Industri olahraga adalah industri yang dapat berkembang karena adanya kolaborasi atau kerjasama dari berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan olahraga seperti perusahaan swasta yang memberikan fasilitas berupa sokongan/sponsorship untuk kegiatan olahraga; adanya kolaborasi antara kegiatan olahraga dengan media massa; dukungan pemerintah terhadap berbagai kegiatan olahraga; dan juga banyaknya organisasi olahraga yang bermunculan secara signifikan. Kegiatan olahraga dewasa ini bukan sekadar aktivitas fisik yang bernilai positif, bahkan juga menjadi suatu lahan bisnis yang menjanjikan. [1]

Pengembangan industri olahraga

Pendapatan dari industri olahraga dapat berasal dari penjualan barang-barang olahraga maupun penjualan jasa olahraga. Penjualan barang-barang olahraga bukan hanya baju olahraga, sepatu olahraga, maupun peralatan olahraga; namun dapat juga berasal dari penjualan buku olahraga, majalah ataupun koran olahraga. Sementara itu, penjualan jasa olahraga dapat berasal dari sektor para atlet seperti persediaan makanan dan minuman untuk atlet serta akomodasinya pada acara olahraga; dan juga dari sektor penonton olahraga di mana para penyedia tontonan acara olahraga mendapatkan keuntungan yang besar pada saat acara olahraga dilaksanakan. [2]

Adanya pandemi COVID-19 yang terjadi di awal tahun 2000, menyebabkan kegiatan olahraga dibatasi dengan alasan untuk mencegah penyebaran virus corona, baik itu olahraga profesional yang dilakukan oleh para atlet maupun olahraga yang dilakukan oleh bukan atlet untuk menjaga kesehatan. Adanya peraturan mengenai pembatasan sosial menyebabkan pusat kebugaran, stadion olahraga, studio senam, serta kolam renang umum menjadi sepi pengunjung; namun di balik itu semua, angka penjualan alat-alat olahraga yang dipakai di rumah meningkat pesat. [3]

Para pemangku kepentingan industri olahraga

Pemerintah

Organisasi nirlaba

Perusahaan swasta

Agar industri olahraga dapat berkembang, maka dibutuhkan kolaborasi atau kerjasama dari berbagai pihak seperti pemerintah—baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah—dalam mendukung kegiatan olahraga dan menyokong infrastruktur olahraga; perusahaan swasta; organisasi induk olahraga; klub pendukung atau penggemar atlet; serta media massa sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. [4]

Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunties, and threats) sangat berguna untuk memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, serta hambatan yang ada secara matang sebelum memulai menjalankan bisnis di bidang olahraga.[5]

Kekuatan mesti ditonjolkan; kelemahan harus dapat diatasi; peluang harus dicari sebaik mungkin; serta hambatan sebisa mungkin dihindari. Analisis SWOT ini dipakai untuk menentukan target yang akan dicapai dalam usaha pemasaran olahraga. Target pemasaran olahraga mencakup tiga hal. Pertama, besarnya keuntungan yang ingin didapat menentukan harga jual produk. Kedua, potensi pemasukan di masa mendatang harus dipikirkan secara matang agar dapat diketahui seperti apa produk dan jasa yang akan ditawarkan nantinya. Ketiga, untuk menentukan besarnya pangsa pasar yang akan disasar, maka harus dilakukan analisis pesaing usaha/kompetitor secara matang dan mendalam. [6]

Entitas olahraga dapat bertindak sebagai klub olahraga, organisasi olahraga, dan federasi olahraga. Klub olahraga pun ada yang amatir, dan ada yang profesional yang dapat berfungsi dalam hubungan kemitraan antara swasta dan pemerintah. Sementara itu, federasi olahraga berfungsi sebagai asosiasi yang mengatur serta mengawasi kegiatan klub olahraga. Di dalam menjalankan perannya, federasi olahraga membutuhkan dukungan dari pihak sponsor serta klub penggemar.[7]

Penjualan tiket pada kejuaraan olahraga ataupun penjualan cendera mata merupakan sumber pendapatan di bidang olahraga. Namun demikian, perlu dipertimbangkan pemasukan yang lain sehingga riset pasar dibutuhkan agar dapat diketahui apa yang diinginkan oleh para penggemar olahraga. Entitas olahraga pada umumnya merupakan organisasi nirlaba yang mendapat sokongan dana dari banyak pihak, dan dana tersebut akan berguna demi keberlangsungan olahraga di masa mendatang.[8]

Ada beberapa hal yang mendasari konsep pemasaran dari entitas olahraga. Pertama, berfokus pada pangsa pasar/segmen tertentu. Yang perlu diperhatikan adalah tentang bauran pemasaran yang disesuaikan dengan segmentasi pasar tersebut. Kedua, pendapatan yang terus mengalir. Yang harus diperhatikan adalah pemasukan dalam jangka panjang, di samping pemasukan jangka pendek yang terhitung lumayan besar seperti penjualan tiket serta dana dari sponsor. Ketiga, pemasaran yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan para pemangku kepentingan dari entitas olahraga.[9]

Ada empat macam segmentasi yang bisa diterapkan pada bidang pemasaran olahraga. Pertama, segmentasi demografis. Yang termasuk faktor-faktor demografis adalah usia, jenis kelamin, besarnya penghasilan, serta gaya hidup. Kedua, segmentasi geografis baik di tingkat daerah, provinsi, nasional, maupun internasional. Segmentasi geografis ini ditentukan bukan di mana orang tinggal, tetapi di mana orang bekerja. Ketiga, segmentasi psikografis meliputi aktivitas yang biasa dilakukan, kegemaran, serta pola pikir. Generasi Y yang lahir antara tahun 1982-2003 lebih menyukai olahraga secara fisik, sementara generasi setelahnya lebih menyukai permainan elektronik. Keempat, segmentasi perilaku untuk menganalisis seberapa sering konsumen memakai produk atau jasa olahraga, serta berapa banyak yang dibelanjakan untuk membeli produk dan jasa tersebut.[10]

Penonton acara olahraga balap di televisi tentu berbeda dengan orang awam yang gemar bermain golf. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya menentukan segmentasi pasar sehigga dapat diketahui produk dan jasa seperti apa yang cocok dengan konsumen.  Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam membidik konsumen khusus olahraga. Pertama, apa saja yang dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan. Kedua, seberapa sering produk olahraga digunakan. Ketiga, faktor demografis seperti usia; pendidikan; besarnya pendapatan; jenis kelamin; dan lain sebagainya. Keempat, faktor psikografik seperti gaya hidup; kegemaran; serta pola pikir.[11]


identifikasi penggemar

identifikasi penggemar olahraga dapat didefinisikan sebagai bentuk komitmen seseorang atau keterikatan secara emosional kepada organisasi olahraga.[12]

Kesetiaan penggemar olahraga tergantung pada faktor manajerial organisasi atau tim olahraga yaitu karakteristik organisasi atau tim olahraga, karakteristik afiliasi, serta karakteristik kegiatan olahraga. Masing-masing faktor tersebut berdampak terhadap seberapa besar tingkat kesetiaan penggemar yang terdiri dari beberapa tingkat yaitu tingkat rendah di mana seorang penggemar tidak terlalu mengagumi tim olahraga; tingkat sedang di mana seorang penggemar dapat dikatakan cukup menyukai tim olahraga; level tinggi di mana pada tahap ini, seorang penggemar dapat dikatakan sebagai penggemar berat. Ada beberapa manfaat yang didapatkan dengan mengidentifikasi penggemar yaitu ketika tim olahraga mengalami kekalahan, maka para penggemar masih tetap mempercayai tim olahraga kebanggaannya; ketika cendera mata olahraga dijual dengan harga yang lebih mahal dari biasanya, maka para penggemar berat tidak akan mempermasalahkannya dan akan berusaha keras untuk mendapatkan barang kesukaannya.  [13]

Pemasaran Olahraga

Proses pemasaran olahraga terdiri dari empat fase : analisis, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian. Informasi merupakan landasan awal dalam menganalisis pemasaran bisnis olahraga di mana pada fase ini data yang relevan dikumpulkan dan ditarik kesimpulan sebagai pedoman di tahap perencanaan. Tahap perencanaan merupakan fase di mana tujuan dari pemasaran olahraga ditentukan berdasarkan target. Tujuan dari pemasaran dibagi ke dalam dua jenis, ada tujuan jangka pendek (dalam waktu 1 tahun) dan tujuan jangka panjang (antara 2-3 tahun), dan ini sudah masuk ke dalam fase pelaksanaan di mana teori mengenai bauran pemasaran/marketing mix dijalankan. Fase pengendalian dibutuhkan agar target dicapai sesuai dengan rencana semula. Jika ada hal-hal yang terjadi di luar perencanaan, maka perlu dilakukan penyesuaian; namun hal-hal yang sudah sesuai dengan rencana awal, hanya perlu dilanjutkan saja.[14]


Ada tujuh macam bauran pemasaran/marketing mix yang dapat diterapkan dalam industri olahraga. Pertama, Product. Karakteristik dari produk harus sesuai dengan kebutuhan dari konsumen yang disasar. Kedua, Price. Harga produk harus sesuai dengan ekspektasi dari konsumen. Jika segmen pasarnya adalah konsumen kalangan menengah ke atas sementara harga produk terlalu murah, maka konsumen akan menganggap barang yang ditawarkan kurang berkualitas. Ketiga, Place. Produk harus disalurkan ke tempat yang cocok dan pada waktu yang sesuai sehingga terjadi transaksi penjualan. Keempat, Physical evidence. Ini terkait dengan kemasan untuk menaikkan nilai jual produk maupun jaminan terhadap produk itu sendiri. Kelima, Process. Proses harus selalu diperhatikan agar kualitas produk terjamin dan dikirim tepat waktu serta adanya garansi produk. Keenam, People. Adanya tanggungjawab untuk memastikan kualitas dari produk atau jasa olahraga. Ketujuh, Promotion. Mempromosikan produk dan jasa baik secara daring maupun luring. [15]

Pendapatan dari bisnis olahraga

Program komunitas

Peluang komunitas untuk bisa berkembang terjadi karena adanya interaksi yang sehat, baik itu antar anggota komunitas sendiri maupun dengan pihak luar sehingga diharapkan komunitas yang sedang berkembang tersebut dapat berkontribusi di masyarakat. Beberapa contoh program komunitas olahraga adalah program edukasi, perkemahan olahraga, pengembangan olahraga di sekolah, penghargaan olahraga, acara perjamuan makan, turnamen olahraga.[16]

Keanggotaan/membership

Beberapa organisasi olahraga mendapatkan keuntungan dari keanggotaan aktif. Selain itu, lapangan golf dapat dipakai untuk acara turnamen ataupun acara piknik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat.[17]

Inventaris elektronik

Sumber pemasukan dari inventaris elektronik saat ini tidak sebatas hanya dari iklan di televisi maupun di radio, namun juga berasal dari pemanfaatan platform pemasaran digital seperti blog ataupun media online; semua kanal media sosial; periklanan digital, baik yang gratis dan dikembangkan secara organik (search engine optimization) maupun yang  berbayar (pay per click/search engine marketing); pemasaran melalui video atau konten; pembuatan aplikasi olahraga.[17]

Pemasaran produk dan jasa olahraga melalui laman di internet dapat menjangkau konsumen dari berbagai penjuru, serta agar proses penyampaian produk dan jasa ke tangan konsumen menjadi lebih efektif, dan dengan catatan bahwa laman olahraga tersebut dilengkapi dengan platform pembayaran yang tidak rumit dan mempersulit konsumen.[18]

Sokongan dana

Sumber dana dapat berasal dari donatur, perusahaan, yayasan, maupun dukungan dari masyarakat. Sementara itu, metode pendanaan dapat berupa pengajuan proposal, hadiah tahunan, maupun penyelenggaraan kegiatan yang membutuhkan dukungan dari sponsor. [19]

Hak paten

Beberapa organisasi olahraga menjual hak patennya atas penamaan stadion atau arena olahraga, fasilitas latihan, baju sepakbola, kolam renang, taman komunitas, serta ruang publik.[19]

Inventaris

Meskipun sesuatu yang tercetak di era seperti sekarang ini bisa didapatkan dalam bentuk digital, tetapi beberapa organisasi olahraga masih mendapatkan pemasukan dari sesuatu yang tercetak seperti buletin atau majalah olahraga, tiket, brosur mengenai profil organisasi, dan sebagainya.  [20]

Logo olahraga

Sering dijumpai logo olahraga berdampingan dengan logo dari perusahaan sponsor dalam bentuk spanduk, poster, papan iklan, dan sebagainya yang terdapat di stadion olahraga maupun di tempat-tempat umum.[20]

Tiket dan penginapan atlet

Pemasukan dari industri olahraga yang terbilang cukup besar meskipun bersifat musiman karena tiket dan penginapan atlet dipersiapkan terutama jika ada kejuaraan atau pertandingan, baik tingkat daerah, kota, provinsi, nasional, maupun internasional.[21]

Waralaba olahraga

Waralaba olahraga menjadi salah satu sumber pemasukan yang menjanjikan dalam idustri olahraga karena potensi untuk balik modal cukup besar meskipun secara tidak langsung. Beberapa mitra waralaba menginvestasikan modal awal, lalu ada sistem bagi hasil dengan pemilik waralaba sehingga keuntungan yang didapat bersifat tidak langsung.  [22]


Ada beberapa karakteristik unik dari produk dan jasa olahraga. Pertama, Olahraga merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Olahraga merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang bergerak dinamis sehingga tidak bisa diandaikan seperti minuman penyegar yang dikemas dengan botol. Masing-masing penggemar olahraga memaknai pertandingan olahraga secara berbeda-beda sekalipun acaranya sama-sama ditonton. Kedua, Adanya keterikatan emosional antara tim olahraga dengan para penggemarnya. Produk olahraga yang dimiliki oleh para penggemar merefleksikan seberapa besar kecintaan mereka kepada atlet kebanggaannya. Ketiga, Komoditas yang mudah rusak. Setiap ada acara olahraga, maka cendera mata olahraga bernilai jual tinggi. Ketika acara olahraga sudah berlalu, maka nilai jualnya menjadi turun, terutama jika tim olahraga kebanggan penggemar mengalami kekalahan. Keempat, Tidak dapat diprediksi. Tim olahraga kebanggaan para penggemar suatu saat akan mengalami kekalahan, tidak akan terus berjaya sepanjang waktu. Kekalahan yang terjadi bukan semata-mata karena kurang hebat dalam bermain, namun karena cedera selama pertandingan, para pendukung tim lawan yang jumlahnya lebih banyak sehingga mempengaruhi psikologis pemain yang kurang mendapat dukungan, dan sebagainya.[23]


Pemberian merek pada suatu produk sangat penting untuk membedakannya dari produk lain yang sejenis di pasaran. Suatu merek haruslah diingat oleh konsumen sehingga ekuitas merek didapatkan dari kemempuan sebuah merek untuk menciptakan kesan yang baik di benak konsumen.[24]

Ekuitas merek—dalam konteks olahraga—mengacu kepada nilai-nilai di mana para penggemar merasa terikat dengan nama dan simbol tim kebanggaannya. Jika mereka sudah merasa puas atau senang, harapannya adalah mereka menjadi pelanggan setia, dengan demikian diharapkan mereka akan melakukan order ulang. Ekuitas merek mencakup tiga hal yaitu kualitas, kesadaran dari penggemar atau memori tentang merek, asosiasi terhadap merek, dan kesetiaan terhadap merek.[25]

Salah satu hal yang paling krusial dan mendasar dalam membangun ekuitas merek adalah tim olahraga terlebih dahulu harus meningkatkan prestasinya, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional. Selain itu, nama baik dari manajer tim olahraga pun mempengaruhi ekuitas merek.[26]


Seorang pemasar yang cerdas tentu akan bertanya beberapa hal berdasarkan aturan 5W1H. WHO. Siapa yang menjadi pelanggan, baik di masa lalu, sekarang, atau di masa mendatang berdasarkan faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, besarnya pendapatan; faktor geografis, serta faktor psikografis. WHERE, WHEN, HOW. Di mana, kapan, dan bagaimana pelanggan memakai produk dan jasa olahraga. WHAT. Apa media sosial yang sering dipakai oleh pelanggan. HOW, WHY. Bagaimaa dan mengapa pelanggan merasa terikat dengan produk atau jasa yang ditawarkan. WHY. Jika ada pelanggan yang loyal, mengapa ada pula yang tidak loyal/berpindah ke merek lain?[27]


Pemasaran olahraga merupakan suatu fenomena yang baru muncul dewasa ini. Pada tahun 1940-1950 an, olahraga bukan untuk tujuan komersial. Sikap serta prinsip yang dipegang oleh para atlet banyak berasal dari nilai-nilai keluarga berdasarkan tradisi, misalnya olahraga tenis merupakan aktivitas yang berasal dari kelas menengah. Di sisi lain, olahraga tenis menjadi olahraga andalan para perempuan yang ingin tubuhnya atletis dan kuat, namun tidak terkesan maskulin.[28]

Filosofi pemasaran olahraga

Filosofi pemasaran olahraga adalah tentang strategi menang-menang dengan menaruh kebutuhan dan keinginan konsumen di titik sentral pengambilan keputusan yang beririsan dengan target dari perusahaan atau industri olahraga.[29]

Ada sembilan prinsip dari pemasaran olahraga. Pertama, pemasaran lebih dari promosi; iklan; atau taktik  penjualan. Kedua, tujuan pemasaran adalah mengubah strategi saat konsumen sudah bosan dengan produk atau jasa. Ketiga, pemasaran olahraga merupakan perencanaan posisi merek dalam pasar, dan menciptakan keterikatan dengan konsuen melalui merek. Keempat, pemasaran olahraga dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu pemasaran produk dan jasa olahraga; serta pemasaran melalui kegiatan olahraga. Kelima, filosofi pemasaran olahraga adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Keenam, pemasaran olahraga merupakan perpaduan antara menemukan peluang, merancang strategi, merencanakan taktik, serta melakukan dan mengevaluasi perencanaan pemasaran olahraga. Ketujuh, pemasaran olahraga dapat dilihat secara filosofis di mana fungsi marketing dijalankan oleh nilai-nilai, dapat dilihat sebagai sebuah proses yang berupa serangkaian kegiatan, seperangkat prinsip yang terdiri dari peraturan dan panduan. Kedelapan, prinsip pemasaran olahraga untuk diimplementasikan ke dalam kerangka kerja pemasaran olahraga. Kesembilan, kerangka kerja pemasaran olahraga meliputi beberapa tahap yaitu mengidentifikasi peluang dari pemasaran olahraga; mengembangkan strategi pemasaran; merencanakan bauran pemasaran; melaksanakan rencana serta mengontolnya agar sesuai dengan rencana awal.[30]


Perusahaan sponsor yang baik bukan hanya memberikan kontribusi berupa dana, tetapi juga membantu menciptakan nilai-nilai positif yang membentuk merek. Upaya seperti ini lebih bersifat jangka panjang, sementara dukungan yang berupa dana hanya bersifat jangka pendek. Dukungan dari sponsor merupakan komitmen kedua belah pihak serta investasi yang berarti.[31]



Dukungan dari perusahaan sponsor sebaiknya tidak berhenti sampai acara olahraga selesai, kedua belah pihak semestinya menemukan jalan kembali agar bisa bekerjasama dalam waktu yang cukup lama, dan tidak ada salahnya untuk menggunakan teknologi terkini dalam mengembangkan kemitraan sehingga kerjasama menjadi lebih relevan dengan perkembangan jaman serta jauh lebih mengikat. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk membangun kemitraan jangka panjang. Pertama, membangun merek yang tepat untuk memastikan bahwa pemasran lebih tertarget dengan menyasar kelompok tertentu dengan cara yang benar. Kedua, menghitung nilai ROI (Return On Investment)/tingkat pengembalian. Analisis ini harus dilakukan dengan cermat untuk mencapai efisiensi pemasaran sehingga kemitraan dapat terus berjalan.[32]

Campur tangan pemerintah menyangkut kepentingan olahraga sangat dipengaruhi oleh ideologi negara, nilai, serta falsafah negara dan lembaga negara. Ideologi pertama adalah konservatisme. Ideologi konservatis menekankan kepada tradisi serta hal-hal yang sudah lumrah dan diterima secara umum. Pemerintahan yang konservatis cenderung membuat aturan bagaimana masyarakat seharusnya hidup, dan mensensor jika ada karya seni yang dinilai menyimpang dari aturan. Sisi positif dari pemerintahan yang konservatif dalam bidang olahraga adalah, jika ada pelanggaran seperti pelegalan minuman keras atau penggunaan doping, maka mereka tidak akan segan untuk menghukumnya. Selain itu, pemerintahan yang konservatif percaya bahwa sektor swasta merupakan salah satu kunci kemajuan sehingga mereka mendukung serta melindungi industri melalui regulasinya. Namun demikian, dalam pandangan pemerintah yang konservatif, olahraga merupakan perwujudan dari nilai-nilai sosial, tidak semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Ideologi yang kedua adalah reformisme, atau biasa disebut dengan sosial demokrasi. Kaum reformis berpedoman pada kesejahteraan sosial dan kesetaraan. Pemerintahan yang reformis berusaha keras untuk menjadi sentral dalam segala urusan, dan kekuatan dari sentralisasi tersebut digunakan untuk mencapai rekayasa sosial secara positif. Kaum reformis menganggap bahwa olahraga dapat menjadi alat untuk pengembangan sosial dan karena berpedoman pada kesetaraan, maka mereka ingin agar olahraga menjadi bidang yang inklusif sehingga olahraga dapat diikuti oleh penyandang disabilitas, kaum migran yang berbicara dengan banyak bahasa, dan juga kaum perempuan. Kebijakan kaum reformis lebih mengarah kepada pengembangan olahraga di tingkat akar rumput masyarakat, bukan dikendalikan oleh kaum elit. Ideologi ketiga adalah neo liberalisme. Pemerintahan yang neo liberal memberikan kebebasan pada warganya untuk mengorganisir kehidupan sosial mereka serta berusaha mencari keuntungan tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintahan neo liberal tidak mengutamakan perusahaan milik negara karena mereka menganggap bahwa privatisasi akan mencapai efisiensi dan keuntungan yang besar, terlebih lagi mereka pun menerapkan deregulasi industri. Pemerintahan yang berpaham neo liberal menganggap bahwa olahraga merupakan salah satu kendaraan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah membuat suatu kebijakan olahraga terkait dengan kepentingan kaum elit untuk mengembangkan industri olahraga yang keuntungannya disalurkan untuk pengembangan komunitas olahraga. Ideologi yang keempat adalah sosialisme. Kaum sosialis beranggapan bahwa privatisasi serta pasar yang regulasinya tidak diatur oleh pemerintah akan mengakibatkan ketidaksetaraan ekonomi serta keterasingan kaum pekerja terhadap pekerjaannya. Mereka menganggap bahwa olahraga merupakan lembaga sosial yang sangat penting, dan peraturan mengenai olahraga sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah untuk menciptakan keadilan. Selain itu, bantuan pemerintah pun sangat dibutuhkan dalam hal pengembangan serta perbaikan fasilitas olahraga. [33]



Ada dua macam sumber pendanaan dalam industri olahraga yaitu dana yang berbentuk investasi untuk pengembangan modal, serta dana yang diperoleh dari kegiatan operasional. Investasi keuangan dapat berasal dari beberapa sumber. Pertama, hibah dari pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Kedua, pinjaman jangka pendek dan jangka panjang. Pinjaman ini tidak selalu berupa uang modal, bisa juga berupa fasilitas. Ketiga, keuangan ekuitas atau saham. Keempat, pendapatan yang ditahan berupa uang yang ditanamkan kembali ke dalam organisasi olahraga. Untuk organisasi olahraga nirlaba, pembayaran secara berkala tanpa dikenakan bunga merupakan hal wajib. Sementara itu, dana yang diperoleh dari kegiatan operasional dapat berasal dari berbagai sumber. Pertama, biaya keanggotaan yang berasal dari konsumen. Suatu organisasi olahraga mungkin memiliki beberapa tempat sebagai pusat kebugaran, pusat latihan, dan sebagainya. Kedua, dana yang diperoleh dari menjual produk dan jasa olahraga kepada penonton acara olahraga semisal cendera mata olahraga dan tiket. Ketiga, dana yang berasal dari pajak pemain. Keempat, penggalangan dana yang dapat berasal dari kegiatan tertentu semisal dansa, pelelangan perlengkapan olahraga. Selain itu, yang harus diperhatikan dari kegiatan operasional adalah ada beberapa hal yang dapat menjadi pengeluaran. Pertama, upah dan gaji staf administrasi serta pemain, baik yang bersifat kontrak maupun sementara. Kedua, jaminan sosial untuk staf; atau bisa juga biaya pelatihan staf. Ketiga, biaya pemasaran, baik secara langsung maupun secara daring. Keempat, biaya perawatan kantor. Kelima, biaya pemeliharaan arena olahraga. Keenam, perlengkapan para atlet seperti peralatan olahraga, kostum, perawatan kesehatan, biaya akomodasi. Baca di halaman selanjutnya, seperlunya saja yang dimasukkan. [34]



Sektor pemerintah

Secara umum, pemerintah mesti terlibat dalam bidang olahraga yang dapat menghasilkan manfaat secara sosial; ekonomi; serta politik. Sebagai contoh, kegiatan olahraga selain menyehatkan badan, juga dapat mempererat ikatan sosial. Hal tersebut pun dapat memacu aktivitas ekonomi. Bagi pemerintah, kegiatan olahraga mampu menumbuhkan rasa cinta tanahair dan kesetiakawanan antar sesama warganegara. Dengan adanya ikatan sosial semacam itu diharapkan masyarakat yang kompak dapat membantu pemerintah dalam mensukseskan program-program pembangunan negara. biar bagaimanapun juga, kebijakan pemerintah dalam olahraga sangat dibutuhkan. Pemerintah dapat berperan aktif mendukung olahraga dengan berbagai cara. Pertama, pemerintah memberikan dukungan dari segi dana serta sarana dan prasarana olahraga. Perbaikan dan pembangunan sarana olahraga bukan hanya sebagai fasilitas saja, tetapi sebagai persiapan menjadi tuan rumah kejuaraan olahraga. Kedua, pemerintah dapat terlibat dalam kegiatan pengembangan olahraga seperti pembangunan pusat pelatihan serta fasilitas kesehatan bagi atlet. Ketiga, pemerintah dapat menciptakan program-program yang mengarah kepada ajakan untuk menerapkan pola hidup sehat. Keempat, pemerintah melalui regulasinya dapat mengatur masalah penggunaan doping beserta sanksinya.[35]



Organisasi nirlaba

Keberadaan organisasi nirlaba atau swadaya masyarakat dapat mengisi celah antara swasta yang berorientasi kepada keuntungan dan pemerintah. Organisasi nirlaba harus pandai mencari dana secara mandiri karena tidak disokong oleh pemerintah, dan dalam menjalankan kegiatannya, organisasi tersebut memberdayakan para relawan.[35]

Biar bagaimanapun juga, organisasi nirlaba membutuhkan dana agar program-program organisasi dapat berjalan. Pengertian nirlaba dalam konteks ini bukan berarti tidak mencari keuntungan, namun prioritas utama organisasi bukanlah mencari keuntungan pribadi.[36]

Referensi

  1. ^ Chatzigianni, Efthalia (1984). International Sport Business and Global Sport Governance, dalam E. Margaritis (ed) Law, Ethics, and, Integrity in the Sports. IGI Global. hlm. 87. ISBN 9781522553885. 
  2. ^ Gratton, Chris (2012). Sport in the global marketplace, dalam L. Trenberth (ed) Managing Sport Business. London and New York: Routledge taylor and Francis Group. hlm. 23. ISBN 978-0-203-85841-7. 
  3. ^ Vukasovic, Tina (2021). Analysis of Consumer Buying Behaviour When Buying Sports and Leisure Products During the COVID-19 Pandemic, dalam A. Faganel (ed) Impacts and Implications for the Sports Industry in the Post-COVID-19 Era. IGI Global. hlm. 74. ISBN 9781799867821. 
  4. ^ Nugroho, Sigit (2019). Industri Olahraga. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press. hlm. 16–17. ISBN 978-602-498-056-6. 
  5. ^ Horrow, Rick (2020). The Sport Business Handbook. Human Kinetics. hlm. 14. ISBN 9781492543114. 
  6. ^ Blakey, Paul (2011). Sport Marketing. Learning Matters. hlm. 52–53. ISBN 9780857250902. 
  7. ^ Seric, Neven (2018). Market Research Methods in the Sports Industry. Emerald Publishing. hlm. 1–2. ISBN 978-1-78754-191-7. 
  8. ^ Seric, Neven (2018). Market Research Methods in the Sports Industry. Emerald Publishing. hlm. 8–9. ISBN 978-1-78754-191-7. 
  9. ^ Seric, Neven (2018). Market Research Methods in the Sports Industry. Emerald Publishing. hlm. 15–16. ISBN 978-1-78754-191-7. 
  10. ^ Blakey, Paul (2011). Sport Marketing. Learning Matters. hlm. 45–49. ISBN 9780857250902. 
  11. ^ Milne, George R (1999). Sport Marketing. Toronto: Jones and Bartlett Publishers Canada. hlm. 3. ISBN 0-7637-0873-9. 
  12. ^ Milne, George R (1999). Sport Marketing. Toronto: Jones and Bartlett Publishers Canada. hlm. 13. ISBN 0-7637-0873-9. 
  13. ^ Milne, George R (1999). Sport Marketing. Toronto: Jones and Bartlett Publishings Canada. hlm. 15. ISBN 0-7637-0873-9. 
  14. ^ Blakey, Paul (2011). Sport Marketing. Learning Matters. hlm. 9–10. ISBN 9780857250902. 
  15. ^ Shilbury, David (2020). Strategic Sport Marketing. New York: Routledge. hlm. 7. ISBN 9781743314777. 
  16. ^ Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 11–12. ISBN 9781492594239. 
  17. ^ a b Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 13. ISBN 9781492594239. 
  18. ^ Seric, Neven (2018). Market Research Methods in the Sports Industry. Emerald Publishing. hlm. 61. ISBN 978-1-78754-191-7. 
  19. ^ a b Shonk, david J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 17. ISBN 9781492594239. 
  20. ^ a b Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 18. ISBN 9781492594239. 
  21. ^ Shonk, David J (2022). Sales and Revenue Generation in Sport Business. Human Kinetics. hlm. 20. ISBN 9781492594239. 
  22. ^ Zimbalist, Andrew (2011). Sport As Business, dalam S.R. Rosner (ed) The Business of Sports. Jones and Bartlett. ISBN 978-0-7637-8078-4. 
  23. ^ Mullin, Bernard J (2014). Sport Marketing. Human Kinetics. hlm. 20–21. ISBN 978-1-4504-2498-1. 
  24. ^ Brumello, Adrian. "Brand Equity in Sports Industry" (PDF): 2. 
  25. ^ Brunello, Adrian. "Brand Equity in Sports Industry" (PDF): 4. 
  26. ^ Brunello, Adrian. "Brand Equity in Sports Industry" (PDF): 4. 
  27. ^ Dees, Windy (2022). Sport Marketing. Human Kinetics. hlm. 44. ISBN 978-1-4925-9462-8. 
  28. ^ Smith, AAaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Routledge. hlm. 3–4. ISBN 978-1-315-77676-7. 
  29. ^ Smith, Aaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Routledge. hlm. 8. ISBN 978-1-315-77676-7. 
  30. ^ Smith, Aaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Human Kinetics: 978-1-315-77676-7. 
  31. ^ New Zealand, Sport. "Sport Sponsorship" (PDF): 3. 
  32. ^ Shank, Matthew D (2015). Sports Marketing. New York: Routledge. hlm. 101. ISBN 978-1-315-79408-2. 
  33. ^ Hoye, Rusell (2015). Sport Management (PDF). New York: Routledge. hlm. 21–23. ISBN 978-1-315-73337-1. 
  34. ^ Hoye, Rusell (2015). Sport Management (PDF). New York: Routledge. hlm. 219–222. ISBN 978-1-315-73337-1. 
  35. ^ a b Smith, Aaron C.T (2015). Introduction to Sport Marketing. Routledge: New York. hlm. 20. ISBN 978-1-315-77676-7. 
  36. ^ Hoye, Rusell (2015). Sport Management (PDF). New York: Routledge. hlm. 34. ISBN 978-1-315-73337-1.