Masa Bersiap

Fase dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945–1947)
Revisi sejak 27 Januari 2022 10.57 oleh Vlacke Hoeck (bicara | kontrib) (Makna periode bersiap)

Bersiap adalah sebuah istilah yang diberikan oleh Belanda, yang merujuk pada kekacauan dan kengerian akibat dari revolusi di Jawa, yang terjadi pada tahun 1945-1947. Periode ini diawali oleh peralihan kekuasaan dari Tentara Kekaisaran Jepang kepada pemerintahan Republik Indonesia.

Periode ini ditandai dengan terjadinya huru-hara, pembantaian, dan perampokan massal yang dilakukan oleh masyarakat pro kemerdekaan, atau yang biasa disebut sebagai Pemoeda dan Pelopor. Orang-orang Eropa dan orang Indo menjadi target utama dalam kekacauan ini, walaupun banyak juga korban yang merupakan orang Maluku dan orang Tionghoa.

Awal masa ini bermula dengan dijarah dan dirampoknya Depok oleh para Pemoeda atau Pelopor pada tanggal 9 Oktober 1945.[1] Depok waktu itu dikenal sebagai pusat tempat tinggalnya orang Indo.[1] Sedangkan masa akhir Bersiap ditetapkan selesai dengan munculnya aksi Agresi Militer Belanda I atau Aksi Polisi Belanda I pada bulan Januari 1947.[2] Namun pemerintah Belanda mendefinisikan masa ini lebih luas, yaitu dari Kapitulasi Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949.[3]

Istilah

Fase revolusi nasional Indonesia ini disebut "Bersiap" oleh orang-orang Indo Belanda (Eurasia) yang selamat dari periode penuh konflik ini dan digunakan dalam karya akademis Belanda dan Inggris. Istilah ini berasal dari seruan perang pro-Republik Indonesia dan seruan terus-menerus untuk mengangkat senjata: "Siap!" - "Siap!" yg terdengar ketika orang yang tampak sebagai musuh potensial revolusi memasuki daerah pro-republik.[4]

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pada tanggal 15 Agustus 1945 Tentara Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu. Karena kemenangan ini bukan karena penaklukkan kembali oleh Tentara Sekutu atas Indonesia, Tentara Kekaisaran Jepang masih menduduki Indonesia, tetapi telah menerima perintah khusus untuk mempertahankan status quo sampai pasukan Sekutu tiba. Soekarno, Hatta, dan pimpinan Republik yang lebih senior ragu untuk bertindak dan tidak ingin memprovokasi konflik dengan pihak Jepang.[5] Laksamana Tadashi Maeda, yang takut akan kelompok 'pemuda' yang mudah terpancing dan tentara Jepang yang terdemoralisasi, menginginkan perpindahan kekuasaan yang cepat kepada para pemimpin senior Indonesia.[5] Sementara kepemimpinan kelompok nasionalis yang lebih senior, termasuk Soekarno dan Hatta enggan terhadap perpindahan kekuasaan ini, anggota elit muda yang lebih muda yang sering disebut 'pemuda Indonesia', percaya bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mendorong revolusi. Sebuah kelompok yang terkait dengan "Menteng 31" menculik Soekarno dan Hatta dan memaksa mereka untuk menyetujui untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah terhadap Sekutu, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Soekarno di Jakarta.[6] Staf Indonesia sempat merebut radio Jakarta dari atasan Jepang mereka dan menyiarkan berita tentang deklarasi tersebut di seluruh Jawa.[7]

Referensi

  1. ^ a b Keppy (2006:50)
  2. ^ Keppy (2006:52)
  3. ^ Wet uitkeringen burger-oorlogsslachtoffers (Wubo)
  4. ^ Bayly, Christopher Harper, Tim ‘’Forgotten Wars, Freedom and revolution in Southeast Asia’’ (Publisher: Harvard University Press, 2006) ISBN 9780674021532 P.181 Googlebooks
  5. ^ a b Ricklefs (1991), p. 210
  6. ^ Ricklefs (1991), page 213; Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and History. Yale University Press. hlm. 325. ISBN 0-300-10518-5. ; Reid (1973), page 30; Vickers (2005), p. 95
  7. ^ Taylor (2003), p. 323