Surat Ulu
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Natsukusha (Kontrib • Log) 1108 hari 481 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus. |
Surat Ulu atau adalah sebutan untuk sejumlah aksara serumpun yang terutama digunakan di pulau Sumatra bagian selatan. Istilah ini paling umum digunakan untuk merujuk pada aksara Incung, aksara Lampung, dan aksara Rejang, tetapi juga digunakan untuk merujuk pada aksara sejenis yang pernah digunakan oleh masyarakat Rawas, Lintang, Ogan, Lakitan (di Sumatera Selatan), Pasemah, Lembak (di Sumatera Selatan dan Bengkulu), Serawai (di Bengkulu), serta Krui (di Lampung).[1]
Surat Ulu Aksara Rencong Aksara Kaganga | |
---|---|
Jenis aksara | |
Bahasa | Lampung, Melayu Tengah, Rejang, Kerinci |
Aksara terkait | |
Silsilah | Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
|
Pengkodean Unicode | |
| |
Asal nama
Nama[a]
Surat Ulu berasal dari kata "surat" dan "ulu"[b]
Nama Hanacaraka berasal dari lima huruf pertama dalam deret tradisional aksara Jawa. Hal ini setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam abjad Arab (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal). Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang sering kali dikaitkan dengan legenda Aji Saka, meski variasi cerita yang berbeda-beda dapat ditemukan di berbagai sumber dan daerah.[1][2] Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan dan legenda asal-usul hanacaraka.[3][4]
Dalam bahasa setempat, surat Ulu bermakna "aksara dari hulu". Dinamai demikian karena aksara ini pada mulanya berkembang di kawasan hulu-hulu sungai di Pegunungan Bukit Barisan.[4]
Para sarjana Barat lazim menyebut aksara ini sebagai aksara Rencong (bahasa Belanda: Rentjong-schrift) karena bentuk huruf-hurufnya yang serong.[5][6][7] Penamaan yang mirip bisa ditemukan di beberapa daerah. Di Alam Pasemah misalnya, aksara ini disebut surat ʁincung.[8] Jaspan dkk. menamai aksara ini sebagai aksara Kaganga karena aksara ini menggunakan urutan Panini yang dimulai dari huruf Ka-Ga-Nga.[9]
Penggunaan
Surat Ulu lazim ditulis pada bambu, kulit kayu, tanduk, dan kertas.[4]
Galeri
Aksara Incung
|
Aksara Lampung
|
Aksara Rejang
|
Aksara Pasemah
|
Catatan
- ^ Mengenai penamaan aksara Rencong dan Surat Ulu, L C Westenenk menulis sebagaimana berikut:
Toen ik dit eerste opstel schreef, wist ik n.l. niet, of de bij Europeanen gebruikelijke term "rèntjong-schrift" inderdaad ergens door Maleisch wordt gebezigd. Het is mij nu gebleken, dat dit in het landschap Rawas (Palembang) het geval is. Elders noemt men het gewonlijk: soerat oeloe = bovenlandsch schrift.
Ketika saya menulis esai pertama ini, saya tidak tahu apakah istilah "aksara rencong" yang biasa digunakan di kalangan orang Eropa, memang digunakan di suatu tempat dimana orang Melayu tinggal. Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa (istilah) ini digunakan di kawasan Rawas (Palembang). Di kawasan lain (aksara ini) biasa disebut: surat ulu = aksara dataran tinggi.
—Westenenk (1919) - ^ Mengenai penamaan aksara Rencong dan Surat Ulu, Westenenk menulis sebagaimana berikut:
Aksara Jawa digunakan sepanjang periode sastra Jawa modern, dan digunakan di seantero pulau Jawa, di masa ketika komunikasi antarwilayah sering kali sulit dan tidak terdapat dorongan untuk menstandarisasi aksara Jawa. Akibatnya, aksara Jawa memiliki berbagai langgam historis dan kedaerahan yang digunakan silih-berganti seiring waktu. Kemampuan seseorang untuk membaca naskah dluwang dari Demak yang ditulis pada tahun 1700-an, semisal, tidak menjadi jaminan orang yang sama dapat memahami aksara pada naskah lontar dari kaki gunung Merapi (sekitar 80 km dari Demak) yang ditulis pada periode waktu yang sama. Perbedaan yang sangat besar antara langgam-langgam daerah memberikan kesan bahwa "aksara Jawa" adalah sekumpulan aksara, alih-alih sebuah aksara tunggal.
Rujukan
- ^ Sarwono, Sarwit; Rahayu, Ngudining (2014). Pusat Penulisan dan Para Penulis Manuskrip Ulu di Bengkulu (PDF). Universitas Bengkulu: UNIB Press. ISBN 978-979-9431-85-1.
- ^ Behrend 1996, hlm. 162.
- ^ Miller, Christopher. (2011). Indonesian and Philippine Scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Unicode as of version 6.0: A report for the Script Encoding Initiative.
- ^ a b "PUSAT PENULISAN DAN PARA PENULIS MANUSKRIP ULU DI BENGKULU – UPT Perpustakaan Universitas Bengkulu". library.unib.ac.id. Diakses tanggal 2021-11-09.
- ^ "De Talen en Letterkunde van Midden - Sumatra". katalog.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 2021-11-09.
- ^ "Proeve eener beschrijving van het gebied van Palembang (Zuid-Oostelijk Gedeolele van Sumatra) / W.L. de Sturler | OPAC Perpustakaan Nasional RI." opac.perpusnas.go.id. Diakses tanggal 2021-11-09.
- ^ Westenenk, L. C. (1919). Aanteekeningen omtrent het hoornopschrift van loeboek blimbing in dermaga sindang bliti onder 7 deeling redjang afdeeling lebong residentie benkoeloen. albrecht.
- ^ Aksara Base Besemah (PDF).
- ^ Jaspan, M. A. (1964). Redjang Ka-Ga-Nga Texts : Folk Literature of South Sumatra. The Australian National University.