Jalan Raya Pos

jalan raya di Indonesia
Revisi sejak 12 Agustus 2021 11.32 oleh AnsyahF (bicara | kontrib) (Melanjutkan tahap kedua dan pengembangan kegunaan jalan)

Jalan Raya Pos (bahasa Belanda: De Grote Postweg atau De Groote Postweg, bahasa Prancis: La Grande Route) adalah jalan raya sepanjang 1.000 km (620 mi) yang membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan ini dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811).

Jalan Raya Pos pada masa Hindia Belanda

Latar belakang

Pada 28 Januari 1807, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Louis Bonaparte, adik Napoleon Bonaparte yang menjadi raja di Belanda saat terjadinya Peperangan Napoleon di Eropa. Salah satu instruksi Louis pada Daendels ketika menjadi Gubernur Jenderal adalah ia wajib memperhatikan sarana yang cocok dibangun sesuai dengan kesepakatan para bupati dan dapat memperbaiki nasib pribumi Hindia Belanda. Maka, Daendels memutuskan untuk membangun jalan raya.[1]:16-18

Keinginan Daendels untuk membuat jalan raya di sepanjang Jawa mungkin dipengaruhi oleh perjalanannya menuju Jawa. Adanya ancaman Britania Raya di lautan memaksa ia harus melalui perjalanan darat ke Afrika melalui Prancis dengan jalan-jalan yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte. Ia juga melakukan perjalanan di dalam Pulau Jawa yang rumit dan memakan banyak waktu.[2]:709

Pembangunan

 
Daendels membangun Jalan Raya Pos di atas Jawa. Sebuah ilustrasi anonim ca 1910

Pada 29 April 1808, agar lebih mengetahui permasalahan di Jawa lebih lanjut, Daendels melakukan perjalanan dari Buitenzorg ke Semarang dan ujung timur Jawa. Setibanya di Semarang pada 5 Mei 1808, ia mengeluarkan perintah untuk memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada sebelumnya. Karena keterbatasan biaya, Daendels hanya meratakan jalan dari Batavia ke Buitenzorg (kini Bogor) dan membangun petak jalan di Preanger. Sisanya, yaitu jalan dari Cirebon hingga Surabaya dikerjakan oleh para bupati di daerahnya masing-masing.[1]:19

Dengan jalan raya yang sisanya dikerjakan oleh para bupati, Daendels tidak perlu membuat laporan rinci untuk jalan-jalan tersebut. Akibatnya, arsip-arsip kolonial yang memuat laporan pembangunan jalannya hampir tidak ada, dan satu-satunya sumber informasinya berasal dari korespondensi antara Daendels dengan Menteri Perdagangan dan Koloni saat itu, Paulus van der Heim [nl].[1]:25-26 Karenanya, tidak diketahui dengan pasti apakah Jalan Raya Pos seluruhnya adalah jalan yang baru atau merupakan penggabungan dan peningkatan dari jalan-jalan yang sudah ada. Namun, Peter J. M. Nas & Pratiwo (2002) menyimpulkan bahwa sebagian besar pengerjaannya terdiri dari peningkatan dari jalur-jalur yang sudah ada dan pembangunan hubungan jalan yang hilang.[2]:709

Tahap pertama

Pada 5 Mei 1808, Daendels mengeluarkan instruksi pada Komisaris Urusan Pribumi untuk membuka jalan raya dari Buitenzorg ke Karangsambung (kini Kecamatan Tomo di Sumedang) melalui Cisarua, Cianjur, Rajamandala, Bandung, Parakan Muncang, dan Sumedang. Pembangunan jalannya harus sudah mulai pada musim kemarau. Secara teknis, jalan tersebut harus dibuat selebar 2 rijnlandse roede (~7.5 meter) dan dibangunkan tiang di setiap 400 rijnlandse roede (~1.5 kilometer) untuk menunjukkan jarak sekaligus tujuan pemeliharaan jalan di antara distrik-distrik. Kemudian, kedua sisi jalan harus dibatasi dengan lapisan batu agar jalannya tidak terkikis saat hujan.[3]:700-701 Proyek ini dipimpin oleh Kolonel Zeni Balthazar Friedrich Wilhelm van Lützow dengan bantuan dari Komisi Negara dan dua insinyur militer. Van Lützow kemudian menyerahkan sebagian pengerjaan, yaitu jalur Cisarua-Cianjur dan Parakan Muncang-Karangsambung, kepada dua insinyurnya. Masing-masing insinyur dibantu oleh dua bintara yang dipilihnya. Daendels juga menetapkan jumlah pekerja dan upah yang berbeda untuk membangun jalan ini, mengingat kondisi medan yang berat yang dihadapi oleh para pekerja.[1]:19-20

Dari Ke Jumlah pekerja Upah

(ringgit perak)

Cisarua Cianjur 400 orang 10 per orang/bulan
Cianjur Rajamandala 150 orang 4 per orang/bulan
Rajamandala Bandung 200 orang 6 per orang/bulan
Bandung Parakan Muncang 50 orang 1 per orang/bulan
Parakan Muncang Sumedang 150 orang 5 per orang/bulan
Sumedang Karangsambung 150 orang 4 per orang/bulan

Pada 28 Maret 1809, para pekerja dari Batavia dan Preanger yang membangun jalan antara Cianjur-Sumedang diberi bantuan berupa 1.5 pon beras setiap hari dan 5 pon garam garam setiap bulan hingga jalan selesai dibangun. Sehari setelahnya, para pekerja juga diberi kapak dan peralatan lainnya. Kemudian, para pekerja yang didatangkan dari Cirebon dan daerah vorstenlanden yang membangun jalan di Sumedang akan diberi upah dua ringgit perak setiap bulan ditambah tiga gantang beras, sementara para mandor akan diberi upah tiga ringgit perak setiap bulan.[3]:702 Bantuan-bantuan ini merupakan kebijakan pemerintah atas beratnya medan yang harus ditembus, khususnya dalam pembuatan jembatan di jalur Cianjur ke Bandung dan pemotongan lereng gunung di jalur Parakan Muncang-Sumedang.[1]:23

Tahap kedua

Pada Juli 1808, Daendels bertemu dengan 38 bupati untuk memerintahkan mereka memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa. Ia juga menyerahkan pembangunan jalan Cirebon-Surabaya kepada mereka agar mereka bisa menarik orang-orang umum ke dalam pengabdian masyarakat. Di Jawa Tengah, jalan raya ini melewati Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan, Kendal, Kaliwungu, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, dan Lasem. Sementara di Jawa Timur, jalan raya ini melewati Pacitan, Sidayu, Gresik, Surabaya, Porong, Bangil, Pasuruan, Paiton, Besuki, dan akhirnya Panarukan.[4]:5

Kegunaan

Jalan Raya Pos adalah jalan militer yang dimaksudkan untuk memudahkan pengerahan tentara dan pasokan secara aman dalam rangka mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Sebelum jalan ini dibangun, sekitar 1750 sudah ada jalan yang menghubungkan Batavia ke Semarang dan seterusnya ke Surabaya. Terlebih lagi, jalan yang menghubungkan Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta juga sudah ada pada waktu itu. Akan tetapi, hujan tropis yang deras seringkali menghancurkan jalannya.[2]:709 Selain untuk kepentingan militer, Jalan Raya Pos juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Jalan-jalan yang awalnya rusak membuat penduduk setempat harus membayar ongkos pengangkutan hasil buminya lebih mahal.[1]:18

Jalan Raya Pos juga dimanfaatkan sebagai pos komunikasi yang saat itu dianggap berguna. Daendels merasakan sulitnya berkomunikasi dengan para birokrat yang tersebar di seluruh Jawa, belum lagi lalu lintas laut yang diblokade Inggris ikut mempersulit komunikasi. Adanya jalan raya ini memungkinkan komunikasi dan korespondensi antardaerah semakin cepat. Waktu tempuh perjalanan juga menjadi lebih pendek, misalnya perjalanan dari Batavia ke Surabaya yang awalnya memakan waktu sekitar 1 bulan dipendekkan menjadi antara 3 hingga 7 hari. Kelancaran pemerintahan juga meningkat dengan koordinasi yang mudah antara Daendels dengan para bupati melalui jalan ini.[1]:26-27

Dalam budaya populer

Film dokumenter Jalan Raya Pos - De Grotoe Postweg, disutradarai dan ditulis oleh Bernie Ijdis, dirilis pada 1996. Film ini menceritakan tentang sejarah dan dampak modern dari Jalan Raya Pos. Pramoedya Ananta Toer, yang juga diceritakan kisah hidupnya semasa Orde Baru, mengisi narasi untuk film ini.[2]:716-717[5]:420

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g Tim Ekspedisi Kompas 200 Taoen Anjer Panaroekan (2008). Ekspedisi Anjer-Panaroekan: Laporan Jurnalistik Kompas (200 tahun Anjer-Panaroekan, jalan untuk perubahan). Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-391-4. 
  2. ^ a b c d Nas, P. J. M.; Pratiwo (2002). "Java and De Groote Postweg, La Grande Route, the Great Mail Road, Jalan Raya Pos". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam bahasa Inggris). 158 (4). ISSN 0006-2294. 
  3. ^ a b Chijs, J. A. van der (1895). Nederlandsch-Indisch plakaatboek, 1602-1811, vertiende deel 1804-1808. Den Haag: Martinus Nijhoff. 
  4. ^ Daendels' Great Post Road Special Report Team (2015). The Devil's Highway Daendels's Great Post Road (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Tempo Publishing. ISBN 978-602-718633-0. 
  5. ^ Teeuw, A. (1997). Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. ISBN 978-979-419582-6.