Peristiwa Kanigoro
Peristiwa Kanigoro adalah peristiwa pengepungan dan penangkapan peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia di Pondok Pesantren Al Jauhar, Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur pada 13 Januari 1965. Peristiwa yang terjadi pada waktu shubuh, sekitar pukul 04.30 WIB, ini dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia dan Pemuda Rakyat Kecamatan Kras.
Acara pelatihan mental tersebut dimulai sejak 9 Januari 1965. Acara tersebut memiliki pesertanya berjumlah 127 dan panitianya 36 orang. M. Samelan, mantan aktivis Masyumi, yang direncanakan akan mengisi ceramah, rupanya kena larangan dari Komandan Kodim Kediri. Namun, panitia yang merupakan Pengurus PII Jawa Timur, Anis Abiyoso, memaksa ceramah Samelan dilakukan. Hal itulah yang membuat acara tersebut digeruduk oleh gabungan massa BTI dan PR yang saat itu dikenal sebagai organisasi sayap Partai Komunis Indonesia.[1]
Pada 1960-an, menurut Sari Emingahayu dalam Sisi Senyap Politik Bising (2007: 84-86), “Kanigoro terkenal sebagai basis PKI.” Buruh tani di sana kebanyakan berafiliasi dengan Barisan Tani Indonesia (BTI). Di masa itu, gerakan dan mobilisasi partai politik makin meningkat, baik berupa kampanye maupun pawai. Hebatnya, meski sudah tahu Kanigoro adalah basis PKI, Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Timur memiliki nyali yang besar untuk mengadakan Mental Training (Mantra) di desa itu. PII sendiri merupakan organisasi yang terkait dengan Partai Masyumi dan sejak 1960, status Masyumi adalah terlarang.
Seperti tercatat dalam Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya (2009: 129), yang dirilis Pusat Sejarah TNI (Pusjarah), diketahui bahwa jumlah penggeruduk berjumlah 2000 orang. Dengan jumlah sebanyak itu, membubarkan para pelajar yang hanya ratusan orang bukan hal sulit, apalagi dengan senjata tajam. Panitia keamanan acara tersebut tak berdaya menghadapi aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berpakaian hitam-hitam dengan jumlah mencapai ribuan orang pimpinan Suryadi tersebut yang langsung menyeruak ke dalam masjid membubarkan acara PII itu.[2]
Saksi menuturkan, bahwa saat kejadian tersebut gerombolan dengan alas kaki, sandal, dan kaki telanjang yang membuktikan bahwa mereka memasuki masjid dengan seenaknya. Selain itu, ada yang menuturkan bahwa beberapa di antara mereka menginjak-injak, merobek, dan membanting kitab suci Alquran. Setelah semua peserta acara tersebut dapat dikuasai, KH. Jauhari beserta para panitia dan peserta diarak sejauh 7 kilometer ke Kantor Polisi Sektor Kras. Mereka tiba di kantor polisi pada pukul 07.00 WIB.
Kabar tentang Peristiwa Kanigoro tersebut menyebar dengan cepat. Putra KH. Jauhari, Gus Maksum segera bersiap memegang kendali organisasi Barisan Ansor Serbaguna (BANSER), salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama' (NU). Pada tanggal 18 Januari 1945, delapan truk yang membawa Banser bergerak ke Desa Kanigoro. Karena hal tersebut, polisi mengambil langkah-langkah pengamanan. Salah satu langkah yang diambil polisi adalah Suryadi dan Harmono sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Sebulan setelah kejadian itu, tepatnya pada 1 Februari 1965, rapat akbar digelar ratusan anggota PII. Rapat dilanjutkan dengan pelemparan kantor PKI, yang merupakan induk dari Pemuda Rakyat dan BTI. Anis Abiyoso pun menjadi buronan polisi gara-gara kejadian ini. Namun, Anis menyerahkan diri pada 12 Februari 1965 di Malang. Setelah itu, kasus ini oleh polisis dianggap selesai.
Kejadian ini juga diabadikan sebagai adegan pertama pada film Pemberontakan G30S/PKI.