Wakil Tinggi Mahkota di Negara Pasundan

Wakil Tinggi Mahkota di Negara Pasundan atau dengan bahasa belanda disebut Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon in Pasundan Country berdiri sejak 1 April 1949. Kedudukan jabatan tersebut terjadi dalam kondisi peralihan.[1]

Tugas

Wakil Tinggi Mahkota di Negara Pasundan mempunyai peranan dalam mencegah ancaman bahaya dari Pemerintah Federal Sementara, karena kududukannya berasal dari utusan Pemerintah Federal Sementara. Segala utusan yang berasal dari Wakil Tinggi Mahkota dapat dijadikan sebagai pelindung golongan minoritas dan juga pelindung golongan yang berasal dari Belanda.

Hubungan Pemerintah Federal Sementara menyebabkan terjadinya perselisihan yang besifat politis dan teknis, terhadap pemberian kekuasan antara Pemerintah Central dan Negara. Pada saat itu juga terdapat anggapat bahwa Pemerintah Central Sementara merupakan musuh dari pembentukan Negara Indonesia Serikat. Datangnya Belanda dan sekutunya ke Indonesia, memicu kegaduhan baru terhadap masyarakat Indonesia yang seharusnya sudah terbebas dari penjajahan yang telah dilakukan Belanda dan Jepang. Hal ini memicu revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan masyarakat Indonesia. Terdapat strategi yang efektif dalam menghadapi kedatangan Belanda dan sekutunya ke Indonesia, seperti dengan cara bertempur ataupun ditempuh dengan cara berdiplomasi.[2]

Proses Revolusi

Proses revolusi yang terjadi yang disertai dengan pertempuran antara pihak Belanda dan Indonesia tidak terlpas dengan adanya gencatan senjata yang dilakukan kedua belah pihak. Genjatan senjatan yang dilakukan mengikuti aturan prinsip-prinsip dalam berpolitik yang berdasarkan kebebasan, kedaulan, dan kerjasama antara kedua bangsa.[2]

Peristiwa yang melibatkan antara Pemerintah Federal Sementara dan juga Negara Pasundan dijadikan sebagai pertukaran kebudayaan antara kedua belah pihak antara Belanda dan Indonesia yang diinisasii oleh Negara Pasundan.[1] Tetapi, pada saat itu jabatan Komisaris Mahkota untuk Pasundan yang berlaku terlalu singkat, sehingga peristiwa tersebut tidak bisa dilakukan pengembangan dan pembangunan lebih lanjut yang berkaitan dengan Negara Pasundan.

Pada akhirnya, Republik Indonesia melakukan perundingan atau diplomasi kepada pihak sekutu ataupun pihak Belanda. Adapun perundingan yang dilaksanakan seperti, perundingan Hooge Veuwe, perundingan Linggarjati, perundingan Renville, perundingan Roem-Roijen hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.

Referensi

  1. ^ a b Negara Pasundan satu tahun, 24 April 1948-1949. 1949. 
  2. ^ a b Sugih Rachmat Pangersa, - (2021-01-28). "KIPRAH PARTAI RAKYAT PASUNDAN DALAM NEGARA PASUNDAN (1947-1950)" (dalam bahasa Inggris). Universitas Pendidikan Indonesia.