A.A. Navis

Sastrawan dan budayawan Indonesia

Haji Ali Akbar Navis (17 November 1924 – 22 Maret 2003; dikenal dengan nama A.A. Navis) adalah seorang sastrawan, budayawan, pelukis, dan politisi Indonesia asal Sumatra Barat. Ia terkenal karena cerita pendeknya Robohnya Surau Kami (1956).

Ali Akbar Navis
Lahir(1924-11-17)17 November 1924
Hindia Belanda Kampuang Jao, Padangpanjang, Sumatra's Westkust, Hindia Belanda
Meninggal22 Maret 2003(2003-03-22) (umur 78)
Indonesia Padang, Sumatra Barat
KebangsaanIndonesia Indonesia
AlmamaterINS Kayutanam
PekerjaanSastrawan, budayawan

Kehidupan awal

 
Makam Navis di TPU Tunggul Hitam, Padang

Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang pada 17 November 1924. Ia menyelesaikan studi di Institut Nasional Syafei (INS) di Kayutanam pada tahun 1946. Selepas sekolah, ia pernah bekerja sebagai seorang pegawai pada sebuah pabrik porselen di Padang Panjang, kota kelahirannya, dan kemudian menjadi seorang pegawai negeri. Dari tahun 1955 hingga 1957, ia merupakan Kepala Bagian Kesenian pada Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat, berkedudukan di Bukittinggi. Ia juga pernah memimpin harian Semangat sebagai pemimpin redaksi dari tahun 1971 hingga 1972.[1]

Dari tahun 1972 hingga 1982, Navis duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatra Barat sebagai wakil dari Golkar.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; nama tidak boleh integer sederhana. Gunakan nama deskriptif

Kepenulisan

Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:

  • Robohnya Surau Kami (1955)
  • Bianglala (1963)
  • Hujan Panas (1964)
  • Kemarau (1967)
  • Saraswati
  • Si Gadis dalam Sunyi (1970)
  • Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
  • Di Lintasan Mendung (1983)
  • Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
  • Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
  • Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
  • Cerita Rakyat Sumbar (1994)
  • Jodoh (1998)

Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.

Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tetapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan kadang-kadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.

Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.

Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.[2] Cerpen 'Robohnya Surau Kami' mendapatkan banyak respons pro dan kontra masyarakat. Cerpen ini juga menggaet Hadiah Sastra majalah Kisah. Berkat cerpen Robohnya Surau Kami (RSK) Navis menjadi terkenal di bidang sastra. Navis mulai mengkritik melalui karya sastra. Pernah ia dkucilkan atasan karena sering berselisih dengan atasannya. Namun, ia mengatakan 'Daripada saya ke luar kantor dan membuat bos saya bertambah marah, daripada saya duduk termenung-menung sambil melihat teman sejawat sibuk dan hati sakit sendiri, saya ambil mesin ketik, saya menulis dan menulis terus”.[3]

Pandangan

Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tetapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.

Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu, kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.

Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tetapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu, pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".[2]

Kehidupan pribadi

Navis menikah dengan istrinya, Aksari Yasin, pada tahun 1957. Pasangan ini dikaruniai tujuh orang anak: Dini Akbari, Lusi Berbasari Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Navis wafat di Padang pada tanggal 22 Maret 2003, setelah sebelumnya menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta.<ref name=Kemdikbud>

Karya

  • Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)
  • Gerhana: novel (2004)
  • Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
  • Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)
  • Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
  • Dermaga Lima Sekoci (2000)
  • Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
  • Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
  • Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)
  • Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
  • Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
  • Surat dan Kenangan Haji (1994)
  • Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)
  • Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
  • Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
  • Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
  • Di Lintasan Mendung (1983)
  • Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
  • Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
  • Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
  • Kemarau (1967)
  • Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
  • Hudjan Panas (1963)
  • Robohnya Surau Kami (1955)

Referensi

  1. ^ "A. A. Navis (1924—2003)" pada Ensiklopedia Sastra Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
  3. ^ "Robohnya Surau Kami dan A.A. Navis yang Dianggap Mengejek Islam". tirto.id. Diakses tanggal 2020-02-22. 

Pranala luar