Plaatsvervulling atau bisa dinamakan penggantian tempat. Menurut Hartono Soerjopratignjo mengatakan dalam hal penggantian tempat maka harus memenuhi tiga syarat supaya dapat bertindak.

Syarat

Tiga syarat supaya bertindak diantaranya:

a.      Orang yang digantikan tempatnya maka harus meninggal lebih dahulu;

b.      Orang yang menggantikan tempat orang lain, maka merupakan keturunan yang sah dari orang yang digantikan bersifat harus. Maka anak luar kawin tidak dapat menggantikan tempat ayah atau ibunya, karena anak tersebut tidak memiliki hubungan keluarga sedarah yang sah dengan pewaris.

c.      Dalam hal yang menggantikan maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris, diantaranya:

1.      Tidak menolak untuk menerima warisan.

2.      Tidak dinyatakan tidak patut dalam hal menerima warisan atau dinyatakan tidak cakap untuk menerima warisan melalui sebuah wasiat. [1]

Sedangkan menurut Pitlo mengatakan bahwa dalam hal bertindak sebagai Penggantian atau Plaatsvervulling, harus memenuhi syarat-syarat diantaranya:

a.      Orang yang menggantikannya, harus memenuhi syarat ahli waris. Maka ia tidak boleh tidak pantas serta tidak boleh dicabut hak waris oleh pewaris untuk mewarisi dengan testamen.

b.      Orang yang digantikan tempatnya, maka harus sudah meninggal terlebih dahulu. Sehingga orang yang masih hidup tidak dapat dilakukan penggantian.

c.      Penggantian harus oleh keturunan yang sah. [2]

Tidak Cakap

Dalam hal orang tidak cakap mewarisi surat wasiat diatur Pasal 912 KUH Perdata dengan penjelasan sebagai berikut:

a.      Orang telah dihukum karena membunuh pewaris.

b.      Orang sudah melakukan dalam hal membinasakan, menggelapkan dan memalsukan surat wasiat

c.      Orang dengan secara kekerasaan atau paksa untuk mencegah pewaris, dengan mencabut atau merubah surat wasiat. [3]

Jika isteri (Suami) dan anak-anak dari orang yang tidak cakap diatas juga tidak boleh mendapat keuntungan dalam hal testamen.

Menurut Pitlo mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara tidak cakap dan tidak patut, tidak cakap maka pembatalannya harus dituntut sedangkan tidak patut maka dengan sendirinya batal. [2]Cakap masuk dalam bidang hukum waris testamentair sedangkan patut masuk dalam hukum waris menurut undang-undang.

Referensi

  1. ^ Soerjopratiknyo, Hartono (1983). Hukum Waris Tanpa Wasiat. Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 
  2. ^ a b Pitlo, A. (1979). Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I. Jakarta: Intermesa. 
  3. ^ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.