Sita harta bersama atau disebut dengan sita marital adalah sita dengan dimohonkan oleh pihak suami atau istri terhadap suatu harta bersama baik yang bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya. Dalam sita ini dimohonkan agar selama proses pemeriksaan perkara berlangsung barang-barang tersebut yang menjadi harta bersama tidak dialihkan suami atau istri.[1]

Tujuan

Tujuan dari sita harta bersama adalah sebagai berikut.[2]

  1. Bukan dalam hal menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat,
  2. Bukan dalam hal menuntut penyerahan hak milik,
  3. Tujuan utama dengan membekukan harta bersama suami dan istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.

Sehingga adaya penyitaan terhadap harta bersama maka baik penggugat ataupun tergugat dalam hal ini suami-istri dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi. [3]Hal ini bertujuan untuk melindungi kutuhan atau keberadaan harta bersama atas tindakan tidak bertanggungjawab tergugat.

Tindakan pengamanan

Tindakan pengamanan yang diamanatkan sita harta bersama berpedoman pada Pasal 832 Rv berdasarkan asas kepentingan beracara (process doelmatigheid). Menurut Pasal 832 Rv tindakan pengamanan meliputi:

  1. Penyegelan,
  2. Pencatatan,
  3. Penilaian harta bersama,
  4. Penyitaan harta bersama.

Pengaturan

Pengaturan sita harta bersama diantaranya: [3]

  1. Pasal 190 KUH Perdata, Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[4] Ketentuan terdahulu berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Namun sejak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Pasal 190 KUH Perdata dapat dijadikan bahan orientasi dalam kedudukan sebagai hukum adat tertulis.
  2. Pasal 24 ayat (2) Huruf C PP No. 9 Tahun 1975,[5]
  3. Pasal 78 Huruf c UU No. 7 Tahun 1989,[6]
  4. Pasal 823 Rv.

Referensi

  1. ^ Amin, Muchsin Bani (2016). Hukum Acara Peradilan Agama. 
  2. ^ Harahap, M.Yahya (2006). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,. Jakarta: Sinar Grafika. 
  3. ^ a b Mertokusumo, Sudikno (1988). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 
  4. ^ Subekti, R.; Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bandung: Pradnya Paramita. 
  5. ^ PP tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975 LNRI Tahun 1975, No. 12. 
  6. ^ Undang-Undang tentang Peradilan Agama, diundangkan tanggal 29 Desember 1989, LNRI Tahun 1989, No. 49.