Aisyah
Aisyah binti Abu Bakar (bahasa Arab: عائشة, transliterasi: `ā'isha, Turki Ayşe, Turki Utsmani Âişe) (sekitar 613/614-678 Masehi)[1] adalah istri dari Nabi Islam Muhammad.
Aisyah Ibu Orang-Orang Beriman | |
---|---|
Nama asal | عائشة بنت أبي بكر (Arab) |
Lahir | Aisyah binti Abu Bakar 613/614 M |
Meninggal | 13 Juli 678 / 17 Ramadhan 58 AH (sekitar umur 64 tahun) |
Makam | |
Suami/istri | Muhammad (k. 620; (w. 632) |
Orang tua | Abu Bakar (ayah) Ummi Ruman (ibu) |
Karier militer | |
Perang/pertempuran | Perang Saudara Islam I Perang Jamal |
Dalam penulisan Islam, sering ditambahkan pula gelar "Ibu orang-orang Mukmin" (Arab: أمّ المؤمنين ummul-mu'minīn), sebagai gambaran bagi para istri Muhammad sebagai "Ibu dari orang-orang Mukmin" dalam Qur'an.[2] Ia dikutip sebagai sumber dari banyak hadits, di mana kehidupan pribadi Muhammad menjadi topik yang sering dibicarakan.
Aisyah juga merupakan seorang figur kontroversial sebagaimana yang digambarkan oleh cerita versi Syi'ah terkait dengan peperangannya dengan Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal.[3]
Etimologi
‘Aisyah dalam bahasa Arab yang memiliki arti "Hidup dan Sehat".[4] Variasi nama dari ‘Aisyah adalah 'Aisha, A'ishah, Ayesha, A'isha, Aishat, atau Aisya yang memiliki makna yang sama pula.
Biografi
Genealogi
‘Aisyah adalah putri dari Abu Bakar (khalifah pertama), hasil dari pernikahan dengan isteri keduanya yaitu Ummi Ruman yang telah melahirkan Abd al Rahman dan Aisyah.
Pernikahan dengan Nabi Muhammad
Nabi Muhammad dua kali bermimpi kalau Aisyah dibawakan oleh Malaikat untuk menjadi jodoh beliau.[5][6] Menganggap itu adalah ketentuan dari Allah yang harus dijalankan, Beliau pun meminta kepada ayahnya Aisyah, yaitu Abu Bakar, untuk memberikan putrinya demi menjadi istri beliau. Abu Bakar awalnya keberatan akan hal itu, dikarenakan menurutnya, Nabi Muhammad dan dirinya adalah saudara. Namun setelah diyakinkan bahwa dirinya dan Sang Rasul hanya saudara dalam agama, dan Aisyah adalah halal untuk Rasul nikahi, rasa ragu di dalam hati Abu Bakar pun terangkat.[7]
Di berbagai riwayat shahih, dicatatkan bahwa Aisyah dinikahi oleh Nabi Muhammad ketika Aisyah berumur 6 atau 7 tahun,[8][9][10] dan di saat itu Nabi Muhammad berusia 50 tahun.[11] Namun baru setelah berumur 9 tahun lah Aisyah diantarkan ke rumah Nabi dan disetubuhi oleh beliau,[12][13] dikarenakan pada selang waktu tersebut Aisyah sakit dan rambutnya rontok.[14]
Akan tetapi menurut pendapat seorang ulama Ahmadiyah, Ghulam Nabi Muslim Sahib, Aisyah setidaknya berumur 19 tahun saat berumah tangga dengan Rasulullah.[15] Namun itu dibantah secara terperinci oleh Ulama Besar serta Ahli Hadits, Gibril Fouad Haddad dan situs Islam Salafi, IslamQA.info, dengan menekankan bahwa riwayat-riwayat mengenai Aisyah dinikahi oleh Rasulullah pada umur 6 atau 7 tahun dan mulai berumah tangga pada saat berusia 9 tahun tercatat secara mutawatir (secara massal dengan berbagai jalur sanad yang berbeda) di dalam Kutubus Sittah (6 Kitab induk hadits dalam Islam), sehingga tidak ada keraguan di dalamnya dan wajib hukumnya seorang muslim untuk mengimaninya.[16][17][18]
Rumah Tangga
Ketika telah berumur 9 tahun, Aisyah yang sedang bermain ayunan bersama teman-temannya dipanggil oleh ibunya. Ia pun menghampiri ibunya tanpa tahu apa maksud dirinya dipanggil. Ibunya menarik lengannya dan menyuruhnya berdiri di depan pintu. Ia terengah-engah pada waktu itu. Ketika nafasnya telah teratur, ibunya pun membasuhnya dengan air. Setelah itu ia dibawa ke sebuah rumah di mana terdapat perempuan-perempuan Anshar yang memanjatkan doa untuknya. Lalu ibunya mempercayakannya kepada perempuan-perempuan tersebut yang mana lalu meriasinya. Dan pada saat hari beranjak siang, tanpa ia duga Rasulullah mendatanginya, dan ibunya memberikan dirinya kepada beliau.[19]
Aisyah membawa serta boneka-boneka miliknya meskipun ia telah berumah-tangga bersama Rasulullah.[20] Menurut Fath Al-Bari, bermain dengan boneka haram hukumnya dalam islam, namun diperbolehkan untuk Aisyah pada saat itu karena ia belum mencapai masa pubertas.[21] Akan tetapi, terdapat suatu riwayat yang menyebut bahwa Aisyah berkata, perempuan sudah baligh apabila ia telah berumur sembilan tahun.[22]
Teman-teman Aisyah suka berkunjung ke kamarnya untuk bermain boneka bersamanya. Namun ketika Nabi Muhammad masuk, mereka selalu bersembunyi. Akan tetapi, dengan baik hati Sang Nabi memanggil mereka untuk ikut bermain dengan Aisyah.[21]
Di antara istri-istri Nabi Muhammad, Aisyah adalah istri favorit beliau.[23][24] Sang Nabi menyebut bahwa ayat-ayat Qur'an tidak datang kepada beliau ketika beliau berada di tempat tidur manapun selain miliknya AIsyah.[25] Ia hidup bersama Sang Rasul selama sembilan tahun, tanpa memiliki keturunan, sampai akhir hayat beliau saat beliau berusia 63 tahun, dan dirinya berusia 18 tahun. Aisyah tidak lagi menikah setelah itu karena haram hukumnya istri-istri Nabi Muhammad untuk dinikahi orang lain setelah wafatnya beliau.[26]
Tuduhan berzina
Aisyah pernah dituduh telah berzina dengan salah seorang pasukan Nabi yang mengantarnya pulang ketika dirinya tertinggal dari rombongan Sang Rasul.[27][28][29] Berzina adalah sebuah pelanggaran serius dalam islam yang hukumannya adalah dirajam sampai mati.[30]
Setiap kali Nabi Muhammad akan melakukan serangan ghazwah ke pemukiman atau kafilah dagang milik orang-orang kafir, beliau biasa mengundi istri-istrinya untuk memilih salah satu dari mereka yang akan menemaninya. Aisyah menjadi orang yang beruntung pada saat itu. Ia pun dibawa di dalam sebuah rengga tertutup di atas sebuah unta. Dalam perjalanan pulang seusai serangan, rombongan Nabi berhenti sejenak untuk istirahat, dan Aisyah pun turun untuk buang air. Sekembalinya dirinya ke rengga, ia menyadari bahwa kalungnya hilang, maka Aisyah kembali ke tempat ia buang air untuk mencarinya. Setelah berhasil menemukannya, rupanya rombongan Nabi telah pergi, mengira Aisyah berada dalam rengga-nya. Maka Aisyah pun menunggu di tempat itu berharap rombongan Nabi akan sadar bahwa dirinya tertinggal.
Menunggu lama, Aisyah mengantuk dan tertidur. Pada pagi harinya, Safwan bin Mu'attal, salah seorang pasukan Nabi yang tertinggal karena alasan tertentu, menemuinya dan mengantarnya pulang. Setibanya di Madinah, timbullah rumor bahwa Aisyah telah berzina dengan Safwan. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa Aisyah terbaring sakit selama sebulan semenjak dirinya pulang, yang mengakibatkan rumor tersebut semakin besar dan tidak terkendali.[31]
Selama sakitnya, Aisyah telah menduga ada yang aneh, sebab Nabi tidak lagi berlaku hangat kepadanya, dan cenderung menghindari berkomunikasi langsung dengannya. Ia pun mengetahui kalau ada tuduhan dirinya telah berzina setelah diceritakan oleh Umm Mistah. Aisyah pun merasa sedih dan meminta kepada Sang Rasul supaya dirinya diizinkan untuk kembali ke rumah ibunya untuk menenangkan diri.
Setibanya di rumahnya, Aisyah menanyakan kepada ibunya tentang apa yang terjadi, dan ibunya berkata: "Wahai putriku! Jangan terlalu khawatir tentang masalah ini. Demi Allah, tidak pernah ada wanita menawan yang dicintai suaminya yang memiliki istri lain, tetapi istri-istrinya yang lain itu akan membuat-buat berita bohong tentang dirinya." Aisyah pun menangis sampai pagi hari.
Di pagi harinya, Nabi Muhammad yang belum juga mendapatkan petunjuk dari Allah mengenai permasalahan ini, memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usama bin Zaid, untuk menanyakan pendapat mereka. Usama mengatakan 'Wahai Rasulullah (ﷺ)! Tetap pertahankan istrimu, karena, demi Allah, kami tidak tahu apa-apa tentangnya kecuali kebaikan." Sedangkan Ali berkata "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Allah tidak membatasi dirimu, ada banyak perempuan selain dirinya, namun engkau dapat bertanya kepada si pelayan wanita yang akan mengatakan hal yang sebenarnya."
Rasulullah pun memanggil Barirah, si pelayan tersebut, menanyakannya apakah ada gerak-gerik Aisyah yang membangkitkan rasa kecurigaan dirinya. Yang mana Barirah berkata: "Tidak, demi Allah yang telah mengirimkanmu kebenaran, saya tidak pernah melihat sesuatu yang salah darinya kecuali diakibatkan dirinya yang masih kecil, ia terkadang tertidur dan meninggalkan adonan keluarganya dimakan kambing."
Maka setelah saat itu Nabi pun naik ke atas mimbar mengajak para pengikutnya untuk menghukum Abdullah bin Ubai bin Salul yang telah memfitnah keluarganya. Sa'ad bin Muadz pun berdiri dan berkata "Wahai Rasulullah (ﷺ)! Demi Allah, Aku akan membebaskanmu dari dirinya. Jika orang itu dari Bani Aus, aku akan penggal kepalanya, dan jika dia berasal dari saudara-saudara kami, Bani Khazraj, maka perintahkanlah kami, dan kami akan memenuhi perintah anda." Pimpinan Bani Khazraj, Sa'ad bin Ubadah pun berdiri dan berkata "Demi Allah! Kau telah berbohong, kau tidak boleh membunuhnya dan kau tidak akan bisa membunuhnya." Usaid bin Hudhair lalu ikut berdiri dan berkata (ke Sa'ad bin Ubadah), "Kau yang berbohong! Demi Allah kami akan membunuhnya, dan kau adalah seorang munafik, yang membela teman munafiknya." Adu argumen pun semakin memanas antara Bani Aus dan Khazraj. Sebelum konflik timbul antara kedua pengikutnya tersebut, Nabi pun mendiamkan mereka.
Aisyah telah menangis tanpa henti dua malam satu hari. Pada hari itu orang tuanya dan seorang perempuan Anshar memasuki kamarnya dan ikut menagis dengannya. Di saat itu Rasulullah pun datang mengunjunginya. Selama satu bulan firman dari Allah tidak turun-turun kepada beliau mengenai kasus ini.[32] Setelah duduk Nabi mengucap Tasyahhud dan berkata:
"Wahai Aisyah! Aku telah diinformasikan hal ini dan itu mengenai dirimu; dan jika kamu tidak bersalah, Allah akan menunjukkan ketidak bersalahanmu, sedangkan jika kamu telah melakukan dosa, maka mintalah ampunan kepada Allah, dan bertobat kepadanya, karena ketika seorang hamba mengakui dosanya dan bertobat kepada Allah, maka Allah akan menerima tobatnya."
Ketika Rasulullah selesai dengan perkataannya, Aisyah telah berhenti menangis. Ia pun meminta kepada orang tuanya untuk menyampaikan apa yang ingin ia katakan kepada Rasulullah, namun mereka menolak dengan mengatakan, bahwa mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Sang Rasul.
Aisyah pun berbicara langsung kepada Sang Rasul:
"Demi Allah, aku tahu kalau engkau telah mendengar cerita ini (mengenai Ifk) sampai-sampai hal itu tertanam di pikiranmu dan membuatmu mempercayai hal itu. Jadi sekarang, kalaupun aku mengatakan bila aku tidak bersalah, dan Allah tahu aku tidak bersalah, engkau tidak akan mempercayaiku; dan bila aku mengatakan aku melakukan hal itu, dan Allah tahu kalau aku tidak melakukannya, kau pasti akan mempercayaiku. Demi Allah aku tidak dapat mencari contoh lain selain ayahnya Yusuf: "Maka (bagiku) kesabaran adalah yang paling cocok untuk menghadapi hal yang engkau nyatakan dan hanya Allah lah satu-satunya yang bisa dipinta pertolongan."
Maka Aisyah pun berbalik, dan berbaring di tempat tidurnya. Maka seketika itu wahyu datang kepada Nabi Muhammad, dan beliau berkata, "Aisyah, Allah telah menyatakan kalau kamu tidak bersalah." Ibu Aisyah pun berkata kepada Aisyah, "Berdirilah dan pergi ke beliau." Aisyah pun berkata, "Demi Allah, aku tidak akan pergi kepadanya dan aku tidak akan berterima kasih kepada siapapun selain kepada Allah." Rasulullah pun menyampaikan ayat-ayat yang telah diturunkan Allah kepadanya (QS. An-Nur 11-20).[27][28][29]
Pandangan Sunni dan Syi'ah
Sunni
Sejarawan Sunni melihat Aisyah sebagai seorang wanita terpelajar, yang tanpa lelah meriwayatkan hadis tentang kehidupan Nabi Muhammad. Dia merupakan salah seorang dari cendekiawan Islam awal di mana para sejarawan menghitung sampai seperempat dari Hukum Islam berasal dari Aisyah. Aisyah adalah istri favorit Nabi Muhammad dan menjadi contoh dari jutaan wanita.[3]
Syi'ah
Kalangan Syi'ah umumnya memandang buruk Aisyah. Hal ini terutama disebabkan oleh apa yang mereka anggap sebagai kebencian Aisyah terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi Muhammad) dan tindakan Aisyah dalam Perang Saudara Islam I. Partisipasi Aisyah dalam Perang Jamal secara luas dianggap sebagai tanda kebenciannya yang paling signifikan. Mereka juga tidak percaya bahwa Aisyah berperilaku sebagaimana mestinya dalam perannya sebagai istri Muhammad. Beberapa riwayat di kalangan Sy'iah yang terkemuka bahkan melaporkan bahwa Aisyah, bersama dengan Hafshah, menyebabkan kematian Nabi Muhammad dengan cara meracuni beliau.[33] Syi'ah juga menganggap Aisyah sebagai sosok kontroversial karena keterlibatan politiknya semasa hidupnya. Aisyah berasal dari garis keturunan keluarga politik, dia adalah putri Abu Bakar yang mana merupakan Khalifah pertama. Aisyah juga berperan aktif dalam kehidupan politik Nabi Muhammad; dia diketahui kerap menemani Nabi berperang, di mana dia belajar keterampilan militer, seperti memulai negosiasi sebelum perang antar para kombatan, melakukan pertempuran, dan mengakhiri perang.[34][35]
Wafat
Aisyah wafat di rumahnya di Madinah pada tanggal 17 Ramadhan 58 H (16 Juli 678 M).[butuh rujukan] Sahabat Nabi, Abu Hurairah memimpin penguburannya setelah salat tahajud dan ia dikuburkan di Jannat al-Baqi'.[36]
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Tentang kisah 'Aisyah.
- ^ "Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka, dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (Al-'Ahzab 33:6)
- ^ a b Goodwin, Jan. Price of Honour: Muslim Women Lift the Veil of Silence on the Islamic World. UK: Little, Brown Book Group, 1994
- ^ Makna Aysyah thinkbabynames.com
- ^ "Sahih al-Bukhari 7012". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Sahih al-Bukhari 3895". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Sahih al-Bukhari 5081". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Sahih al-Bukhari 5158". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Sunan Ibn Majah 1877 - The Chapters on Marriage - كتاب النكاح - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-08-18. Diakses tanggal 2021-08-18.
- ^ "Sahih Muslim 1422d - The Book of Marriage - كتاب النكاح - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-08-18. Diakses tanggal 2021-08-18.
- ^ al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman (2020). Sirah Nabawiyah. Gema Insani, 2020. hlm. 96. ISBN 6022508509.
- ^ "Hadits Sunan Abu Dawud No. 1811 - Kitab Nikah". hadits.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "Hadits Bukhari No. 4738 | Seseorang menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil". Hadits.id. Diakses tanggal 2021-12-03.
- ^ "Sahih al-Bukhari 3894". sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "aaiil.org". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ "تحقيق في عمر أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها عندما تزوجها النبي صلى الله عليه وسلم". IslamQA.info. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-07-17.
- ^ Haddad, Gibril. "Our Mother Lady A'isha's Age at Marriage" (PDF). eshaykh.com. hlm. https://eshaykh.com/hadith/our-mother-lady-ayeshas-age-at-marriage/. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-08-17. Diakses tanggal 17 Agustus 2021.
- ^ "More on 'Ā'isha's Age at the Time of Her Marriage - A Dialogue Between "The Learner" and Shaykh Gibril F. Haddad" (PDF). eshaykh.com. hlm. https://eshaykh.com/hadith/our-mother-lady-ayeshas-age-at-marriage/. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-17. Diakses tanggal 17 Agustus 2021. Diarsipkan 2021-07-17 di Wayback Machine.
- ^ "Sahih al-Bukhari 3894 - Merits of the Helpers in Madinah (Ansaar) - كتاب مناقب الأنصار - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih Muslim 1422c - The Book of Marriage - كتاب النكاح - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 6130 - Good Manners and Form (Al-Adab) - كتاب الأدب - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Hadits Tirmidzi No. 1027 | Dimakruhkan memaksa anak perempuan yatim dikawini". Hadits.id. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir - QS 4:128. hlm. 421 – 422. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Agustus 2021.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2593 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-08-21.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2581 - Gifts - كتاب الهبة وفضلها والتحريض عليها - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Surah Al-Ahzab - 53". quran.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 4750 - Prophetic Commentary on the Qur'an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) - كتاب التفسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "Sahih al-Bukhari 2661 - Witnesses - كتاب الشهادات - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ a b "Sahih Muslim 2770a - The Book of Repentance - كتاب التوبة - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2724 - Conditions - كتاب الشروط - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 4750 - Prophetic Commentary on the Qur'an (Tafseer of the Prophet (pbuh)) - كتاب التفسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ "Sahih al-Bukhari 2661 - Witnesses - كتاب الشهادات - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2021-12-04.
- ^ Ahmad ibn Muhammad al-Sayyari (2009). Kohlberg, Etan; Amir-Moezzi, Mohammad Ali, ed. "Revelation and Falsification: The Kitab al-qira'at of Ahmad b. Muhammad al-Sayyari: Critical Edition with an Introduction and Notes by Etan Kohlberg and Mohammad Ali Amir-Moezzi". Texts and studies on the Qurʼān. BRILL. 4: 103. ISSN 1567-2808.
- ^ Anwar, Etin. "Public Roles of Women." Encyclopedia of Islam and the Muslim World. 2004. Web.
- ^ Smith, Jame I. "Politics, Gender, and the Islamic Past. The Legacy of Aisha Bint Abi Bakr by D.A. Spellberg." Rev. of Politics, Gender, and the Islamic Past. The Legacy of Aisha Bint Abi Bakr by D.A. Spellberg. n.d.: n. pag. JSTOR. Web.
- ^ Ibnu Katsir, hlm. 97.
Bacaan lanjutan
- Guillaume, A. -- The Life of Muhammad, Oxford University Press, 1955
- Rodinson, Maxime -- Muhammad, 1980 Random House reprint of English translation
- Spellberg, D.A. -- Politics, Gender, and the Islamic Past: the Legacy of A'isha bint Abi Bakr, Columbia University Press, 1994
- Aisha bint Abi Bakr, The Concise Oxford Dictionary of World Religions, Oxford University Press, 2000
- Rizvi, Syed Saeed Akhtar. -- The Life of Muhammad The Prophet, Darul Tabligh North America, 1971.
- Ibnu Katsir. "buku 4, bab 7". Al-Bidayah wan Nihayah [Permulaan hingga akhir] (dalam bahasa Arab).
Pranala luar
- (Inggris) Biografi Aisyah Diarsipkan 2008-02-01 di Wayback Machine.