Filsafat ilmu
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu.[1] Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Filsafat ilmu juga tidak terlepas dari landasan aksiologi dari ilmu. Landasan ini memperdebatkan manfaat dan dampak ilmu bagi manusia dan lingkungan hidup. Fokus dari landasan ini bukanlah kebenaran seperti halnya landasan ontologis dan epiestmologis, melainkan kebaikan. Meskipun landasan ini lebih merupakan urusan dari etika, namun dalam situasi konkret, filsafat ilmu wajib mempertimbangkan nilai-nilai dan tanggung jawab sosial dari pemilihan dan penggunaan kebenaran ilmiah oleh manusia[2]. Oleh karenanya, aksiologi memerlukan tempat serius dalam filsafat ilmu[3].
Konsep dan pernyataan ilmiah
Ilmu berusaha menjelaskan karakter alam yang sebenarnya dan cara teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama kehidupan. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesis ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
Falsifiabilitas
Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919–20 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar.
Catatan kaki
- ^ Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
- ^ Juneman, Juneman; Pradipto, Yosef Dedy (2013-04-30). "Filsafat Ilmu sebagai Landasan Holistis Pengembangan Ilmu Psikologi". Humaniora (dalam bahasa Inggris). 4 (1): 539–546. doi:10.21512/humaniora.v4i1.3462. ISSN 2476-9061.
- ^ Weinberg, Alvin M. (1970). "Views: The Axiology of Science: The urgent question of scientific priorities has helped to promote a growing concern with value in science". American Scientist. 58 (6): 612–617. ISSN 0003-0996.
Lihat juga