Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar
Pagaruyung adalah nagari yang terletak di dekat Batusangkar, Ibu kota Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Dari sumber tambo, nagari ini dulunya adalah ibu kota dari Kerajaan Pagaruyung yang disebut Kerajaan Jambu Lipo (Bukit Jambu). Jan bu lupo yang berarti "jangan ibu lupa". Jambu lipo ini berdiri pada abad ke-10, tahun 901 Masehi, 20 Rajab 288 Hijriyah dengan beragamakan Islam hingga jaman Pra-sejarah saat ini[1]. Di perkirakan pada tahun 1287 Masehi para mujahid tiba di muko-muko menyebarkan agama Islam. Hingga berdirinya Kerajaan Islam tertua di lereng tengkuk Humatang Sulang gunung ini memiliki ketinggian Pesagi Besar mencapai 3.221 MDPL, Pesagi Kecil 2.262 MDPL, gunung tertinggi yang tidak pernah aktif di pulau Sumatra hingga saat ini jaman pra-sejarah[2][3].
Pagaruyung | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Sumatera Barat | ||||
Kabupaten | Tanah Datar | ||||
Kecamatan | Tanjung Emas | ||||
Kode Kemendagri | 13.04.05.2004 | ||||
Luas | 27,87 km² | ||||
Jumlah penduduk | 132.215 jiwa | ||||
|
Sejak tahun 2001 Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar telah memulai untuk melakukan pemindahan secara bertahap pusat pemerintahan dari Batusangkar ke Pagaruyung. Di mana program ini dimulai dengan mendirikan kantor Bupati di kawasan nagari ini[4].
Sejarah
Kerajaan Jambulipo mungkin hanya diidentikkan oleh sebagian orang dengan sebuah rumah gadang dan kompleks makam raja-rajanya.Pandangan seperti itu juga tidak jauh berbeda terhadap kerajaan-kerajaan lain di Minangkabau, seperti Kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Sungai Pagu, Kerajaan Talu, Kerajaan Siguntur, dan Kerajaan Koto Basau. Namun sebenarnya, Kerajaan Jambu Lipo memili beragam warisan budaya yang bahkan sebagiannya terbilang langka. Sebagai contoh adalah Rajo Manjalani Rantau; sebuah upacara adat di mana Rajo Ibadat dan perangkat kerajaan berjalan mengunjungi nageri-nagari yang berada dalam wilayahnya. Dulu, untuk menyelesaikan upacara ini perlu waktu hingga tiga bulan karena nageri-nagari yang di kunjungi melingkupi tiga wilayah kabupaten.
Kerajaan Jambu Lipo juga merupakan satu dari sedikit kerajaan yang masih eksis di Minangkabau. Tidak hanya dipandang secara simbolis, Kerajaan Jambulipo masih berperan aktif dalam kehidupan sosial, budaya, adat istiadat, ekonomi dan agama. Raja dan seluruh perangkatnya hadir dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya, seperti perhelatan adat, sidang adat penyelesaian sengketa, syukuran panen, pernikahan, dan kelahiran hingga acara duka kematian. Karena itu, atas eksistensi Kerajaan Jambu Lipo hingga hari ini.
A.R Chaniago seorang budayawan Minangkabau melakukan penelitian mengenai sejarah Kerajaan Jambulipo dengan data etnografi sejarah tahun 1990 hingga 1992. A.R Chaniago dalam (Firman, 2012) berpendapat bahwa Kerajaan Jambulipo merupakan salah satu Kerajaan tertua di Minangkabau dan di perkirakan sejak abad ke-10 Masehi. Ia juga menyebut bahwa Jambulipo dahulunya merupakan nama daerah yang menjadi tempat tinggal raja-raja jaman Dharmasraya (Firman, 2012).
Dharmasraya merupakan nama daerah yang cukup terkenal di sumatra bagian tengah ketika Agama Budha berkembang pesat pada awal abad ke-13 Masehi. Dharmasraya berada di sekitar hulu Sungai Batanghari, yaitu salah satu sungai terbesar di Pulau Sumatra dengan lebar sekitat 500 meter dan panjang 800 Kilometer. Sungai Batanghari menjadi jalur transportasi dan perdagangan yang ramai di Pulau Sumatra bagian tengah kala itu (Soemono, 1992:40; Utomo, 1992: 178).
Nama Dharmasraya tercatat dalam Kitab Nagarakertagama sebagai salah satu daerah yang menjadi tujuan pasukan Ekspedisi Pamalayu Kerajaan Singasari atas perintah Raja Kartanegara pada tahun 1275 Masehi (Soekmono 1992: 40; Utomo, 1992: 175; Kusumadewi 2012: 4-5). Kini Dharmasraya merupakan sebuahkabupaten di Provinsi Sumatra Barat yang berjarak sekitar 60 km dari Nagari Lubuk Tarok sebagai pusat Kerajaan Jambulipo. Sebagian nagari di Kabupaten Dharmasraya secara adat termasuk dalam wilayah Kerajaan Jambulipo (tertulis dalam buku kerajaan jambulipo penulis sultan kurniawa A.B).
- Wilayah Kerajaan Jambulipo sebagaimana tersebut dalam pepatah adat memiliki wilayah sebagai berikut :
"Ba rantau 12 koto, Ba saluaik 12 tayiak, Batanghari batang rantau, Rantau 12 koto, amban basi Lubuak Ulang Aling, Pasak malintang ka Sungai Kambuik Pacuak manjulai ka Pasimpai jo Siguntur (Mempunyai rantau 12 koto dan 12 tayiak, sungai Batanghari merupakan daerah rantaunya)"
Pepatah adat di atas merupakan nama-nama wilayah, kampung, dan nagari pada jaman dahulu. Saat ini wilayah-wilayah tersebut berada dalam wilayah Pemerintahan Daerah Provinsi Sumatra Barat. Dalam administrasi saat ini, sebagian besar wilayah kekuasaan Kerajaan Jambulipo tempo dulu berada di Kabupaten Sijunjung, Dharmasraya, dan Solok selatan (Firman 2012: 716-717).
- Kondisi Geografis Wilayah Pusat Kerajaan Jambulipo
Semua nagari yang termasuk dalam wilayah Pusat Kerajaan Jambulipo secara administrasi berada di dua kecamatan, yaitu Lubuk Tarok dan Tanjung Gadang, Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatra Barat. Kecamatan Lubuk Tarok dan Tanjung Gadang berada 828-924 mpdl dan memiliki kataktristik geografis yang serupa seperti iklim, suhu, udara dan curah (Badan Pusat Statistik Sijunjung, 2015).
- Rajo Tigo Selo Kerajaan Jambulipo
- Rajo Alam memiliki gelar Bagindo tan Ameh
- Rajo Ibadat gelar Bagindo Maharajo Indo
- Rajo Adat gelar Bagindo tan Putiah
- Perangkat kerajaan
Dalam menjalankan pemerintahannya, Rajo Tigo Selo dibantu oleh pejabat utama kerajaan yang tinggal di Nagari Lubuk Tarok sebagai pusat kerajaan. Pejabat tersebut adalah Datuk Mangkuto Alam sebagai sandi amanah dan Datuk Bandaro Sati sebagai sandi kerajaan (tangan kanan), Monti Rajo sebagai juru bicara, Panglimo Rajo dan Rajo Kuaso sebagai penjaga Rajo Tigo Selo. Dengan lingkup seluruh wilayah dan nagari-nagari yang berada di dalam wilayah Kerajaan Jambulipo, selain pejabat utama tersebut, Rajo Tigo Selo juga dibantu oleh pejabat lokan bergelar penghulu atau datuk beserta perangkatnya. Yang memimpin di seluruh nagari di wilayah kekuasaan Kerajaan Jambulipo (Firman, 2011: 18-25). Khusus di Nagari Lubuk Tarok, Rajo Tigo Selo juga memiliki perangkat bergelar Datuk Rajo Lelo sebagai sandi padek dan Pandito Rajo.
Pada tahun 1803-1804, sekelompok haji asal Minangkabau pulang ke negerinya. Mereka terkesan oleh penaklukkan Mekkah yang terjadi awal 1803 oleh kalangan Wahhabi, dan ingin mengubah masyarakat Minangkabau lewat kekerasan. Mereka disebut Padri dan mengecam kebiasaan orang Minang seperti judi, sabung ayam, candu, minuman keras, tembakau terkecuali sirih, dan juga adat Minangkabau yang bersifat matrilinear dan matrilokal mungkin. Cara kekerasan ini menimbulkan perang saudara dalam masyarakat Minang. Tahun 1815, keluarga kerajaan Pagarruyung dibantai oleh kalangan Padri.
Tahun 1819, Belanda balik ke Padang setelah Inggris meninggalkannya. Kalangan keluarga kerajaan yang masih hidup dan para penghulu (kepala adat) minta bantuan Belanda untuk menghadapi kekerasan Padri. Pada Februari 1821 mereka menandatangani suatu perjanjian di mana mereka menyerahkan kepada Belanda kedaulatan atas tanah Minang. Tidak lama kemudian, Belanda menyerang Padri. Mulailah Perang Padri, yang berlangsung sampai tahun 1838.
Minangkabau Derek dan Rantau
Masyarakat minangkabau menyebut daerannya dengan istilah Alam Minangkabau. Dalam tambo (historiografi tradisional minangkabau) alam minangkabau tersebut di gambarkan dengan gugusan Bukit Barisan, Gunung Merapi, Gunung Sago, Gunung Singgalang, Gunung Kerinci, Gunung Pasaman, Gunung Talang, Hamparan dataran rendah, lembah dan kawasan pesisir di bagian barat. Alam minangkabau dalam pepatah adat di sebut sebelah utara berbatasan dengan Sikilang Air Bangis, sebelah Timur Taratak Air Hitam (Indragiri), sebelah Selatan Sepuncuak Jambi Sembilan Lurah dan sebelah barat Bengkulu dan Indropuro (Firman, 2013:84; Firman 2012:2-3).
Secara kultural Alam Minangkabau terbagi atas dua, yaitu darek dan rantau (Sairin, 1995, 87-88). Darek adalah sebutan untuk wilayah yang berada di daerah pedalaman dengan karakteristik dataran tinggi dan lembah-lembah. Terbentang dari perbatasan jambi di selatan, Riau di timur dan Sumatra Utara di utara. Menurut sejarah lisan. Derek merupakan pemukiman pertama orang minangkabau tepatnya dari gunung merapi yang kemudian secara berlahan pindah ke lembah-lembah seperti di sekitar danau singkarak, Solok seiring berjalannya waktu menyebar hampir keseluruh pedalaman Sumatra Barat (Sairin, 1995, 87-88).
Darek terbagi atas tiga kelompom besar yang disebut dengan luhak, yaitu luhak Agam, Luhak Limo Puluh Koto dan Luhak Tanah Datar. Pembagian luhak ini didasarkan pada geografis di minangkabau yaitu luhak tanah datar berada di selatan, Luhak agam di utara dan Luhak Limo Puluh Koto di timur (Fithri 2013:84 dan Firman, 2012: 2-3). Sedang rantau merupakan sebutan untuk wilayah yang berada di luar daerah darek, berada di daerah pesisir yang berkarakteristik dataran rendah yang terbentang dari perbatasan Bengkulu di selatan dan Sumatra Utara di Utara (Sairin: 1995).
Singkatnya, penulis menafsirkan pandangan Kato (1980: 81) dalam Asnan (2007: 35) dan Abidin (2016), datuk atau penghulu lebih berkuasa di luhak dan raja berkuasa di rantau. Namun di sisi lain, ada fakta bahwa terdapat kerajaan-kerajaan yang di pimpin oleh raja yang tidak hanya memiliki wilayah di rantau tapi juga di luhak. Beberapa kerajaan tersebut adalah :
- Kerajaan Pagaruyung di dirikan pada tahun 1347 Masehi.
- Kerajaan Sungai Pagu (Kerajaan Alam Serambi Sungai Pagu) di dirikan pada abad ke-16 Masehi tahun 1501 Masehi.
- Kerajaan Jambu Lipo di dirikan 20 Rajab 288 Hijriyah.
Ketiga kerajaan tersebut di pimpin oleh raja beserta perangkatnya dan membawahi banyak nagari yang di pimpin oleh penghulu atau datuk. Kerajaan jambulipo contohnya, baik wilayah rantau maupun luhak sama-sama di pimpin oleh raja yang membawahi beberapa datuk dan penghulu yang memimpin tiap-tiap nagari. Pusat kerajaan jambulipo yang menjadi tempat tinggal raja beserta keluarga kerajaanpun berada di luhak, tepatnya Luhak Tanah Datar. Hal ini tentu bertolak belakang dengan sebagian pendapat selama ini yang mengatakan bahwa raja hanya memerintah di rantau dan penghulu atau datuk berkuasa di luhak.
Kerajaan Jambulipo menurut sejarah lokal merupakan salah satu kerajaan tertua di Minangkabau. A.R. Chaniago (1992) dalam Firman (2012) menyebut bahwa Kerajaan Jambulipo telah ada sejak jaman Dharmasraya pada abad ke-11 Masehi. Kerajaan Jambulipo Saat ini memiliki wilayah secara adat di tiga wilayah kabupaten yaitu kabupaten Sijunjung, Dharmasrayadan Solok Selatan yang terdiri sekitar 27 nagari. Setiap nagari di pimpin oleh penghulu atau datuk yang memiliki otonomi khusus untuk mengatur masyarakat dalam nagarinya. Singkatnya, dalam kasus ini sistem kerajaan dan nagari berlaku pada satu tempat masyarakat yang sama.
Potensi Daerah
Sebagai rencana ke depan menjadikan nagari Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan dari kabupaten Tanah Datar, beberapa program pembangunan insfastruktur telah mulai dilakukan. Selain memindahkan kantor Bupati, juga kantor Polresta Tanah Datar juga telah didirikan di kawasan ini, di mana kantor lama akan dikembalikan fungsinya menjadi Fort van der Capellen sebagai tempat objek wisata sejarah.
Selain itu salah satu tujuan wisata penting di kawasan ini, antara lain Istano Basa, yang merupakan replika istana kerajaan Pagaruyung pada masa lalu.
Pagaruyung memiliki objek wisata, Bukit Batu Patah Luhak nan Tigo dan Bukit Alahan Panjang
Referensi
- ^ "Kerajaan Jambu Lipo - COLLECTION OF WORLD JOURNAL - p2k.stiehidayatullah.ac.id". p2k.stiehidayatullah.ac.id. Diakses tanggal 2021-09-17.
- ^ "Gunung Pesagi di Lampung Barat : Gunung Tertinggi di Provinsi Lampung". www.pedomanwisata.com. Diakses tanggal 2021-09-17.
- ^ "Gunung Pesagi di Lampung Barat : Gunung Tertinggi di Provinsi Lampung". www.pedomanwisata.com. Diakses tanggal 2021-09-17.
- ^ "PAGARUYUNG, THE GOLDEN HORN, TANAH DATAR ~ World Cyclopedia". p2k.unhamzah.ac.id. Diakses tanggal 2021-09-17.