Puisi Gelap
Puisi Gelap adalah salah satu aliran puisi yang memiliki arti yang bersifat personal sehingga maknanya sulit dipahami. Puisi ini juga mengandung kias, lambang dan majas yang juga mempunyai kesamaan dengan puisi pada umumnya, namun puisi gelap memiliki sifat yang sangat pribadi yang berakibat pembaca kesulitan menafsirkan makna dengan jelas. Makna tersebut seringkali tersembunyi dan bertingkat serta memiliki kesukaran pikiran dan kenihilan makna.[1]
Ciri Ciri
Penyair yang sering menulis jenis puisi gelap seringkali dengan sengaja menyampaikan suatu maksud atau pandangan dengan menggunakan kiasan, lambang, bentuk tipografis serta menyampaikan kalimat implisit secara rumit. Kata yang digunakan adalah kata yang disertai konotasi dan simbol simbol tertentu. Bentuk tersebut adalah puisi tertutup atau hermetis. Puisi tersebut mencerminkan ekspresi perseorangan dan penyampaikan perasaan.
Awal Muncul Puisi Gelap
Kemunculan puisi gelap dimulai pada tahun 1930-an. Istilah puisi gelap pertama kali disebut oleh Chairil Anwar dalam esainya yang berjudul “Hoppla” (artikel tersebut termuat dalam majalah Pembangoenan I No 1, 10 Desember 1945). Esai tersebut kemudian dibukukan dalam buku H.B Jassin yang berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1956 dan 1959.)[1]
Sajak-Sajak Amir Hamzah yang berjudul sajak Nyanyi Sunyi banyak mengutarakan majas yang personal. Hal tersebut membuat Chairil menyebutnya sebagai puisi gelap (duistere poezie). Chairil menjelaskan bahwa dalam puisi tersebut, kita sebagai pembaca tidak dapat memahami Amir Hamzah jika hanya membaca Nyanyi Sunyi Sonder dengan bekal pengetahuan tentang sejarah dan agama karena kalimat yang disampaikan Amir mengenai misal serta perbandingan dari agama dan sejarah (Jassin, 1959).[1][2]
Puisi gelap pada tahun 1950-1960 tersebut juga sudah marak dan banyak puisi yang susah dmengerti dan dinikmati. Lalu pada tahun berikutnya yakni pada 70 hingga 80-an juga tetap eksis. Pada tahun 1980-an ditemukan banyak aliran puisi gelap seperti yang ditulis oleh Kriapur dan Afrizal Malna. Menurut Abdul Hadi W.M (1988), sajak Kriapur tidak hanya memakai kata-kata yang klise, melainkan juga tampak aneh dan gila. Frasa “bulan pecah berantakan” dan “kupahat mayatku di dasar air” adalah lambang dan majas yang memiliki arti yang sangat pribadi sehingga makna tersebut gelap.
Perkembangan Puisi Gelap di Jawa Timur
Perkembangan puisi gelap juga berkembang di kota-kota lain, seperti di Surabaya, Jawa TImur. Dalam tulisan Yoga di Harian Kompas Edisi 22 Juli tahun 2008, Ia menyebutkan bahwa perkembangan puisi gelap di Surabaya dimulai pada tahun 1995-an ketika penyair menggandrungi aliran surealisme. Lalu pada tahun 2004, penyair dari Jawa Timur, yakni Indra Tjahyadi dan W. Haryanto mengatakan bahwa penyair jawa timur bekecenderungan apokalipsa, di mana hasrat untuk menunjukkan bahwa zaman kita hidup sekarang ini dipenuhi tanda tanda buruk yang mengisyaratkan hancurnya tatanan kehidupan sosial dan kebudayaan. [3]
Puisi gelap yang hadir dari penyair di komunitas Airlangga Surabaya, menurut Yoga (2008), Seolah seperti melakukan pelarian dalam keterasingan terhadap pemikiran pembaca, mengambil jarak serta jauh dari akal sehat dan imajinasi dari pembaca. Puisi puisi yang hadir tersebut sangatlah subjektif, sehingga mengalienasi diri terhadap dunia sekitar. Penuh, bebas dan metafor adalah kata-kata imajinasi yang seringkali berjarak dan tidak teratur, tidak selaras, dan meretakkan dari bangun imajinasi sebelumnya. Sehingga puisi gelap dipahami sebagai teks yang meretakkan suatu peristiwa yang tercerai berai.[3]
Beberapa Penyair yang Beraliran Puisi Gelap
- Amir Hamzah
- Kriapur
- Afrizal Malna
- F. Aziz Manna
- Indra Tjahyadi
- W. Haryanto
Referensi
- ^ a b c "Artikel "Puisi Gelap" - Ensiklopedia Sastra Indonesia". ensiklopedia.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2021-10-21.
- ^ Tempo, Tempo (14 Agustus 2017). "PUISI GELAP AMIR HAMZAH". Tempo. Diakses tanggal 20 Oktober 2021.
- ^ a b S, Yoga (22 Juli 2008). "Taman Puisi Gelap Surabaya". Kompas. Diakses tanggal 20 Oktober 2021.