v3i2.11088. ISSN 2549-0907. 
  16. ^ Nugroho, Fahry (2021-06-07). "PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL". dx.doi.org. Diakses tanggal 2021-07-13. 
  17. ^ Melson, Robert (1983-03). "Genocide: Its Political Use in the Twentieth Century. By Leo Kuper. (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981. Pp. 255. $15.00.)". American Political Science Review. 77 (1): 243–244. doi:10.2307/1956073. ISSN 0003-0554. 
  18. ^ Herz, John H. (1945-04). "Axis Rule in Occupied Europe; Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress. By Raphael Lemkin. (Washington: Carnegie Endowment for International Peace. 1944. Pp. xxxvii, 674.)". American Political Science Review. 39 (2): 366–367. doi:10.2307/1949196. ISSN 0003-0554. 
  19. ^ van Schaack, Beth (2012-03-23). "Crimes against Humanity". International Law. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-979695-3.